15
Shock Hipovolemik karena Perdarahan Internal Deffina Widjanarko Mahasiswa Fakultas Kedokteran UKRIDA Alamat Korespondensi: Deffina Widjanarko, Fakultas Kedokteran UKRIDA Jl. Terusan Arjuna no. 6, Tanjung Duren, Jakarta Barat 11510. E-mail: [email protected] PENDAHULUAN Syok adalah sindroma klinis yang terjadi akibat gangguan hemodinamik dan metabolik yang ditandai dengan kegagalan system sirkulasi untuk mempertahankan perfusi yanga dekuat organ-organ vital tubuh. Hal ini muncul akibat kejadian pada hemostasis tubuh yang serius seperti, perdarahan yang massif, trauma atau luka bakar berat (syok hipovolemik), infark miokard luas atau emboli paru (syok kardiogenik), sepsis akibat bakteri yang tidak terkontrol (syok septic), tonus vasomotor yang tidak adekuat (syok neurogenik) atau akibat respon imun (syok anafilaktik). Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi kehilangan cairan dengan cepat dan berakhir pada kegagalan beberapa fungsi organ yang disebabkan oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yang tidak adekuat. Keadaan yang paling sering menyebabkan syok hipovelemik adalah akibat kehilangan darah dalam kurun waktu yang cepat (syok hemoragik) seperti kehilangan darah akibat suatu trauma tajam atau perdarahan gastrointestinal yang berat. ISI Anamnesis Anamnesis merupakan wawancara medis yang merupakan tahap awal dari rangkaian pemeriksaan pasien, baik secara langsung atau tidak langsung. Tujuan dari anamnesis adalah

Shock Hipovolemik Kegawatdaruratan Medis

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Makalah tentang shock hipovolemik kedaruratan medis

Citation preview

Shock Hipovolemik karena Perdarahan

Internal

Deffina Widjanarko

Mahasiswa Fakultas Kedokteran UKRIDA

Alamat Korespondensi:

Deffina Widjanarko, Fakultas Kedokteran UKRIDA Jl.

Terusan Arjuna no. 6, Tanjung Duren, Jakarta Barat

11510. E-mail: [email protected]

PENDAHULUAN

Syok adalah sindroma klinis yang terjadi akibat gangguan hemodinamik dan metabolik

yang ditandai dengan kegagalan system sirkulasi untuk mempertahankan perfusi yanga dekuat

organ-organ vital tubuh. Hal ini muncul akibat kejadian pada hemostasis tubuh yang serius

seperti, perdarahan yang massif, trauma atau luka bakar berat (syok hipovolemik), infark

miokard luas atau emboli paru (syok kardiogenik), sepsis akibat bakteri yang tidak terkontrol

(syok septic), tonus vasomotor yang tidak adekuat (syok neurogenik) atau akibat respon imun

(syok anafilaktik).

Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi kehilangan cairan

dengan cepat dan berakhir pada kegagalan beberapa fungsi organ yang disebabkan oleh volume

sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yang tidak adekuat. Keadaan yang paling

sering menyebabkan syok hipovelemik adalah akibat kehilangan darah dalam kurun waktu yang

cepat (syok hemoragik) seperti kehilangan darah akibat suatu trauma tajam atau perdarahan

gastrointestinal yang berat.

ISI

Anamnesis

Anamnesis merupakan wawancara medis yang merupakan tahap awal dari rangkaian

pemeriksaan pasien, baik secara langsung atau tidak langsung. Tujuan dari anamnesis adalah

mendapatkan informasi menyeluruh dari pasien yang bersangkutan. Informasi yang dimaksud

adalah data medis organobiologis, psikososial, dan lingkungan pasien. Selain itu, tujuan lainnya

yang tidak kalah penting adalah membina hubungan antara dokter dan pasien yang professional

dan optimal. Data anamnesis terdiri atas beberapa kelompok data penting:1

1. Identitas pasien

2. Riwayat penyakit sekarang

3. Riwayat penyakit dulu

4. Riwayat kesehatan keluarga

5. Riwayat pribadi, sosial-ekonomi, budaya

Riwayat penyakit penting untuk menentukan penyebab dan untuk penanganan langsung.

Syok hipovolemik akibat kehilangan darah dari luar biasanya nyata dan mudah didiagnosis.

