Upload
rusmin-usman
View
19
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
hjv
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Cairan intravena
Kehilangan cairan terjadi setiap saat dan mutlak diganti agar metabolisme tubuh dapat
berlangsung normal. Harus ada keseimbangan antara jumlah air yang berasal dari
masukkan serta dari hasil oksidasi karbohidrat, lemak dan protein dan pada satu pihak
lain dengan keluarnya air melalui ginjal, paru, kulit dan saluran cerna. Keseimbangan air
ini dikelola dengan pengaturan masukkan dan pengeluaran. Air tubuh terdapat di dalam
sel (intrasel) dan di luar sel (ekstrasel). Cairan extraselular meliputi cairan interstisial dan
plasma yang mempunyai komposisi sama. Natrium merupakan kation terpenting
sedangkan anion terpenting adalah klorida dan bikarbonant. Kation terpenting pada
intrasel adalah kalium dan magnesium sedangkan anion terpenting adalah fosfat organik,
protein dan sulfat. Biasanya perubahan komposisi plasma darah mencerminkan
perubahan yang terjadi dalam semua cairan tubuh. Kehilangan cairan normal
berlangsung akibat pemakaian energi yang dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu
kehilangan cairan insensibel, produksi urin serta kehilangan cairan melalui tinja. Selain
itu dapat terjadi kehilangan cairan abnormal yang disebabkan oleh berbagai penyakit
yang berupa pengurangan masukkan cairan atau peningkatan pengeluaran cairan.
Pemenuhan cairan berdasarkan kehilangan cairan akibat penyakit dan kehilangan yang
tetap berlangsung secara normal. Cara pemberian cairan akibat kehilangan oleh karena
penyakit bisa diberikan secara oral ataupun parenteral. Perlu diperhatikan bahwa
sebaiknya pemberian cairan diusahakan secara oral tapi pada keadaan yang tidak
memungkinkan, dapat pula diberikan secara intravena. Dalam pelaksanaannya pemberian
cairan secara intravena pada bayi dan anak yang sakit perlu diperhatikan hal-hal seperti
pemilihan jenis cairan, jumlah dan lama pemberian yang disesuaikan dengan keadaan
penyakit dan gejala klinik lainnya karena terdapat perbedaan komposisi, metabolisme
dan derajat kematangan sistem pengaturan air dan elektrolit.
Syok Hipovolemik
Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi kehilangan
cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ, disebabkan oleh
volume sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yang tidak adekuat.
Paling sering, syok hipovolemik merupakan akibat kehilangan darah yang cepat (syok
1
haemoragik). Kehilangan darah dari luar yang akut akibat trauma tembus dan perdarahan
gastrointestinal yang berat merupakan dua penyebab yang paling sering pada syok
hemoragik. Syok hemoragik juga dapat merupakan akibat dari kehilangan darah yang
akut secara signifikan dalam rongga dada dan rongga abdomen. Dua penyebab utama
kehilangan darah dari dalam yang cepat adalah cedera pada organ padat dan rupturnya
aneurisma aorta abdominalis. Syok hipovolemik dapat merupakan akibat dari kehilangan
cairan yang signifikan (selain darah). Dua contoh syok hipovolemik yang terjadi akibat
kehilangan cairan, antara lain gastroenteritis refrakter dan luka bakar yang luas.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Syok
Syok adalah suatu sindrom klinis akibat kegagalan akut fungsi sirkulasi
yangmenyebabkan ketidakcukupan perfusi jaringan dan oksigenasi jaringan, dengan akibat
gangguan mekanisme homeostasis. Berdasarkan penelitian Moyer dan Mc Clelland tentang
fisiologi keadaan syok dan homeostasis, syok adalah keadaan tidak cukupnya pengiriman
oksigen ke jaringan.
Syok hipovolemik disebut juga syok preload yang ditamdai dengan menurunnya
volume intravaskuler oleh karena perdarahan. Syok hipovolemik juga bisa terjadi karena
kehilangan cairan tubuh yang lain. Menurunnya volume intravaskuler menyebabkan
penurunan volume intraventrikel kiri pada akhir diastole yang akibatnya juga menyebabkan
menurunnya curah jantung (cardiac output). Keadaan ini juga menyebabkan terjadinya
mekanisme kompensasi dari pembuluh darah dimana terjadi vasokonstriksi oleh katekolamin
sehingga perfusi makin memburuk.
Fase Syok
Secara fisiologis, syok hipovolemik dibagi menjadi 4 fase :
1. Fase Inisial
Pada fase ini, gejala dan tanda yang muncul tidak terlalu signifikan karena
tubuh masih mentoleransi jumlah cairan yang hilang. Namun, pasien dapat cepat
berpindah ke fase berikutnya bahkan tidak melewati fase ini apabila jumlah cairan
yang hilang dari tubuh cukup banyak.
