48
PRESENTASI KASUS SYOK PERDARAHAN PERIOPERATIF Penyusun: Hiro Putra Faisal, S.Ked (060614353) Hubertus Hosti H, S.Ked (0606143543) Narasumber: Dr. Aries Perdana, Sp.An Departemen Anestesiologi FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA Jakarta, November 2007 BAB I

Syok Hipovolemik (Bertus Hiro)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

preskas

Citation preview

PRESENTASI KASUS

SYOK PERDARAHAN PERIOPERATIF

Penyusun:

Hiro Putra Faisal, S.Ked (060614353)

Hubertus Hosti H, S.Ked (0606143543)Narasumber:

Dr. Aries Perdana, Sp.AnDepartemen AnestesiologiFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA

Jakarta, November 2007

BAB I

PENDAHULUANSyok adalah keadaan dimana perfusi jaringan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan. Syok hipovolemik terjadi akibat kehilangan cairan intra vaskular. Syok hemoragik adalah syok hipovolemik yang disebabkan kehilangan darah yang banyak akibat perdarahan. Perdarahan yang terjadi dapat terbuka atau tersembunyi dalam organ tubuh. Syok hemorargik yang akan dibahas dalam makalah ini adalah syok hemorargik perioperatif, yaitu syok yang terjadi preoperatig, intraoperatif, ataupun postoperatif.

Epidemiologi kematian akibat trauma mencapai 150.000 kematian setiap tahunnya di Amerika Serikat di mana hipovolemia berat akibat perdarahan menjadi faktor utama dalam hampir setengah jumlah kematian tersebut.

Pasien yang kehilangan darah akan mengalami masa hipotensi sampai akhirnya pemberian infus cairan tidak dapat menyelamatkan nyawa pasien tersebut. Hal ini disebut sebagai syok ireversibel. Sebagian klinisi percaya bahwa pasien syok dapat diresusitasi dengan pemberian cairan, koreksi hipotermia dan pemberian obat inotropik. Tapi tetap saja masih banyak pasien yang meninggal tidak hanya karena efek akut dari syok ireversibel tapi juga dari efek syok berat yang lama.

Penatalaksanaan pasien syok tidak hanya pada awal saja karena sebenarnya banyak pasien yang tetap mengalami kegagalan sirkulasi setelah perdarahan berat ditangani. Hal ini terjadi karena koagulopati dan hipotermia berat. Pada pasien dengan perdarahan kecil namun terus menerus dapat terjadi asidosis dan hipotermia. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang baik mengenai bagaimana penanganan syok hemorargik perioperatif. Langkah-langkah apa saja yang perlu dilakukan, bagaimana langkah selanjutnya, dan kapan transfusi darah diperlukan

Pada makalah ini dibahas mengenai evaluasi dan penatalaksanaan awal kehilangan darah akut. Penatalaksanaan syok hemoragik yang akan dibahas meliputi penangana awal, pemberian resusitasi cairan, transfusi darah, dan penghentian perdarahan yang masih berlangsung.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKAII.1 Cairan Tubuh dan Kehilangan Darah

Terdapat cairan sedikitnya setengah dari berat badan pada orang dewasa yang sehat. Volume total cairan (dalam liter) sebanding dengan 60% berat badan (dalam kilogram) pada pria, dan 50% pada wanita. Jumlah cairan dan perkiraan volume darah berdasarkan berat badan ditunjukkan pada tabel 1.1Tabel 1. Cairan Tubuh dan Volume Darah

CairanPriaWanita

Total cairan tubuh600 mL/kg500 mL/kg

Whole blood66 mL/kg60 mL/kg

Plasma40 mL/kg36 mL/kg

Eritrosit26 mL/kg24 mL/kg

Respons Kompensasi

Hilangnya darah memicu respons kompensasi tertentu yang membantu untuk mempertahankan volume darah dan perfusi jaringan. Respons yang paling awal meliputi perpindahan cairan interstisial ke dalam kapiler. Pengisian transkapiler ini dapat menggantikan sekitar 15% dari volume darah, namun hal ini menyebabkan terjadinya kekurangan cairan interstisial.

Kehilangan darah yang akut juga memicu aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron oleh ginjal, untuk mempertahankan kadar natrium. Natrium yang dipertahankan berdistribusi dalam cairan ekstraseluler. Karena cairan interstisial menyusun sekitar 2/3 cairan ekstraseluler, natrium yang dipertahankan akan membantu menggantikan kekurangan cairan interstisial yang diakibatkan oleh pengisian transkapiler. Kemampuan natrium untuk menggantikan kekurangan cairan interstisial, bukan volume darah interstisial, merupakan alasan bahwa cairan kristaloid yang mengandung natrium klorida (cairan salin) lebih disukai sebagai cairan resusitasi untuk perdarahan akut.

Dalam beberapa jam setelah onset perdarahan, sumsum tulang mulai meningkatkan produksi sel darah merah. Respons ini terbentuk secara perlahan-lahan, dan penggantian sepenuhnya eritrosit yang hilang dapat dicapai dalam 2 bulan.

Respons kompensasi ini dapat mempertahankan volume darah yang adekuat pada kasus perdarahan sedang (misalnya kehilangan < 15% volume darah). Saat darah yang hilang melebihi 15% volume darah, umumnya diperlukan penggantian volume darah.

