62
MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP CTI KABUPATEN SIKKA Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jakarta - 2015 Pusat Penelitian Oseanogra

Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA

COREMAP CTI KABUPATEN SIKKA

Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Jakarta - 2015

Pusat Penelitian Oseanogra Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Monitoring Terumbu Karang dan Ekosistem terkait

di Kabupaten WakatobiCOREMAP CTI

Tahun 2015

Editor : Prof. Dr. Suharsono

Page 2: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

i

PRAKATA

Sebagai negara kepulauan terbesar, Indonesia memiliki sumberdaya alam yang sangat kaya.

Hal ini memang cukup membanggakan, namun menuntut adanya tanggung jawab yang sangat

besar berupa usaha untuk menjaga keseimbangan antara kelestarian fungsi (ekologis) dan

kelestarian manfaat (ekonomis) dari sumberdaya alam ini. Ketidakarifan manusia dalam

memanfaatkan sumberdaya yang ada menimbulkan kerusakan di beberapa ekosisem yang erat

hubungannya dengan kehidupan manusia.

Fungsi dan manfaat ekosistem laut dangkal yang erat hubungannya dengan aktivitas manusia

sangat beragam, oleh karena itu ancaman pemanfaatan atas kelestariannya juga diasumsikan

meningkat. Program COREMAP Fase III yang diberi nama COREMAP-CTI ini bertujuan

menciptakan pengelolaan ekosistem terumbu karang dan ekosistem terkait seperti ekosistem

lamun dan ekosistem mangrove untuk dapat direhabilitasi, diproteksi dan dikelola secara

berkesinambungan. Hasil akhirnya tidak lain adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat pesisir yang hidup di wilayah tersebut.

Laporan ini merupakan hasil penelitian monitoring Kesehatan Ekosistem Terumbu Karang dan

Ekosistem terkait lainnya di perairan Maumere untuk bidang ekologi yang dilaksanakan pada

tahun 2015. Terlaksananya kegiatan dan laporan ini melibatkan berbagai pihak. Untuk itu, kami

ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang sudah terlibat dalam penelitian ini serta

sumbangan pikiran dan tenaga demi tersusunnya laporan ini.

Akhir kata, kami menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna walaupun kami telah

berusaha sebaik mungkin. Semoga informasi yang disajikan ini dapat dijadikan sebagai acuan

bagi berbagai pihak yang memerlukan. Untuk itu kritik dan saran membangun sangat kami

harapkan demi penyempurnaan laporan ini.

Jakarta, November 2015

Penyusun

Dra. Sasanti R. Suharti, MSc

Monitoring kesehatan terumbu karang dan ekosistem terkait lainnya KABUPATEN SIKKA 20015 @CRITC-Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Deasin sampul & Tata letak : Indra S. Hermana Data: Coral Reef Information and Training Center (CRITC-Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Coral Reef Information and Training Center Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia CRITC-Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, 2015 Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur Jakarta 14430 Telp. 021-64713850 Fax. 021-64711948

Page 3: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA

KABUPATEN SIKKA

Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Jakarta - 2015

Page 4: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

i

PRAKATA

Sebagai negara kepulauan terbesar, Indonesia memiliki sumberdaya alam yang sangat kaya.

Hal ini memang cukup membanggakan, namun menuntut adanya tanggung jawab yang sangat

besar berupa usaha untuk menjaga keseimbangan antara kelestarian fungsi (ekologis) dan

kelestarian manfaat (ekonomis) dari sumberdaya alam ini. Ketidakarifan manusia dalam

memanfaatkan sumberdaya yang ada menimbulkan kerusakan di beberapa ekosisem yang erat

hubungannya dengan kehidupan manusia.

Fungsi dan manfaat ekosistem laut dangkal yang erat hubungannya dengan aktivitas manusia

sangat beragam, oleh karena itu ancaman pemanfaatan atas kelestariannya juga diasumsikan

meningkat. Program COREMAP Fase III yang diberi nama COREMAP-CTI ini bertujuan

menciptakan pengelolaan ekosistem terumbu karang dan ekosistem terkait seperti ekosistem

lamun dan ekosistem mangrove untuk dapat direhabilitasi, diproteksi dan dikelola secara

berkesinambungan. Hasil akhirnya tidak lain adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat pesisir yang hidup di wilayah tersebut.

Laporan ini merupakan hasil penelitian monitoring Kesehatan Ekosistem Terumbu Karang dan

Ekosistem terkait lainnya di perairan Maumere untuk bidang ekologi yang dilaksanakan pada

tahun 2015. Terlaksananya kegiatan dan laporan ini melibatkan berbagai pihak. Untuk itu, kami

ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang sudah terlibat dalam penelitian ini serta

sumbangan pikiran dan tenaga demi tersusunnya laporan ini.

Akhir kata, kami menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna walaupun kami telah

berusaha sebaik mungkin. Semoga informasi yang disajikan ini dapat dijadikan sebagai acuan

bagi berbagai pihak yang memerlukan. Untuk itu kritik dan saran membangun sangat kami

harapkan demi penyempurnaan laporan ini.

Jakarta, November 2015

Penyusun

Dra. Sasanti R. Suharti, MSc

Monitoring kesehatan terumbu karang dan ekosistem terkait lainnya KABUPATEN SIKKA 20015 @CRITC-Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Deasin sampul & Tata letak : Indra S. Hermana Data: Coral Reef Information and Training Center (CRITC-Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Coral Reef Information and Training Center Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia CRITC-Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, 2015 Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur Jakarta 14430 Telp. 021-64713850 Fax. 021-64711948

Page 5: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

i

i

PRAKATA

Sebagai negara kepulauan terbesar, Indonesia memiliki sumberdaya alam yang sangat kaya.

Hal ini memang cukup membanggakan, namun menuntut adanya tanggung jawab yang sangat

besar berupa usaha untuk menjaga keseimbangan antara kelestarian fungsi (ekologis) dan

kelestarian manfaat (ekonomis) dari sumberdaya alam ini. Ketidakarifan manusia dalam

memanfaatkan sumberdaya yang ada menimbulkan kerusakan di beberapa ekosisem yang erat

hubungannya dengan kehidupan manusia.

Fungsi dan manfaat ekosistem laut dangkal yang erat hubungannya dengan aktivitas manusia

sangat beragam, oleh karena itu ancaman pemanfaatan atas kelestariannya juga diasumsikan

meningkat. Program COREMAP Fase III yang diberi nama COREMAP-CTI ini bertujuan

menciptakan pengelolaan ekosistem terumbu karang dan ekosistem terkait seperti ekosistem

lamun dan ekosistem mangrove untuk dapat direhabilitasi, diproteksi dan dikelola secara

berkesinambungan. Hasil akhirnya tidak lain adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat pesisir yang hidup di wilayah tersebut.

Laporan ini merupakan hasil penelitian monitoring Kesehatan Ekosistem Terumbu Karang dan

Ekosistem terkait lainnya di perairan Maumere untuk bidang ekologi yang dilaksanakan pada

tahun 2015. Terlaksananya kegiatan dan laporan ini melibatkan berbagai pihak. Untuk itu, kami

ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang sudah terlibat dalam penelitian ini serta

sumbangan pikiran dan tenaga demi tersusunnya laporan ini.

Akhir kata, kami menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna walaupun kami telah

berusaha sebaik mungkin. Semoga informasi yang disajikan ini dapat dijadikan sebagai acuan

bagi berbagai pihak yang memerlukan. Untuk itu kritik dan saran membangun sangat kami

harapkan demi penyempurnaan laporan ini.

Jakarta, November 2015

Penyusun

Dra. Sasanti R. Suharti, MSc

Monitoring kesehatan terumbu karang dan ekosistem terkait lainnya KABUPATEN SIKKA 20015 @CRITC-Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Deasin sampul & Tata letak : Indra S. Hermana Data: Coral Reef Information and Training Center (CRITC-Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Coral Reef Information and Training Center Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia CRITC-Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, 2015 Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur Jakarta 14430 Telp. 021-64713850 Fax. 021-64711948

Page 6: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

ii

ii

RINGKASAN EKSEKUTIF

Kabupaten Sikka dengan ibukota Maumere secara administratif merupakan bagian dari wilayah

Provinsi Nusa Tenggara Timur yang terletak di Daratan Flores. Wilayah Kabupaten ini

merupakan daerah kepulauan dengan total luas daratan 1.731,91 km2. Terdapat 18 pulau baik

yang didiami ataupun tidak didiami. Seiring dengan diberlakukan UU Otonomi daerah terjadi

pemekaran wilayah kecamatan dari 12 Kecamatan menjadi 21 Kecamatan (BPS 2012). Dari 21

kecamatan, enam diantaranya masuk kedalam lokasi stasiun penelitian.

Kekayaan sumberdaya kawasan pesisir di Kabupaten Sikka antara lain mangrove, padang

lamun dan terumbu karang. Ekosistem perairan tersebut mampu memberikan tempat kepada

biota-biota lain untuk tempat hidup dan berkembang di dalamnya, terutama biota ekonomis

penting.

Studi kesehatan terumbu karang di perairan Maumere telah dilakukan tahun 2006 untuk

pengambilan data dasar (baseline data). Pemantauan berikutnya di lokasi yang sama yang

telah dibuat permanen telah dilakukan berturut-turut pada tahun 2007, 2009, 2010, 2011 dan

2013. Pada tahun 2013 ada penambahan bidang kajian penelitian dalam monitoring kesehatan

terumbu karang yakni penelitian lamun dan mangrove sebagai ekosistem terkait. Penelitian

monitoring kesehatan terumbu karang dan ekosistem terkait COREMAP III CTI pada tahun

2015 ini telah melakukan penelitian di lokasi yang sama seperti pada tahun 2013.

Sebagian terbesar dari wilayah terumbu karang dan ekosistem terkait lainnya di perairan Sikka

Flores masuk dalam Kawasan Konservasi Perairan Daerah Kabupaten SIKKA. Fungsi dan

manfaat ekosistem pesisir tersebut sangat beragam, oleh karena itu ancaman pemanfaatnya

atas kelestariannya juga diasumsikan meningkat. Program COREMAP I, COREMAP II hingga

COREMAP III CTI mengambil peran penting dalam pengelolaan atas kawasan terumbu karang

dan ekosistem terkait lainnya tersebut. Monitoring adalah bagian terpenting dari pengelolaan,

yang tujuannya menyediakan data dan informasi untuk menilai kondisi terkini dari objek yang

diamati. Informasi ini penting untuk memprioritaskan kegiatan dan strategi konservasi

Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan data terbaru dari ekosistem terumbu karang dan

ekosistem terkait lainnya, sehingga data ini dapat digunakan untuk menilai dan mengelola

wilayah pesisir di perairan Sikka.

ii

Page 7: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

iii

ii

RINGKASAN EKSEKUTIF

Kabupaten Sikka dengan ibukota Maumere secara administratif merupakan bagian dari wilayah

Provinsi Nusa Tenggara Timur yang terletak di Daratan Flores. Wilayah Kabupaten ini

merupakan daerah kepulauan dengan total luas daratan 1.731,91 km2. Terdapat 18 pulau baik

yang didiami ataupun tidak didiami. Seiring dengan diberlakukan UU Otonomi daerah terjadi

pemekaran wilayah kecamatan dari 12 Kecamatan menjadi 21 Kecamatan (BPS 2012). Dari 21

kecamatan, enam diantaranya masuk kedalam lokasi stasiun penelitian.

Kekayaan sumberdaya kawasan pesisir di Kabupaten Sikka antara lain mangrove, padang

lamun dan terumbu karang. Ekosistem perairan tersebut mampu memberikan tempat kepada

biota-biota lain untuk tempat hidup dan berkembang di dalamnya, terutama biota ekonomis

penting.

Studi kesehatan terumbu karang di perairan Maumere telah dilakukan tahun 2006 untuk

pengambilan data dasar (baseline data). Pemantauan berikutnya di lokasi yang sama yang

telah dibuat permanen telah dilakukan berturut-turut pada tahun 2007, 2009, 2010, 2011 dan

2013. Pada tahun 2013 ada penambahan bidang kajian penelitian dalam monitoring kesehatan

terumbu karang yakni penelitian lamun dan mangrove sebagai ekosistem terkait. Penelitian

monitoring kesehatan terumbu karang dan ekosistem terkait COREMAP III CTI pada tahun

2015 ini telah melakukan penelitian di lokasi yang sama seperti pada tahun 2013.

Sebagian terbesar dari wilayah terumbu karang dan ekosistem terkait lainnya di perairan Sikka

Flores masuk dalam Kawasan Konservasi Perairan Daerah Kabupaten SIKKA. Fungsi dan

manfaat ekosistem pesisir tersebut sangat beragam, oleh karena itu ancaman pemanfaatnya

atas kelestariannya juga diasumsikan meningkat. Program COREMAP I, COREMAP II hingga

COREMAP III CTI mengambil peran penting dalam pengelolaan atas kawasan terumbu karang

dan ekosistem terkait lainnya tersebut. Monitoring adalah bagian terpenting dari pengelolaan,

yang tujuannya menyediakan data dan informasi untuk menilai kondisi terkini dari objek yang

diamati. Informasi ini penting untuk memprioritaskan kegiatan dan strategi konservasi

Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan data terbaru dari ekosistem terumbu karang dan

ekosistem terkait lainnya, sehingga data ini dapat digunakan untuk menilai dan mengelola

wilayah pesisir di perairan Sikka.

ii

Page 8: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

iv

iv

bervariasi dari kondisi kategori rendah hingga kategori sedang (1,8 - 34,47%).