Perdarahan dalam kemungkinan tidak nyata, biasanya pasien hanya mengeluhkan kelemahan,

letargi, atau perubahan status mental. Pada pasien trauma, menentukan mekanisme cedera dan

menggali beberapa informasi lain akan memperkuat kecurigaan terhadap cedera tertentu

misalnya, cedera akibat tertumbuk kemudi kendaraan, atau gangguan kompartemen pada

pengemudi akibat kecelakaan kendaraan bermotor.2

Pada pasien trauma, dapat ditanyakan pertanyaan – pertanyaan mengenai kejadian

trauma, melalui auto atau aloanamnesis kepada pengantar atau orang yang berada di tempat

kejadian:3

Apakah korban sadar, atau pingsan saat terjadi kecelakaan (status mental korban)

Apakah korban muntah saat terjadi trauma atau saat transportasi

Kerusakan yang terjadi pada kendaraan

Apakah terjadi kesulitan saat mengevakuasi pasien

Apakah terdapat korban yang meninggal

Apakah korban terlontar dari kendaraan

Penggunaan alat keamanan, seperti helm, safety belt

Penggunaan alcohol atau obat – obatan

Adanya cedera pada kepala atau tulang belakang

Adanya perubahan status mental

Pemeriksaan

Fisik

Pemeriksaan fisik selalu harus dimulai dengan penilaian jalan napas, pernapasan, dan

sirkulasi. Setelah ini telah dievaluasi dan stabil, sistem peredaran darah harus dievaluasi tanda-

tanda dan gejala shock. Jangan mengandalkan BP sistolik sebagai indikator utama shock; hal ini

menyebabkan diagnosis lambat. Mekanisme kompensasi mencegah penurunan yang signifikan

pada BP sistolik sampai pasien telah kehilangan 30% dari volume darah. Perhatian lebih harus

ditujukan kepada nadi, laju pernafasan, dan perfusi kulit. Selain itu, pasien yang memakai beta-

blocker tidak mungkin hadir dengan takikardia, terlepas dari tingkat shock.3

Kepala. Semua pasien trauma harus diperiksa kesadarannya sesuai dengan Glasgow coma scale

(GCS). Penilaian diambil dari skor untuk kemampuan membuka mata, berbicara, dan bergerak.

Skor maksimal GCS adalah 15. Skor 13-15 mengindikasikan cedera kepala ringan, skor 9-12

mengindikasikan cedera kepala sedang, dan skor 3-8 mengindikasikan cedera kepala berat.

Pada akhirnya, wajah dan kepala perlu di palpasi secara keseluruhan secara sistematis

untuk mencari fraktur. Semua pasien dengan closed-head injury yang signifikan (GCS <14)

perlu menjalani CT scan.5,6

Leher. Untuk mengevaluasi leher dari pasien dengan blunt-trauma, perhatian perlu difokuskan

pada tanda dan gejala dari cedera spinal yang tersembunyi. Karena akibat terburuk dari cedera

spinal yang mungkin terjadi adalah quadriplegia, semua pasien harus diduga mengalami cedera

servikal sampai pada akhirnya terbukti tidak. Keberadaan nyeri di midline posterior perlu

diperiksa lebih lanjut dengan radiografi. Sayangnya, radiografi tidak dapat mendeteksi cedera

pada ligamen servikal. Oleh sebab itu, dapat dilakukan pemeriksaan dengan meminta pasien

untuk menggerakan kepalanya (fleksi dan ekstensi) sendiri tanpa disentuh siapapun, dengan

asumsi bahwa pasien tidak mungkin melukai dirinya sendiri.5,6

Dada. Blunt trauma pada dada dapat melibatkan dinding dada, thoracic spine, jantung, paru-

paru, thoracic aorta, pembuluh-pembuluh darah besar, dan sangat jarang melibatkan esofagus.

Pasien dengan kebocoran udara yang banyak setelah tindakan torakostomi dan mereka yang

kesulitan dalam ventilasi harus menjalani bronkoskopi untuk menilai adanya robekan pada

bronkus atau benda asing. Perlu juga diperhatikan apakah ada segmen dinding dada yang

bergerak secara paradoksal (kedalam saat inspirasi dan keluar saat ekspirasi), merupakan indikasi

flail chest. Auskultasi diperlukan untuk menilai suara napas pasien. Palpasi juga diperlukan

untuk menilai apakah ada nyeri, krepitasi, atau deformitas dari dinding dada.5,6

Abdomen. Secara umum, pemeriksaan fisik abdomen tidak dapat dijadikan modalitas utama

untuk menentukan apakah ada cedera organ dalam atau tidak. Diagnosis untuk trauma abdomen

hanya bisa ditegakkan melalui pemeriksaan radiologis. Namun perut bagian depan dan belakang

harus diobservasi secara teliti apabila ada goresan, robekan, hematom, atau jejas-jejas yang lain,

dan apabila terlihat bertambah kembung atau tidak. Jika tampak peningkatan distensi abdominal,