Gejala dan tanda :
- Tekanan darah menurun 5-10 mmHg
- Denyut jantung agak meningkat
2. Fase Kompensasi
Pada fase ini tubuh berusaha lebih keras untuk mengkompensasi hilangnya volume
cairan, sehingga akan terjadi perubahan besar pada tanda vital. Pemberian resusitasi
cairan dan pencegahan kehilangan cairan lebih lanjut pada fase ini sangat penting.
Gejala dan tanda:
- Penurunan tekanan darah 10-15 mmHg
- Takikardi (untuk mencukupi jumlah cardiac output)
- Takipnea (sebagai kompensasi terhadap penurunan perfusi jaringan)
3
- Peningkatan aliran darah ke organ vital (otak, paru-paru, dan jantung)
- Penurunan jumlah urin
- Vasokontriksi perifer : Akral dingin, peningkatan capillary refill time
3. Fase Progresif
Apabila tubuh tidak dapat mengkompensasi kehilangan cairan yang terjadi, maka
syok akan berlanjut pada fase ini. Pada fase ini akan terjadi hipotensi yang
menyebabkan perfusi pada organ vital menurun yang kemudian dapat berujung pada
kerusakan organ.
Gejala dan tanda :
- Penurunan tekanan darah
- Nadi meningkat dan lemah
- Penurunan vaskularisasi pada kulit, abdomen, dan ginjal :
o Kulit dingin
o Penurunan bising usus akibat motilitas usus yang menurun
o Penurunan jumlah urin
4. Fase Refraktor
Pada fase ini telah terjadi kerusakan organ multipel yang bersifat irreversible.
Gejala dan tanda:
- Hipoksia
- Oligouria
- Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)1
Derajat Syok Hipovolemik
Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, syok hipovolemik merupakan kondisi
dimana terjadinya kehilangan volume sirkulasi yang berujung pada kegagalan organ akibat
perfusi yang inadekuat. Syok hipovolemik sendiri paling sering disebabkan oleh perdarahan.
Selain itu dapat juga disebabkan oleh dehidrasi. Berdasarkan jumlah darah yang hilang, maka
syok hipovolemik dibagi menjadi 4 kelas :2
4
Etiologi
Syok hipovolemik disebabkan oleh penurunan volume darah efektif. Kekurangan
volume darah sekitar 15 sampai 25 persen biasanya akan menyebabkan penurunan tekanan
darah sistolik, sedangkan defisit volume darah lebih dari 45 persen umumnya fatal. Syok
hipovolemik disebabkan oleh perdarahan (internal atau eksternal) atau karena kehilangan
cairan ke dalam jaringan kontusio.
Syok hipovolemik yang dapat disebabkan oleh hilangnya cairan intravaskuler,
misalnya terjadi pada :
1) Kehilangan darah atau syok hemoragik karena perdarahan pada organ dalam seperti
hemothoraks, ruptura limpa, dan kehamilan ektopik terganggu.
2) Trauma yang berakibat fraktur tulang besar, dapat menampung kehilangan darah yang
besar. Misalnya fraktur humerus menghasilkan 500-1000 ml perdarahan atau fraktur
femur menampung 1000-1500 ml perdarahan.
3) Kehilangan cairan intravaskular lain yang dapat terjadi karena kehilangan protein
plasma atau cairan ekstraseluler, misalnya pada :
Gastrointestinal : peritonitis, pankreatitis, dan gastroenteritis.
Renal : terapi diuretik, krisis penyakit Addison.
Luka bakar ( kombusio) dan anafilaksis
Pada syok, konsumsi oksigen dalam jaringan menurun akibat berkurangnya aliran
darah yang mengandung oksigen atau berkurangnya pelepasan oksigen ke dalam jaringan.
Kekurangan oksigen di jaringan menyebabkan sel terpaksa melangsungkan metabolisme
5
anaerob dan menghasilkan asam laktat. Keasaman jaringan bertambah dengan adanya asam
laktat, asam piruvat, asam lemak, dan keton. Yang penting dalam klinik adalah fokus
perhatian syok hipovolemik yang disertai asidosis adalah saturasi oksigen yang perlu
diperbaiki serta perfusi jaringan yang harus segera dipulihkan dengan penggantian cairan.2
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang muncul sebanding dengan volume darah yang berkurang.
Semakin banyak volume darah yang hilang, semakin berat gejala klinis yang dapat ditemui.
1. Takikardi
Terjadi karena tubuh berusaha mencukupi cardiac output. Seperti yang diketahui,
cardiac ouput merupakan hasil perkalian antara stroke volume dengan heart rate (CO
= HR x SV). Pada keadaan syok hipovolemik, yang terjadi adalah penurunan stroke
volume, sehingga untuk tetap mempertahankan cardiac output, maka kompensasi
yang dilakukan adalah dengan meningkatkan heart rate.