Perdarahan Progresif

The American College of Surgeons mengidentifikasi 4 kategori perdarahan akut berdasarkan persentase volume darah yang hilang.2Kelas I. Kehilangan 15% atau kurang dari volume darah total. Derajat hilangnya darah ini umumnya dikompensasi secara penuh dengan pengisian transkapiler. Karena volume darah dapat dipertahankan, manifestasi klinis hanya minimal atau bahkan tidak ada.

Kelas II. Kehilangan 15 hingga 30% dari volume darah total. Manifestasi klinis pada tahap ini dapat meliputi perubahan ortostatik pada denyut jantung dan tekanan darah. Bagaimanapun, manifestasi klinis tersebut tidak konsisten. Vasokonstriksi akibat rangsangan simpatik mempertahankan tekanan darah dan perfusi organ-organ vital, namun keluaran urin dapat turun menjadi 20 atau 30 mL/jam, dan aliran splanknik juga dapat terpengaruh. Hipoperfusi splanknik merupakan hal yang diperhatikan karena dapat memicu penghancuran sawar intestin dan translokasi mikroba dan sitokin inflamasi, sehingga pada tahap ini dapat terjadi inflamasi sistemik dan gagal organ multipel.

Kelas III. Kehilangan 30 hingga 40% dari volume darah total. Hal ini menandai timbulnya syok hipovolemik dekompensasi, di mana vasokonstriktor yang berespons terhadap perdarahan tidak lagi mampu mempertahankan tekanan darah dan perfusi organ. Konsekuensi klinisnya meliputi hipotensi dan penurunan keluaran urin (umumnya 5 hingga 15 mL/jam). Pada tahap ini, vasokonstriksi sistemik hanya sedikit atau hilang, sehingga menyebabkan hipotensi yang hebat.Kelas IV. Kehilangan lebih dari 40% dari volume darah total. Ditemukan hipotensi dan oliguria pada tahap ini (keluaran urin dapat < 5 ml/jam), dan perubahan ini dapat ireversibel.

II.2 Evaluasi Klinis

Evaluasi klinis pada pasien-pasien yang mengalami perdarahan bertujuan untuk menentukan seberapa besar kekurangan volume darah dan pengaruhnya terhadap aliran sirkulasi dan fungsi organ.1,3,4Anamnesis dan Pemeriksaan FisikAnamnesis pada pasien dengan syok hemoragik dilakukan untuk mengetahui sebab dan jumlah darah yang keluar akibat terjadinya perdarahan seperti mekanisme trauma, lama perdarahan, dan kelainan yang terdapat pada pasien. Selain itu, perlu ditanyakan penanganan pre rumah sakit terutama pemberian cairan, perubahan tanda vital, dan lama penanganan yang diberikan.Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi:

1. Kepala, telinga, mata, hidung, dan tenggorokan

a. Sumber perdarahan biasanya terlihat

b. Aliran darah kulit kepala banyak dan dapat menghasilkan perdarahan yang signifikan

c. Perdarahan intrakranial terutama pada usia muda

2. Dada

a. Perdarahan rongga toraks dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik

b. Hemotoraks dapat meliputi distres pernapasan, penurunan bunyi napas, dan perkusi pekak

c. Tension hemothorax3. Abdomen

a. Perlukaan terhadap hati atau limpa adalah penyebab umum syok perdarahan. Ruptur spontan aneurisma aorta abdominal dapat juga menyebabkan perdarahan intraabdominal berat dan syok

b. Darah dapat mengiritasi rongga peritoneal dan dapat menimbulkan nyeri tekan dan peritonitis

c. Distensi abdominal progresif pada syok perdarahan menjadi temuan pada perdarahan intraabdominal

4. Pelvis

a. Fraktur dapat menyebabkan perdarahan masif

b. Ekimosis pada panggul belakang dapat mengindikasikan perdarahan retroperitoneal

5. Ekstremitas

a. Perdarahan ekstremitas dapat terlihat atau tersembunyi

b. Fraktur femur dapat menyebabkan kehilangan darah signifikan

6. Sistem Saraf

a. Agitasi dapat dilihat pada tahap awal syok perdarahan

b. Penurunan kesadaran dapat timbul apabila terjadi hipoperfusi serebral

Tanda Vital

Takikardi (denyut nadi > 90 kali per menit) sering diasumsikan sebagai hal yang umum ditemukan pada pasien hipovolemik, namun pada posisi terlentang tidak dtemukan takikardi pada mayoritas pasien dengan perdarahan sedang hingga berat. Kenyataannya, dapat lebih sering ditemukan bradikardi pada perdarahan akut. Hipotensi (tekanan darah sistolik < 90 mmHg) pada posisi terlentang juga merupakan penanda perdarahan akut yang tidak sensitif. Hipotensi umumnya timbul pada hipovolemia tahap lanjut, saat kehilangan darah melebihi 30% dari volume darah total. Metode yang digunakan untuk mengukur tekanan darah merupakan pertimbangan yang penting pada pasien yang mengalami perdarahan, karena pada tahap aliran rendah, pengukuran noninvasif sering memberikan nilai rendah yang palsu. Untuk mendapatkan hasil yang sebenarnya, direkomendasikan pemeriksaan intraarterial langsung untuk memonitor tekanan darah pada pasien yang mengalami perdarahan.