Persentase tutupan karang batu tertinggi terdapat di stasiun MMRL 69 (34,47%) dan

yang terendah di stasiun MMRL74 (1,87%). Kondisi tutupan karang kategori sedang (25,00 - 49,9%) terdapat pada stasiun MMRL 75, MMRL 47A dan 69. Sedangkan yang

masuk dalam kategori jelek (< 25,0%) terdapat pada stasiun MMRL 74, MMRL 88,

MMRL 21, MMRL 13, MMRL 80, MMRL 79, MMRL 37, MMRL 06, MMRL 65, MMRL 78

dan MMRL 55.

Hasil sensus visual pada transek sabuk seluas 350 m2 untuk seluruh lokasi stasiun

ditemukan 60 jenis ikan karang dari 7 suku ikan ekonomis penting dari kategori

herbivore dan karnivora, yaitu suku yang dianggap berpengaruh langsung dan signifikan

pada proses resiliensi terumbu karang karena fungsinya dalam jejaring makanan.

Jumlah jenis terendah 7 spesies dijumpai pada stasiun MMRL 13 dan MMRL 21 dan

jumlah jenis tertinggi 26 dan 27 spesies ditemukan masing-masing pada stasiun MMRL

47a, MMRL 78, MMRL 79 dan MMRL 80. Untuk kelompok ikan pemakan karang

(Coralivores) yang diwakili oleh satu suku yakni Chetodontidae, ditemukan sedikitnya

ada 22 spesies. Rata-rata kepadatan ikan karang yang termasuk dalam 7 suku ikan

ekonomis penting adalah 228 ekor/m2 atau setara dengan 0,65 ekor/m2. Dari hasil

analisa data diketahui bahwa rata-rata biomassa atau sediaan ikan karang dari 7 suku

ikan ekonomis penting adalah 906 kg/ha.

Dari hasil pengamatan di 14 lokasi monitoring ditemukan 8 jenis megabenthos target.

Total terdapat 534 individu megabenthos target

Secara umum, kondisi lamun pada perairan Kabupaten Sikka berada pada status kaya

atau sehat, dimana 6 dari 8 stasiun monitoring memiliki persentase penutupan berkisar

antara 63.76 % - 72.25 %, sedangkan hanya 2 stasiun yaitu stasiun 1 dan 2 (Nangahure

dan Wailiti) memiliki kondisi lamun kurang kaya atau kurang sehat yaitu 53.00% dan

53.44%

Persentase tutupan kanopi mangrove di wilayah KKPD Teluk Maumere secara

keseluruhan tergolong dalam kategori sedang dengan persentase tutupan 64.59 ±

23.93%. Persentase tutupan terendah diperoleh pada stasiun MMRM01 dengan tutupan

38.82 ± 26.89% dan tertinggi pada stasiun MMRM02 87.50 ± 5.20%.

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:

Citra landsat 8 berresolusi 15 x 15 meter telah mampu dipergunakan dalam pemetaan

substrat dasar perairan yang didukung dengan data ground truth yang memadai. Akan

iii

Metode yang digunakan dalam penelitian ini tergantung dari bidang yang dikaji. Untuk Sitem

Informasi Geografi (SIG) adalah ground truth yang dipakai untuk Pemetaan Habitat. Sedangkan

untuk penelitian karang pengambilan data menggunakan metode UPT (Underwater Photo

Transect) pada kedalaman dimana karang umum dijumpai, yaitu pada kedalaman sekitar 4-7

meter. Untuk mengetahui persentasi tutupan dihitung dengan rumus:

Untuk ikan karang pengambilan data dilakukan dengan sensus visual pada transek sabuk

dengan luas area sensus 70 m x 5 m. Untuk menghitung kepadatan ikan karang yang diamati

dengan menggunakan rumus:

Sedangkan untuk menghitung biomassa ikan karang digunakan rumus: W = a x Lb

Metode pengambilan data untuk megabentos menggunakan metode “Reefefcheck –

Invertebrate Belt Transect” pada garis transek sepanjang 70 meter dengan area pengamatan 1

meter di kanan dan kiri transek. Sedangkan untuk penelitian lamun digunakan metoda transek

kuadrat yang dimodifikasi dari metode Seagrass Watch. Persentase tutupan mangrove dihitung

dengan menggunakan metode Hemispherical Photography.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh informasi untuk

Peta habitat laut dangkal dapat dikelompokkan menjadi 4 kelas seperti dalam tabel

berikut ini.

Habitat Luas (Ha)

Karang 3747,19

Pasir 3342,59

Lamun 994,10

Mangrove 480,16

Untuk penelitian karang hasil analisa dengan menggunakan CPCe versi 4.1. (Coral

Point Count with Excel extension) diperoleh nilai persentase tutupan karang batu

Page 9: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

v

iv

bervariasi dari kondisi kategori rendah hingga kategori sedang (1,8 - 34,47%).

Persentase tutupan karang batu tertinggi terdapat di stasiun MMRL 69 (34,47%) dan

yang terendah di stasiun MMRL74 (1,87%). Kondisi tutupan karang kategori sedang (25,00 - 49,9%) terdapat pada stasiun MMRL 75, MMRL 47A dan 69. Sedangkan yang

masuk dalam kategori jelek (< 25,0%) terdapat pada stasiun MMRL 74, MMRL 88,

MMRL 21, MMRL 13, MMRL 80, MMRL 79, MMRL 37, MMRL 06, MMRL 65, MMRL 78

dan MMRL 55.

Hasil sensus visual pada transek sabuk seluas 350 m2 untuk seluruh lokasi stasiun

ditemukan 60 jenis ikan karang dari 7 suku ikan ekonomis penting dari kategori

herbivore dan karnivora, yaitu suku yang dianggap berpengaruh langsung dan signifikan

pada proses resiliensi terumbu karang karena fungsinya dalam jejaring makanan.

Jumlah jenis terendah 7 spesies dijumpai pada stasiun MMRL 13 dan MMRL 21 dan

jumlah jenis tertinggi 26 dan 27 spesies ditemukan masing-masing pada stasiun MMRL

47a, MMRL 78, MMRL 79 dan MMRL 80. Untuk kelompok ikan pemakan karang

(Coralivores) yang diwakili oleh satu suku yakni Chetodontidae, ditemukan sedikitnya

ada 22 spesies. Rata-rata kepadatan ikan karang yang termasuk dalam 7 suku ikan

ekonomis penting adalah 228 ekor/m2 atau setara dengan 0,65 ekor/m2. Dari hasil

analisa data diketahui bahwa rata-rata biomassa atau sediaan ikan karang dari 7 suku

ikan ekonomis penting adalah 906 kg/ha.

Dari hasil pengamatan di 14 lokasi monitoring ditemukan 8 jenis megabenthos target.

Total terdapat 534 individu megabenthos target

Secara umum, kondisi lamun pada perairan Kabupaten Sikka berada pada status kaya

atau sehat, dimana 6 dari 8 stasiun monitoring memiliki persentase penutupan berkisar

antara 63.76 % - 72.25 %, sedangkan hanya 2 stasiun yaitu stasiun 1 dan 2 (Nangahure

dan Wailiti) memiliki kondisi lamun kurang kaya atau kurang sehat yaitu 53.00% dan

53.44%

Persentase tutupan kanopi mangrove di wilayah KKPD Teluk Maumere secara

keseluruhan tergolong dalam kategori sedang dengan persentase tutupan 64.59 ±

23.93%. Persentase tutupan terendah diperoleh pada stasiun MMRM01 dengan tutupan

38.82 ± 26.89% dan tertinggi pada stasiun MMRM02 87.50 ± 5.20%.

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:

Citra landsat 8 berresolusi 15 x 15 meter telah mampu dipergunakan dalam pemetaan

substrat dasar perairan yang didukung dengan data ground truth yang memadai. Akan

Page 10: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

vi

v

tetapi lamun yang terpetakan menggunakan pendekatan teknologi penginderaan jauh

hanya hamparan lamun yang mempunyai tingkat kerapatan > 40%,

Secara keseluruhan kondisi terumbu karang di perairan Kabupaten Sikka dalam kondisi

kurang baik (17,98%) meskipun ada beberapa lokasi memiliki kondisi yang cukup baik.

Keragaman jenis di tiap-tiap stasiun secara umum berkisar antara 13 - 50 spesies,

sementarakKepadatan ikan karang untuk 7 suku dari kelompok ikan ekonomis penting

pada masing-masing lokasi stasiun di bawah 400 ekor/350 m2 dimana variasi kepadatan

juga cukup tinggi antar lokasi. Potensi sediaan ikan karang adalah 0,9 ton/ha untuk ikan

dari 7 suku ikan ekonomis.

Megabenthos pada perairan Kabupaten Sikka, Maumere sangat beragam namun

kebanyakan di dominasi oleh bulu babi.

Lamun pada perairan Kabupaten Sikka umumnya berstatus kaya atau sehat yang

didukung oleh kondisi perairan yang baik pula.

Persentase tutupan kanopi mangrove di KKPD Teluk Maumere bervariasi antara jarang:

38.82 ± 26.89% (MMRM01) – padat: 87.50 ± 5.20% (MMRM02) dengan rata-rata

keseluruhan 64.59 ± 23.93 (sedang).

Page 11: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

vii

vi

DAFTAR ISI

PRAKATA …………………………………………………………………………………… i

RINGKASAN EKSEKUTIF ………………………………………………………………. iii

DAFTAR ISI ………………..……………………………………………………………... vii

DAFTAR GAMBAR …………….…………………………………..………………………. ix

DAFTAR TABEL ……………….………………………………..…………………………. xi

BAB I. PENDAHULUAN ……..……………………………………………………………. 1

TUJUAN PENELITIAN ……………………………………………………………. 1

LINGKUP PENELITIAN ………...…………………………………………………. 2

LOKASI PENELITIAN …………..…………………………………………………. 2

WAKTU PENELITIAN ………..……………………………………………………. 3

PELAKSANA PENELITIAN ……….………………………………………………. 3

BAB II. METODE DAN ANALISIS DATA ……..……………….…………………………. 3

PEMETAAN HABITAT ……………….……………………………………………. 3

Pengolahan dan Analisa Data ……………………………………………… 3

KARANG ……………………………………….…………………………………… 4

Pengolahan dan Analisa Data ……………………………………………… 5

IKAN KARANG ……………………...……………………………………………… 6

Analisis Data ……………………..…………………………………………… 7

MEGA BENTOS …………………………………………………………………… 7

LAMUN ……………………………………………………………………………… 8

Analisis Penutupan Lamun ………………………………………………… 8

MANGROVE ………………………………….…………………………………… 9

Analisis Data ……………………………………..………………………… 10

BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN ……..………………….…………………………. 11

SIG …………………………………………………………………………………. 11

Pra Pemrosesan …………..…………………………………….…………. 11

Peta Habitat Perairan Dangkal …………………………………………… 13

KARANG ……………………………………………………..……………………… 15

Tutupan Karang …………………………………….……………………… 15

Kondisi Umum Lokasi ………………………...……………………………… 16

IKAN KARANG ………………………..……………………………………………. 23

Jumlah Jenis …………………………………………………………………. 23

v

tetapi lamun yang terpetakan menggunakan pendekatan teknologi penginderaan jauh

hanya hamparan lamun yang mempunyai tingkat kerapatan > 40%,

Secara keseluruhan kondisi terumbu karang di perairan Kabupaten Sikka dalam kondisi

kurang baik (17,98%) meskipun ada beberapa lokasi memiliki kondisi yang cukup baik.

Keragaman jenis di tiap-tiap stasiun secara umum berkisar antara 13 - 50 spesies,

sementarakKepadatan ikan karang untuk 7 suku dari kelompok ikan ekonomis penting

pada masing-masing lokasi stasiun di bawah 400 ekor/350 m2 dimana variasi kepadatan

juga cukup tinggi antar lokasi. Potensi sediaan ikan karang adalah 0,9 ton/ha untuk ikan

dari 7 suku ikan ekonomis.

Megabenthos pada perairan Kabupaten Sikka, Maumere sangat beragam namun

kebanyakan di dominasi oleh bulu babi.

Lamun pada perairan Kabupaten Sikka umumnya berstatus kaya atau sehat yang

didukung oleh kondisi perairan yang baik pula.

Persentase tutupan kanopi mangrove di KKPD Teluk Maumere bervariasi antara jarang:

38.82 ± 26.89% (MMRM01) – padat: 87.50 ± 5.20% (MMRM02) dengan rata-rata

keseluruhan 64.59 ± 23.93 (sedang).

Page 12: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

viii

viii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Peta stasiun monitoring di perairan Maumere, Sikka, 2015 ……….………… 2

Gambar 2. Ilustrasi pengambilan foto dengan metode UPT …………………..…………... 5 Gambar 3. Skema Transek Kuadrat ………………………..………………………….……. 8 Gambar 4. Peta sebaran stasiun permanen untuk pemantauan ekosistem

mangrove COREMAP-CTI di KKPD Kabupaten Sikka ………..…… 10

Gambar 5. Citra dasar perairan laut dangkal perairan sekitar Pulau Besar sebelum dilakukan proses penajaman citra.

………… 12

Gambar 6. Citra dasar perairan laut dangkal perairan sekitar Pulau Besar setelah dilakukan proses penajaman citra menggunakan algoritma Lyzenga (1981).