maka pasien perlu segera dirujuk untuk menjalani operasi untuk eksplorasi organ viscera. Palpasi

dinding abdomen dapat dimanfaatkan untuk menilai adanya dan menentukan tempat dari nyeri,

baik nyeri tekan superfisial, nyeri tekan dalam, atau nyeri lepas, serta tenderness. Bila sampai

terjadi suatu defans muskuler dan nyeri tekan seluruh perut mungkin sudah terjadi peritonitis

yang merupakan indikasi laparotomi. Pada auskultasi perlu diperhatikan keberadaan bising usus

dan bruit (pendarahan). Jika bising usus hilang, kemungkinan besar karena ileus yang disebabkan

pendarahan intraabdominal.5,6

Ekstremitas. Inspeksi pada ekstremitas bertujuan untuk menilai apakah ada deformitas,

pembengkakan, pendarahan, atau posisi yang tidak tepat. Palpasi digunakan untuk melokalisasi

nyeri dan menilai apakah ada saraf atau pembuluh darah yang rusak. Auskultasi dapat dilakukan

untuk menilai aliran darah pada pembuluh besar di ekstremitas. Temuan fisik diklasifikasikan

menjadi hard signs dan soft signs. Secara umum, hard signs merupaka indikasi dilakukannya

operasi, sedangkan soft signs mengindikasikan pemeriksaan penunjang lainnya. Yang termasuk

dalam hard signs adalah pulsatile hemorrage, pendarahan signifikan, thrill atau bruit, dan

iskemia akut. Sedangkan soft sign adalah pemendekan, pendarahan minor, hematoma kecil, dan

cedera saraf pada ekstremitas yang mengalami trauma.5,6

Penunjang

Pemeriksaan laboratorium awal yang sebaiknya dilakukan antara lain: analisis Complete

Blood Count (CBC), kadar elektrolit (Na, K, Cl, HCO3, BUN, kreatinin, kadar glukosa), PT,

APTT, AGD, dan urinalisis (pada pasien yang mengalami trauma). Darah sebaiknya ditentukan

tipenya dan dilakukan pencocokan agar memudahkan bilamana diperlukan darah.

Pasien dengan hipotensi atau dengan kondisi tidak stabil harus pertama kali diresusitasi

secara adekuat. Penanganan ini lebih utama daripada pemeriksaan radiologi dan menjadi

intervensi segera dan membawa pasien cepat ke ruang operasi. Pasien trauma dengan syok

hipovolemik membutuhkan pemeriksaan ultrasonografi di unit gawat darurat jika dicurigai

terjadi aneurisma aorta abdominalis. Jika dicurigai terjadi perdarahan gastrointestinal, sebaiknya

dipasang selang nasogastrik, dan gastric lavage harus dilakukan. Foto polos dada posisi tegak

dilakukan jika dicurigai ulkus perforasi atau Sindrom Boerhaave. Endoskopi dapat dilakukan

(biasanya setelah pasien tertangani) untuk selanjutnya mencari sumber perdarahan.4

Diagnosis

Kerja

Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi kehilangan cairan

dengan cepat dan berakhir pada kegagalan beberapa fungsi organ yang disebabkan oleh volume

sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yang tidak adekuat. Keadaan yang paling

sering menyebabkan syok hipovelemik adalah akibat kehilangan darah dalam kurun waktu yang

cepat (syok hemoragik) seperti kehilangan darah akibat suatu trauma tajam atau perdarahan

gastrointestinal yang berat. Syok hipovolemik dapat terjadi akibat kehilangan cairan yang

signifikan (selain darah). Dua contoh syok hipovolemik yang terjadi akibat kehilangan cairan,

antara lain gastroenteritis refrakter dan luka bakar yang luas.2,4

Kelas perdarahan ditetapkan berdasarkan persentase volume kehilangan darah. Namun,

perbedaan antara kelas-kelas pada pasien hipovolemik sering kurang jelas. Pengobatan harus

agresif dan lebih diarahkan oleh respon terhadap terapi dibandingkan dengan klasifikasi awal.4

Kelas I perdarahan (hilangnya 0-15%)

Dengan tidak adanya komplikasi, hanya takikardia minimal terlihat.

Biasanya, tidak ada perubahan pada BP, tekanan nadi, atau tingkat pernapasan terjadi.

Keterlambatan dalam kapiler isi ulang yang lebih lama dari 3 detik sesuai dengan

kehilangan volume sekitar 10%.

Kelas II perdarahan (hilangnya 15-30%)

Gejala klinis termasuk takikardia (tingkat> 100 denyut per menit), tachypnea, penurunan

tekanan nadi, kulit lembap dingin, tertunda kapiler isi ulang, dan sedikit kecemasan.