Hematokrit

Penggunaan hematokrit (dan konsentrasi hemoglobin dalam darah) untuk menentukan luasnya perdarahan akut cukup sering dilakukan meskipun tidak pada tempatnya. Perubahan kadar hematokrit tidak terlalu berkorelasi dengan kurangnya volume darah dan eritrosit pada perdarahan akut. Perdarahan akut meliputi kehilangan whole blood, dengan penurunan yang proporsional pada volume plasma dan eritrosit. Akibatnya, hematokrit tidak akan berubah secara signifikan pada periode awal setelah darah hilang. Bila resusitasi volume tidak dilakukan, pada akhirnya hematokrit akan menurun karena hipovolemia mengaktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron, sehingga memicu ginjal untuk mempertahankan natrium dan air dan menambah volume plasma. Proses ini dimulai pada 8 hingga 12 jam setelah perdarahan akut dan diperlukan beberapa hari untuk benar-benar terbentuk.

Resusitasi cairan dan hematokrit

Penurunan hematokrit pada jam-jam pertama setelah perdarahan akut umumnya merupakan hasil dari resusitasi volume dibandingkan perdarahan yang sedang berlangsung. Infus salin (NaCl 0,9%) meningkatkan volume plasma secara selektif dan karenanya menurunkan hematokrit tanpa mempengaruhi volume sel darah merah. Semua resusitasi cairan yang bebas sel lainnya menunjukkan efek dilusional yang serupa terhadap eritrosit. Perubahan kadar hematokrit akibat tiap-tiap tipe cairan resusitasi ditunjukkan pada tabel 3.

Tabel 3. Pengaruh Cairan Resusitasi terhadap Hematokrit

Cairan ResusitasiPerubahan Hematokrit yang Diharapkan

Cairan asanguinusMenurun

Whole bloodTidak ada perubahan

Packed red cellsMeningkat

Pengukuran hemodinamik secara invasif

Kateter vena sentral digunakan secara rutin pada pasien hipovolemik, dan dengan kateter ini dapat dilakukan pengukuran tekanan pada vena kava superior, yang ekuivalen dengan tekanan pengisian pada sisi kanan jantung. Dengan kateter ini juga dapat dilakukan pengukuran saturasi oksihemoglobin pada vena sentral (ScvO2), yang dapat digunakan untuk mengevaluasi keseimbangan oksigen jaringan secara menyeluruh.

Kateter arteri pulmoner dapat digunakan untuk memandu manajemen pasien yang tidak stabil secara hemodinamik, dan dengan kateter ini dapat dilakukan pengukuran cardiac output dan transpor oksigen sistemik.

Parameter transpor oksigen

Monitor parameter transpor oksigen dapat mengidentifikasi pasien dengan syok hipovolemik. Hipovolemia progresif menyebabkan penurunan yang konstan pada distribusi O2 sistemik (DO2), namun pada tahap hipovolemia, pengambilan O2 sistemik (VO2) tidak menunjukkan perubahan. Kondisi ini (di mana VO2 konstan meskipun volume darah berkurang) dikenal sebagai hipovolemia terkompensasi, dan hal ini ditandai dengan peningkatan ekstraksi O2 untuk berkompensasi hingga menurunkan distribusi O2. Saat ekstraksi O2 mencapai level maksimumnya dari sekitar 50% (yang berarti 50% dari molekul hemoglobin melepaskan oksigennya ke dalam kapiler), VO2 mulai menurun sebagai respons terhadap penurunan DO2. Titik di mana VO2 (konsumsi O2) mulai menurun adalah saat munculnya metabolisme anaerob dan syok hipovolemik.

Hipovolemia terkompensasi didefinisikan sebagai VO2 normal (> 100 mL/m2) dan ekstraksi O2 yang kurang dari 50 %, sedangkan syok hipovolemik didefinisikan sebagai VO2 rendah yang abnormal (< 100 mL/menit/m2) dan ekstraksi O2 sebesar 50%.

Parameter Asam-Basa

Terdapat dua pengukuran keseimbangan asam basa yang dapat memberikan informasi mengenai adekuasi oksigenasi jaringan, yaitu: defisit basa arteri dan konsentrasi laktat arteri. Keduanya digunakan sebagai penanda oksigenasi jaringan yang terganggu.

Defisit basa arteri

Defisit basa adalah jumlah (dalam milimol) basa yang diperlukan untuk mentitrasi 1 L whole blood menjadi pH 7,40 ( pada temperatur 37 C dan PCO2 40 mmHg). Karena defisit basa diukur sat PCO2 normal, hal ini dianggap sebagai penanda gangguan asam-basa non respiratorik yang lebih spesifik dibandingkan bikarbonat serum. Pada pasien yang mengalami luka atau perdarahan, defisit basa yang meningkat merupakan penanda asidosis global yang menyeluruh dari oksigenasi yang terganggu.

Satu keuntungan dari defisit basa adalah avaibilitas. Sebagian besar analis gas darah menentukan defisit basa dengan menggunakan nomogram PCO2/ HCO3, dan hasilnya termasuk dalam laporan gas darah. Defisit basa dapat pula dihitung dengan persamaan berikut, di mana BD adalah defisit basa dalam mmol/L, Hb adalah konsentrasi hemoglobin dalam darah, dan HCO3 adalah konsentrasi bikarbonat serum.

BD = [(1-0,014 Hb) x HCO3] 24 + [(9,5 + 1,63 Hb) x (pH -7,4)]

Kisaran normal defisit basa adalah +2 hingga -2 mmoL/L. Peningkatan defisit basa yang abnormal diklasifikasikan sebagai ringan (-2 hingga -5 mmol/L), sedang (-6 hingga -14 mmol/L), dan berat (< -15 mmol/L).