…..… 13

Gambar 7. Peta habitat perairan laut dangkal dan mangrove kawasan perairan Maumere, Kab. Sikka, Nusa Tenggara Timur

………..……… 14

Gambar 8. Peta persentase tutupan karang hidup di masing- masing stasiun ………… 16 Gambar 9. Persentase tutupan biotik dan abiotik di masing-masing stasiun

pengamatan ……..……… 16

Gambar 10. Peta persentasi tutupan karang di stasiun monitoring di perairan Maumere, Sikka, 2015

…………… 22

Gambar 11. Variasi jumlah jenis ikan karang dari 7 suku ikan ekonomis penting yang berhasil ditemukan selama sensus visual berdasarkan lokasi atau stasiun penelitian di perairan terumbu karang Sikka, Flores, 2015

………… 23

Gambar 12. Jumlah jenis ikan karang dari 7 suku ekonomis penting di stasiun penelitian

………… 24

Gambar 13. Jumlah jenis ikan kepe-kepe dari kelompok suku Chaetodontidae menurut lokasi penelitian di perairan Sikka, Flores, 2015

…..…… 25

Gambar 14. Tingkat kepadatan ikan karang dari 7 suku ekonomis penting menurut lokasi penelitian di perairan terumbu karang Sikka, Flores, 2015

…… 26

Gambar 15. Biomassa ikan karang dari 7 suku ikan ekonomis penting berdasarkan lokasi penelitian di perairan terumbu karang Teluk Sikka, Flores, 2015

…………..…… 28

Gambar 16. Peta biomassa ikan karang dari 7 suku ikan ekonomis penting di stasiun monitoring di perairan Maumere, Kabupaten Sikka, 2015

……..…… 28

Gambar 17. Diagram perbandingan jumlah individu megabenthos di perairan Sikka -Maumere

……..…… 29

Gambar 18. Grafik Persentase Penutupan Lamun pada Stasiun Monitoring ……….…… 36 Gambar 19. Daun Sonneratia alba, yang digunakan sebagai pakan

ternak (kiri); media sosialisasi Peraturan Desa tentang perlindungan kawasan pesisir di Desa Darat Pantai (kanan)

…………..…… 38

vii

Kepadatan Ikan Karang ……………………………………………………. 26

Biomassa Ikan Karang ……………………….……………………………. 26

MEGA BENTOS ……………………..……………………………………………. 29

Komposisi Jenis dan Kepadatan Mega Bentos …………...……………… 30

LAMUN ………………..…………………………………………..………………. 34

MANGROVE ………………..…………………………………………..…………… 36

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………..………………. 39

Kesimpulan ………………………………………………………..………………. 39

Saran …………………………………………...…………………...………………. 40

DAFTAR PUSTAKA …………………………………...…………………..………………. 41

LAMPIRAN …..………………………………………...…………………..……………… 43

Page 13: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

ix

viii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Peta stasiun monitoring di perairan Maumere, Sikka, 2015 ……….………… 2

Gambar 2. Ilustrasi pengambilan foto dengan metode UPT …………………..…………... 5 Gambar 3. Skema Transek Kuadrat ………………………..………………………….……. 8 Gambar 4. Peta sebaran stasiun permanen untuk pemantauan ekosistem

mangrove COREMAP-CTI di KKPD Kabupaten Sikka ………..…… 10

Gambar 5. Citra dasar perairan laut dangkal perairan sekitar Pulau Besar sebelum dilakukan proses penajaman citra.

………… 12

Gambar 6. Citra dasar perairan laut dangkal perairan sekitar Pulau Besar setelah dilakukan proses penajaman citra menggunakan algoritma Lyzenga (1981).

…..… 13

Gambar 7. Peta habitat perairan laut dangkal dan mangrove kawasan perairan Maumere, Kab. Sikka, Nusa Tenggara Timur

………..……… 14

Gambar 8. Peta persentase tutupan karang hidup di masing- masing stasiun ………… 16 Gambar 9. Persentase tutupan biotik dan abiotik di masing-masing stasiun

pengamatan ……..……… 16

Gambar 10. Peta persentasi tutupan karang di stasiun monitoring di perairan Maumere, Sikka, 2015

…………… 22

Gambar 11. Variasi jumlah jenis ikan karang dari 7 suku ikan ekonomis penting yang berhasil ditemukan selama sensus visual berdasarkan lokasi atau stasiun penelitian di perairan terumbu karang Sikka, Flores, 2015

………… 23

Gambar 12. Jumlah jenis ikan karang dari 7 suku ekonomis penting di stasiun penelitian

………… 24

Gambar 13. Jumlah jenis ikan kepe-kepe dari kelompok suku Chaetodontidae menurut lokasi penelitian di perairan Sikka, Flores, 2015

…..…… 25

Gambar 14. Tingkat kepadatan ikan karang dari 7 suku ekonomis penting menurut lokasi penelitian di perairan terumbu karang Sikka, Flores, 2015

…… 26

Gambar 15. Biomassa ikan karang dari 7 suku ikan ekonomis penting berdasarkan lokasi penelitian di perairan terumbu karang Teluk Sikka, Flores, 2015

…………..…… 28

Gambar 16. Peta biomassa ikan karang dari 7 suku ikan ekonomis penting di stasiun monitoring di perairan Maumere, Kabupaten Sikka, 2015

……..…… 28

Gambar 17. Diagram perbandingan jumlah individu megabenthos di perairan Sikka -Maumere

……..…… 29

Gambar 18. Grafik Persentase Penutupan Lamun pada Stasiun Monitoring ……….…… 36 Gambar 19. Daun Sonneratia alba, yang digunakan sebagai pakan

ternak (kiri); media sosialisasi Peraturan Desa tentang perlindungan kawasan pesisir di Desa Darat Pantai (kanan)

…………..…… 38

vii

Kepadatan Ikan Karang ……………………………………………………. 26

Biomassa Ikan Karang ……………………….……………………………. 26

MEGA BENTOS ……………………..……………………………………………. 29

Komposisi Jenis dan Kepadatan Mega Bentos …………...……………… 30

LAMUN ………………..…………………………………………..………………. 34

MANGROVE ………………..…………………………………………..…………… 36

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………..………………. 39

Kesimpulan ………………………………………………………..………………. 39

Saran …………………………………………...…………………...………………. 40

DAFTAR PUSTAKA …………………………………...…………………..………………. 41

LAMPIRAN …..………………………………………...…………………..……………… 43

Page 14: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

x

Page 15: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

xi

ix

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kode masing-masing biota dan subtrat …………………………...………… 6

Tabel 2. Pengelompokkan kondisi terumbu karang berdasarkan nilai persentase tutupan karang hidup

………… 6

Tabel 3: Kategori tutupan lamun ………….…………………..………………………. 9

Tabel 4. Posisi geografis dan tipe substrat stasiun permanen pemantauan mangrove di wilayah KKPD Kabupaten Sikka

……………… 10

Tabel 5. Substrat dasar perairan yang dikelompokkan dalam 4 klas …………… 14

Tabel 6. Luasan habitat perairan laut dangkal dan mangrove perairan Maumere, Kab. Sika, Nusa Tenggara Timur.

………….… 14

Tabel 7. Jumlah individu, kepadatan dan jumlah jenis ikan kepe-kepe menurut stasiun penelitian di perairan Sikka, Flores, 2015

……..……… 25

Tabel 8. Komposisi jenis ikan karang dari 7 suku terpilih ……………………………. 27

Tabel 9. Pola kehadiran megabenthos pada setiap stasiun pengamatan ………… 29

Tabel 10. Pola kehadiran spesies megabentos pada setiap stasiun di perairan Kabupaten Kabupaten Sikka, Maumere

……………… 30

Tabel 11. Penyebaran Jenis Lamun pada Stasiun Monitoring ………………….…… 34

Tabel 12. Persentase Penutupan Lamun pada Stasiun Monitoring …………….…… 35

Tabel 13. Jumlah jenis dalam plot permanen, persentase tutupan kanopi dan jenis yang mendominasi pada 13 stasiun pemantauan mangrove COREMAP CTI di wilayah KKPD Teluk Maumere.

……….… 37

Page 16: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

xii

1

BAB I. PENDAHULUAN

Kegiatan COREMAP Fase III kali ini yang diberi nama COREMAP CTI yang direncanakan

berlangsung selama 5 tahun (2015-2019), dilakukan di 15 lokasi COREMAP. Pada COREMAP

CTI ini ada penambahan lokasi baru yang sebelumnya tidak ada di COREMAP fase II. Lokasi

lokasi baru yang ditambahkan adalah lokasi perairan Kawasan Konservasi Perairan Nasional

(KKPN) yang pengelolaannya ada dibawah Kementrian Kelautan dan Perikanan.

Salah satu lokasi COREMAP adalah Kabupaten Sikka dengan Ibukota Maumere yang terletak di

sebelah timur Pulau Flores Wilayah Kabupaten Sikka yang luasnya 7.553,24 km². Wilayahnya

terdiri dari laut yang luasnya mencapai 5.821,33 km² atau 77,07 % merupakan perairan laut.

Didalamnya terdapat 17 buah pulau dan dikelilingi garis pantai sepanjang 444,50 km.

(www.sikkakab.go.id). Luas terumbu karang di kabupaten ini ± 104,92 km2 yang terdiri dari

terumbu karang tepi (fringing reef) yang terdapat di pesisir daratan pulau utama (Pulau Flores)

maupun di pesisir (Winardi & Manuputty, 2007).

Ekosistem terumbu karang, padang lamun, serta mangrove merupakan ekosistem yang memiliki

peranan penting sebagai sumber nutrisi serta tempat hidup bagi banyak biota laut. Oleh karena itu,

ketiga ekosistem tersebut dijadikan panduan didalam pengelolaan laut dan pesisir (Dahuri, 1996).

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 mengenai pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau

kecil juga mengatur pemanfaatan yang tidak merusak serta perlindungan terhadap ketiga

ekosistem tersebut. Keanekaragaman ekosistem pesisir dan laut yang terdapat di perairan Sikka

merupakan sumberdaya yang penting untuk dilindungi mengingat besarnya ketergantungan

masyarakat terhadap ekosistem tersebut.

TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan data awal (baseline study) mengenai

kesehatan terumbu karang yang meliputi penelitian karang, ikan karang dan mega bentos, serta

data awal mengenai ekosistem terkait yakni ekosistem padang lamun dan ekosistem mangrove di

perairan Sikka untuk COREMAP CTI.

Page 17: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

1

1

BAB I. PENDAHULUAN

Kegiatan COREMAP Fase III kali ini yang diberi nama COREMAP CTI yang direncanakan

berlangsung selama 5 tahun (2015-2019), dilakukan di 15 lokasi COREMAP. Pada COREMAP

CTI ini ada penambahan lokasi baru yang sebelumnya tidak ada di COREMAP fase II. Lokasi

lokasi baru yang ditambahkan adalah lokasi perairan Kawasan Konservasi Perairan Nasional

(KKPN) yang pengelolaannya ada dibawah Kementrian Kelautan dan Perikanan.

Salah satu lokasi COREMAP adalah Kabupaten Sikka dengan Ibukota Maumere yang terletak di

sebelah timur Pulau Flores Wilayah Kabupaten Sikka yang luasnya 7.553,24 km². Wilayahnya

terdiri dari laut yang luasnya mencapai 5.821,33 km² atau 77,07 % merupakan perairan laut.

Didalamnya terdapat 17 buah pulau dan dikelilingi garis pantai sepanjang 444,50 km.

(www.sikkakab.go.id). Luas terumbu karang di kabupaten ini ± 104,92 km2 yang terdiri dari

terumbu karang tepi (fringing reef) yang terdapat di pesisir daratan pulau utama (Pulau Flores)

maupun di pesisir (Winardi & Manuputty, 2007).

Ekosistem terumbu karang, padang lamun, serta mangrove merupakan ekosistem yang memiliki

peranan penting sebagai sumber nutrisi serta tempat hidup bagi banyak biota laut. Oleh karena itu,

ketiga ekosistem tersebut dijadikan panduan didalam pengelolaan laut dan pesisir (Dahuri, 1996).

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 mengenai pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau

kecil juga mengatur pemanfaatan yang tidak merusak serta perlindungan terhadap ketiga

ekosistem tersebut. Keanekaragaman ekosistem pesisir dan laut yang terdapat di perairan Sikka

merupakan sumberdaya yang penting untuk dilindungi mengingat besarnya ketergantungan

masyarakat terhadap ekosistem tersebut.

TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan data awal (baseline study) mengenai

kesehatan terumbu karang yang meliputi penelitian karang, ikan karang dan mega bentos, serta

data awal mengenai ekosistem terkait yakni ekosistem padang lamun dan ekosistem mangrove di

perairan Sikka untuk COREMAP CTI.

Page 18: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

2

3

WAKTU PENELITIAN

Penelitian dilakukan di perairan Sikka pada 5-13 Juni 2015. Penelitian ini merupakan penelitian

awal (baseline study) di 3 ekosistem yaitu Ekositem karang yang meliputi Penelitian Karang,

Ikan Karang dan Megabentos, Ekosistem Lamun dan ekosistem Mangrove serta Pemetaan

habitat

PELAKSANA PENELITIAN

Pelaksanaan penelitian dilakukan oleh para peneliti dan pembantu peneliti di lingkungan P2O

LIPI di bidang SIG, karang, ikan karang, megabentos, dan mangrove. Sedangkan untuk bidang

lamun dibantu dengan peneliti dari Universitas Pattimura, Ambon dan 3 staf lokal dan 3 tenaga

lokal dari Dinas Kelautan dan Perikanan Sikka, Bappeda dan Lembaga Swadaya Masyarakat.

