Upload
obath
View
7.115
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Semua boleh download. konsultasi bisa di 081803156945
Citation preview
17
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Partisipasi Masyarakat
1. Pengertian, Dasar dan Fungsi Partisipasi Masyarakat
a. Pengertian Partisipasi Masyarakat
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian partisipasi
adalah: Hal turut serta (pengikutsertaan dalam suatu kegiatan) baik
langsung maupun tidak langsung”.1
Adapun masyarakat menurut Raib Linton ialah: “Masyarakat
adalah setiap kelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja
sama, sehingga mereka itu dapat mengorganisasikan dirinya dan berpikir
mengenai dirinya sebagai kesatuan sosial yang mempunyai batas-batas
tertentu”.2
Dari pengertian di atas maka dapat dinyatakan bahwa pengertian
partisipasi masyarakat ialah keikutsertaan atau keterlibatan masyarakat
terhadap suatu kegiatan atau organisasi sosial untuk mewujudkan
keinginan dan kepentingan bersama, yaitu keikutsertaan masyarakat dalam
pelaksanaan dan pengembangan pendidikan.
1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1997), hlm., 732. 2 Abu Ahmadi, Pengantar Sosiologi, (Semarang: CV. Ramadhani, 1975), hlm., 35.
17
18
b. Dasar-Dasar Partisipasi Masyarakat
1) Dasar Agama
Pada hakikatnya manusia sebagai makhluq sosial, tidak lepas
dari dirinya sendiri sebagai makhluq individu, manusia tidak bisa
hidup seorang diri tanpa bantuan orang lain seperti keluarga,
masyarakat maupun negara. Untuk itu diperlukan aturan hidup
bermasyarakat. Dalam hal ini Al-Qur’an telah memberikan tuntunan
agar manusia saling membantu dalam segala aspek kehidupannya.
Sebagaimana firman Allah SWT., dalam surat Al- Maidah ayat 2 yang
berbunyi:
…. (#θ çΡuρ$yès?uρ ’n? tã Îh�É9ø9$# 3“uθ ø)−G9$#uρ ( Ÿωuρ (#θ çΡuρ$yès? ’n? tã ÉΟ øO M}$# Èβ≡uρô‰ãèø9$#uρ 4 (#θ à)̈?$#uρ ©!$# ( ¨β Î) ©!$# ߉ƒ ωx© É>$s)Ïèø9$# ∩⊄∪
Artinya: “Dan saling tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan taqwa dan janganlah tolong menolong kamu
dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Sesunguh Allah amat
besar siksanya”.3
Dari ayat di atas jelaslah bahwa ummat Islam telah
diperintahkan untuk saling tolong menolong di antara sesamanya
dalam hal kebaikan termasuk didalamnya ikut serta membangun dan
memajukan pendidikan Islam. Karena maju mundurnya pendidikan
Islam tergantung pada ummat Islam itu sendiri, bagaimana mereka
3 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: CV Jumanatul’ali-Art, 2005) hlm. 107.
19
mengembangkan dan memajukan pendidikan Islam, sehingga
pendidikan Islam itu mengalami kemajuan kearah masa depan yang
cemerlang sesuai dengan cita-cita agama Islam.
2) Dasar Yuridis Formal
Dasar yuridis formal adalah segala paraturan dan perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia yang dapat dijadikan pedoman
baik secara langsung maupun tidak langsung. Menurut Undang-
Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) pasal 54 ayat 1 dan 2
yang berbunyi:
1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran
serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi,
pengusaha dan organisasi kemasyarakatan dalam
menyelenggarakan dan mengendalikan mutu pelayanan
pendidikan.
2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana
dan pengguna hasil pendidikan.4
Dengan demikian, jelaslah bahwa partisipasi masyarakat
terhadap pelaksanaan dan pengembangan pendidikan (pendidikan
Islam) mempunyai dasar yang kuat, baik dari segi agama maupun dari
segi hukum dasar hukum negara.
c. Fungsi Partisipasi Masyarakat
Fungsi partisipasi masyarakat yang dimaksud adalah tugas atau
peran dari keikutsertaan masyarakat dalam pelaksanaan pendidikan
4 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, (Bandung: Citra Umbara, 2003), hlm., 35.
20
sehingga out-putnya sesuai dengan keinginan masyarakat, sebagaimana
diharapkan bersama. Hal ini, sejalan dengan pernyataan Kartini Kartono
yang menyatakan sebagai berikut:
Urusan pendidikan adalah urusan kita bersama yaitu:
urusan seluruh bangsa Indonesia, jelas bukan eksklusif menjadi
urusan pemimpin dan pakar-pakar pendidikan saja. Oleh karena
itu kebijakan pendidikan di tingkat nasional baru bisa berjalan
lancar atau mantap hanya berkat dukungan rakyat banyak yaitu
berupa partisipasi aktif segenap warga masyarakat.5
Dari pernyataan di atas dapat dipahami bahwa lembaga
pendidikan khususnya lembaga pendidikan Islam seperti madrasah tidak
lepas dari fungsi masyarakat dalam mencapai tujuan
penyelenggaraannya. Di samping itu partisipasi masyarakat juga untuk
menegakkan pembangunan di bidang pendidikan dalam rangka
memenuhi kebutuhan bersama akan pendidikan sekaligus mewujudkan
lembaga pendidikan yang potensial sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan serta tuntutan masyarakat dan pemerintah.