2. Nadi yang cepat dan lemah
Berhubungan dengan poin sebelumnya, akibat denyut jantung yang meningkat, maka
denyut nadi juga akan meningkat, namun lemah akibat volume vaskuler yang
menurun pada keadaan syok serta pengalihan vaskularisasi ke organ vital yaitu otak,
paru, dan jantung.
3. Hipotensi
Hipotensi terjadi akibat volume darah yang berkurang, yang kemudian menyebabkan
venous return menurun dan lama-kelamaan tekanan darah juga akan menurun sebagai
hasil dari volume sirkulasi yang menurun.
4. Perubahan Status Mental
Hal ini terjadi akibat penurunan perfusi oksigen ke otak. Pasien akan menunjukkan
gejala seperti agitasi. Penurunan kesadaran dapat terjadi apabila terjadi kehilangan
darah yang lebih dari 2 liter.
5. Penurunan Jumlah Urin
Akibat pengalihan vaskularisasi ke otak, jantung, dan hati, maka akan terjadi
penurunan aliran darah ke ginjal yang bermanifestasi klinis pada penurunan jumlah
urin.
6. Akral Dingin
6
Hal ini juga disebabkan oleh hal yang sama, yaitu peningkatan aliran darah ke organ
vital, dan penurunan aliran darah ke tempat lain yang berarti penurunan perfusi ke
kulit sehingga kulit teraba dingin, dan lembab, terutama daerah akral.1
Patofisiologi
Tubuh manusia berespon terhadap perdarahan akut dengan mengaktivasi sistem fisiologi
utama sebagai berikut: sistem hematologi, kardiovaskuler, ginjal, dan sistem neuroendokrin.
1. Sistem hematologi
Sistem hematologi berespon terhadap kehilangan darah yang berat dan akut
dengan mengaktivasi kaskade koagulasi dan vasokonstriksi pembuluh darah (melalui
pelepasan tromboksan A2 lokal). Selain itu, platelet diaktivasi (juga melalui
pelepasan tromboksan A2 lokal) dan membentuk bekuan darah immatur pada sumber
perdarahan. Pembuluh darah yang rusak menghasilkan kolagen, yang selanjutnya
menyebabkan penumpukan fibrin dan menstabilkan bekuan darah. Dibutuhkan waktu
sekitar 24 jam untuk menyempurnakan fibrinasi dari bekuan darah dan menjadi
bentuk yang sempurna.
2. Sistem Kardiovaskuler
Sistem kardiovaskuler pada awalnya berespon terhadap syok hipovolemik
dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas miokard, dan
vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Respon ini terjadi akibat peningkatan
pelepasan norepinefrin dan penurunan ambang dasar tonus nervus vagus (diatur oleh
baroreseptor di arcus caroticus, arcus aorta, atrium kiri, dan penbuluh darah
pulmonal). Sistem kardiovaskuler juga berespon dengan mengalirkan darah ke otak,
jantung, dan ginjal dengan mengurangi perfusi kulit, otot, dan traktus gastrointestinal.
3. Sistem Renal
Sistem renalis berespon terhadap syok hemoragik dengan peningkatan sekresi
renin dari apparatus juxtaglomeruler. Renin akan mengubah angiotensinogen menjadi
angiotensin I, yang selanjutnya akan dikonversi menjadi angiotensin II di paru-paru
dan hati. Angotensin II mempunyai 2 efek utama, yang keduanya membantu
perbaikan keadaan pada syok hemoragik, yaitu vasokonstriksi arteriol otot polos, dan
menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron bertanggungjawab
pada reabsorbsi aktif natrium dan akhirnya akan menyebabkan retensi air.