BAB II. METODE DAN ANALISIS DATA

PEMETAAN HABITAT/SIG

Peralatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah GPS Trimble Juno, kamera bawah air

dan catatan lapangan, sedangkan wahana penelitian adalah perahu yang memungkinkan

menembus perairan dangkal dan penjelajahan lapangan (tanpa wahana perahu) yang hanya bisa

dilakukan pada saat laut sedang surut. Metode yang dipergunakan adalah ground truth, yakni

mendiskripsi secara visual jenis substrat dasar perairan meliputi komposisi persentase material

penyusun pada bentangan 15 m x 15 m, sedangkan posisi geografis dicatat menggunakan GPS

dalam format derajad, desimal berdasar datum WGS 84.

Pengolahan dan Analisis Data

Metode analisis dilakukan menggunakan metode penginderaan jauh. Bahan yang digunakan

untuk memetakan habitat perairan dangkal dan mangrove di perairan Maumere dan sekitarnya

adalah citra satelit LANDSAT 8 path/row 112/66 perekaman 5 Mei 2015. Pemetaan habitat

perairan dangkal dilakukan melalui proses penajaman citra dan klasifikasi multispektral.

Penajaman citra dilakukan untuk mengurangi pengaruh gangguan kolom air, sehingga objek

dasar perairan dangkal dapat terlihat lebih jelas. Teknik penajaman yang digunakan adalah

transformasi citra dengan menggunakan algoritma yang dikembangkan oleh Lyzenga (1981) dan

Principal Component Analysis (PCA) untuk menghasilkan beberapa citra yang tidak berkorelasi

2

LINGKUP PENELITIAN

Ruang lingkup dalam rangka melakukan penelitian ini meliputi beberapa tahapan yakni:

1. Tahap persiapan, yakni melakukan komunikasi dengan instansi terkait di wilayah lokasi

penelitian, kegiatan administrasi dan persiapan peralatan serta transportasi yang dibutuhkan

dalam penelitian.

2. Pengumpulan Data, yakni melakukan pengambilan data yang dibutuhkan secara langsung di

lapangan sesuai dengan tujuan kegiatan penelitian.

3. Analisa data, yaitu pengolahan data yang telah diperoleh agar data dapat tersaji dan

dipahami.

4. Pelaporan yakni membuat laporan sementara dan laporan akhir sebagai bentuk pertanggung

jawaban dari kegiatan yang telah dilakukan.

LOKASI PENELITIAN

Lokasi penelitian dilakukan di 14 stasiun pengamatan yang (Gambar 1).

Gambar 1. Peta stasiun monitoring di perairan Maumere, Sikka, 2015

Page 19: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

3

3

WAKTU PENELITIAN

Penelitian dilakukan di perairan Sikka pada 5-13 Juni 2015. Penelitian ini merupakan penelitian

awal (baseline study) di 3 ekosistem yaitu Ekositem karang yang meliputi Penelitian Karang,

Ikan Karang dan Megabentos, Ekosistem Lamun dan ekosistem Mangrove serta Pemetaan

habitat

PELAKSANA PENELITIAN

Pelaksanaan penelitian dilakukan oleh para peneliti dan pembantu peneliti di lingkungan P2O

LIPI di bidang SIG, karang, ikan karang, megabentos, dan mangrove. Sedangkan untuk bidang

lamun dibantu dengan peneliti dari Universitas Pattimura, Ambon dan 3 staf lokal dan 3 tenaga

lokal dari Dinas Kelautan dan Perikanan Sikka, Bappeda dan Lembaga Swadaya Masyarakat.

BAB II. METODE DAN ANALISIS DATA

PEMETAAN HABITAT/SIG

Peralatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah GPS Trimble Juno, kamera bawah air

dan catatan lapangan, sedangkan wahana penelitian adalah perahu yang memungkinkan

menembus perairan dangkal dan penjelajahan lapangan (tanpa wahana perahu) yang hanya bisa

dilakukan pada saat laut sedang surut. Metode yang dipergunakan adalah ground truth, yakni

mendiskripsi secara visual jenis substrat dasar perairan meliputi komposisi persentase material

penyusun pada bentangan 15 m x 15 m, sedangkan posisi geografis dicatat menggunakan GPS

dalam format derajad, desimal berdasar datum WGS 84.

Pengolahan dan Analisis Data

Metode analisis dilakukan menggunakan metode penginderaan jauh. Bahan yang digunakan

untuk memetakan habitat perairan dangkal dan mangrove di perairan Maumere dan sekitarnya

adalah citra satelit LANDSAT 8 path/row 112/66 perekaman 5 Mei 2015. Pemetaan habitat

perairan dangkal dilakukan melalui proses penajaman citra dan klasifikasi multispektral.

Penajaman citra dilakukan untuk mengurangi pengaruh gangguan kolom air, sehingga objek

dasar perairan dangkal dapat terlihat lebih jelas. Teknik penajaman yang digunakan adalah

transformasi citra dengan menggunakan algoritma yang dikembangkan oleh Lyzenga (1981) dan

Principal Component Analysis (PCA) untuk menghasilkan beberapa citra yang tidak berkorelasi

Page 20: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

4

5

menggunakan metode UPT (Underwater Photo Transect) (Giyanto et al., 2010; Giyanto, 2012a;

Giyanto, 2012b) untuk mengetahui kondisi terumbu karang di masing-masing stasiun penelitian.

Adapun teknis pelaksanaan metode UPT di lapangan adalah sebagai berikut:

Pada masing-masing stasiun penelitian, pita meteran (roll meter) sepanjang 50 meter sebagai

garis transek diletakkan sejajar garis pantai pada kedalaman dimana karang umum dijumpai,

yaitu pada kedalaman sekitar 4-7 meter. Saat melakukan peletakan pita meteran, posisi daratan

pulau berada di bagian kiri. Selanjutnya dilakukan pemotretan sepanjang garis transek mulai

meter ke-1 hingga meter ke-50 dengan jarak antar pemotretan sepanjang 1 meter. Pemotretan

pada meter ke-1 (frame 1), meter ke-3 (frame 3) dan frame-frame berikutnya dengan nomer ganjil

dilakukan disebelah kanan garis transek, sedangkan untuk frame-frame dengan nomer genap

(frame 2, frame 4, dan seterusnya) dilakukan di sebelah kiri garis transek. Untuk setiap

pemotretan dilakukan pada jarak sekitar 60 cm dari dasar substrat sehingga luas bidang setiap

frame pemotretan sekitar 2500 m2. Ilustrasi pengambilan foto ditampilkan pada gambar 2.

Gambar 2. Ilustrasi pengambilan foto dengan metode UPT.

Pengolahan dan Analisis Data

Analisis foto berdasarkan foto hasil pemotretan dilakukan menggunakan komputer dan piranti

lunak (software) CPCe (Kohler & Gill 2006). Sebanyak 30 sampel titik acak dipilih untuk setiap

frame foto, dan untuk setiap titiknya diberi kode sesuai dengan kode masing-masing kategori dan

biota dan substrat yang berada pada titik acak tersebut (Tabel 1).

Selanjutnya dihitung persentase tutupan masing-masing kategori biota dan substrat untuk setiap

frame foto menggunakan rumus:

4

karena data citra multispektral seringkali berkorelasi tinggi antar tiap piksel pada saluran (band)

yang berbeda (Richards, 1999). Klasifikasi multispektral dilakukan untuk mengelompokkan piksel

citra yang memiliki karakteristik yang hampir sama menjadi beberapa kelompok berdasarkan

objek yang di amati, dalam hal ini adalah objek dasar perairan dangkal. Teknik klasifikasi yang

digunakan adalah klasifikasi multispektral terbimbing dengan algoritma maximum likelihood.

Saluran panjang gelombang yang digunakan untuk pemetaan perairan dangkal adalah saluran

biru (saluran 2), saluran hijau (saluran 3), saluran merah (saluran 4), dan saluran inframerah

dekat (saluran 5). Saluran biru, hijau, dan merah merupakan spektrum tampak. Spektrum tampak

memiliki kemampuan yang baik untuk berpenetrasi ke dalam kolom air, sehingga dapat

digunakan untuk membedakan objek sebatas pada perairan dangkal (Campbell, 1996). Saluran

inframerah dekat, digunakan untuk membatasi wilayah daratan dan perairan karena spektrum

tersebut diserap oleh air sehingga pada citra berwarna gelap (hitam). Perbedaan warna yang

kontras tersebut (gelap dan terang) memudahkan pembedaan wilayah daratan dan perairan pada

citra satelit.

Pembedaan objek vegetasi mangrove dengan vegetasi lainnya dilakukan dengan memanfaatkan

komposit citra RGB 562. Saluran 5 merupakan saluran inframerah dekat (0,8646 um) yang peka

terhadap pantulan spektral vegetasi yang berhubungan dengan struktur internal daun. Pada

saluran ini vegetasi mangrove dapat diidentifikasi berdasarkan diversivitasnya (keanekaragaman

jenis). Hal ini terkait dengan adanya perbedaan struktur internal dari vegetasi mangrove. Saluran

inframerah tengah (1,6090 um) memiliki karakteristik pancaran vegetasi yang dipengaruhi oleh

serapan air sehingga tumbuhan mangrove akan memberikan warna dan rona yang gelap. Hal ini

disebabkan karena tumbuhan mangrove pada umumnya mengandung air dalam jumlah yang

besar (Sato, 1996 dalam Hudaya, 2004).

Survei lapangan digunakan untuk mengetahui kenampakan sebenarnya dilapangan yang

terekam oleh citra satelit. Pengambilan titik pengamatan dilakukan secara sistematis dengan

membuat jalur transek mulai dari garis pantai hingga ujung terumbu atau tubir. Pengamatan

dilakukan menggunakan teknik snorkeling serta berhenti sejenak untuk mencatat ketika terjadi

perubahan kenampakan didasar perairan. Setiap titik pengamatan dicatat lokasinya

menggunakan alat receiver GPS.

KARANG

Pengamatan visual secara bebas mulai dari bagian pinggir pantai hingga ke bagian terumbu

tempat dilakukannya transek di masing-masing stasiun penelitian dilakukan untuk mendapatkan

gambaran umum tentang stasiun penelitian. Selain itu juga dilakukan pengambilan data

Page 21: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

5

5

menggunakan metode UPT (Underwater Photo Transect) (Giyanto et al., 2010; Giyanto, 2012a;

Giyanto, 2012b) untuk mengetahui kondisi terumbu karang di masing-masing stasiun penelitian.

Adapun teknis pelaksanaan metode UPT di lapangan adalah sebagai berikut:

Pada masing-masing stasiun penelitian, pita meteran (roll meter) sepanjang 50 meter sebagai

garis transek diletakkan sejajar garis pantai pada kedalaman dimana karang umum dijumpai,

yaitu pada kedalaman sekitar 4-7 meter. Saat melakukan peletakan pita meteran, posisi daratan

pulau berada di bagian kiri. Selanjutnya dilakukan pemotretan sepanjang garis transek mulai

meter ke-1 hingga meter ke-50 dengan jarak antar pemotretan sepanjang 1 meter. Pemotretan

pada meter ke-1 (frame 1), meter ke-3 (frame 3) dan frame-frame berikutnya dengan nomer ganjil

dilakukan disebelah kanan garis transek, sedangkan untuk frame-frame dengan nomer genap

(frame 2, frame 4, dan seterusnya) dilakukan di sebelah kiri garis transek. Untuk setiap

pemotretan dilakukan pada jarak sekitar 60 cm dari dasar substrat sehingga luas bidang setiap

frame pemotretan sekitar 2500 m2. Ilustrasi pengambilan foto ditampilkan pada gambar 2.

Gambar 2. Ilustrasi pengambilan foto dengan metode UPT.

Pengolahan dan Analisis Data

Analisis foto berdasarkan foto hasil pemotretan dilakukan menggunakan komputer dan piranti

lunak (software) CPCe (Kohler & Gill 2006). Sebanyak 30 sampel titik acak dipilih untuk setiap

frame foto, dan untuk setiap titiknya diberi kode sesuai dengan kode masing-masing kategori dan

biota dan substrat yang berada pada titik acak tersebut (Tabel 1).

Selanjutnya dihitung persentase tutupan masing-masing kategori biota dan substrat untuk setiap

frame foto menggunakan rumus:

Page 22: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

6

7

Identifikasi jenis ikan menggunakan beberapa buku petunjuk bergambar/field guide ikan karang

(Allen et al. 2009; Allen & Steene, 1996; Kuiter & Tonozuka, 2001). Pendekatan yang digunakan

dalam menaksir panjang ikan dalam air adalah metode “sticks” (Wilson & Green, 2009), yaitu

mencoba untuk menaksir panjang total ikan dari mulai ujung mulut ikan sampai ujung sirip ekor

dan jumlah ikan yang tersensus dikelompokan ke dalam panjang taksiran (cm) dengan kelipatan

5.

Analisis Data

Keanekaragaman jenis adalah jumlah spesies ikan karang yang teridentifikasi selama

penyelaman.

Kepadatan (D) adalah jumlah individu seluruh spesies ikan karang per luas area pengamatan.

Berikut ini rumus jumlah individu seluruh spesies ikan karang per luas area pengamatan

Biomassa ikan diperoleh melalui penggunaan rumus hubungan panjang berat, dimana dengan

menyiapkan konstanta “a” dan ‘b” dari setiap species, maka melalui jalan subsitusi nilai panjang

pada rumus W = a x Lb akan didapat data berat ikan. Nilai “a” dan “b” dapat dicari di situs web

“fishbase” untuk setiap jenis ikan target Froese & Pauly (2014).