Studi klinis pada pasien trauma menunjukkan koreksi langsung antara besarnya peningkatan defisit basa dan banyaknya kehilangan darah. Koreksi defisit basa dalam beberapa jam setelah penggantian volume dikaitkan dengan hasil yang lebih baik, sedangkan peningkatan defisit basa yang persisten sering menuju ke arah gagal organ multipel.

Konsentrasi laktat arteri

Konsentrasi laktat dalam darah merupakan penanda gangguan oksigenasi jaringan dan faktor prognostik pada syok sirkulasi. Whole blood atau konsentrasi laktat serum di atas 2 mEq/L dianggap sebagai keadaan abnormal. Jika dibandingkan dengan defisit basa, level laktat darah menunjukkan korelasi yang lebih erat antara besarnya perdarahan dengan risiko kematian akibat hemoragi. Nilai prediksi laktat serum tidak ditentukan pada penilaian awal namun juga dilakukan saat resusitasi volume. Peningkatan defisit laktat serum yang persisten meskipun dilakukan resusitasi volume, menunjukkan prognosis yang buruk.

II.3 Penatalaksanaan Syok Hemorargik

Penatalaksanaan pasien dengan syok hemoragik adalah resusitasi cairan. Selain itu dicari sumber perdarahan dan dilakukan usaha menghentikan perdarahan yang terjadi. Seperti halnya resusitasi kasus lain, jalan napas dan pernapasan (airway dan breathing) tetap diperhatikan.2,5 Kombinasi dari syok dan gagal napas mengakibatkan mortalitas yang sangat tinggi. Dengan demikian setiap pasien syok harus diberikan oksigen tinggi menggunakan masker. Bila pernapasan tidak adekuat, intubasi secepatnya dilakukan.

Perdarahan luar yang terlihat segera dikontrol dengan penekanan lokal. Bila usaha resusitasi menunjukkan kemungkinan perdarahan intraabdominal atau perdarahan intratorakal yang sedang berlangsung. Pemeriksaan yang rumit seminimal mungkin dilakukan dan usaha operasi definitif secepatnya dilakukan.

II.4 Dasar Resusitasi Cairan

Keberhasilan dalam penanganan pasien dengan hipovolemi ditentukan oleh penggantian cairan dengan cepat, di mana angka kematian akibat syok hipovolemik secara langsung berhubungan dengan derajat dan durasi hipoperfusi organ. Di bawah ini dibahas mengenai resusitasi cairan dan hal-hal yang berhubungan.4Kanulasi Vena

Hal yang perlu dipikirkan dalam resusitasi cairan adalah akses pemberian cairan. Pada pasien dengan trauma multipel berat syok hemoragik, akses vena diperlukan untuk mengembalikan cairan yang hilang. Faktor yang mempengaruhi akses vena adalah letak anatomis vena, beratnya cedera pada tubuh serta kemampuan dan pengalaman dokter yang menolong. Akses vena tidak boleh diberikan pada ekstremitas yang terluka. Jika terdapat cedera pada tubuh dibawah difragma, akses vena setidaknya pada vena yang berhulu pada vena kave superior. Pada pasien dengan trauma dada dan abdomen, akses vena diberikan pada satu vena di atas dan satu vena di bawah diafragma. Kateter yang digunakan sebaiknya yang pendek dengan diameter yang besar. Terdapat kecenderungan untuk melakukan kanulasi vena sentral untuk resusitasi karena vena yang lebih besar memungkinkan jumlah cairan masuk lebih banyak. Walaupun begitu laju volume infus tidak bergantung pada besar vena melainkan pada panjang kateter vena. Kateter yang digunakan pada kanulasi vena sentral panjangnya bisa mencapai 15-20 cm sementara kateter vena perifer hanya 5 cm saja. Dengan begitu untuk resusitasi cairan pada hipovolemi, kanulasi vena perifer pendek lebih dipilih dibanding kanulasi vena sentral yang panjang.

Diameter kateter yang besar akan menghasilkan laju yang lebih cepat. Laju yang sangat cepat dapat dicapai dengan penggunaan kateter introducer. Panjang kateter ini adalah 12,5-15 cm dengan diameter 2,7-3 mm. Kateter introducer umumnya digunakan pada pemasangan kateter vena sentral tapi alat ini dapat digunakan bila diinginkan laju infus yang cepat. Dengan gaya gravitasi, laju cairan viskositas rendah bebas sel lewat kateter ini mencapai 15 ml/detik, sedikit lebih rendah dari kateter vena biasa dengan diameter 3 mm yaitu 18 ml/detik.

Menurut acuan dari ATLS, pada kasus syok hemoragik, akses vena yang disarankan adalah dua infus vena dengan diameter besar. Pilihan pertama adalah infus perifer seperti vena pergelangan tangan dan punggung tangan, pada fosa antekubiti dan vena savena. Tempat lain yang jarang dipilih adalah vena femoralis dan jugularis. Vena subklavia dan jugular interna sebaiknya tidak secara rutin diberikan pada syok hipovolemik. Komplikasinya tinggi dan keberhasilannya rendah karena vena sering kolaps. Akses cairan melalui vena perifer dapat menjadi sulit pada pasien syok hipovolemik dengan vena yang sudah kolaps, edema, kegemukan, jaringan parut, riwayat penggunaan obat intravena dan luka bakar. Pada keadaan tertentu akses vena sentral dengan kateter diameter besar dapat dicoba pada vena femoral secara perkutan atau vena seksi. Akses vena subklavia menyediakan akses cepat dan aman di tangan ahli. Komplikasi tersering adalah pneumotoraks. Pneumotoraks terjadi pada paru kiri karena secara anatomis pleura pada paru kiri lebih tinggi. Komplikasi lainnya seperti perforasi vena atau arteri atau emboli udara vena. Pada pasien trauma, akses vena jugular jarang digunakan karena kecurigaan trauma servikal.