4. Sistem Neuroendokrin
7
Sistem neuroendokrin berespon terhadap syok hemoragik dengan meningkatan
Antidiuretik Hormon (ADH) dalam sirkulasi. ADH dilepaskan dari glandula pituitari
posterior sebagai respon terhadap penurunan tekanan darah (dideteksi oleh
baroreseptor) dan terhadap penurunan konsentrasi natrium (yang dideteksi oleh
osmoreseptor). Secara tidak langsung ADH menyebabkan peningkatan reabsorbsi air
dan garam (NaCl) pada tubulus distalis, duktus kolektivus, dan lengkung Henle.2,3
Pemeriksaan Penunjang
- Darah Lengkap
- Analisa Gas Darah
- Kadar Elektrolit (Na, K, Cl)
- Tes faal ginjal (ureum, kreatinin, BUN)
- Golongan darah (bila perlu transfusi darah)
- Tes kehamilan
- EKG (untuk monitoring jantung)4
Penatalaksanaan
Penanggulangan syok dimulai dengan tindakan umum yang bertujuan untuk
memperbaiki perfusi jaringan, memperbaiki oksigenasi tubuh, dan mempertahankan suhu
tubuh. Tindakan ini tidak bergantung pada penyebab syok. Diagnosis harus segera ditegakkan
sehingga dapat diberikan pengobatan kausal. Segera berikan pertolongan pertama sesuai
dengan prinsip resusitasi ABC. Jalan nafas (airway) harus bebas kalau perlu dengan
pemasangan pipa endotrakeal. Pernafasan (breathing) harus terjamin, kalau perlu dengan
memberikan ventilasi buatan dan pemberian oksigen 100%. Defisit volume peredaran darah
(circulation) pada syok hipovolemik harus diatasi dengan pemberian cairan intravena. Segera
menghentikan perdarahan yang terlihat dan mengatasi nyeri yang hebat, yang juga bisa
merupakan penyebab syok.
Langkah-langkah yang perlu dilakukan sebagai pertolongan pertama dalam
menghadapi syok :
1. Posisi Tubuh
- Secara umum posisi pasien dibaringkan telentang dengan tujuan meningkatkan
aliran darah ke organ-organ vital
- Apabila terdapat trauma pada leher dan tulang belakang, jangan digerakkan pada
bagian tersebut agar tidak memperparah kondisi pasien
8
- Pada penderita-penderita syok hipovolemik, baringkan penderita telentang
dengankaki ditinggikan 30 cm sehingga aliran darah balik ke jantung lebih besar
dan tekanandarah menjadi meningkat. Tetapi bila penderita menjadi lebih sukar
bernafas atau penderita menjadi kesakitan segera turunkan kakinya kembali.
2. Pertahankan Respirasi
- Bebaskan jalan napas. Lakukan penghisapan, bila terdapat muntah.
- Ekstensikan kepala, kalau perlu pasang alat bantu jalan nafas (Gudel/oropharingeal
airway)
- Berikan oksigen 6 liter/menit
- Bila pernapasan / ventilasi tidak adekuat, berikan oksigen dengan pompa sungkup
(Ambu bag) atau ETT
3. Pertahankan Sirkulasi
- Segera pasang infus intravena. Bisa lebih dari satu infus.
- Pantau nadi, tekanan darah, warna kulit, dan produksi urin
4. Cari dan atasi penyebab syok hipovolemik5
Primary survey meliputi : airway, breathing, circulation, disability, dan exposure.
Secondary survey meliputi pengkajian fisik. Sedangkan tersier survey dilakukan selain
pengkajian primary dan secondary survey, misalnya terapi atau resusitasi cairan.
Primary Survey
Mencatat tanda vital awal (baseline recordings) penting untuk memantau respon
penderita terhadap terapi. Yang harus diperiksa adalah tanda-tanda vital, produksi urin dan
tingkat kesadaran.
a) Airway & Breathing
Prioritas pertama adalah menjamin airway yang paten dengan cukupnya
pertukaran ventilasi dan oksigenasi. Diberikan tambahan oksigen untuk
mempertahankan saturasi oksigen lebih dari 95%.
1. Airway (Jalan Nafas) :
Ada tiga hal utama dalam tahapan airway ini yaitu look, listen, dan feel.
Look atau melihat yaitu melihat ada tidaknya obstruksi jalan napas, berupa
agitasi: (hipoksemia), penurunan kesadaran (hipercarbia), pergerakan dada
dan perut pada saat bernapas (see saw-rocking respiration), kebiruan pada
9
area kulit perifer pada kuku dan bibir (sianosis), adanya sumbatan di
hidung, posisi leher, keadaan mulut untuk melihat ada tidaknya darah.
Tahapan kedua yaitu listen atau mendengar, yang didengar yaitu bunyi
napas. Ada dua jenis suara napas yaitu suara napas tambahan obstuksi
parsial, antara lain: snoring, gurgling, crowing/stridor, dan suara parau
(laring) dan yang kedua yaitu suara napas hilang berupa obstruksi total dan
henti napas. Terakhir yaitu feel, pada tahap ini merasakan aliran udara
yang keluar dari lubang hidung pasien.
2. Breathing (Pernafasan) :
- Look (Melihat)
Melihat apakah pasien bernapas, pengembangan dada apakah
napasnya kuat atau tidak, keteraturannya, dan frekuensinya.
- Listen (Mendengar)
Suara nafas vesikuler atau tidak, terdapat suara nafas tambahan atau
tidak
- Feel
Merasakan pengembangan dada saat bernapas, lakukan perkusi, dan
pengkajian suara paru dan jantung dengan menggunakan stetoskop.