Sediaan ikan dalam satuan biomassa (B) adalah berat individu ikan target (W) per luas area

pengamatan. Rumus berat individu ikan ekonomis penting (W) per luas area pengamatan

MEGA BENTOS

Metode pengambilan data menggunakan metode “Reefefcheck – Invertebrate Belt Transect”

pada garis transek sepanjang 70 meter dengan area pengamatan 1 meter di kanan dan kiri

transek. Metode pengambilan data megabenthos hanya menargetkan 8 biota yang menjadi target

pendataan, yaitu: Kima (Tridacna spp.), Bintang Bulu Seribu (Acanthaster planci), Bulu babi

(Echinoids), Teripang (Holothurians), Keong Drupela (Drupella spp.), Lola (Trochus spp.), Lobster

(Panulirus spp.) dan Bintag laut (Linchia Spp).

6

Tabel 1. Kode masing-masing biota dan subtrat

Berdasarkan nilai persentase tutupan karang hidup dapat ditentukan kondisi kondisi terumbu

karang seperti pengelompokan yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Oseanografi – Lembaga

Ilmu Pengetahuan Indonesia (Puslit Oseanografi-LIPI) (Tabel 2).

Tabel 2. Pengelompokkan kondisi terumbu karang berdasarkan nilai persentase tutupan karang hidup.

Tutupan Karang Hidup (%) Kriteria Penilaian

75 – 100

50 – 74,9

25 – 49,9

0 – 24,9

Sangat baik

Baik

Cukup

Kurang

IKAN KARANG

Pengambilan data dilakukan dengan sensus visual (English et al., 1994), dengan menggunakan

alat selam (SCUBA) pada transek sabuk dengan luas area sensus 70 m x 5 m. Unit analisis

mencakup kelompok Coralivore (Chetodontidae) dan kelompok ikan ekonomis penting. Data

yang dikumpulkan adalah jumlah jenis, panjang ikan (dalam centimeter) dan jumlah individu.

Jenis, jumlah individu ikan dan perkiraan panjang ikan dicatat dalam data sheet kedap air.

Page 23: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

7

7

Identifikasi jenis ikan menggunakan beberapa buku petunjuk bergambar/field guide ikan karang

(Allen et al. 2009; Allen & Steene, 1996; Kuiter & Tonozuka, 2001). Pendekatan yang digunakan

dalam menaksir panjang ikan dalam air adalah metode “sticks” (Wilson & Green, 2009), yaitu

mencoba untuk menaksir panjang total ikan dari mulai ujung mulut ikan sampai ujung sirip ekor

dan jumlah ikan yang tersensus dikelompokan ke dalam panjang taksiran (cm) dengan kelipatan

5.

Analisis Data

Keanekaragaman jenis adalah jumlah spesies ikan karang yang teridentifikasi selama

penyelaman.

Kepadatan (D) adalah jumlah individu seluruh spesies ikan karang per luas area pengamatan.

Berikut ini rumus jumlah individu seluruh spesies ikan karang per luas area pengamatan

Biomassa ikan diperoleh melalui penggunaan rumus hubungan panjang berat, dimana dengan

menyiapkan konstanta “a” dan ‘b” dari setiap species, maka melalui jalan subsitusi nilai panjang

pada rumus W = a x Lb akan didapat data berat ikan. Nilai “a” dan “b” dapat dicari di situs web

“fishbase” untuk setiap jenis ikan target Froese & Pauly (2014).

Sediaan ikan dalam satuan biomassa (B) adalah berat individu ikan target (W) per luas area

pengamatan. Rumus berat individu ikan ekonomis penting (W) per luas area pengamatan

MEGA BENTOS

Metode pengambilan data menggunakan metode “Reefefcheck – Invertebrate Belt Transect”

pada garis transek sepanjang 70 meter dengan area pengamatan 1 meter di kanan dan kiri

transek. Metode pengambilan data megabenthos hanya menargetkan 8 biota yang menjadi target

pendataan, yaitu: Kima (Tridacna spp.), Bintang Bulu Seribu (Acanthaster planci), Bulu babi

(Echinoids), Teripang (Holothurians), Keong Drupela (Drupella spp.), Lola (Trochus spp.), Lobster

(Panulirus spp.) dan Bintag laut (Linchia Spp).

Page 24: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

8

9

Tabel 3: Kategori tutupan lamun

Penentuan Status Padang Lamun

Kriteria status padang lamun

MANGROVE

Persentase tutupan mangrove dihitung dengan menggunakan metode Hemispherical

Photography. Pemantauan persentase tutupan kanopi mangrove dilakukan dalam 13 stasiun

permanen di area KKPD Teluk Maumere. Sebaran dan deskripsi stasiun penelitian disajikan

dalam Tabel 4. Stasiun permanen terdiri dari tiga plot (total 39 plot) dibuat berdasarkan

persyaratan dalam Dharmawan & Pramudji (2014). Setiap plot dibagi menjadi 4-9 kuadran

dimana setiap kuadran diambil satu kali foto berdasarkan persyaratan yang sudah ditentukan.

Pengambilan foto dilakukan dengan menggunakan kamera 5 megapixel Himax Polymer

Octacore.

8

LAMUN

Metode yang digunakan adalah transek kuadrat yang dimodifikasi dari metode Seagrass Watch.

Pengambilan data dilakukan pada tiga transek dengan jarak antar transek 50 m. Transek

pertama dicatat posisi koordinatnya dan ditandai dengan patok besi yang dipasang pelampung.

Transek nomor 2 dan 3 ditentukan ke arah sebelah kanan dengan posisi pengamat menghadap

ke laut. Jarak antar kuadrat pada masing-masing transek adalah 10 m, dan kuadrat yang

digunakan adalah ukuran 50 x 50 cm atau 0.25 m2 (Gambar 3).

Kesehatan lamun ditentukan berdasarkan persentase penutupan lamun pada kuadrat ukuran

0.25 m2 yang dibagi lagi menjadi 4 kotak kecil. Penilaian penutupan lamun dalam kotak kecil

berdasarkan Saito and Atobe, (1970) dalam English et al., (1994) yang dimodifikasi.(Tabel 3).

Pada masing masing kuadrat diamati juga substrat dan biota yang berasosiasi dengan lamun.

Gambar 3. Skema Transek Kuadrat

Analisis Penutupan Lamun

Penutupan lamun dalam satu kuadrat dihitung dengan menjumlahkan nilai tutupan lamun pada

setiap kotak kecil (4 kotak), dan hasilnya kemudian dikali dengan 100. Rumus penutupan lamun

(%) adalah sebagai berikut:

Page 25: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

9

9

Tabel 3: Kategori tutupan lamun

Penentuan Status Padang Lamun

Kriteria status padang lamun

MANGROVE

Persentase tutupan mangrove dihitung dengan menggunakan metode Hemispherical

Photography. Pemantauan persentase tutupan kanopi mangrove dilakukan dalam 13 stasiun

permanen di area KKPD Teluk Maumere. Sebaran dan deskripsi stasiun penelitian disajikan

dalam Tabel 4. Stasiun permanen terdiri dari tiga plot (total 39 plot) dibuat berdasarkan

persyaratan dalam Dharmawan & Pramudji (2014). Setiap plot dibagi menjadi 4-9 kuadran

dimana setiap kuadran diambil satu kali foto berdasarkan persyaratan yang sudah ditentukan.

Pengambilan foto dilakukan dengan menggunakan kamera 5 megapixel Himax Polymer

Octacore.

Page 26: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

10

11

BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN

SIG

Pra-pemrosesan

Citra yang digunakan merupakan citra LANDSAT 8 level 1T, artinya citra tersebut sudah

dikoreksi geometrinya dengan memasukkan posisi atau koordinat geografis yang

mempertimbangkan juga pergeseran yang diakibatkan oleh bentuk relief permukaan bumi

(Orthorectified). Jika dibandingkan dengan peta dasar sebagai acuan yaitu peta Rupabumi

Indonesia, citra yang digunakan sudah memiliki geometri yang baik. Hal tersebut ditunjukkan

dengan kesesuaian posisi koordinat antara objek di citra maupun di peta dasar.

Kualitas resolusi spasial citra LANDSAT multispektral dapat ditingkatkan dengan memanfaatkan

saluran pankromatik. Saluran pankromatik LANDSAT 8 memiliki resolusi spasial 15 meter x 15

meter, sedangkan multispektralnya hanya 30 meter x 30 meter. Teknik pan-sharpening dengan

algoritma Gram-Schmidt digunakan untuk proses tersebut. Algoritma tersebut memiliki akurasi

yang lebih baik dibandingkan dengan algoritma pan-sharpening lainnya, serta direkomendasikan

untuk berbagai aplikasi/pemanfaatan (Laben et al., 2000). Hasil dari proses tersebut adalah citra

satelit multispektral dengan resolusi spasial 15 meter x 15 meter.

Koreksi radiometri citra dilakukan untuk menghilangkan efek gangguan atmosfer seperti kabut

atau awan tipis. Gangguan tersebut menyebabkan nilai digital (DN) citra tidak bernilai “0” pada

objek tergelap seperti bayangan awan dan laut dalam. Koreksi radiometri citra dilakukan untuk

menghilangkan efek gangguan atmosfer seperti kabut atau awan tipis. Gangguan tersebut

menyebabkan nilai digital (DN) citra tidak bernilai “0” pada objek tergelap seperti bayangan awan

dan laut dalam. Hal tersebut dapat diatasi dengan cara mengurangi DN seluruh liputan citra

dengan DN minimum. Metode tersebut dikenal dengan dark substraction. DN minimum

didapatkan dari analisis histogram citra diliputan laut dalam. Hasil analisis pada tahapan tersebut

disajikan pada Gambar 5.

10

Tabel 4. Posisi geografis dan tipe substrat stasiun permanen pemantauan mangrove di wilayah KKPD Kabupaten Sikka.

Analisis Data

Foto dianalisis dengan menggunakan software ImageJ dan Microsoft Excel untuk dihitung

persentase tutupannya. Kondisi rata-rata tutupan mangrove dikategorikan menjadi tiga kelompok,

yaitu padat (>75%); sedang (antara 50 – 75%) dan jarang (<50%) berdasarkan Keputusan

Menteri Lingkungan Hidup No. 201 tahun 2004.

Gambar 4. Peta sebaran stasiun permanen untuk pemantauan ekosistem

mangrove COREMAP-CTI di KKPD Kabupaten Sikka.

Page 27: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

11

11

BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN

SIG

Pra-pemrosesan

Citra yang digunakan merupakan citra LANDSAT 8 level 1T, artinya citra tersebut sudah

dikoreksi geometrinya dengan memasukkan posisi atau koordinat geografis yang

mempertimbangkan juga pergeseran yang diakibatkan oleh bentuk relief permukaan bumi

(Orthorectified). Jika dibandingkan dengan peta dasar sebagai acuan yaitu peta Rupabumi

Indonesia, citra yang digunakan sudah memiliki geometri yang baik. Hal tersebut ditunjukkan

dengan kesesuaian posisi koordinat antara objek di citra maupun di peta dasar.

Kualitas resolusi spasial citra LANDSAT multispektral dapat ditingkatkan dengan memanfaatkan

saluran pankromatik. Saluran pankromatik LANDSAT 8 memiliki resolusi spasial 15 meter x 15

meter, sedangkan multispektralnya hanya 30 meter x 30 meter. Teknik pan-sharpening dengan

algoritma Gram-Schmidt digunakan untuk proses tersebut. Algoritma tersebut memiliki akurasi

yang lebih baik dibandingkan dengan algoritma pan-sharpening lainnya, serta direkomendasikan

untuk berbagai aplikasi/pemanfaatan (Laben et al., 2000). Hasil dari proses tersebut adalah citra

satelit multispektral dengan resolusi spasial 15 meter x 15 meter.

Koreksi radiometri citra dilakukan untuk menghilangkan efek gangguan atmosfer seperti kabut

atau awan tipis. Gangguan tersebut menyebabkan nilai digital (DN) citra tidak bernilai “0” pada

objek tergelap seperti bayangan awan dan laut dalam. Koreksi radiometri citra dilakukan untuk

menghilangkan efek gangguan atmosfer seperti kabut atau awan tipis. Gangguan tersebut

menyebabkan nilai digital (DN) citra tidak bernilai “0” pada objek tergelap seperti bayangan awan

dan laut dalam. Hal tersebut dapat diatasi dengan cara mengurangi DN seluruh liputan citra

dengan DN minimum. Metode tersebut dikenal dengan dark substraction. DN minimum

didapatkan dari analisis histogram citra diliputan laut dalam. Hasil analisis pada tahapan tersebut

disajikan pada Gambar 5.

Page 28: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

12

13

nilai ki/kj yang diperoleh yakni dengan melihat besarnya nilai R2. Idealnya nilai tersebut

mendekati 1 atau umumnya 0.999. Namun demikian mengingat sulit nya mencari habitat pasir

yang homogin dalam suatu citra, kadang hasil analisis tidak setajam yang diharapkan. Gambar 6

adalah citra hasil analisis menggunakan algoritma Lyzenga (1981).

Gambar 6. Citra dasar perairan laut dangkal perairan sekitar Pulau Besar setelah dilakukan proses penajaman citra menggunakan algoritma Lyzenga (1981).