Penurunan tekanan nadi adalah hasil dari tingkat Katekholamin meningkat, yang

menyebabkan peningkatan resistensi pembuluh darah perifer dan peningkatan berikutnya

dalam BP diastolik.

Kelas III perdarahan (hilangnya 30-40%)

Pada saat ini, pasien biasanya sudah ditandai tachypnea dan takikardia, penurunan

tekanan darah sistolik, Oliguria, dan perubahan signifikan dalam status mental, misalnya

kebingungan atau agitasi.

Pada pasien tanpa cedera lain atau kerugian cairan, 30-40% adalah jumlah terkecil

kehilangan darah yang secara konsisten menyebabkan penurunan tekanan darah sistolik.

Sebagian besar pasien membutuhkan transfusi darah, tetapi keputusan untuk mengelola

darah harus didasarkan pada respon awal untuk cairan.

Kelas IV perdarahan (kehilangan> 40%)

Gejala meliputi: takikardia ditandai, penurunan tekanan darah sistolik, tekanan nadi

menyempit (atau tekanan diastolik beragam), nyata menurun (atau tidak ada output) urin,

depresi mental status (atau kehilangan kesadaran), dan dingin dan kulit pucat.

Ini jumlah perdarahan langsung mengancam kehidupan.

Class I Class II Class III Class IV

Blood loss

mL

%

<750

<15%

750-1500

15-30%

>1500-2000

>30-40%

>2000

> 40%

Heart Rate

(beat/min)

<100 >100 >120 >140

Systolic

blood

pressure

Normal Normal Decreased Decreased

Pulse

pressure

Normal Decreased Decreased Decreased

Capillary

refill time

Delayed Delayed Delayed Delayed

Respiratory

rate/min

14-20 20-30 30-40 >35

Urine output

(ml/h)

>30 20-30 5-15 <5

Mental

Status

Slightly

anxious

Anxious Confused Confused and

lethargic

Tabel 1. Derajat Keparahan Syok Hipovolemik3

Banding

Shock adalah diagnosis klinis, jadi tidak ada diagnosis bandingnya. Diagnosis

bandingnya hanya terhadap penyebab dar shock. Diagnosis shock pada stadium dini sangat

penting untuk berhasilnya suatu pengobatan, namun sering kali hal ini tidak mudah. Karena itu

sangat penting adalah kewaspadaan terhadap kemungkinan terjadinya shock pada penderita

dengan resiko tinggi. Pada penderita pada resiko tersebut kita lakukan pemantauan yang lebih

ketat sehingga dapat dilakukan tindakan yang lebih dini bila terdapat tanda-tanda shock.4

Manifestasi klinis tergantung pada:

- Penyakit primer penyebab shock

- Kecepatan dan jumlah cairan yang hilang

- Lama nya syok serta kerusakan jaringan yang terjadi

- Tipe dan stadium renjatan

Infromasi

Diagnostic

Hipovolemik Kardiogenik Neurogenik Septik

(Hyperdynamic

State)

Gejala dan

tanda

Pucat; kulit

dingin,

Basah;

takikardi;

Oliguri,

hipotensi;

peningkatan

resistensi

perifer

Kulit basah,

dingin; taki-

dan

bradiaritmia;

oliguri;

hipotensi;

peningkatan

resistensi

perifer

Kulit hangat, denyut

jantung

normal/rendah,

normo/oliguri,

hipotensi,

penurunan resistensi

perifer

Demam, kulit teraba

hangat, takikardi,

oliguri, hipotensi,

penurunan resistensi

perifer.

Data

laboratorium

Hematokrit

rendah ( fase

akhir)

Enzim

jantung, EKG

Normal Hitung neutrofil,

pengecatan gram,

kultur

Tabel 2. Perbedaan Antar Syok4

Etiologi

Penyebab tersering syok hipovolemik adalah kehilangan darah akibat trauma termasuk

kehilangan darah selama atau setelah pembedahan. Trauma yang dimaksud dapat berupa trauma

tajam (Penetrating Trauma) seperti fraktur pelvis atau fraktur femur dan trauma tumpul seperti

trauma tumpul abdomen (ruptur hepar,spleen, dan perforasi organ berongga) maupun trauma

tumpul dada (seperti pneumothorax, hemothorax atau hemopericardium dan temponade). Ruptur

anuerisme aorta dan perdarahan gastrointestinal merupakan penyebab kedua tersering dari syok

hipovolemik.4,7

Penyebab syok hipovolemik non –trauma termasuk diabetes mellitus yang tidak terkontrol

dan insufisiensi akut korteks adrenal yang menyebabkan kehilangan cairan tubuh yang banyak

melalui ginjal. Mual muntah hebat, diare, dan luka bakar dapat menimbulkan kehilangan cairan

plasma.