2. Bentuk-Bentuk Partisipasi Masyarakat.
Masyarakat sebagai pelaksana atau subjek kehidupan tentunya
mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap pengembangan pendidikan,
karena jika mengacu pada apa yang dinyatakan Kartono di atas, masyarakat
berfungsi sebagai pelaksana sekaligus sebagai sumber dan pemakai hasil
5 Kartini Kartono, Tujuan Pendidikan Harus Singkron dengan Tujuan Manusia, (Bandung: Mandar
Maju, 1991), hlm., 11.
21
pendidikan. Masyarakat harus punya partisipasi aktif dalam penyelenggaraan
pendidikan.
Adapun bentuk-bentuk partisipasi masyarakat secara umum dapat
berupa:
a. Fasilitas yang bersifat fisik seperti tempat dan perlengkapan
belajar di kelas, alat-alat pengajaran, buku-buku pelajaran, dan
perlengkapan berbagai praktikan, perlengkapan keterampilan, dan
lain-lain.
b. Fasilitas yang bersifat non fisik seperti waktu, kesempatan biaya
dan berbagai aturan serta kebijaksanaan pimpinan sekolah.6
Bentuk-bentuk partisipasi masyarakat tersebut dapat diklasifikasikan
menjadi tiga kelompok/bentuk, yaitu:
a. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan pendidikan.
Perencanaan pendidikan adalah hal yang sangat urgen dalam
penyelenggaraan pendidikan. Karena dari sanalah keseluruhan dari
pelaksanaan hingga kualitas dan kompetensi out put pendidikan
ditentukan. Mengingat apa yang dikatakan oleh Kartono bahwa
pendidikan adalah dari masyarkat dan untuk masyarakat, maka partisipasi
masyarkat dalam perencanaan sangatlah penting artinya.
Perencanaan dimaksud bisa berupa perumusan visi dan misi
pendidikan. Dalam perumusan visi misi ini masyarakat sangat penting ikut
6 Departemen Agama RI, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Proyek Pembinaan
Perguruan Tinggi Agama, IAIN, 1982), hlm., 113-114.
22
terlibat untuk menemukan apa sebenarnya yang menjadi persoalan dan
kebutuhan di tengah-tengah masyarakat. Dari situ akan muncul rumusan-
rumusan masalah yang nantinya akan dicarikan pemecahan dan solusi
lewat perumusan visi dan misi pendidikan.
Penyelenggaraan pendidikan yang tidak diawali dengan partisipasi
masyarakat dalam fase perencanaan, sama halnya dengan arogan. Dengan
kata lain, sekolah seperti telah benar-benar tahu terhadap apa yang
dibutuhkan dan diharapkan masyarakat darinya, sehingga tidak perlu
melibatkan mereka untuk merumuskan ke mana sebenarnya pendidikan
akan diarahkan.
b. Partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan
Hal penting lainnya yang harus melibatkan masyarakat dalam
pendidikan adalah pada penyelenggaraan pendidikan. Yang dimaksud
dengan penyelenggaraan pendidikan di sini antara lain adalah penerimaan
siswa baru, pengadaan guru, pengadaan saran dan prasarana dan
pengawasan.
Dengan keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan
pendidikan, masyarakat sambil lalu dapat mengontrol penyelenggaraan
tersebut. Hal itu di satu sisi bermanfaat untuk mendorong kesungguhan
penyelenggara pendidikan agar senantiasa profesional dan berkulitas,
sementara di sisi yang lain, keterlibatan masyarakat dalam penye-
23
lenggaraan pendidikan akan makin menebalkan rasa memiliki masyarakat
terhadap lembaga pendidikan.
Dengan hal ini loyalitas mereka dalam mendukung
keberlangsungan pendidikan diharapkan akan semakin kuat. Dengan
dukungan penuh dari masyarakat, pendidikan akan dapat berjalan dengan
efesian dan bahkan cendrung dapat menunjang kemudahan inovasi dan
pengembangannya.7
c. Partisipasi masyarakat dalam evaluasi pendidikan
Dalam pendidikan, evaluasi juga merupakan hal yang sangat
urgen. Dari evaluasi ini, diharapkan dapat tergambar seluruh aktifitas yang
dilakukan sekolah dalam rangka menjalankan program-programnya.
Lewat pelaksanaan evaluasi ini akan diketahui apa saja kekurangan-
kekurangan dan kelebihan yang ada untuk selanjutnya dicarikan tindak
lanjut berupa penanggulangan dan perbaikan terhadap kekurangan-
kekurangannya dan pengembangan terhadap kelebihan-kelebihannya.
Keterlibatan masyarakat dalam evaluasi menjadi hal penting
karena merekalah pada dasarnya objek yang membutuhkan keberadaan
pendidikan. Atas dasar kebutuhan dan semangat untuk meningkatkan taraf
hidup merekalah pendidikan diselenggarakan. Maka menjadi sangat naif
ketika dalam evaluasi pendidikan masyarakat tidak dilibatkan.