3. Circulation
- Look
Mengamati nadi saat diraba, berdenyut selama berapa kali per
menitnya, ada tidaknya sianosis pada ekstremitas, ada tidaknya
keringat dingin pada tubuh pasien, menghitung capillary refill time,
ada tidaknya akral dingin
- Feel
Yang dirasakan yaitu gerakan nadi (nadi radialis, brakhialis, dan
carotis)
- Listen
Bunyi aliran darah pada saat dilakukan pengukuran tekanan darah
4. Disability – Pemeriksaan Neurologi
Yang dikaji pada tahapan ini yaitu GCS (Glasgow Coma Scale), dan
kedaan pupil dengan menggunakan penlight. Pupil normal yaitu isokor.
10
Dilakukan pemeriksaan neurologi singkat untuk menentukan tingkat
kesadaran, pergerakan mata dan respon pupil, fungsi motorik dan sensorik.
5. Exposure – Pemeriksaan Lengkap
Penderita harus dibuka seluruh pakaiannya dan diperiksa dari ubun-ubun
sampai jari kaki untuk mencari ada atau tidaknya bagian yang cedera.
6. Dilatasi lambung – Dekompresi
Dilatasi lambung sering kali terjadi pada penderita trauma, khususnya pada
anak-anak dan dapat mengakibatkan hipotensi atau disritmia jantung yang
tidak dapat diterangkan, biasanya berupa bradikardi dari stimulasi nervus
vagus yang berlebihan. Distensi lambung membuat terapi syok menjadi
sulit. Pada penderita yang tidak sadar distensi lambung membesarkan
resiko aspirasi isi lambung, ini merupakan suatu komplikasi yang bisa
menjadi fatal. Dekompresi lambung dilakukan dengan memasukan selang
atau pipa kedalam perut melalui hidung atau mulut dan memasangnya
pada penyedot untuk mengeluarkan isi lambung.
7. Pemasangan kateter urin
Kateterisasi kandung kemih memudahkan penilaian urin akan adanya
hematuria dan evaluasi dari perfusi ginjal dengan memantau produksi urin.
Secondary Survey
Pasang satu atau lebih jalur infus intravena nomor 18/16. Infus dengan cepat larutan
kristaloid atau kombinasi larutan kristaloid dan koloid sampai vena (V. Jugularis) yang
kolaps terisi. Bila telah jelas ada peningkatan isi nadi dan tekanan darah, infus harus
dilambatkan. Bahaya infus yang cepat adalah edema paru, terutama pada pasien tua.
Perhatian harus ditujukan agar jangan sampai terjadi kelebihan cairan.
Pemantauan yang perlu dilakukan dalam menentukan kecepatan infus :
1. Nadi
Nadi yang cepat menunjukkan adanya hipovolemia.
2. Tekanan darah
Bila tekanan darah < 90 mmHg pada pasien normotensi atau tekanan darah menurun
> 40 mmHg pada pasien hipertensi, menunjukkan masih perlunya transfusi cairan.
3. Produksi urin.
11
Pemasangan kateter urin diperlukan untuk mengukur produksi urin. Produksi urin
harus dipertahankan minimal 1/2 ml/kg/jam. Bila kurang, menunjukkan adanya
hipovolemia.
Cairan diberikan sampai vena jelas terisi dan nadi jelas teraba. Bila volume
intravaskuler cukup, tekanan darah baik, produksi urin < 1/2 ml/kg/jam, bisadiberikan Lasix
20-40 mg untuk mempertahankan produksi urine. Dopamin 2—5 µg/kg/menit bisa juga
digunakan pengukuran tekanan vena sentral (normal 8-12 cm H2O), dan bila masih terdapat
gejala umum pasien seperti gelisah, rasa haus, sesak, pucat, dan ekstremitas dingin,
menunjukkan masih perlu transfusi cairan.
Tersiery Survey : Terapi cairan
12
13
II.9 Resusitasi Cairan
Manajemen resusitasi cairan sangat penting. Untuk mempertahankan keseimbangan
cairan maka input cairan harus sama untuk mengganti cairan yang hilang. Cairan itu termasuk
air dan elektrolit. Tujuan terapi cairan bukan untuk kesempurnaan keseimbangan cairan,
tetapi penyelamatan jiwa dengan menurunkan angka mortalitas. Perdarahan yang banyak
(syok hemoragik) akan menyebabkan gangguan pada fungsi kardiovaskuler. Pada keadaan
demikian, memperbaiki keadaan umum dengan mengatasi syok yang terjadi dapat dilakukan
dengan pemberian cairan elektrolit, plasma, atau darah. Dapat dimulai dengan memberikan
infus Saline atau Ringer Laktat isotonis. Jika hemoglobin rendah maka cairan pengganti yang
terbaik adalah tranfusi darah. Resusitasi cairan yang cepat merupakan landasan untuk terapi
syok hipovolemik. Sumber kehilangan darah atau cairan harus segera diketahui agar dapat
segera dilakukan tindakan. Cairan infus harus diberikan dengan kecepatan yang cukup untuk
segera mengatasi defisit atau kehilangan cairan akibat syok. Penyebab yang umum dari
hipovolemia adalah perdarahan, kehilangan plasma atau cairan tubuh lainnya seperti
lukabakar, peritonitis, gastroenteritis yang lama atau emesis, dan pankreatitis akut.