Peta Habitat Perairan Dangkal

Berdasarkan hasil analisis citra dan dibantu dengan uji/cek lapangan, dapat dibuat peta

habitat perairan dangkal sementara sebaran mangrove di delineasi secara manual menggunakan

citra komposit RGB 562. Habitat perairan dangkal dilakukan menggunakan klasifikasi nearest

likelyhood berdasar panduan data observasi lapangan. Substrat dasar perairan dapat

dikelompokkan atas 4 klas yang disajikan pada Tabel 5, luas masing masing klas disajikan pada

Tabel 6, sedangkan peta habitat perairan laut dangkal yang terbentuk, disajikan pada Gambar 7.

12

Gambar 5. Citra dasar perairan laut dangkal perairan sekitar Pulau Besar sebelum dilakukan proses penajaman citra.

Tahapan selanjutnya mempertajam citra oleh pengaruh indeks kedalaman menggunakan

algorima sebagai mengambil nilai piksel yang menggambarkan substrat pasir dari lokasi yang

dianggap paling dalam, berturut turut menuju ke arah payang dikemukakan oleh Lyzenga (1981)

dengan persamaan sebagai berikut:

Keterangan: σii, jj: varian band i, atau band j σij : covarian band ij Li : Nilai digital pada band i. Lj : Nilai digital pada band j. ki/kj : Rasio koefisien atenuasi pada pasangan band i dan j.

Nilai ki/kj diperoleh dengan pengambilan nilai piksel pasir pada kedalaman yang berbeda.

Material pasir mudah dikenali pada citra komposit true color secara visual, yaitu berwarna cyan

atau biru muda untuk pasir pada air dangkal, serta berangsur-angsur warna biru muda menjadi

lebih gelap untuk pasir pada air yang lebih dalam. Nilai logaritmik piksel yang terrekam pada

saluran 2 (B2), 3 (Band 3) dan 4 (Band 4) di plot dalam suatu grafik. Dalam menguji ketelitian

Page 29: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

13

13

nilai ki/kj yang diperoleh yakni dengan melihat besarnya nilai R2. Idealnya nilai tersebut

mendekati 1 atau umumnya 0.999. Namun demikian mengingat sulit nya mencari habitat pasir

yang homogin dalam suatu citra, kadang hasil analisis tidak setajam yang diharapkan. Gambar 6

adalah citra hasil analisis menggunakan algoritma Lyzenga (1981).

Gambar 6. Citra dasar perairan laut dangkal perairan sekitar Pulau Besar setelah dilakukan proses penajaman citra menggunakan algoritma Lyzenga (1981).

Peta Habitat Perairan Dangkal

Berdasarkan hasil analisis citra dan dibantu dengan uji/cek lapangan, dapat dibuat peta

habitat perairan dangkal sementara sebaran mangrove di delineasi secara manual menggunakan

citra komposit RGB 562. Habitat perairan dangkal dilakukan menggunakan klasifikasi nearest

likelyhood berdasar panduan data observasi lapangan. Substrat dasar perairan dapat

dikelompokkan atas 4 klas yang disajikan pada Tabel 5, luas masing masing klas disajikan pada

Tabel 6, sedangkan peta habitat perairan laut dangkal yang terbentuk, disajikan pada Gambar 7.

Page 30: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

14

15

KARANG

Tutupan Karang

Hasil analisa dengan menggunakan CPCe versi 4.1. (Coral Point Count with Excel extension)

diperoleh nilai persentase tutupan karang batu bervariasi dari kondisi kategori rendah hingga

kategori sedang (1,8 - 34,47%). Persentase tutupan karang batu tertinggi terdapat di stasiun

MMRL 69 (34,47%) dan yang terendah di stasiun MMRL74 (1,87%). Kondisi tutupan karang

kategori sedang (25,00 - 49,9%) terdapat pada stasiun MMRL 75, MMRL 47A dan 69.

Sedangkan yang masuk dalam kategori jelek (< 25,0%) terdapat pada stasiun MMRL 74, MMRL

88, MMRL 21, MMRL 13, MMRL 80, MMRL 79, MMRL 37, MMRL 06, MMRL 65, MMRL 78 dan

MMRL 55. Hasil pengamatan kondisi karang hidup dengan metode CPCe pada masing-masing

stasiun di perairan Kabupaten Sikka dan sekitarnya disajikan dalam Gambar 8. Nilai persentase

tutupan karang batu yang dicatat pada setiap stasiun merupakan gabungan jenis-jenis karang

dari kelompok Acroporan dan Non-Acropora (Gambar 9.). Terumbu karang perairan Kabupaten

Sikka dan sekitarnya merupakan tipe terumbu karang tepi yang memiliki keragaman jenis karang

dan luas tutupan yang cukup variatif. Luas tutupan karang hidup sangat tergantung dari perilaku

manusia dalam memanfaatkan sumberdaya laut.

Dari kategori abiotik lainnya, tutupan DCA (dead coral with algae) dan rubble dominan,

persentase tutupan DCA tertinggi ada di stasiun MMRL 37 (53,87%) dan terendah di stasiun

MMRL 13 (10,13%). Hasil pengamatan substrat dan komponen biotik lainnya dengan metode

CPCe pada setiap stasiun di perairan Kab. Sikka dan sekitarnya disajikan dalam Gambar 4).

Sedangkan persentase tutupan tertinggi dari Rubble (patahan karang) terdapat di stasiun MMRL

74 (12,00%). Tingginya nilai persentase tutupan karang mati dapat saja disebabkan oleh faktor

alam maupun akibat aktivitas manusia. Akibat dari faktor alam adalah berupa ombak besar atau

badai sedangkan kerusakan yang disebabkan oleh ulah manusia berupa penggunaan bom dalam

menangkap ikan. Kegiatan seperti ini masih sering ditemui pada beberapa lokasi (daerah) di

perairan Indonesia.

Secara keseluruhan lokasi monitoring kab. Sikka memiliki perairan yang jernih, namun kondisi

persentase tutupan karang batu disemua stasiun pengamatan berada dalam kondisi yang rendah

hingga sedang (1,80% - 34,47%). Tutupan karang yang cukup variatif, komponen abiotik lainnya

serta substrat yang beragam memberi peluang (tempat) yang cukup besar bagi kehadiran ikan

maupun biota megabentos lainnya.

14

Tabel 5. Substrat dasar perairan yang dikelompokkan dalam 4 klas.

Tabel 6. Luasan habitat perairan laut dangkal dan mangrove perairan Maumere, Kab. Sikka, Nusa Tenggara Timur.

Gambar 7. Peta habitat perairan laut dangkal dan mangrove kawasan perairan

Maumere, Kab. Sikka, Nusa Tenggara Timur

Page 31: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

15

15

KARANG

Tutupan Karang

Hasil analisa dengan menggunakan CPCe versi 4.1. (Coral Point Count with Excel extension)

diperoleh nilai persentase tutupan karang batu bervariasi dari kondisi kategori rendah hingga

kategori sedang (1,8 - 34,47%). Persentase tutupan karang batu tertinggi terdapat di stasiun

MMRL 69 (34,47%) dan yang terendah di stasiun MMRL74 (1,87%). Kondisi tutupan karang

kategori sedang (25,00 - 49,9%) terdapat pada stasiun MMRL 75, MMRL 47A dan 69.

Sedangkan yang masuk dalam kategori jelek (< 25,0%) terdapat pada stasiun MMRL 74, MMRL

88, MMRL 21, MMRL 13, MMRL 80, MMRL 79, MMRL 37, MMRL 06, MMRL 65, MMRL 78 dan

MMRL 55. Hasil pengamatan kondisi karang hidup dengan metode CPCe pada masing-masing

stasiun di perairan Kabupaten Sikka dan sekitarnya disajikan dalam Gambar 8. Nilai persentase

tutupan karang batu yang dicatat pada setiap stasiun merupakan gabungan jenis-jenis karang

dari kelompok Acroporan dan Non-Acropora (Gambar 9.). Terumbu karang perairan Kabupaten

Sikka dan sekitarnya merupakan tipe terumbu karang tepi yang memiliki keragaman jenis karang

dan luas tutupan yang cukup variatif. Luas tutupan karang hidup sangat tergantung dari perilaku

manusia dalam memanfaatkan sumberdaya laut.

Dari kategori abiotik lainnya, tutupan DCA (dead coral with algae) dan rubble dominan,

persentase tutupan DCA tertinggi ada di stasiun MMRL 37 (53,87%) dan terendah di stasiun

MMRL 13 (10,13%). Hasil pengamatan substrat dan komponen biotik lainnya dengan metode

CPCe pada setiap stasiun di perairan Kab. Sikka dan sekitarnya disajikan dalam Gambar 4).

Sedangkan persentase tutupan tertinggi dari Rubble (patahan karang) terdapat di stasiun MMRL

74 (12,00%). Tingginya nilai persentase tutupan karang mati dapat saja disebabkan oleh faktor

alam maupun akibat aktivitas manusia. Akibat dari faktor alam adalah berupa ombak besar atau

badai sedangkan kerusakan yang disebabkan oleh ulah manusia berupa penggunaan bom dalam

menangkap ikan. Kegiatan seperti ini masih sering ditemui pada beberapa lokasi (daerah) di

perairan Indonesia.

Secara keseluruhan lokasi monitoring kab. Sikka memiliki perairan yang jernih, namun kondisi

persentase tutupan karang batu disemua stasiun pengamatan berada dalam kondisi yang rendah

hingga sedang (1,80% - 34,47%). Tutupan karang yang cukup variatif, komponen abiotik lainnya

serta substrat yang beragam memberi peluang (tempat) yang cukup besar bagi kehadiran ikan

maupun biota megabentos lainnya.

Page 32: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

16

17

mangrove. Subtrat rataan terumbu berupa pasir putih dan pecahan karang yang ditumbuhi algae.

Rataan karang memiliki luas antar 50-100m yang dilanjutkan dengan rataan tubir yang berupa

karang gundus (rampart reef). Lokasi transek berada di kedalaman 12 m dengan jarak pandang

sekitar 10 m. Substrat dasar berupa pasir berseling dengan karang mati yang ditumbuhi oleh

alga. Lokasi transek berada pada rataan dengan tingkat kemiringan 20O.Beberapa karang yang

sering dijumpai pada lokasi ini adalah dari keluarga Acroporidae dan Poritidae. Namun

persentase tutupan karang pada kategori jelek (12,20%) Persentase tutupan ”DCA” sebesar

43,47 % . Persentase tututpan algae 0,27%, biota lain (other biota) 2,6%. Untuk kategori abiotik,

dicatat persentase tutupan :rubble” 2,20% dan pasir 32,33%. Kondisi tutupan pasir yang cukup

luas dapat mengurangi daya recoveri dari karang. Hal ini dikarenakan subtrat dasar pasir tidak

cukup kokoh digunakan sebagai inisiasi pertumbuhan karang. Kaki karang pada lokasi ini

mencapai kedalaman 30m. Karang keras yang sering dijumpai pada lokasi pengamatan dari

marga Porites lutea, Acropora latistella dan Montipora sp.. Pada lokasi ditemukan juga karang

lunak dari marga Sinularia spStasiun.

Stasiun MMRL 13

Lokasi pengamatan terletak di pesisir P. Flores tapatnya di desa Wailiti, Kec. Alok Barat dekat

dengan resort. Pesisir terdiri dari pasir putih dengan vegetasi berupa pohon kelapa dan

tumbuhan asosiasi mangrove. Terumbu karang merupakan tipe terumbu karang tepi dan terdapat

goba yang berkembang baik. Rataan karang sampai ke tubir kurang lebih 100-200m dengan

pertumbuhan karang berupa “patches” dari marga Acroporidae dan Poritidae. Daerah tubir

didominasi oleh karang dari keluarga Acroporidae dan Fungiidae. Lokasi transek berada di

kedalaman 15 m dengan jarak pandang sekitar 5 m. Substrat dasar berupa pecahan karang mati

dengan pasir berwarna coklat. Lokasi transek berada pada dengan tingkat kemiringan 20O.

Secara umum tutupan karang hidup pada lokasi ini dapat dikategori “jelek” (7,8%). Persentase

tutupan karang lunak 0,27% , sponge 1,73% dan makroalgae 0,07%. Untuk kategori abiotik

dicatat “rubble” 2,20% dan pasir 0,07%. Karang keras yang sering dijumpai pada lokasi

pengamatan adalah Acropora clathrata, Fungia danai dan Oxypora glabra.

Stasiun MMRL 21

Lokasi pengamatan di pesisir P. Flores tepatnya berada pada Desa Waiara, Kec. Kewapante.

Pantai terdiri pasir dan pecahan karang mati. Vegetasi daratan berupa pohon kelapa dan

semak.Rataan terumbu karang terdiri dari pecahan karang yang telah ditumbuhi oleh alga.

Pertumbuhan karang berupa “patches” dari keluarga Poritidae. Rataan terumbu cukup luas

kurang lebih mencapai 100-200m. Lokasi pengamtan berada sekitar 100m dari pantai di sebelah

16

Gambar 8. Peta persentase tutupan karang hidup di masing-masing stasiun

Gambar 9. Persentase tutupan biotik dan abiotik di masing-masing stasiun pengamatan.