Causes of Hypovolemic Shock

Kehilangan Darah Internally- rupture of vessels, spleen,

liver, extrauterine pregnancy

Externally- Trauma, gastrointestinal,

pulmonary,renal blood loss

Kehilangan Plasma Burn Wound, gastrointestinal losses

(diarrhea, ileus, pancreatitis)

Kehilangan Cairan dan Elektrolit Gastrointestinal and renal losses

(uncontrolled diabetes mellitus,

adrenocortical insufficiency)

Tabel 3. Penyebab Syok Hipovolemik4

Terkadang hemoptisis massive yang timbul akibat dari suatu tumor, tuberculosis, fungal

infection atau bronkietasis dapat menjadi penyebab syok hipovolemik. Kehilangan darah

merupakan penyebab yang esensial dari syok hipovolemik namun trauma itu sendiri

menyebabkan pelepasan dari mediator inflamasi yang menyebabkan perburukan syok.

Manifestasi Klinis

Syok hipovolemik membutuhkan diagnosa dini untuk mencegah keterlambatan terapi.

Resusitasi cairan intravena harus segera diberikan dengan kanul besar. Perjalanan klinis pasien

dengan syok hipovolemik ditentukan oleh penyebab syok tersebut. Pasien dapat mengeluhkan

haus, diaphoresis, dan nafas yang pendek dan dangkal. Kesadaran umumnya tidak terganggu

kecuali pada syok berat pasien dapat menjadi apatis.4

Diagnosa klinis untuk syok yaitu hipotensi dan gejala klinis dari iskemia organ. Tanda

klinis pasien syok dapat dikenali dari penurunan tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg

atau penurunan darah lebih dari 40 mmHg dibawah presyok level dengan nadi yang lemah. Pada

syok hipovolemik dapat ditandai dengan orthostatik hipotensi, postural dizziness, takikardi dan

hipotensi adalah gejala dan tanda awal dari syok hipovolemik. Gejala lainnya yang dapat timbul

yaitu mukosa membrane yang kering, penurunan turgor kulit, takipneu, oliguria, sianosis perifer,

supine hipotensi dan gejala klinis lainnya yang mungkin timbul tidak mempunyai nilai

diagnostik bermakna. Tingkat keparahan pada syok hipovolemik akibat perdarahan dapat

dikelompokkan berdasarkan tanda dan gejala klinis seperti yang tertera pada tabel 3.4

Tatalaksana

Tiga tujuan penanganan kegawatdaruratan pasien dengan syok hipovolemik antara

lain:4,7,8

1. Memaksimalkan pengantaran oksigen, dilengkapi dengan ventilasi yang adekuat,

peningkatan saturasi oksigen darah, dan memperbaiki aliran darah. Jalan napas pasien

sebaiknya dibebaskan segera dan stabilisasi jika perlu

Kedalaman dan frekuensi pernapasan, dan juga suara napas, harus diperhatikan. Jika

terjadi keadaan patologi (seperti pneumothoraks, hemothoraks, dan flail chest) yang

mengganggu pernapasan, harus segera ditangani. Tambahan oksigen dalam jumlah besar

dan bantuan ventilator harus diberikan pada semua pasien. Ventilasi tekanan positif yang

berlebihan dapat berbahaya pada pasien yang mengalami syok hipovolemik dan

sebaiknya dihindari.

Sebaiknya dibuat dua jalur intravena berdiameter besar. Hukum Poeseuille mengatakan

bahwa aliran berbanding terbalik dengan panjang kateter infus dan berhubungan langsung

dengan diameter. Sehingga kateter infus intravena yang ideal adalah pendek dan

diameternya lebar; diameter lebih penting daripada panjangnya. Jalur intravena dapat

ditempatkan pada vena antecubiti, vena saphena, atau vena tangan, atau pada vena

sentralis dengan menggunakan teknik Seldinger. Jika digunakan jalur utama vena

sentralis maka digunakan kateter infus berdiameter lebar. Pada anak kurang dari 6 tahun

dapat digunakan jalur intraosseus. Faktor yang paling penting dalam melakukannya

adalah skill dan pengalaman. Pengadaan infus arteri perlu dipertimbangkan pada pasien

dengan perdarahan hebat. Untuk pasien ini, infus arteri akan memonitoring tekanan darah

secara berkala dan juga analisa gas darah.