7 Sanpiah Faisal, Pengantar Dasar-Dasar Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 2003), hlm. 181
24
Dengan keterlibatan mereka dalam evaluasi, akan menjadi jelas
apa yang kurang dalam penyelenggaraan pendidikan dan apa yang perlu
ditingkatkan. Tidak hanya dalam perspektif pengelola pendidikan namun
juga dalam perspektif masyarakat sebagai ”costumer”.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat
Secara garis besar menurut Hasbullah8 ada tiga hal yang
mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pendidikan. Pertama, kesadaran
masyarakat akan pentingnya pendidikan untuk meningkatkan taraf hidup,
sejahteraan dan martabatnya. Dengan kesadaran seperti ini masyarakat akan
mempunyai pandangan bahwa penyelenggaraan pendidikan adalah semata-
mata untuk mereka. Oleh kerenanya, partisipasi mereka menjadi sebuah
keniscayaan yang tidak bisa dielakkan.
Dengan kata lain, penyelenggaraan pendidikan akan dirasa sebagai
bagian dari tanggung jawab mereka jika kesadaran bahwa penyelenggaan
pendidikan adalah dimaksudkan untuk mereka. Sebaliknya jika kesadaran
tersebut tidak ada, maka dengan sendirinya masyarakat akan menjadi apatis.
Sebab bagiamana mungkin seseorang akan dengan sukarela berpartisipasi jika
dia sendiri merasa tidak mempunyai kepentingan terhadap penyelenggaraan
dan pentingnya pendidikan.
8 Habullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada,1999), hlm. 244
25
Oleh sebab itu, juga menjadi tugas sekolah untuk memberikan
pencerahan dan penyadaran di tengah-tengah masyarakat bahwa pendidikan
sangatlah penting artinya untuk peningkatan taraf dan martabat hidup mereka.
Anggapan mereka yang semula memandang pendidikan hanyalah sebagai
formalitas, harus segera berubah menjadi sebuah kesadaran bahwa pendidikan
adalah jendela cakrawala pengetahuan yang akan mengantarkan seseorang
menjadi lebih arif dan bijaksana dalam mnenyikapi segala persoalan dalam
hidup.
Kedua, responsibility sekolah. Penyelenggara pendidikan (pihak
sekolah) mempunyai semangat dan kemauan untuk memberikan ruang-raung
atau kesempatan kepada masyarakat untuk berparitisipasi. Dengan
memberikan kesempatan atau bahkan dorongan kepada masyarakat untuk ikut
berpartisipasi terhadap penyelenggaraan pendidikan, masyarakat akan
mempunyai kesadaran akan pentingnya partisipasi mereka terhadap
penyelenggaraan pendidikan. Di samping itu, ruang-ruang yang diberikan
tersebut akan mempertebal rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat
terhadap keberadaan lembaga pendidikan.
Ketiga, regulasi. Hal ini sangat penting untuk mendorong semua pihak
agar mempunyai kemauan untuk ikut ambil bagian dalam pendidikan.
Pemerintah sebagai pengayom masyarakat yang diharapkan menjadi
pengayom untuk semua masyarakat mempunyai tanggung jawab untuk
menciptakan kondisi yang kondusif. Dalam hal pendidikan misalnya dengan
26
membuat regulasi tentang partisipasi masyarakat di dalamnya, seperti bisa
dibaca pada UU No. 20 tahun 2003 tentang pendidikan nasional bab IV pasal
8 yang berbunyi: Masayarkat berhak berperan serta dalam prencanaan,
pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan. 9
4. Upaya-upaya Meningkatkan Partisipasi Masyarakat dalam
Penyelenggaraan Pendidikan.
Setiap usaha tidaklah selalu berjalan mulus. Termasuk usaha
meningkatkan kualitas sebuah lembaga pendidikan dengan memanfaatkan
partisipasi aktif masyarakat dalam penyelenggaraannya. Karena tidak setiap
kondisi sosial budaya terbiasa dengan partisipasi sebagai salah satu bentuk
dari budaya demkrasi. Di kebanyakan daerah di Indonesia misalnya,
masyarakat masih kental dengan budaya patronase di mana seluruh kebijakan
dan kehendak mereka digantungkan kepada pemimpin yang mereka percayai
menjadi tokoh atau panutan di sekitar mereka.
Oleh karenanya, upaya meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan sebenarnya relatif rumit. Karena seperti yang
peneliti kemukakan di atas, hal ini berkaitan erat dengan cara pandang dan
kebiasaan yang dimiliki oleh sebuah komunitas atau masyarakat.
Akan tetapi sekalipun begitu peningkatan partisipasi masayarakat
haruslah tetap diusahakan. Dan seklipun harus diakui tidak gampang, hal ini
9 Ibid, hlm, 309.
27
masih bisa diusahakan. Antara lain misalnya sebagai berikut:
a) Melakukan persuasi kepada masyarakat, bahwa dengan
keikutsertaan masyarakat dalam kebijaksanaan yang dilaksanakan,
justru akan menguntungkan masyarakat sendiri.
b) Menghimbau masyarakat untuk turut berpartisipasi melalui
serangkaian kegiatan.
c) Menggunakan tokoh-tokoh masyarakat yang mempunyai khalayak
banyak untuk ikut serta dalam kebijaksanaan agar masyarakat
kebanyakan yang menjadi pengikutnya juga sekaligus ikut serta
dalam kebijaksanaan yang diimplimentasikan.