Aliran Cairan Resusitasi

Terdapat tiga jenis cairan resusitasi, yaitu:

1. Cairan yang mengandung sel darah merah (whole blood dan konsentrat eritrosit/ packed cells)

2. Cairan yang mengandung molekul-molekul besar yang kemampuan terbatas untuk keluar dari pembuluh darah (cairan koloid)

3. Cairan yang hanya mengandung elektrolit (natrium dan klorida) dan molekul-molekul kecil yang dapat keluar masuk pembuluh darah secara bebas (cairan kristaloid)

Laju aliran ketiga jenis cairan resusitasi ini bergantung pada viskositasnya. Cairan yang mengandung sel darah merah adalah satu-satunya cairan resusitasi yang memiliki viskositas lebih tinggi dari air. Viskositas yang tinggi ini adalah akibat dari kepadatan eritrosit atau hematokrit. Dengan demikian laju aliran whole blood lebih rendah dari air dan albumin 5% sementara aliran packed RBCs adalah yang paling lambat. Aliran yang lambat ini dapat ditingkatkan dengan pemberian tekanan pada kolf darah menggunakan manset. Dapat juga ditambahkan cairan garam faal pada infus yang dapat menurunkan viskositas darah. Kesalahpahaman yang sering terjadi adalah pernyataan bahwa laju aliran koloid lebih rendah dibanding laju aliran cairan kristaloid atau air. Viskositas adalah fungsi dari densitas sel sehingga laju aliran cairan tanpa sel sama dengan laju aliran air.

II.5 Strategi Resusitasi

Resusitasi yang dilakukan dalam mengatasi syok hemorargik terdrir atas dua tahap yaitu resusitasi dini (early resuscitation) dan resusitasi lambat (late resuscitation).6 Pembagian kedua tahapan ini dikarenakan adanya suatu siklus yang menyebabkan resusitasi tidak dapat dilakukan hanya di awal saja. Ketika terjadi syok hemorargik dan dilakukan resusitasi cairan, akan terjadi dilusi dari sel darah merah yang akan mengurangi pengantaran oksigen. Hal tersebut akan menyebabkan hipotermia dan koagulopati. Selain itu, cairan tubuh yang meningkat akan meningkatkan tekanan darah, dan karena adanya efek reversal dari vasokonstriksi pembuluh darah akan menyebabkan perdarahan yang semakin banyak sehingga membutuhkan lebih banyak cairan resusitasi. Pada akhirnya, siklus kenaikan tekanan darah dalam waktu singkat, perdarahan yang makin banyak, dan kembali ke hipotensi akan terjadi terus menerus bila resusitasi tidak dilakukan dalam dua tahap.

Resusitasi dini dilakukan ketika perdarahan aktif masih berlangsung pada pasien. Resusitasi lambat dilakukan setelah seluruh perdarahan dapat dikontrol. Karena dilakukan pada kondisi yang berbeda, maka tujuan dari kedua resusitasi ini berbeda.

Tujuan dari resusitasi dini adalah:6 Mempertahankan tekanan darah sistolik pada level 80-100 mmHg.

Mempertahankan hematokrit 25-30%.

Mempertahankan PT dan PTT pada kisaran normal.

Mempertahankan trombosit > 50.000.

Mempertahankan kalsium terionisasi serum dalam batas normal.

Mempertahankan suhu > 35(C.

Mempertahankan fungsi oksimetri denyut.

Mencegah peningkatan serum laktat.

Mencegah perburukan asidosis.

Setelah perdarahan terkontrol, resusitasi akan memasuki fase selanjutnya yaitu fase lambat. Tujuan dari resusitasi fase lambat adalah: 6 Mempertahankan tekanan darah sistolik di atas 100 mmHg.

Memperahankan hematokrit di atas batas transfusi individu.

Normalisasi status koagulasi.

Normalisasi keseimbangan elektrolit.

Normalisasi temperatur tubuh.

Mengembalikan output urin ke batas normal.

Maksimalisasi curah jantung dengan metode invasif maupun non invasif.

Memperbaiki asidosis sistemik.

Menurunkan laktat ke batas normal.

Pada saat resusitasi fase lambat ini dilakukan, pemberian cairan tetap dilakukan sampai diyakini sudah terjadi perfusi sistemik yang adekuat.

Tujuan utama penggantian cairan pada kehilangan darah akut adalah mempertahankan ambilan oksigen (VO2) oleh jaringan dan mempertahankan kelangsungan metabolisme aerobik.4 Cairan pengganti logikanya sesuai dengan cairan yang keluar atau yang mendekati. Kontroversi masih terjadi seputar penggunaan cairan kristaloid maupun koloid sebagai pengembang plasma. Pendukung koloid berpendapat bahwa resusitasi menggunakan koloid lebih cepat dan aman bagi paru-paru. Sementara pengguna kristaloid berpendapat bahwa kristaloid lebih tepat menangani syok karena menggantikan cairan intravaskular dan ekstravaskular (karena pada syok terjadi pengecilan volume cairan ekstraselular). Kristaloid lebih murah walaupun dibutuhkan volume yang lebih besar (dibutuhkan 2-4 kali cairan kristaloid agar efek resusitasinya sama dengan koloid). Cairan koloid memiliki efek alergi lebih sedikit. Walaupun begitu tidak terdapat bukti yang mengharuskan seseorang menggunakan salah satu cairan. Penggunaan kedua cairan bersama-sama sering digunakan dalam klinis sehari-hari.