Pada jalur intravena, cairan yang pertama digunakan untuk resusitasi adalah kristaloid

isotonik, seperti Ringer Laktat atau Saline Normal. Bolus awal 1-2 liter pada orang

dewasa (20 ml/kgBB pada pasien anak), dan respon pasien dinilai. Jika tanda vital sudah

kembali normal, pasien diawasi agar tetap stabil dan darah pasien perlu dikirim untuk

dicocokkan. Jika tanda vital membaik sementara, infus kristaloid dilanjutkan dan

dipersiapkan darah yang cocok. Jika perbaikan yang terjadi tidak bermakna atau tidak

ada, infus kristaloid harus dilanjutkan, dan darah O diberikan (darah tipe O rhesus (-)

harus diberikan kepada pasien wanita usia subur untuk mencegah sensitasi dan

komplikasi lanjut). Jika pasien sekarat dan hipotensi berat (syok derajat IV), diberikan

cairan kristaloid dan darah tipe O. Pedoman pemberian kristaloid dan darah tidak diatur,

terapi yang diberikan harus berdasarkan kondisi pasien.

Posisi pasien dapat digunakan untuk memperbaiki sirkulasi; salah satu contohnya

menaikkan kedua kaki pasien sementara cairan diberikan. Contoh lain dari posisi yang

bermanfaat adalah memiringkan pasien yang sementara hamil dengan trauma kearah

kirinya, dengan tujuan memposisikan janin menjauhi vena cava inferior dan

meningkatkan sirkulasi. Posisi Trendelenburg tidak dianjurkan untuk pasien dengan

hipotensi karena dikhawatirkan terjadi aspirasi.

2. Mengontrol kehilangan darah lebih lanjut

Kontrol perdarahan tergantung sumber perdarahan dan sering memerlukan intervensi

bedah. Pada pasien dengan trauma, perdarahan luar harus diatasi dengan menekan

sumber perdarahan secara langsung, perdarahan dalam membutuhkan intervensi bedah.

Fraktur tulang panjang ditangani dengan traksi untuk mengurangi kehilangan darah.

Pada pasien dengan nadi yang tidak teraba di unit gawat darurat atau awal tibanya, dapat

diindikasikan torakotomi emergensi dengan klem menyilang pada aorta diindikasikan

untuk menjaga suplai darah ke otak. Tindakan ini hanya bersifat paliatif dan butuh segera

dibawa di ruang operasi.

Pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal, vasopressin intravena dan H2 bloker

dapat digunakan. Vasopressin umumnya dihubungkan dengan reaksi negatif, seperti

hipertensi, aritmia, gangren, dan iskemia miokard atau splanikus. Oleh karena itu, harus

dipertimbangkan untuk penggunaanya secara tetap. H2 Bloker relatif aman, tetapi tidak

terlalu menguntungkan. Infus somatostatin dan ocreotide telah menunjukkan adanya

pengurangan perdarahan gastrointestinal yang bersumber dari varises dan ulkus

peptikum. Obat ini membantu kerja vasopressin tanpa efek samping yang signifikan.

Pada pasien trauma, jika petugas unit gawat darurat mengindikasikan telah terjadi cedera

yang serius, ahli bedah (tim trauma) harus diberitahukan segera tentang kedatangan

pasien. Pada pasien yang berusia 55 tahun dengan nyeri abdomen, sebagai contohnya,

ultrasonografi abdomen darurat perlu utnuk mengidentifikasi adanya aneurisma aorta

abdominalis sebelum ahli bedahnya diberitahu. Setiap pasien harus dievaluasi ketat

karena keterlambatan penanganan yang tepat dapat meningkatkan morbiditas dan

mortalitas.

3. Resusitasi Cairan.

Pasang kanul intravena ukuran besar, lakukan pemeriksaan laboratorium (crossmatch,

hemoglobin, hematocrit, thrombosit, elektrolit, creatinin, analisis gas darah dan pH,

laktat, parameter koagulasi, transamine, albumin). Nilai kebutuhan oksigen, intubasi, atau

ventilasi (PO2 > 60 mmHg dan saturasi oksigen > 90%).

Resusitasi cairan dilakukan dengan perbandingan kristaloid dan koloid sebesar 3:1. Bila

kehilangan darah>25% maka perlu diberikan eritrosit konsentrat, sementara kehilangan

darah > 60% maka perlu juga diberikan fresh frozen plasma (setelah 1 jam pemberian

konsentrasi eritrosit atau lebih cepat jika fungsi hati terganggu). Tujuan utama terapi syok

hipovolemik adalah penggantian volume sirkulasi darah. Penggantian volume

intravascular sangat penting untuk kebutuhan cardiac output dan suplai oksigen ke

jaringan. Syok hipovolemik yang disebabkan oleh kehilangan darah dalam jumlah besar

sering perlu dilakukan transfusi darah.