Kondisi Umum Lokasi

Stasiun MMRL 06

Lokasi pengamatan terletak desa Hewuli, Kecamatan Alok, pesisir P. Flores . Lokasi berada pada

gosong sekitar 500 m dari daratan. Vegetasi daratan ditemui beberapa pohon kelapa dan

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

80.00

90.00

100.00

MMRL06

MMRL13

MMRL21

MMRL37

MMRL47A

MMRL55

MMRL65

MMRL69

MMRL74

MMRL75

MMRL78

MMRL79

MMRL80

MMRL88

Pers

enta

se (%

)

CORAL (HC)

RECENT DEAD CORAL (DC)

DEAD CORAL WITH ALGAE (DCA)

SOFT CORAL (SC)

SPONGE (SP)

FLESHY SEAWEED (FS)

OTHER BIOTA (OT)

RUBBLE (R)

SAND (S)

SILT (SI)

ROCK (RK)

Page 33: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

17

17

mangrove. Subtrat rataan terumbu berupa pasir putih dan pecahan karang yang ditumbuhi algae.

Rataan karang memiliki luas antar 50-100m yang dilanjutkan dengan rataan tubir yang berupa

karang gundus (rampart reef). Lokasi transek berada di kedalaman 12 m dengan jarak pandang

sekitar 10 m. Substrat dasar berupa pasir berseling dengan karang mati yang ditumbuhi oleh

alga. Lokasi transek berada pada rataan dengan tingkat kemiringan 20O.Beberapa karang yang

sering dijumpai pada lokasi ini adalah dari keluarga Acroporidae dan Poritidae. Namun

persentase tutupan karang pada kategori jelek (12,20%) Persentase tutupan ”DCA” sebesar

43,47 % . Persentase tututpan algae 0,27%, biota lain (other biota) 2,6%. Untuk kategori abiotik,

dicatat persentase tutupan :rubble” 2,20% dan pasir 32,33%. Kondisi tutupan pasir yang cukup

luas dapat mengurangi daya recoveri dari karang. Hal ini dikarenakan subtrat dasar pasir tidak

cukup kokoh digunakan sebagai inisiasi pertumbuhan karang. Kaki karang pada lokasi ini

mencapai kedalaman 30m. Karang keras yang sering dijumpai pada lokasi pengamatan dari

marga Porites lutea, Acropora latistella dan Montipora sp.. Pada lokasi ditemukan juga karang

lunak dari marga Sinularia spStasiun.

Stasiun MMRL 13

Lokasi pengamatan terletak di pesisir P. Flores tapatnya di desa Wailiti, Kec. Alok Barat dekat

dengan resort. Pesisir terdiri dari pasir putih dengan vegetasi berupa pohon kelapa dan

tumbuhan asosiasi mangrove. Terumbu karang merupakan tipe terumbu karang tepi dan terdapat

goba yang berkembang baik. Rataan karang sampai ke tubir kurang lebih 100-200m dengan

pertumbuhan karang berupa “patches” dari marga Acroporidae dan Poritidae. Daerah tubir

didominasi oleh karang dari keluarga Acroporidae dan Fungiidae. Lokasi transek berada di

kedalaman 15 m dengan jarak pandang sekitar 5 m. Substrat dasar berupa pecahan karang mati

dengan pasir berwarna coklat. Lokasi transek berada pada dengan tingkat kemiringan 20O.

Secara umum tutupan karang hidup pada lokasi ini dapat dikategori “jelek” (7,8%). Persentase

tutupan karang lunak 0,27% , sponge 1,73% dan makroalgae 0,07%. Untuk kategori abiotik

dicatat “rubble” 2,20% dan pasir 0,07%. Karang keras yang sering dijumpai pada lokasi

pengamatan adalah Acropora clathrata, Fungia danai dan Oxypora glabra.

Stasiun MMRL 21

Lokasi pengamatan di pesisir P. Flores tepatnya berada pada Desa Waiara, Kec. Kewapante.

Pantai terdiri pasir dan pecahan karang mati. Vegetasi daratan berupa pohon kelapa dan

semak.Rataan terumbu karang terdiri dari pecahan karang yang telah ditumbuhi oleh alga.

Pertumbuhan karang berupa “patches” dari keluarga Poritidae. Rataan terumbu cukup luas

kurang lebih mencapai 100-200m. Lokasi pengamtan berada sekitar 100m dari pantai di sebelah

Page 34: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

18

19

Stasiun MMRL 55

Lokasi pengamatan terletak di P. Flores sebelah timur. Secara administrasi masuk kedalam desa

Wailamung, Kec. Talibura Pada saat pengamatan cuaca cerah dengan kondisi permukaan laut

yang cukup tenang. Lokasi berada pada sekitar 100 m dari daratan berpasir putih. Vegetasi

daratan ditemui beberapa pohon kelapa dan disamping lokasi ada lokasi pembudidayaan kerang

mutiara. Lokasi transek berada di kedalaman 15 m dengan jarak pandang sekitar 15 m. Substrat

dasar berupa pasir putih berseling dengan pecahan karang mati. Lokasi transek berada pada

rataan dengan tingkat kemiringan 20O. Dari hasil transek tercatat tutupan ”DCA” sebesar 27,8 %

yang diikuti dengan tutupan ”Rubble” sebesar 5,87 % dan karang lunak 4,67 %. Tutupan karang

hidup pada lokasi ini sebesar 21,2 % masuk dalam kondisi “kurang”. Karang keras yang sering

dijumpai pada lokasi pengamatan dari jenis Porites lutea, Seriatopora hystrix dan Favites sp..

sementara karang lunak yang sering dijumpai adalah Dendronepthia sp.

Stasiun MMRL 65

Lokasi pengamatan terletak di P. Babi sebelah timur. Pada saat pengamatan cuaca cerah

dengan kondisi permukaan laut yang cukup tenang. Secara administrasi masuk kedalam desa

Pemaan, Kec. Alok Timur. Lokasi berada pada sekitar 100 m dari daratan. Vegetasi daratan

ditemui beberapa pohon lamtoro. Lokasi transek berada di kedalaman 12 m dengan jarak

pandang sekitar 15 m. Substrat dasar berupa pasir putih berseling dengan pecahan karang.

Lokasi transek berada pada rataan dengan tingkat kemiringan 20O. Dari hasil transek tercatat

tutupan ”DCA” sebesar 13,2 % yang diikuti dengan tutupan ”Rubble” sebesar 44,27 %. Tutupan

karang hidup pada lokasi ini sebesar 14,2 % masuk dalam kondisi “kurang”. Karang keras yang

sering dijumpai pada lokasi pengamatan dari jenis Montipora stellata, Montipora undata dan

Seriatopora caliendrum.

Stasiun MMRL 69

Lokasi pengamatan terletak disebelah selatan P. Besar desa Ujung Karang, Kec. Alok Timur.

Pada saat pengamtan cuaca cerah dengan kondisi permukaan laut yang cuku tenang, Berada

sekitar 200m dari pantai. Pantai berpasir putih dengan vegetasi dominan adalah pohon kelapa. Di

sebelah timur pantai terdapat sekolahan. Pengambilan data dilakukan pada kedalaman 9 m ,

subtrat pasir, pecahan karang, karang mati yang telah ditumbuhi alga. Air cukup keruh dengan

jarak pandang ±5 m. Karang tumbuh berupa spot-spot yang mengelompok. Karang lunak

didominasi oleh jenis Lobophytum sp. dan Sinularia sp. dengan tutupan sebesar 2,93 %. Kategori

bentik ”DCA” tercatat sebesar 42,27 %. Tutupan karang hidup pada lokasi ini mencapai 34,47%

18

timur pantai terdapat mushola dan 2 menara BTS. Pengambilan data dilakukan pada kedalaman

8 m dengan jarak pandang sekitar 10 m. Subtrat dasar berupa pecahan karang dan karang mati

yang telah ditumbuhi alga diselingi dengan pasir. Dari hasil transek tercatat tutupan ”DCA”

sebesar 43,4 % yang diikuti dengan tutupan ”Rubble” sebesar 23,4 %. Tutupan karang hidup

pada lokasi ini sebesar 6,93% masuk dalam kondisi “jelek”. Karang keras yang sering dijumpai

pada lokasi ini adalah Porites lutea, Porites lobata dan Coeloseris sp.

Stasiun MMRL 37

Lokasi terletak di pesisir utara P. Flores tepatnya berada di desa Weigete, Kec. Kewapante .

Lokasi berada pada gosong sekitar 100 m dari daratan. Vegetasi daratan ditemui beberapa

pohon kelapa dengan tower BTS dibelakang vegetasi pohon kelapa. Lokasi transek berada di

kedalaman 6-9 m dengan jarak pandang sekitar 10 m. Substrat dasar didominasi oleh karang

mati yang ditumbuhi oleh alga. Lokasi transek berada pada rataan dengan tingkat kemiringan 5O.

Rataan karang mencapai luas hingga 100m dengan pertumbuhan karang berupa “patches”

diselingi dengan pasir. Pada area tubir karang keras yang sering dijumpai pada lokasi

pengamatan dari keluarga Faviidae dan Poritidae. Dari hasil transek tercatat tutupan ”DCA”

sebesar 53,87 % yang diikuti dengan tutupan ”Rubble” sebesar 11,93 % dan karang lunak 2,47

%. Tutupan karang hidup pada lokasi ini sebesar 10,2% masuk dalam kondisi “jelek”. Karang

keras yang mendominasi lokasi ini adalah Favites sp., Porites lutea, dan Porites cylindrica.

Stasiun MMRL 47A

Lokasi pengamatan diubah dikarenakan pada lokasi tahun sebelumnya laju sedimentasi cukup

tinggi. Lokasi pengamatan terletak di P. Flores berada dekat dengan selat antara P. Flores dan

P. Dambilah. Secara administrasi masuk kedalam desa Darat Pantai, Kec. Talibura. Lokasi ini

merupakan salah satu dive spot di Kab. Sikka. Lokasi berada sekitar 300 m dari pelabuhan

tradisional dengan vegetasi mangrove di bibir pantai. Perairan dekat pantai bersubstrat dasar

pasir dengan bulu babi yang jumlahnya cukup banyak. Kondisi cuaca pada saat pengamatan

cerah dengan angin yang tidak begitu kuat. Lokasi trasek berada pada kedalaman 6-9 m dengan

jarak pandang mencapai 10 m. Substrat dasar berupa pasir diselingi dengan pecahan karang

mati. Lokasi transek berada pada slope dengan tingkat kemiringan 50O. Karang keras yang

sering dijumpai pada lokasi pengamatan dari marga Acropora sp., Seriatopora sp. dan Montipora

sp. Dari hasil transek tercatat tutupan ”DCA” sebesar 27,8 % yang diikuti dengan tutupan

”Rubble” sebesar 18,53 % dan karang lunak 4,2 %. Tutupan karang hidup pada lokasi ini sebesar

32,13% masuk dalam kondisi “cukup”.

Page 35: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

19

19

Stasiun MMRL 55

Lokasi pengamatan terletak di P. Flores sebelah timur. Secara administrasi masuk kedalam desa

Wailamung, Kec. Talibura Pada saat pengamatan cuaca cerah dengan kondisi permukaan laut

yang cukup tenang. Lokasi berada pada sekitar 100 m dari daratan berpasir putih. Vegetasi

daratan ditemui beberapa pohon kelapa dan disamping lokasi ada lokasi pembudidayaan kerang

mutiara. Lokasi transek berada di kedalaman 15 m dengan jarak pandang sekitar 15 m. Substrat

dasar berupa pasir putih berseling dengan pecahan karang mati. Lokasi transek berada pada

rataan dengan tingkat kemiringan 20O. Dari hasil transek tercatat tutupan ”DCA” sebesar 27,8 %

yang diikuti dengan tutupan ”Rubble” sebesar 5,87 % dan karang lunak 4,67 %. Tutupan karang

hidup pada lokasi ini sebesar 21,2 % masuk dalam kondisi “kurang”. Karang keras yang sering

dijumpai pada lokasi pengamatan dari jenis Porites lutea, Seriatopora hystrix dan Favites sp..

sementara karang lunak yang sering dijumpai adalah Dendronepthia sp.

Stasiun MMRL 65

Lokasi pengamatan terletak di P. Babi sebelah timur. Pada saat pengamatan cuaca cerah

dengan kondisi permukaan laut yang cukup tenang. Secara administrasi masuk kedalam desa

Pemaan, Kec. Alok Timur. Lokasi berada pada sekitar 100 m dari daratan. Vegetasi daratan

ditemui beberapa pohon lamtoro. Lokasi transek berada di kedalaman 12 m dengan jarak

pandang sekitar 15 m. Substrat dasar berupa pasir putih berseling dengan pecahan karang.

Lokasi transek berada pada rataan dengan tingkat kemiringan 20O. Dari hasil transek tercatat

tutupan ”DCA” sebesar 13,2 % yang diikuti dengan tutupan ”Rubble” sebesar 44,27 %. Tutupan

karang hidup pada lokasi ini sebesar 14,2 % masuk dalam kondisi “kurang”. Karang keras yang

sering dijumpai pada lokasi pengamatan dari jenis Montipora stellata, Montipora undata dan

Seriatopora caliendrum.

Stasiun MMRL 69

Lokasi pengamatan terletak disebelah selatan P. Besar desa Ujung Karang, Kec. Alok Timur.