d) Mengaitkan keikutsertaan masyarakat dalam implimentasi
kebijaksanaan dengan kepentingan mereka, masyarakat memang
perlu diyakinkan, bahwa ada banyak kepentingan mereka yang
terlayani dengan baik, jika mereka berpartisipasi dalam
kebijaksanaan.
e) Menyadarkan masyarakat untuk ikut berpartisipasi terhadap
kebijaksanaan yang telah ditetapkan secara sah, dan kebijaksanaan
yang sah tersebut adalah salah satu dari wujud pelaksanaan dan
perwujudan aspirasi masyarakat.10
B. Tinjauan Teoritis tentang Penyelenggaraan Pendidikan Madrasah
1. Penerimaan siswa baru
Penerimaan siswa baru (PSB) dalam sebuah lembaga pendidikan
adalah hal yang reltif penting dalam sebuah proses pendidikan. Karena dari
sanalah kemampuan dan kekurangan seorang calon siswa diketahui. Melalui
proses tes seleksi yang dilakasanakan oleh panitia akan diketahui mana siswa
yang mempunyai kelebihan, misalnya di bidang eksakta dan mana yang
kemampuannya lebih menonjol pada segi keterampilan, kesenian atau bidang
olah raga.
10
Ibid, hlm., 82-83.
28
Jadi pada dasarnya, mengaca pada peraturan daerah yang di miliki
oleh pemerintah daerah provinsi jakarta, pada hakikatnya tidak ada penolakan
dalam proses penerimaan siswa baru, kecuali jika daya tampung di sekolah
yang bersangkutan tidak mencukupi dan ketentuan waktu proses penerimaan
siswa baru telah berakhir.11
Dengan kata lain sekolah seharusnya tida
membedakan dan atau menolak siswa yang dianggap kurang kecerdasannya.
Hal ini bersesuaian dengan UU nomor 20 tahun 2003 bab IV pasal 5 ayat 1
yang berbunyi: Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu.12
Jadi tidak semestinya ada perlakuan
yang berbeda terhadap semua siswa dalam hal penerimaannya di sekolah.
Semua warga negara yang masih dalam usia sekolah harus diberi kesempatan
yang sama. Kecuali memang mempunyai kelainan mental atau fisik dan
emosi. Hal ini diatur dalam pasal selanjutnya yang menegaskan bahwa warga
negara yang mempunyai kelainan fisik emosional, mental, intelektual, dan
atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
Menurut Hasbullah, penerimaan siswa baru itu harus berlandaskan
beberapa kriteria sebagai beriktu: Pertama objektif, artinya bahwa PSB, baik
siswa baru maupun pindahan harus memenuhi ketentuan umum yang telah
ditetapkan; Kedua, transparan, artinya PSB bersifat terbuka dan dapat
11 Pemerintah DKI Jakarta, Petunjuk Teknis Penerimaan Siswa Baru Tahun Pelajaran 2006/2007, (Jakarta: tap, 2006), hlm. 6 12 Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu..., hlm. 327-328
29
diketahui oleh masyarakat termasuk orang tua siswa, untuk menghindarkan
penyimpangan-penyimpangan yang mungkin terjadi; Ketiga, akuntabel,
artinya PSB dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat baik prosedur
maupun hasilnya; Keempat, tidak diskriminatif, artinya PSB SMA, SMALB
dan SMK tidak membedakan suku, agama, dan golongan; Kelima, kompetitif,
artinya PSB dilakukan melalui seleksi berdasarkan nilai hasil ujian nasional
pada tingkat SMP atau sederajat. 13
2. Pengadaan Guru
Keluarnya UU-RI No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan
didorong oleh kewajiban pemerintah dalam hal pengadaan guru dan terdorong
oleh rasa kekhawatiran tentang kekurangan guru di berbagai satuan
pendidikan, maka pada sebuah pasal (pasal 24 ayat 1) dinyatakan perlunya
pengadaan guru mulai dari guru TK sampai kepada guru Sekolah Menengah.
Bunyi pasal itu selengkapnya, ''Pemerintah wajib memenuhi kebutuhan guru,
baik dalam jumlah, kualifikasi akademik maupun dalam kompetensi secara
merata untuk menjamin keberlangsungan satuan pendidikan anak usia dini
jalur pendidikan formal serta untuk menjamin keberlangsungan pendidikan
dasar dan menegah yang diselenggarakan oleh pemerintah.''
Yang dimaksudkan pemerintah dalam pasal ini tidak hanya pemerintah
pusat, tetapi juga pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten atau kota.
13 Ibid, hlm. 57
30
Sesungguhnya pasal ini muncul memiliki hubungan yang sangat erat
dengan konsideran butir c yang menyatakan bahwa guru dan dosen
mempunyai fungsi, peran, dan kedudukan sangat strategis dalam
pembangunan nasional di bidang pendidikan.
Pengadaan guru yang hendak dilakukan pemerintah menganut sistem
yang cukup beragam. Pada dasarnya sistem itu dibedakan menjadi dua yaitu
pengadaan dengan cara konvensional dan lewat cara yang bersifat inovatif
seperti penyelenggaraan program Akta Mengajar, penyelenggaraan program
Belajar Jarak Jauh Universitas Terbuka (BJJ-UT), sampai kepada perekrutan
tamatan-tamatan Sekolah Menengah (SMA, SMK) menjadi guru-guru di SD
dengan catatan mereka siap di-PGSD-kan atau mengikuti pendidikan dalam-
jabatan (inservice-training).