Pemilihan cairan sebaiknya didasarkan atas status hidrasi pasien, konsentrasi elektrolit

dan kelainan metabolic yang ada. Berbagai larutan parenteral telah dikembangkan

menurut kebutuhan fisiologis berbagai kondisi medis. Terapi cairan intravena atau infus

merupakan salah satu aspek terpenting yang menentukan dalam penanganan dan

perawatan pasien.

Penanganan Primer

Airway. Penentuan adanya jalan nafas yang adekuat merupakan prioritas utama dalam

penanganan primer. Maneuver yang digunakan pada pasien trauma harus mempertimbangkan

kemungkinan adanya trauma cervical. Jika dimungkinkan, foto lateral dari tulang cervical dapat

diambil sebelum melakukan intubasi. Pada foto radiografi, perlu nampak ketujuh vertebra untuk

dapat menapis adanya cedera. Jika kegagalan ventilasi terjadi, dan jalan nafas adekuat tidak

dapat tercapai melalui intubasi orotrakeal atau nasotrakeal, cricotiroidotomi harus dilakukan

secepatnya.3

Pada umumnya, pasien dengan keadaan sadar dan suara yang normal tidak diperlukan

evaluasi lanjutan atau perhatian khusus pada jalan nafas. Tetapi pada pasien dengan trauma

penetrasi pada leher dan hematoma; tanda – tanda trauma kimia atau thermal pada mulut, lubang

hidung, atau faring; adanya udara subkutan pada leher; trauma kompleks pada maksilofacial;

atau pedarahan pada jalan nafas. Walaupun pada pasien – pasien ini mungkin tidak ada kelainan

pada jalan nafas, tetapi dapat timbul obstruksi jika terdapat edema atau bengkaknya jaringan

sekitar.5

Pasien dengan suara dan status mental abnormal memerlukan perhatian khusus pada

evaluasi jalan nafas. Perubahan status mental merupakan indikasi tersering pemasangan intubasi,

karena ketidakmampuan pasien untuk menjaga jalan nafas.5

Breathing. Setelah pembebasan jalan nafas, diperlukan kepastian terdapat ventilasi yang adekuat.

Periksa pasien untuk menentukan ekspansi dada, suara nafas, takipnu, krepitasi pada fraktur

costae, emfisema subkutan, dan adanya luka penetrasi atau terbuka. Hampir semua pasien

memerlukan terapi oksigen dan monitor pulse oximetry.5

Cedera paru yang dapat mengancam nyawa meliputi tension pneumothorax, open

pneumothorax, flail chest, dan terkadang hemothorax massif. Cedera pada dada merupakan

penyebab kedua asfiksia.4

Circulation. Pemeriksaan kasar pada status kardiovaskular didapatkan dengan palpasi pada nadi

perifer. Pada umumnya, tekanan sistolik 60 mmHg dibutuhkan agar nadi carotis dapat dipalpasi,

70 mmHg pada arteri femoral, dan 80 mmHg pada arteri radialis.tekanan darah dan nadi harus

diperiksa setiap 15 menit.3

Hemorrhage (pendarahan)

Pendarahan luar dari luka di permukaan biasanya dapat dikenali dengan cepat dan dapat

dikontrol dengan memberikan tekanan dan elevasi pada bagian tersebut. Tekanan pada arteri

besar di aksila, antecubity, pergelangan tangan, poplitea, atau pergelangan kaki dapat

mencukupi sebagai kontrol sementara pada pendarahan arteri di distal tempat tersebut.

Akses vaskuler

Semua pasien dengan trauma berat harus dipasangkan kateter intravena secepatnya untuk

mengadministrasikan obat dan cairan yang diperlukan.

Resusitasi cairan

Secondary Survey

Setelah kondisi mengancam nyawa telah ditemukan atau ditapis, pasien diperiksa dari

puncak kepala sampai ke ujung kaki, unutk memeriksa adanya cedera. Cedera berat, pasien harus

dilepaskan seluruh pakaiannya. Perhatian khusus diberikan pada bagian punggung, aksila, dan

perineum, karena terkadang terlewatkan. Semua pasien harus menjalani rectal touché dan vaginal

touché, untuk mengevaluasi kekuatan spchinter, dan adanya darah, perforasi, atau high-riding

prostate (kondisi dimana prostat dan bagian prostat yang melekat pada uretra terlepas dari

membran uretra dan terdorong ke atas). Kateter Foley dimasukan untuk mengkompresi vesika

urinaria, mendapatkan specimen urin, dan untuk memonitor output urin. Pasien stabil dengan

resiko cedera pada uretra perlu menjalani uretrografi sebelum kateter dimasukkan. Tanda cedera

uretra meliputi darah pada meatus, hematom perineal atau skroktal, serta high-riding prostate.