Pemilihan Cairan Intravena
Pemilihan cairan sebaiknya didasarkan atas status hidrasi pasien, konsentrasi
elektrolit, dan kelainan metabolik yang ada. Berbagai larutan parenteral telah dikembangkan
menurut kebutuhan fisiologis berbagai kondisi medis. Terapi cairan intravena atau infus
merupakan salah satu aspek terpenting yang menentukan dalam penanganan dan perawatan
pasien. Larutan parenteral pada syok hipovolemik diklasifikasi berupa cairan kristaloid,
koloid, dan darah. Cairan kristaloid cukup baik untuk terapi syok hipovolemik. Keuntungan
cairan kristaloid antara lain mudah tersedia, murah, mudah dipakai, tidak menyebabkan
reaksi alergi, dan sedikit efek samping. Kelebihan cairan kristaloid pada pemberian dapat
berlanjut dengan edema seluruh tubuh sehingga pemakaian berlebih perlu dicegah.
Larutan NaCl isotonis dianjurkan untuk penanganan awal syok hipovolemik dengan
hiponatremik, hipokhloremia atau alkalosis metabolik. Larutan RL adalah larutan isotonis
yang paling mirip dengan cairan ekstraseluler. RL dapat diberikan dengan aman dalam
jumlah besar kepada pasien dengan kondisi seperti hipovolemia dengan asidosis metabolik
atau sindroma syok.
14
Ringer asetat memiliki profil serupa dengan Ringer Laktat. Tempat metabolisme
laktat terutama adalah hati dan sebagian kecil pada ginjal, sedangkan asetat di metabolisme
pada hampir seluruh jaringan tubuh dengan otot sebagai tempat terpenting. Penggunaan
Ringer Asetat sebagai cairan resusitasi patut diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi
hati berat seperti sirosis hati dan asidosis laktat. Adanya laktat dalam larutan Ringer Laktat
membahayakan pasien sakit berat karena dikonversi dalam hati menjadi bikarbonat. Secara
sederhana, tujuan dari terapi cairan dibagi atas resusitasi untuk mengganti kehilangan cairan
akut dan rumatan untuk mengganti kebutuhan harian.
Beberapa contoh cairan kristaloid :
1) Ringer Laktat (RL)
Larutan yang mengandung konsentrasi Natrium 130 mEq/L, Kalium 4 mEq/l,
Klorida 109 mEq/l, Kalsium 3 mEq/l dan Laktat 28 mEq/L. Laktat pada larutan ini
dimetabolisme di dalam hati dan sebagian kecil metabolisme juga terjadi dalam ginjal.
Metabolisme ini akan terganggu pada penyakit yang menyebabkan gangguan fungsi
hati. Laktat dimetabolisme menjadi piruvat kemudian dikonversi menjadi CO2 dan
H2O (80% dikatalisis oleh enzim piruvat dehidrogenase) atau glukosa (20% dikatalisis
oleh piruvat karboksilase). Kedua proses ini akan membentuk HCO3. Sejauh ini
Ringer Laktat masih merupakan terapi pilihan karena komposisi elektrolitnya lebih
mendekati komposisi elektrolit plasma. Cairan ini digunakan untuk mengatasi
kehilangan cairan ekstra seluler yang akut. Pada keadaan syok, dehidrasi atau DSS
pemberiannya bisa diguyur.
2) Ringer Asetat
Cairan ini mengandung Natrium 130 mEq/l, Klorida 109 mEq/l, Kalium
4mEq/l, Kalsium 3 mEq/l dan Asetat 28 mEq/l. Cairan ini lebih cepat mengoreksi
keadaan asidosis metabolik dibandingkan Ringer Laktat, karena asetat dimetabolisir
di dalam otot, sedangkan laktat di dalam hati. Laju metabolisme asetat 250 –
400mEq/jam, sedangkan laktat 100 mEq/jam. Cairan ini bisa mengganti pemakaian
Ringer Laktat.