Penggunaan cairan hipertonik seperti NaCl 3% untuk mengembangkan plasma dan resusitasi telah dipikirkan. Hal ini terjadi karena osmolalitas yang meningkat menyebabkan air dari ekstravaskular akan tertarik masuk ke dalam. Dibutuhkan volume cairan hipertonik yang sedikit untuk mendapatkan hasil akhir yang fisiologis. Namun penggunaan cairan ini sebenarnya pada resusitasi cairan masih belum bisa ditentukan. Darah sebaiknya diberikan bila kehilangan darah yang signifikan terjadi. Tujuannya adalah meningkatkan penghantaran oksigen ke jaringan. Strategi resusitasi yang digunakan untuk mempertahankan VO2 sesuai dengan rumus berikut:

VO2 = Q x Hb x 13,4 x (SaO2- SvO2)

Kehilangan darah akut mempengaruhi dua komponen pada rumus ini yaitu curah jantung (Q) dan konsentrasi hemoglobin dalam darah (Hb). Dengan begitu resusitasi mencakup bagaimana cara meningkatkan curah jantung dan mengoreksi kekurangan hemoglobin.

Meningkatkan Curah Jantung

Konsekuensi dari curah jantung yang menurun jauh lebih membahayakan dari konsekuensi anemia, jadi prioritas pertama dalam penatalaksanaan pasien dengan perdarahan adalah meningkatkan curah jantung.

Cairan resusitasi dan curah jantung

Kemampuan setiap jenis cairan untuk meningkatkan curah jantung dinilai dengan mengukur dan membandingkan infus whole blood (1 unit = 450 ml), packed cells (2 unit = 500 ml), dextran-40 (500 ml). Didapatkan efek infus ketiga cairan ini selama satu jam dalam meningkatkan curah jantung adalah sama. Sedangkan kemampuan cairan Ringer laktat (1 L) adalah dua kali cairan lainnya. Bila dibandingkan volume per volume maka cairan koloid adalah yang paling efektif. Koloid dua kali lebih efektif dibanding whole blood, enam kali lebih efektif dari packed cells dan delapan kali lebih efektif dibanding cairan kristaloid (RL). Kemampuan darah yang terbatas untuk meningkatkan curah jantung adalah karena efek viskositas darah. Jika peningkatan curah jantung adalah prioritas pertama dalam penatalaksanaan perdarahan akut maka darah bukanlah cairan yang dipilih sebagai terapi awal resusitasi cairan.

Cairan koloid dan kristaloid

Kedua jenis cairan ini memiliki viskositas mendekati air karena keduanya tidak mengandung sel. Perbedaan keduanya adalah pada distribusi volume cairannya. Cairan kristaloid tersusun atas natrium yang terdistribusi merata pada cairan ekstraselular. Plasma darah mewakili 20% cairan ekstraselular sehingga cairan kristaloid yang mengisi pembuluh darah hanya 20% cairan yang masuk. Delapan puluh persen sisanya akan keluar ke cairan interstisial. Cairan koloid di lain pihak akan menambah volume plasma karena molekul koloid yang besar tidak dengan mudah keluar pembuluh darah. Sekitar 75 atau 80% cairan infus koloid akan tetap berada di ruang vaskular dan menambah volume plasma paling tidak pada jam-jam awal infus. Peningkatan curah jantung adalah efek dari peningkatan preload (peningkatan volume darah) dan efek penurunan afterload (efek dilusi dari viskositas darah). Berikut poin penting dalam resusitasi cairan:

Cairan koloid lebih efektif dari whole blood, packed cells dan cairan kristaloid untuk meningkatkan curah jantung

Konsentrat eritrosit relatif tidak efektif untuk meningkatkan curah jantung sehingga sebaiknya tidak digunakan sendirian pada resusitasi

Cairan koloid menambah volume plasma sementara cairan kristaloid menambah volume interstisial

Untuk mendapatkan efek yang sama pada curah jantung, volume infus cairan kristaloid setidaknya tiga kali lebih banyak dari volume infus cairan koloid

Walaupun cairan koloid lebih superior dibanding kristaloid, penggunaannya tidak sepopuler kristaloid. Hal ini dikarenakan kurangnya dokumentasi yang membuktikan keuntungan koloid pada pasien yang diresusitasi. Terjadinya edema pitting pada pasien yang menerima cairan kristaloid yang banyak bukan berarti volume plasma telah kembali normal karena hipovolemia umumnya muncul bersama peningkatan cairan interstisial. Pada sumber lain didapatkan bahwa untuk mengembalikan volume plasma tidak hanya diperlukan cairan kristaloid. Pada pasien berat, hanya 20% dari 1000 ml kristaloid tetap berada dalam sirkulasi setelah infus selama 1 jam dan 40 menit kemudian semua cairan kristaloid telah pindah ke jaringan interstisial. Pada kondisi edema perifer dapat diberikan albumin 25% yang akan meningkatkan tekanan osmotik koloid dan mengisi volume plasma dengan menarik air dari interstisial. Kemudian dapat digunakan diuretik untuk mengurangi volume plasma. Pada sebuah studi, 500 ml albumin 5% bertahan dalam sirkulasi selama 3,5-4,5 jam, sementara 500 ml hidroksietil starch selama 5-6 jam dan dextran 40 dan gelatin selama 1-2 jam. Cairan kristalod sendiri selama 40 menit.