Kalau kita mau menengok lembaran sejarah pengadaan guru ke
belakang (sebelum tahun 1961), maka kita akan menemukan yang namanya
Kursus B1, B2, dan PGSLP atau Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama.
Tamatan kursus B1 dan B2 disiapkan untuk memangku jabatan guru pada
Sekolah Menengah Atas (SMA, SMK), dan tamatan PGSLP untuk memenuhi
kebutuhan guru jenjang SMP.
Sejak tahun 1961 lembaga pendidikan guru sekolah menengah
diintegrasikan ke perguruan tinggi terdekat (IKIP, STKIP, FKIP, FKG-FIP),
sedangkan untuk guru SD disediakan wadah dengan nama Sekolah
Pendidikan Guru disingkat SPG.
31
Lembaga pendidikan guru yang disebut terakhir, sejak awal tahun
1990-an diintegrasikan lagi ke perguruan tinggi terdekat dengan nama
program Diploma Dua Pendidikan Guru Sekolah Dasar (D2-PGSD). Dengan
diundangkannya Undang-undang Guru dan Dosen, maka D2-PGSD harus
pasrah merenungi nasib karena dalam waktu yang tak terlalu lama akan
ditingkatkan statusnya menjadi program Strata Satu disingkat S1-PGSD.
Kenapa ditingkatkan statusnya? Karena dalam undang-undang tersebut
dinyatakan bahwa setiap guru (TK-SM) harus berkualifikasi sarjana, minimal
program S1.
3. Pelaksanaan Kurikulum
Kurikulum adalah komponen vital dalam sebuah pendidikan. Melalui
kurikulum, seluruh visi, misi aspirasi dan cita-cita bersama akan out put
pendidikan direalisasikan. Ketika penyusunan dan pelaksanaa kurikulum ini
berhasil, maka berhasil pulalah sebuah penyelenggaraan pendidikan.
Sebaliknya, jika penyusunan dan pelaksanaa kurikulum ini gagal, maka gagal
pulalah penyelenggaraan pendidikan tersebut.
Oleh karenanya, penyusunan dan pelaksanaan kurikulum harus
dilaksanakan dengan baik, tepat dan akurat sesuai dengan semangat yang
tersirat dalam visi, misi dan cita-cita pendidikan. Dalam pelaksanaan
kurikulum menurut Ishak bin Ramly setidaknya ada tujuh prinsip yang dapat
32
digunakan sebagai landasan.14
Tujuh prinsip tersebut antara lain sebagai
beriktu:
Pertama, pelaksanaan kurikulum didasarkan pada potensi,
perkembangan dan kondisi peserta didik untuk menguasai kompetensi
yang berguna bagi dirinya. Dalam hal ini peserta didik harus
mendapatkan pelayanan pendidikan yang bermutu, serta memperoleh
kesempatan untuk mengekspresikan dirinya secara bebas, dinamis dan
menyenangkan.
Kedua, kurikulum dilaksanakan dengan menegakkan kelima
pilar belajar, yaitu: (a) belajar untuk beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, (b) belajar untuk memahami dan menghayati,
(c) belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif, (d)
belajar untuk hidup bersama dan berguna bagi orang lain, dan (e)
belajar untuk membangun dan menemukan jati diri, melalui proses
pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.
Ketiga, pelaksanaan kurikulum memungkinkan peserta didik
mendapat pelayanan yang bersifat perbaikan, pengayaan, dan/atau
percepatan sesuai dengan potensi, tahap perkembangan, dan kondisi
peserta didik dengan tetap memperhatikan keterpaduan pengembangan
pribadi peserta didik yang berdimensi ke-Tuhanan, keindividuan,
kesosialan, dan moral.
Keempat, kurikulum dilaksanakan dalam suasana hubungan
peserta didik dan pendidik yang saling menerima dan menghargai,
akrab, terbuka, dan hangat, dengan prinsip tut wuri handayani, ing
madia mangun karsa, ing ngarsa sung tulada (di belakang memberikan
daya dan kekuatan, di tengah membangun semangat dan prakarsa, di
depan memberikan contoh dan teladan).
Kelima, kurikulum dilaksanakan dengan menggunakan
pendekatan multistrategi dan multimedia, sumber belajar dan
teknologi yang memadai, dan memanfaatkan lingkungan sekitar
sebagai sumber belajar, dengan prinsip alam takambang jadi guru
(semua yang terjadi, tergelar dan berkembang di masyarakat dan
lingkungan sekitar serta lingkungan alam semesta dijadikan sumber
belajar, contoh dan teladan).
Keenam, kurikulum dilaksanakan dengan mendayagunakan
kondisi alam, sosial dan budaya serta kekayaan daerah untuk
14 Ishak bin Ramly, Inilah Kurikulum Sekolah, (Jakarta: PTS Prefessional, 2005), hlm. 47
33
keberhasilan pendidikan dengan muatan seluruh bahan kajian secara
optimal.
Ketujuh, kurikulum yang mencakup seluruh komponen
kompetensi mata pelajaran, muatan lokal dan pengembangan diri
diselenggarakan dalam keseimbangan, keterkaitan, dan
kesinambungan yang cocok dan memadai antara kelas dan jenis serta
jenjang pendidikan.