3) Glukosa 5%, 10% dan 20%
15
Larutan yang berisi Dextrosa 50 gr/liter, 100 gr/liter, 200 gr/liter. Glukosa 5%
digunakan pada keadaan gagal jantung sedangkan Glukosa 10% dan 20% digunakan
pada keadaan hipoglikemi, gagal ginjal akut dengan anuria dan gagal ginjal akut
dengan oliguria.
4) NaCl 0,9%
Cairan fisiologis ini terdiri dari 154 mEq/L Natrium dan 154 mEq/L
Klorida,yang digunakan sebagai cairan pengganti dan dianjurkan sebagai awal untuk
penatalaksanaan hipovolemia yang disertai dengan hiponatremia, hipokloremia atau
alkalosis metabolik.
Cairan Koloid
Jenis-jenis cairan koloid adalah :
1) Albumin
Terdiri dari 2 jenis yaitu :
- Albumin endogen
Albumin endogen merupakan protein utama yang dihasilkan dihasilkan di hati
dengan BM antara 66.000 sampai dengan 69.000, terdiri dari 584 asam amino.
Albumin merupakan protein serum utama dan berperan 80% terhadap tekanan onkotik
plasma. Penurunan kadar Albumin 50 % akan menurunkan tekanan onkotik
plasmanya 1/3-nya.
- Albumin eksogen.
Albumin eksogen ada 2 jenis yaitu human serum albumin, albumin eksogen
yang diproduksi berasal dari serum manusia dan albumin eksogen yang dimurnikan
(Purified protein fraction) dibuat dari plasma manusia yangdimurnikan. Albumin ini
tersedia dengan kadar 5% atau 25% dalam garam fisiologis. Albumin 25% bila
diberikan intravaskuler akan meningkatkan isi intravaskuler mendekati 5x jumlah
yang diberikan. Hal ini disebabkan karena peningkatan tekanan onkotik plasma.
Peningkatan ini menyebabkan translokasi cairan intersisial ke intravaskuler sepanjang
jumlah cairan intersisial mencukupi.
2) HES (Hidroxy Ethyl Starch)
Senyawa kimia sintetis yang menyerupai glikogen. Tersedia dalam bentuk
larutan 6% dalam garam fisiologis. Tekanan onkotiknya adalah 30 mmHg dan
osmolaritasnya 310 mosm/l. Efek intarvaskulernya dapat berlangsung 3-24 jam.
16
Pengikatan cairan intravaskuler melebihi jumlah cairan yang diberikan oleh karena
tekanan onkotiknya yang lebih tinggi.
Prinsip Terapi Cairan
Terapi cairan merupakan salah satu aspek terpenting dari perawatan pasien. Pemilihan
cairan sebaiknya berdasarkan atas status hidrasi pasien, konsentrasi elektrolit dan
kelainan metabolik yang ada. Secara sederhana tujuan terapi cairan dibagi atas resusitasi
atau pengganti yaitu untuk mengganti kehilangan cairan akut dan rumatan untuk
mengganti kehilangan harian. Kebutuhan air dan elektrolit sebagai terapi dapat dibagi
atas 3 kategori :
1. Terapi pemeliharaan atau rumatan
Sebagai pengganti cairan yang hilang melalui pernafasan, kulit, urin dan tinja
(Normal Water Losses = NWL). Kehilangan cairan melalui pernafasan dan kulit
disebut Insesible Water Losses (IWL). Kebutuhan cairan pengganti rumatan ini
dihitung berdasarkan kg BB.
2. Terapi defisit
Sebagai pengganti air dan elektrolit yang hilang secara abnormal (Previous Water
Losses=PWL) yang menyebabkan dehidrasi. Jumlahnya berkisar antara 5-15%
BB. Biasanya kehilangan cairan yang menyebabkan dehidrasi ini disebabkanoleh
diare, muntah-muntah akibat stenosis pilorus, kesulitan pemasukan oral dan
asidosis karena diabetes. Berdasarkan PWL ini derajat dehidrasi dibagi atas ringan
yaitu kehilangan cairan sekitar 3-5% BB, dehidrasi sedang kehilangan cairan
sekitar 6-9% BB dan dehidrasi berat kehilangan cairan berkisar 10% atau lebih
BB.
3. Terapi pengganti kehilangan cairan yang masih tetap berlangsung (Concomitant
water losses = CWL)
Kehilangan cairan ini bisa terjadi melalui muntah dan diare yang masih tetap
berlangsung. Jumlah kehilangan CWL ini diperkirakan 25 ml/kgBB/24 jam untuk
semua umur. Untuk mengatasi keadaan diatas diperlukan terapi cairan.6
17
II.10 Komplikasi
1. Kegagalan multi organ akibat penurunan aliran darah dan hipoksia
jaringan yang berkepanjangan. Curah jantung tidak lagi mencukupi
sehingga terjadi gangguan seluler di seluruh tubuh. Pada saat tekanan
darah arteri menurun, aliran darah menurun, hipoksia jaringan
bertambah nyata, gangguan seluler, metabolisme terganggu, produk
metabolisme menumpuk, dan akhirnya terjadi kematian sel.