Memperkirakan volume cairan total

Pendekatan yang digunakan adalah sebagai berikut:

Memperkirakan jumlah volume darah normal. Caranya adalah dengan menghitung berat badan dikali 66 ml (laki-laki) atau 60 ml (perempuan).

Memperkirakan jumlah darah yang keluar. Kelas I bila kehilangan darah < 15% volume darah, kelas II bila kehilangan darah 15-30% volume darah, kelas III bila kehilangan darah 30-40% dan kelas IV bila kehilangan darah lebih dari 40% volume darah.

Menghitung defisit volume dengan mengkalikan volume darah normal dikali % kehilangan darah

Menghitung jumlah cairan untuk masing-masing jenis cairan yang dibutuhkan dengan anggapan bahwa peningkatan volume darah adalah 100% volume infus whole blood, 50-75% volume infus cairan koloid dan 20-25% volume infus cairan kristaloid. Volume resusitasi setiap cairan dihitung dari defisit volume dibagi persen retensi cairan. Sebagai contoh jika defisit volume 2 L dan cairan resusitasi yang digunakan adalah koloid (50-75% tertahan di intra vaskular) maka volume resusitasi adalah 2/0,75 = 3 L hingga 2/0,5 = 4 L cairan koloid.

Tabel 4. Estimasi Volume Resusitasi

Tahapan DeterminasiJumlah Volume

1. Estimasi volume darah normal (BV)BV = 66mL/kg ()

= 60 mL/kg ()

2. Estimasi % volume darah yang hilangKelas I: < 15%

Kelas II: 15-30%

Kelas III: 30-40%

Kelas IV: > 40%

3. Kalkulasi defisit volume (VD)VD = BV x % BV yang hilang

4. Determinasi volume resusitasi (RV)RV = VD x 1,5 (koloid)

= VD x 4 (kristaloid)

Setelah volume penggantian total dihitung, kecepatan penggantian cairan dihitung berdasarkan kondisi klinis pasien.

Pemantauan Resusitasi

Selama resusitasi perlu dipantau laju jantung, tekanan darah, frekuensi napas, urin yang keluar, status mental dan suhu tubuh. Vena sentral dapat digunakan untuk memantau preload pada ventrikel kanan. Pemeriksaan laboratorium rutin termasuk diantaranya gas darah, elektrolit dan keseimbangan asam basa, fungsi hati dan ginjal, gula darah, hematologi dan koagulasi rutin. Kadar laktat cukup sering digunakan untuk mengetahui efektivitas dukungan kardiovaskular.

Hasil Akhir Resusitasi

Tujuan resusitasi syok hemoragik adalah mengembalikan tiga parameter yaitu aliran darah, transpor oksigen dan oksigenasi jaringan. Parameter tersebut berupa poin-poin berikut:

Indeks kardiak = 3 L/ menit/ m2 Distribusi oksigen sistemik (DO2) > 500 mL/menit/m2 Pengambilan oksigen sistemik (VO2) > 100 mL/menit/m2 Kadar laktat arterial < 2 mmol/L atau defisit basa > -2 mmol/L

Sayangnya tidak selalu mungkin untuk mencapai hasil akhir seperti di atas walaupun telah dilakukan penggantian cairan secara agresif. VO2 yang tidak meningkat menunjukkan respon yang buruk dan walaupun telah diresusitasi, prognosisnya tidak diharapkan.

Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai hasil tersebut juga menjadi penentu keberhasilan resusitasi. Pada sebuah studi, pasien dengan kadar laktat yang kembali normal dalam 24 jam, tidak didapatkan kematian. Namun pada pasien dengan kadar laktat tetap tinggi setelah 48 jam, 86% pasien meninggal. Hal ini menunjukkan bahwa pengembalian perfusi jaringan dengan cepat adalah tujuan utama resusitasi.

Koreksi Anemia

Setelah kehilangan volume darah telah digantikan dan curah jantung kembali normal, perhatian dapat diubah pada bagaimana mengkoreksi kekurangan kapasitas membawa oksigen darah. Tidak terdapat dasar rasional mengenai penggunaan hematokrit atau hemoglobin sebagai indikator diperlukannya transfusi darah karena hematokrit tidak mempresentasikan keadaan volume total eritrosit dalam darah. Hematokrit juga tidak menginformasikan keadaan oksigenasi jaringan yang mencukupi. Hematokrit akan menurun setelah infus atau diuresis, sementara pada keadaan perdarahan akut atau transfusi whole blood, kadar hematokrit relatif sama. Berdasarkan American College of Physician jika tidak ada risiko, transfusi tidak diindikasikan, tanpa melihat kadar hemoglobin.

Cara yang lebih tepat untuk menilai keadaan oksigenasi jaringan adalah dengan ekstraksi O2 yang dihitung dari kadar saturasi oksigen pada oksimeter pulsa dikurangi saturasi oksigen pada darah dari vena sentral. Bila hasilnya 50% bisa dikatakan terjadi hipoksia yang dapat menjadi indikasi dilakukan transfusi eritrosit.

Darah diindikasikan pada keadaan dimana pasien kehilangan darah masif dengan syok sedang hingga berat yang dilihat dari nadi lemah, akral dingin dan berkeringat, perubahan status mental dan hipotensi. Pada unit rumah sakit, dokter dapat segera meminta darah dengan melihat pasien trauma dengan perdarahan yang terlihat maupun tidak terlihat disertai tanda-tanda di atas pada penilaian primer.