Semua prinsip ini akan menjadi rel yang akan mengarahkan poses
pelaksanaan kurikulum agar benar-benar efektif dan efesien. Akan tetapi perlu
diakui bahwa pada akhirnya sebuah kurikulum akan tetap merupakan
dokumen, yang akan menjadi kenyataan apabila terlaksana di lapangan dalam
proses pembelajaran yang baik. Pembelajaran, baik di kelas maupun di luar
kelas, bila dilaksanakan secara efektif akan mampu membangkitkan aktivitas
dan kreativitas anak. Dalam hal ini para pelaksana kurikulum (baca:guru)
yang akan membumikan kurikulum ini dalam proses pembelajaran.
Dengan menciptakan pembelajaran yang menyenangkan dan
mengasyikkan bagi anak, sehingga anak betah di sekolah. Dengan keinginan
tersebut, maka sebuah proses pembelajaran diupayakan bersifat mendidik,
mencerdaskan, membangkitkan aktivitas dan kreativitas anak, efektif,
demokratis, menantang, menyenangkan, dan mengasyikkan. Dengan spirit
seperti itulah kurikulum ini akan menjadi pedoman yang dinamis bagi semua
penyelenggara pendidikan dan pengajaran di sebuah lembaga pendidikan.
4. Pelaksanaan Supervisi
Beberapa contoh implementasi otonomi daerah bidang pendidikan
menunjukkan bahwa kenyataan yang terjadi tidak selamanya sesuai dengan
34
yang diharapkan. Hal yang sama juga terjadi pada implementasi Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS). Tidak semua sekolah yang menerapkan MBS
memetik keberhasilan yang sama. Bahkan, tidak jarang sekolah yang
mengalami hambatan dan kendala dalam menerapkan Manajemen Berbasis
Sekolah, baik dalam proses maupun hasil yang dicapai.
Salah satu faktor kelemahan dan penyebab kegagalan sekolah dalam
menerapkkan Manajemen Berbasis Sekolah dan mewujudkan sekolah efektif
adalah lemahnya supervisi. Ketika semua komponen sekolah memiliki
kewenangan atau otonomi untuk melakukan apa saja sesuai dengan
tanggungjawabnya, mereka sering lupa untuk melakukan supervisi atau
memperoleh supervisi.
Guru merasa memiliki otonomi untuk melakukan apa saja tanpa
merasa perlu supervisi yang mereka anggap intervensi dari kepala sekolah,
pengawas, dinas pendidikan atau yayasan sekolah. Kepala sekolah yang
merasa memiliki otonomi melakukan apa saja dalam lingkup sekolah tanpa
merasa perlu melakukan atau memperoleh supervisi. Demikian juga pengawas
dan yayasan, juga merasa bahwa guru atau kepala sekolah telah memiliki
otonomi dan dianggap tahu apa yang harus dilakukan, sehingga pengawas
seringkali melaksanakan supervisi hanya untuk memenuhi tugas semata.
Dalam konteks inilah hadirnya supervisor yang handal termasuk
pengawas dalam menjalankan supervisi benar-benar diharapkan dan
merupakan suatu keharusan. Jika terjadi penyimpangan atau pelanggaraan,
35
hambatan, kendala atau permasalahan, serta hal-hal lain terutama yang terkait
dengan pembelajaran, maka dengan adanya supervisi hal itu dapat diantisipasi
dan segera dapat diatasi.
Supervisi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari serangkaian
kegiatan pengelolaan (manajemen), termasuk manajemen pendidikan dan
manajemen pembelajaran. Kegiatan supervisi merupakan salah satu kegiatan
yang sangat penting dan berarti dalam upaya mengetahui suatu program dan
kegiatan. Berhasil tidaknya suatu kegiatan dalam suatu organisasi dapat
dilihat dari kinerja yang dihasilkannya. Hal yang sama juga berlaku di dunia
pendidikan, berhasil atau tidaknya satuan pendidikan (sekolah) juga dapat
dilihat dari kinerja sekolah tersebut.
Salah satu indakator sekolah yang berhasil apabila sekolah tersebut
dapat memberikan pelayanan pendidikan yang berkualitas dan efektif, baik di
tingkat kelas (kualitas pembelajaran) maupun di tingkat sekolah (kualitas
pengelolaan sekolah). Untuk membantu keberhasilan sekolah dan untuk
menjamin sekolah melaksanakan aktivitasnya yang sesuai standar, diperlukan
supervisi secara periodik dan berkesinambungan dengan perencanaan dan
arah yang jelas.
Agar dapat melaksanakan supervisi dengan efektif, pengawas harus
memahami prinsip-prinsip dalam melaksanakan supervisi. Dalam buku
Pedoman Pelaksanaan Supervisi yang diterbitkan oleh Ditjend Dikdasmen
(1994) disebutkan bahwa ada empat prinsip dalam melaksanakan supervisi,
36
yaitu: (1) ilmiah (scientific); (2) demokrasi; (3) kooperatif; (4) konstruktif dan
kreatif.15
Pertama, ilmiah. Supervisi harus memenuhi prinsip ilmiah, artinya
bahwa supervisi hendaknya dilakukan secara (a) sistematis, teratur,
terprogram, dan berkesinambungan; (b) objektif berdasarkan pada
data/informasi yang sebenarnya; (c) menggunakan instrumen yang dapat
memperoleh data/informasi yang akurat, dapat dianalisis dan dapat mengukur
ataupun menilai proses pembelajaran.16
Kedua, demokrasi. Bahwa dalam melaksanakan kegiatan supervisi,
seorang supervisor hendaknya melaksanakan tugasnya dengan asas
musyawarah, memiliki jiwa kekeluargaan yang kuat serta menghargai dan
sanggup menerima pendapat orang lain.