2. Sindrom distress pernapasan dewasa akibat destruksi pertemuan
alveolus kapiler karena hipoksia.
Hipoksia seluler
↓
Pelepasan faktor-faktor biokimia
( enzim lisosom, vasoaktif, system komplemen, asam metabolic, kolagen, histamine )
↓
Pe ↑ permiabilitas kapiler paru
↓
Pe ↓ aktivitas surfaktan
↓
Edema interstisial alveolar paru
↓
Kolaps alveolar yang progresif
↓
Pe ↓ compliance paru
Stiff lung
Pe ↑ shunting
↓
Hipoksia arterial
DIC (Koagulasi Intravascular Diseminata) akibat hipoksia dan kematian jaringan
yang luas sehingga terjadi pengaktifan berlebihan jenjang koagulasi. Dinding
pembuluh darah menjadi lemah, tak mampu berkonstriksi sehingga terjadi bendungan
vena, vena balik (venous return) menurun. Relaksasi sfinkter prekapiler diikuti
dengan aliran darah ke jaringan tetapi tidak dapat kembali ke jantung. Peristiwa ini
18
dapat menyebabkan trombosis kecil-kecil sehingga dapat terjadi koagulopati intravasa
yang luas.
19
BAB III
KESIMPULAN
Kehilangan cairan terjadi setiap saat dan mutlak diganti agar metabolisme tubuh dapat
berlangsung normal. Keseimbangan air ini dikelola dengan pengaturan masukkan dan
pengeluaran. Air tubuh terdapat di dalam sel (intrasel) dan di luar sel (ekstrasel). Cairan
extraselular meliputi cairan interstisial dan plasma yang mempunyai komposisi sama.
Kehilangan cairan normal berlangsung akibat pemakaian energi yang dapat dibagi menjadi
tiga kategori Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi
kehilangan cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ, disebabkan
oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yang tidak adekuat. yaitu
kehilangan cairan insensibel, produksi urin serta kehilangan cairan melalui tinja. Secara
fisiologis, syok hipovolemik dibagi menjadi 4 fase, fase insial, fase kompensasi, fase
progresif, dan fase refraktor. Derajat syok hipovolemik dibagi menjadi 4 kelas berdasarkan
jumlah darah yang hilang. Penanggulangan syok dimulai dengan tindakan umum yang
bertujuan untuk memperbaiki perfusi jaringan, memperbaiki oksigenasi tubuh, dan
mempertahankan suhu tubuh. Segera berikan pertolongan pertama sesuai dengan prinsip
resusitasi ABC. Primary survey meliputi : airway, breathing, circulation, disability, dan
exposure. Secondary survey meliputi pengkajian fisik. Sedangkan tersier survey dilakukan
selain pengkajian primary dan secondary survey, misalnya terapi atau resusitasi cairan.
Manajemen resusitasi cairan sangat penting. Untuk mempertahankan keseimbangan cairan
maka input cairan harus sama untuk mengganti cairan yang hilang. Pemilihan cairan
sebaiknya didasarkan atas status hidrasi pasien, konsentrasi elektrolit, dan kelainan metabolik
yang ada. Tujuan dari terapi cairan dibagi atas resusitasi untuk mengganti kehilangan cairan
akut dan rumatan untuk mengganti kebutuhan harian. Komplikasi yang dapat ditimbulkan
akibat syok hipovolemik adalah kegagalan multi organ, sindrom distress pernafasan, dan
DIC.
20
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Garner K. Management of Hypovolemic Shock in the Trauma Patient. 2013
2. Butler A. Shock – Recognition, Pathophysiology, and Treatment. 2010. Available at :
http://www.dcavm.org/10oct.html. Accessed on July 3th, 2013.
3. Kolecki P. Hypovolemic Shock. 2012. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/760145-overview#a0104. Accessed on July 3th,
2013.
4. Maier RV. Pendekatan Pada Pasien Dengan Syok. Dalam: Fauci AS, TR Harrison, eds. Harrison 's Prinsip Kedokteran Internal . 17 ed. New York, NY: McGraw Hill, 2008: chap 264.
5. Purwadianto A, Sampurna B. Kedaruratan Medik. Binarupa Aksara. Jakarta. 2011; 47-53.
6. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2009; 133-140..
7. Spaniol JR, AR Knight, Zebley JL, Anderson D, JD Pierce. Resusitasi Cairan Terapi
Untuk Syok Hemoragik. J Trauma Nurs . 2007; 14:152-156.
21