Tuba nasogastric dipasang untuk menurunkan resiko aspirasi dan untuk memudahkan

pemeriksaan adanya darah samar pada cedera gastrointestinal.5,6

Rapid Trauma Assessment

Dalam 2 – 2.5 menit pertama, secara cepat, lakukan pemeriksaan fisik dari atas kepala

sampai ujung kaki meliputi DCAP-BTLS: Deformities, Contusions, Abrasions,

Punctures/penetrations, Burns, Tenderness, Lacerations, Swelling.

Prognosis

Prognosis lebih buruk pada orang yang berumur lebih tua dibandingkan dengan yang

muda. Penanganan yang cepat dan adekuat kepada volume sirkulasi dapat mencegah komplikasi

dari hipoperfusi, seperti gagal ginjal, kerusakan usus akibat iskemi, kerusakan otak dan cardiac

arrest.9

KESIMPULAN

Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi kehilangan cairan

dengan cepat dan berakhir pada kegagalan beberapa fungsi organ yang disebabkan oleh volume

sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yang tidak adekuat.

Penyebab tersering syok hipovolemik adalah kehilangan darah akibat trauma termasuk

kehilangan darah selama atau setelah pembedahan. Trauma yang dimaksud dapat berupa trauma

tajam (Penetrating Trauma) seperti fraktur pelvis atau fraktur femur dan trauma tumpul seperti

trauma tumpul abdomen (ruptur hepar,spleen, dan perforasi organ berongga) maupun trauma

tumpul dada (seperti pneumothorax, hemothorax atau hemopericardium dan temponade).

Pemeriksaan fisik selalu harus dimulai dengan penilaian jalan napas, pernapasan, dan

sirkulasi. Setelah ini telah dievaluasi dan stabil, sistem peredaran darah harus dievaluasi tanda-

tanda dan gejala shock.

Pemeriksaan laboratorium awal yang sebaiknya dilakukan antara lain: analisis Complete

Blood Count (CBC), kadar elektrolit (Na, K, Cl, HCO3, BUN, kreatinin, kadar glukosa), PT,

APTT, AGD, dan urinalisis (pada pasien yang mengalami trauma). Darah sebaiknya ditentukan

tipenya dan dilakukan pencocokan agar memudahkan bilamana diperlukan darah. Pasien dengan

hipotensi atau dengan kondisi tidak stabil harus pertama kali diresusitasi secara adekuat.

Kelas perdarahan ditetapkan berdasarkan persentase volume kehilangan darah. Namun,

perbedaan antara kelas-kelas pada pasien hipovolemik sering kurang jelas. Pengobatan harus

agresif dan lebih diarahkan oleh respon terhadap terapi dibandingkan dengan klasifikasi awal.

Tiga tujuan penanganan kegawatdaruratan pasien dengan syok hipovolemik antara lain:

memaksimalkan pengantaran oksigen-dilengkapi dengan ventilasi yang adekuat, peningkatan

saturasi oksigen darah, dan memperbaiki aliran darah. Jalan napas pasien sebaiknya dibebaskan

segera dan stabilisasi jika perlu; mengontrol kehilangan darah lebih lanjut; dan, resusitasi cairan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Manuaba IB. Penuntun anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Penerbit Departemen

Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005.

2. Tambayong J. Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2005.

3. Macho J, Krupski W, Lewis F. Management of the injured patient. In: Way L, Doherty

G. Current surgical diagnosis & treatment. 11th ed. India: Mcgraw-Hill;2003. Pg 231 -

55.

4. Kolecki P. Brown P, editor. Hypovolemic shock. Diunduh dari:

http://emedicine.medscape.com/article/760145-overview , 9 November 2013.

5. Burch J, Franciose R, Moore E. Trauma. In: Brunicardi C, et al. Schwartz’s principles of

surgery. 8th edition. USA: Mcgraw-Hill ;2005. Pg 129 – 43.

6. Hoyt D, Coimbra R, Acosta J. management of acute trauma. In: Townsend C,

Beauchamp D, Evers M, Mattox K. Sabiston textbook of surgery.18th

edition.

Philadelphia: Saunders Elsevier;2008. Pg 483-5.

7. Eliastam M, Sternbach GL, Bresler MJ. Santasa H, editor. Penuntun kedaruratan medis.

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2007.

8. Sabiston. Oswari J, editor. Buku ajar bedah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC,

2004.

9. Mulholland MW, Doherty GM. Complications in surgery. Edisi ke-2. Philadeplhia:

Lippincott Williams and Wilkins, 2012.