Ketiga, kooperatif. Dalam melaksanakan kegiatan supervisi,
supervisor hendaknya dapat mengembangkan usaha bersama untuk
menciptakan situasi pembelajaran yang lebih baik.
Keempat, konstruktif dan kreatif. Dalam melaksanakan supervisi,
supervisor hendaknya dapat membina inisiatif guru serta mendorongnya untuk
terlibat aktif dalam menciptakan situasi pembelajaran yang lebih baik.
15 Hendiyat Soetopo, Wasty Soemanto, Kepemimpinan dan Supervisi Pendidikan, (Jakarta:Bina Aksara,1984), hlm.234. 16 Ibid, hlm. 236
37
Selain itu dapat ditambahkan pula bahwa supervisi harus memiliki
tujuan dan indikator yang jelas. Tujuan (dan indikator) yang jelas merupakan
prinsip dasar yang harus ada dalam melaksanakan supervisi. Seorang
pengawas tidak akan mungkin melaksanakan kegiatan supervisi apabila tidak
memiliki tujuan yang jelas, sebagaimana dinyatakan oleh Blandford (2000:
51), “agreed targets should be stated clearly”. Target atau tujuan yang hendak
dicapai termasuk indikatornya, harus dinyatakan secara jelas. Blandford
memberikan prinsip-prinsip dalam penyusunan target atau tujuan yang
disingkat dalam akronim SMARTES: Specific, Manageable, Appropriate,
Realistic, Time-constrained, Informative, Evaluated, Stimulating.
5. Pengadaan Sarana dan Prasarana
Setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot,
peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya,
bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang
proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan. Saran dan prasarana di
maksud meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang
pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang
bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa,
tempat berolahraga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat berkreasi, dan
ruang atau tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran
yang teratur dan berkelanjutan.
38
Madrasah swasta sebagai lembaga pendidikan yang pada dasarnya
dikelola secara mandiri sangat memerlukan partisipasi masyarakat dalam
pengadaan sarana dan prasarananya. Tanpa partisipasi mereka, madrasah akan
sulit sekali memenuhi kebutuhannya terhadap sarana. Hal ini telah disinggung
secara tersirat dalam UU nomor 20 tahun 2003 bab IV pasal 9 yang berbunyi:
Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumberdaya dalam
penyelenggaraan pendidikan.17
Secara tidak langsung pasal ini sebenarnya
ingin menegaskan bahwa masyarkat berkewajiban memberikan bantun segala
sumber daya yang bisa membantu terlaksananya sebuah proses pendidikan di
tengah-tengah mereka. Baik itu berupa dana, sarana dan prasarana, dana dan
lain sebagainya yang sekiranya akan membuat proses pendidikan tersebut bisa
berjalan dengan baik dan efektif.
Selain masyarakat, dalam UU nomor 20 tahun 2003 juga disebutkan
bahwa pemerintah dan atau pemerintah daerah juga berkewajiban untuk turut
membantu terselenggaranya penndidikan di masyarakat. Hal tersebut
tercermin dalam pasal pasal 11 ayat satu yang berbunyi: Pemerintah dan
pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta
menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga
negara tanpa diskriminasi.18
dari pasal ini kita bisa memahami bahwa
pemerintah sebagai pengayom dan pelindung masyarakat, seharusnya juga
17 Habullah, Dasar-Dasar Ilmu..., hlm. 309 18 Ibid, hlm. 309
39
menjamin terselenggaranya pendidikan yang layak untuk warganya. Untuk
madarasah swasta bisa dengan menambahi apa yang sebelumnya telah
dipenuhi masyarakat dengan cara swadaya.
6. Pelaksanaan Evaluasi
Dalam melaksanakan evaluasi pendidikan hendaknya dilakukan secara
sistematis dan terstruktur. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya
bahwa evaluasi pendidikan secara garis besar melibatkan 3 unsur yaitu input,
proses dan out put. Apabila prosesdur yang dilakukan tidak bercermin pada 3
unsur tersebut maka dikhawatirkan hasil yang digambarkan oleh hasil evaluasi
tidak mampu menggambarkan gambaran yang sesungguhnya terjadi dalam
proses pembelajaran. Langkah-langkah dalam melaksanakan kegiatan evaluasi
pendidikan secara umum adalah sebagai berikut :
Pertama, perencanaan (mengapa perlu evaluasi, apa saja yang
hendak dievaluasi, tujuan evaluasi, teknikapa yang hendak dipakai,
siapa yang hendak dievaluasi, kapan, dimana, penyusunan instrument,
indikator, data apa saja yang hendak digali, dsb)
Kedua, pengumpulan data (tes, observasi, kuesioner, dan
sebagainya sesuai dengan tujuan)
Ketiga, verifiksi data (uji instrument, uji validitas, uji
reliabilitas, dsb)
Keempat, pengolahan data (memaknai data yang terkumpul,
kualitatif atau kuantitatif, apakah hendak di olah dengan statistikatau
non statistik, apakah dengan parametrik atau non parametrik, apakah
dengan manual atau dengan software (misal : SAS, SPSS)
Kelima, penafsiran data, (ditafsirkan melalui berbagai teknik
uji, diakhiri dengan uji hipotesis ditolak atau diterima, jika ditolak
mengapa? Jika diterima mengapa? Berapa taraf signifikannya?)