Bila pasien mendapat transfusi darah maka perlu diperhatikan kadar kalsium dalam darah. Adanya sitrat dalam darah donor akan menurukan kalsium tubuh sehingga kadang-kadang diperlukan administrasi kalsium untuk mempertahankan kadarnya sedikitnya 1.1 mmol/l.

Pada perdarahan yang terjadi terus-menerus dapat terjadi keadaan hipotermi, asidosis dan koagulopati. Koagulopati yan terjadi dapat berupa berkurangnya fibrinogen, faktor VIII dan V dan platelet. Terjadinya koagulopati pada pasien trauma disebabkan oleh berbagai faktor. Pertama terjadi abnormalitas yang menyerupai koagulasi intravaskular diseminata (DIC). Hal ini disebabkan oleh aktivasi sistemik koagulasi dan fibrinolisis. Kedua terjadi fibrinolisis berlebihan yang mungkin disebabkan oleh pelepasan TPA (tissue plasminogen activator) oleh jaringan yang rusak. Ketiga berupa koagulasi dilusional akibat pemberian cairan yang berlebihan. Dan keempat oleh sindrom transfusi masif yang menyebabkan dilusi faktor koagulasi dan gangguan jumlah serta fungsi platelet.

Hipotermia yang terjadi adalah akibat perdarahan dan hipotensi sehingga timbul perlambatan aktivitas enzim dari protein kaskade pembekuan darah dan disfungsi platelet. Idealnya digunakan agen hemostatik yang efektif yang bekerja pada lokasi perdarahan tanpa mengaktifkan pembekuan secara sistemik. Agen-agen tersebut dapat digunakan secara topikal maupun sistemik. Agen topikal contohnya zat vasokonstriktor seperti epinefrin dan agen prokoagulan seperti trombin, fibrin hemostatik, gelatin dan spongostan. Agen hemostatik secara sistemik adalah faktor-faktor koagulasi dalam bentuk kriopresipitat dan plasma segar beku (FFP). Agen hemostatik ini akan memperkuat pembentukan trombin dan membentuk sekat fibrin yang kuat dan tahan fibrinolisis prematur. Pasien perdarahan masif dapat diuntungkan dengan pemberian faktor pembekuan intravena (rFVIIa). rFVIIa umumnya digunakan untuk menghentikan perdarahan pada hemofilia. Dengan diberikan rFVIIa, jumlah trombin meningkat sehingga terdapat cukup fibrin untuk menutup luka dan mengurangi perdarahan. Pemberian rFVIIa tidak menginduksi aktivasi koagulasi sistemik. Terjadi pemendekan PT dan PTT namun tidak mempengaruhi level trombin, fibrinogen dan hitung trombosit. Dosis inisial berkisar antara 90 hingga 110 g/kg (bolus) dan diulang setiap dua jam selama 24 jam. Interval dapat ditingkatkan sesuai respon dan keparahan perdarahan.

Adanya asidosis metabolik akibat laktat dikoreksi bila base excess lebih rendah dari -10 mmol/l dimana base excess x 0,3 BB sama dengan bikarbonat dalam mmol.

Syok Refrakter

Syok hemoragik berkepanjangan dapat menjadi sebuah keadaan reversibel dimana ekspansi volume tidak bermanfaat meningkatkan tekanan darah. Pada keadaan ini dapat digunakan vasopressin infus 1-4 mU/kg/menit. Mekanisme vasopressin tidak jelas. Pada syok hemoragik lanjut didapatkan kadar vasopresin berkurang. Dimungkinkan vasopresin berperan dalam hipotensi refrakter.

Pada kegagalan terapi dengan resusitasi cairan perlu dipikirkan kemungkinan seperti tension pneumotoraks, tamponade perikardial atau perdarahan yang masih berlangsung. Pada syok kardiogenik atau syok sepsis, dapat diberikan obat inotropik seperti adrenalin (1-20 g/menit), noradrenalin (1-20 g/menit), dopamin (1-20 g/kg per menit) dan dobutamin (1-20 g/menit).

Penggunaan diuretik

Furosemid (10-40 mg) atau mannitol (10-20 g) sering diberikan secara intravena bila oliguria terus terjadi walaupun telah diberian resusitasi cairan yang cukup. Namun tidak terdapat bukti yang jelas bahwa diuretik dapat memperbaiki perfusi ginjal atau mengurangi kemungkinan terjadinya gagal ginjal akut. Perlu diperhatikan jangan sampai diuresis menyebabkan hipovolemia atau hipokalemia.

II.6. Transfusi Darah

Tujuan dasar pemberian transfusi darah adalah oksigenasi jairngan tubuh. Dengan meningkatkan nilai Hb maka kapasitas pengangkutan oksigen ikut meningkat. Keadaan itu menjamin suplai oksigen ke jaringan yang mengalami hipoksia (oxygen delivery-dependent tissue).7

Akan tetapi, darah transfusi yang melalui proses penyimpanan mempunyai tingkat P50 yang rendah dan kadar 2,3-DPG yang berkurang. Akibatnya, daya afinitas Hb terhadap oksigen meningkat namun pelepasan oksigen ke jaringan sulit (kurva disosiasi oksigen mengarah ke kiri). P50 adalah tekanan parsial oksigen dimana 50% Hb tersaturasi dengan oksigen pada suhu 37oC dan pH 7,4.7,8Rekomendasi transfusi sel darah merah91. Transfusi sel darah merah hampir selalu diindikasikan pada kadar Hb 150 mg/dl. Indikasi (1) kadar fibrinogen