interpretasikan data tersebut secara berkesinambungan dengan tujuan
40
evaluasi sehingga akan tampak hubungan sebab akibat. Apabila
hubungan sebab akibat tersebut muncul maka akan lahir alternatif
yang ditimbulkan oleh evaluasi itu.19
C. Korelasi Antara Parisipasi Masyarakat dengan Penyelenggaraan Pendidikan
Madrasah
Dalam rangka mewujudkan visi dan misi madrasah sesuai dengan
paradigma baru manajemen pendidikan, disarankan perlunya memberdayakan
masyarakat dan lingkungan madrasah secara optimal. Hal ini penting karena
madrasah memerlukan masukan dari masyarakat dalam menyusun program yang
relevan, sekaligus memerlukan dukungan masyarakat dalam melaksanakan
program tersebut. Dari sisi lain, masyarakat memerlukan jasa madrasah untuk
mendapatkan program-program pendidikan yang sesuai dengan yang diinginkan.
Made Pidarta dalam bukunya Peranan Kepala Sekolah Pada Pendidikan Dasar
mengatakan:
Sekolah merupakan bagian dari masyarakat, sebab pendirian
sekolah dimaksudkan untuk membina anak-anak dan para remaja dari
masyarakat bersangkutan. Sekolah adalah milik masyarakat dan untuk
kepentingan masyarakat. Sebab itu sekolah tidak boleh menjadi menara
gading, mengisolasi diri dari masyarakat. Sebaliknya sekolah harus
menyatu dengan masyarakat sekaligus menjadi agen pembaharu
masyarakat.20
Sebagai bagian dari masyarakat, madrasah harus membina hubungan
dengan masyarakat. Satu misal dengan cara ikut berpartisipasi dalam kegiatan-
19 Mansyur Moehammad, Evaluasi Pendidikan Agama, (Jakarta:Songo Abdi Inti, 1982), hlm. 37 20 Made Pidarta, Peranan Kepala Sekolah Pada Pendidikan Dasar, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 1995), hlm. 126.
41
kegiatan yang dilaksanakan oleh kelompok-kelompok yang ada di tengah-tengah
masyarakat. Ikut berpartisipasi dengan masyarakat merupakan titik tolak untuk
bekerjasama dalam usaha meningkatkan hubungan antara madrasah dengan
mereka. Maksud dari hubungan tersebut menurut Fuad Ihsan adalah:
Untuk mengembangkan pemahaman tentang maksud-maksud dan
sasaran-sasaran dari sekolah;untuk menilai program sekolah; untuk
mempersatuan orang tua murid dan guru dalam memenuhi kebutuhan-
kebutuhan anak didik; untuk mengembangkan kesadaran tentang
pentingnya pendidikan sekolah dalam era pembangunan; untuk
membangun dan memelihara kepercayaan masyarakat terhadap sekolah;
untuk memberitahu msyarakat tentang pekerjaan sekolah; untuk
mengerahkan dukungan dan bantuan bagi pemeliharaan dan peningkatan
program sekolah.21
Hubungan madrasah dengan masyarakat sangat besar manfaat dan artinya
bagi kepentingan pembinaan dukungan moral, material, dan pemanfaatan
masyarakat sebagai sumber belajar. Selanjutnya bagi masyarakat, dapat
mengetahui berbagai hal mengenai madrasah dan inovasi-inovasi yang
dihasilkan, menyalurkan kebutuhan berpartisipasi dalam pendidikan melalui
tekanan dan tuntutan terhadap madrasah.
Model manajemen hubungan madrasah dengan masyarakat merupakan
seluruh proses kegiatan madrasah yang direncanakan dan diusahakan secara
sengaja dan bersungguh-sungguh, serta pembinaan secara terus menerus untuk
mendapatkan simpati masyarakat pada umumnya, khususnya masyarakat yang
berkepentingan langsung dengan madrasah. Dengan demikian, kegiatan
21 Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997), hlm. 34
42
oprasional pendidikan, kinerja, dan produktifitas madrasah diharapkan semakin
efektif dan efesien.
Semangat menciptakan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan
pendidikan tercermin dalam UU No. 20 tahun 2003 yang menyebutkan bahwa:
Komite sekolah/madrasah, sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan
berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan
pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, saran dan prasarana serta
pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan.22
Maka semakin dekat hubungan antara sekolah dengan masyarakat, akan
semakin efesien pulalah sebuah penyelenggaraan pendidikan. Sebab seperti
peneliti singgung dalam bagian terdahulu, dengan partisipasi masyarakat sebuah
penyelenggaraan pendidikan akan mempunyai arah yang jelas dan sesuai dengan
aspirasi masayrakat. Tanpa partisipasi masayarakat, penyelenggaraan pendidikan
akan seperti berdiri di ruang hampa, karena penyelenggaraan pendidikan bisa
dipastikan tidak betul-betul atas dasar kehendak, harapan serta kebutuhan
masyarakat.
22 Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu..., hlm. 327-328