Pada saat pengamtan cuaca cerah dengan kondisi permukaan laut yang cuku tenang, Berada

sekitar 200m dari pantai. Pantai berpasir putih dengan vegetasi dominan adalah pohon kelapa. Di

sebelah timur pantai terdapat sekolahan. Pengambilan data dilakukan pada kedalaman 9 m ,

subtrat pasir, pecahan karang, karang mati yang telah ditumbuhi alga. Air cukup keruh dengan

jarak pandang ±5 m. Karang tumbuh berupa spot-spot yang mengelompok. Karang lunak

didominasi oleh jenis Lobophytum sp. dan Sinularia sp. dengan tutupan sebesar 2,93 %. Kategori

bentik ”DCA” tercatat sebesar 42,27 %. Tutupan karang hidup pada lokasi ini mencapai 34,47%

Page 36: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

20

21

mangrove. Kondisi cuaca dalam keadaan cerah dan angina tidak begitu kencang. Lokasi transek

berada pada kedalaman 6 m dengan jarak pandang mencapai ± 15 m. Lokasi berada di lereng

dengan kemiringn sekitar 45O. Substrat dasar berupa pasir putih dengan pecahan karang. Pada

lokasi banyak ditemui karang lunak dari marga Sarcophyton sp. dan Dendronephthya sp.. Karang

keras yang sering dijumpai pada lokasi transek adalah dari marga Acropora sp. dan Pocillopora

sp.. Dari hasil transek tercatat tutupan ”DCA” sebesar 36,87 % yang diikuti dengan tutupan

”Rubble” sebesar 17,83 % dan karang lunak 9,6 %. Tutupan karang hidup pada lokasi ini sebesar

14,60% masuk dalam kondisi “jelek”.

Stasiun MMRL 79

Lokasi pengamatan terletak di P. Dambilah sebelat barat berbatasan dengan P. Besar. Secara

administrasi masuk kedalam desa Parumaan, Kec. Alok Timur. Lokasi transek berada sekitar 3

km dari timur pemukiman penduduk. Pantai berbatu dengan vegetasi mangrove di bibir pantai.

Cuaca pada saat pengambilan cerah dan angin tidak terlalu kencang. Kondisi permukaan air laut

maupun dasar laut cukup tenang. Pengambilan data dilakukan pada kedalaman 6-10 m dengan

kondisi perairan yang jernih. Jarak pandang mencapai ± 20 m. Lokasi berada pada lereng yang

landai dengan sudut kemiringan 30-45o. Subtrat dasar didominasi oleh pecahan karang diselingi

dengan pasir. Karang keras yang dijumpai di lokasi sebagian besar dari marga Porites dan

Acropora. Dari hasil transek tercatat tutupan ”DCA” sebesar 23,67 % yang diikuti dengan tutupan

”Rubble” sebesar 34,8 %. Karang tumbuh berupa spot-spot, tutupan karang hidup tercatat

sebesar 8,6 %, masuk dalam kategori ”jelek”. Karang keras dengan pertumbahan masif

mendominasi. Karang jenis porites lobata dan Acropora sp sering dijumpai pada lokasi ini.

Stasiun MMRL 80

Lokasi pengamatan terletak di bagian timur pulau pemanah kecil tepatnya di desa Pemana, Kec.

Alok. Cuaca pada saat pengambilan dalam kondisi cerah dan permukaan laut yang cukup

tenang. Lokasi pengamatan merupakan pulau kecil tidak berpenghuni pantai pasir putih dengan

vegetasi berupa semak. Panjang reef ± 100m dari pantai. Lokasi transek berada pada slope

dengan kemiringan hampir 90O. Pada lokasi transek bentuk pertumbuhan karang keras yang

umum dijumpai adalah jenis Pocillopora sp. dan Acropora sp. dengan bentuk tumbuh bercabang.

Pertumbuhan karang berupa spot (kelompok) kecil yang dijumpai dengan koloni yang kecil.

Dasar laut bersubtrat pasir diselingin dengan beberapa karang mati yg telah ditumbuhi alga dan

pecahan2 karang. Selain itu juga ditemukan karang lunak sebesar 6,33%. Karang lunak yang

ditemukan pada lokasi adalah Sarcophyton sp. dan Lobophytum sp.

20

masuk dalam kategori ”cukup”. Karang yang mendominasi lokasi ini adalah Acropora

microphthalma, Porites sp., Isopora brugemani dan Favia sp

Stasiun MMRL 74

Lokasi terletak di P. Besar sebelah selatan di dekat ujung bagian barat di desa Waylago, Kec.

Alok Timur. Lokasi transek berada sekitar 300 m dari pemukiman penduduk. Pantai berpasir

dengan vegetasi mangrove di bibir pantai. Cuaca pada saat pengambilan agak mendung dan

angin tidak terlalu kencang. Kondisi permukaan air llaut mauoun dasar laut cukup tenang.

Pengambilan data dilakukan pada kedalaman 6 m dengan kondisi perairan yang jernih. Jarak

pandang mencapai ± 20 m. Lokasi berada pada lereng yang landai dengan sudut kemiringan 30-

45o. Subtrat dasar didominasi oleh pecahan karang diselingi dengan pasir. Karang keras yang

dijumpai di lokasi sebagian besar dari marga Porites dan Acropora, ditemukan juga beberapa

juvenil karang yang berukuran < 10 cm. Dari hasil transek tercatat tutupan ”DCA” sebesar 14,8 %

yang diikuti dengan tutupan ”Rubble” sebesar 73,93 %. Tutupan karang hidup tercatat sebesar

1,8 %, terdiri dari karang non-Acropora, dan masuk dalam kategori ”jelek”. Dilihat dari jumlah

pecahan karang yang cukup tinggi kerusakan dapat disebabkan oleh adanya praktek

penggunaan bom ikan serta kerusakan yang diakibatkan oleh jangkar kapal.

Stasiun MMRL 75

Lokasi pengamatan terletak di Pulau Besar bagian selatan desa Kojadoi, Kec. Alok Timur.

Kondisi pantai berbatu dengan vegetasi pohon kelapa dan tumbuhan pantai yang cukup

banyak. Lokasi pengamatan berdekatan dengan pemukiman yang cukup kecil berjarak ± 400 m

dari lokasi. Cuaca pada saat pengamatan dalam keadaan cerah dan tenang. Pengamatan

dilakukan pada kedalaman 6 m dengan kondisi perairan jernih. Jarak pandang mencapai ± 20 m.

Lokasi berada di lereng landai dengan kemiringan sekitar 30O. Dasar laut bersubstrat pasir

berseling dengan pecahan karang dan karang mati yang ditumbuhi alga. Karang keras

didominasi keras jenis Porites sp. dengan bentuk tumbuh boulder kecil dan Pocillopora sp.

bercabang. Diketemukan juga beberapa jenis soft coral seperti Lobophytum sp. dan Sinularia sp.

dengan tutupan mencapai angka 4,33%. Tutupan karang hidup sebesesar 26,47% dan masuk

kedalam kategori “cukup”.

Stasiun MMRL 78

Lokasi pengamatan terletak di P. Dambilah sebelah timur berada dekat dengan selat antara P.

Dambilah dan daratan utama (p. Flores). Secara administrasi masuk kedalam desa

Pangabatang, Kec. Alok Timur Daratan berupa pantai berpasir putih dengan beberapa pohon

Page 37: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

21

21

mangrove. Kondisi cuaca dalam keadaan cerah dan angina tidak begitu kencang. Lokasi transek

berada pada kedalaman 6 m dengan jarak pandang mencapai ± 15 m. Lokasi berada di lereng

dengan kemiringn sekitar 45O. Substrat dasar berupa pasir putih dengan pecahan karang. Pada

lokasi banyak ditemui karang lunak dari marga Sarcophyton sp. dan Dendronephthya sp.. Karang

keras yang sering dijumpai pada lokasi transek adalah dari marga Acropora sp. dan Pocillopora

sp.. Dari hasil transek tercatat tutupan ”DCA” sebesar 36,87 % yang diikuti dengan tutupan

”Rubble” sebesar 17,83 % dan karang lunak 9,6 %. Tutupan karang hidup pada lokasi ini sebesar

14,60% masuk dalam kondisi “jelek”.

Stasiun MMRL 79

Lokasi pengamatan terletak di P. Dambilah sebelat barat berbatasan dengan P. Besar. Secara

administrasi masuk kedalam desa Parumaan, Kec. Alok Timur. Lokasi transek berada sekitar 3

km dari timur pemukiman penduduk. Pantai berbatu dengan vegetasi mangrove di bibir pantai.

Cuaca pada saat pengambilan cerah dan angin tidak terlalu kencang. Kondisi permukaan air laut

maupun dasar laut cukup tenang. Pengambilan data dilakukan pada kedalaman 6-10 m dengan

kondisi perairan yang jernih. Jarak pandang mencapai ± 20 m. Lokasi berada pada lereng yang

landai dengan sudut kemiringan 30-45o. Subtrat dasar didominasi oleh pecahan karang diselingi

dengan pasir. Karang keras yang dijumpai di lokasi sebagian besar dari marga Porites dan

Acropora. Dari hasil transek tercatat tutupan ”DCA” sebesar 23,67 % yang diikuti dengan tutupan

”Rubble” sebesar 34,8 %. Karang tumbuh berupa spot-spot, tutupan karang hidup tercatat

sebesar 8,6 %, masuk dalam kategori ”jelek”. Karang keras dengan pertumbahan masif

mendominasi. Karang jenis porites lobata dan Acropora sp sering dijumpai pada lokasi ini.

Stasiun MMRL 80

Lokasi pengamatan terletak di bagian timur pulau pemanah kecil tepatnya di desa Pemana, Kec.

Alok. Cuaca pada saat pengambilan dalam kondisi cerah dan permukaan laut yang cukup

tenang. Lokasi pengamatan merupakan pulau kecil tidak berpenghuni pantai pasir putih dengan

vegetasi berupa semak. Panjang reef ± 100m dari pantai. Lokasi transek berada pada slope

dengan kemiringan hampir 90O. Pada lokasi transek bentuk pertumbuhan karang keras yang

umum dijumpai adalah jenis Pocillopora sp. dan Acropora sp. dengan bentuk tumbuh bercabang.

Pertumbuhan karang berupa spot (kelompok) kecil yang dijumpai dengan koloni yang kecil.

Dasar laut bersubtrat pasir diselingin dengan beberapa karang mati yg telah ditumbuhi alga dan

pecahan2 karang. Selain itu juga ditemukan karang lunak sebesar 6,33%. Karang lunak yang

ditemukan pada lokasi adalah Sarcophyton sp. dan Lobophytum sp.

Page 38: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

22

23

IKAN KARANG

Jumlah Jenis

Hasil sensus visual pada transek sabuk seluas 350 m2 untuk seluruh lokasi stasiun ditemukan 60

jenis ikan karang dari 7 suku ikan ekonomis penting dari kategori herbivore dan karnivora, yaitu

suku yang dianggap berpengaruh langsung dan signifikan pada proses resiliensi terumbu karang

karena fungsinya dalam jejaring makanan. Ke tujuh suku tersbut yaitu suku Acanthuridae

(butana), Haemulidae (bibir tebal/kaneke), Lutjanidae (kakap), Lethrinidae (Lencam), Scaridae

(kakatua), Serranidae (kerapu), dan Siganidae (baronang).

Jumlah jenis ikan karang yang ditemukan pada masing-masing stasiun penelitian ternyata

bervariasi cukup lebar (Gambar 10). Jumlah jenis terendah 7 spesies dijumpai pada stasiun

MMRL 13 dan MMRL 21 dan jumlah jenis tertinggi 26 dan 27 spesies ditemukan masing-masing

pada stasiun MMRL 47a, MMRL 78, MMRL 79 dan MMRL 80. Adapun lokasi penelitian yang

mempunyai jumlah jenis yang tergolong sedang adalah pada stasiun MMRL 55, MMRL 69,

MMRL 75 dan MMRL 88.

Gambar 11. Variasi jumlah jenis ikan karang dari 7 suku ikan ekonomis penting yang berhasil ditemukan selama sensus visual berdasarkan lokasi atau stasiun penelitian di perairan terumbu karang Sikka, Flores, 2015

21

27 24

22

11

27 26 27

17 19

7 7

16

21

0

5

10

15

20

25

30

Jum

lah

Jeni

s

Stasiun

22

Tutupan karang hidup dicatat sangat rendah yaitu 8,60 %. Kondisi karang di lokasi ini masuk

dalam kategori sangat “jelek’. Karang mati yang telah ditumbuhi algae ditemukan sebesar

39,40%. Tingginya nilai karang mati yang telah ditumbuhi oleh coraline alga dapat dijadikan

subtrat dasar yang cukup kuat untuk pertumbuhan anakan karang.

Stasiun MMRL 88

Lokasi ini merupakan gosong kecil yang berada sekitar 1 km dari lampu suar berada di desa

Gunungsari, Kec. Alok. Pada saat pengambilan data cuaca dalam keadaan cerah. Air laut dalam

posisi surut, arah angin dari tenggara menuju barat laut. Arus permukaan dan dasar perairan

cukup kuat, di lokasi ini dijumpai tumpukan pecahan karang mati yang telah ditumbuhi alga.

Dasar perairan berupa pasir putih serta pecahan karang mati yang banyak ditumbuhi oleh karang

lunak dan sponge, kondisi perairan jernih dengan jarak pandang sekitar 20 m.

Lokasi transek berada pada kedalaman 15 meter. Dan berada pada dasar laut yang cukup rata

dengan sudut kemiringan sekitar 5O. Pertumbuhan karang di lokasi ini kurang baik, berupa

kelompok kecil yang dijumpai dengan ukuran koloni yang kecil (< 50 cm). Umumnya karang

memiliki bentuk pertumbuhan karang seperti bongkahan (massive) didominasi oleh Porites sp..

Karang lunak didominasi oleh jenis Sarcophyton sp. dan Sinularia sp. Tutupan karang hidup

sangat rendah yaitu 6,80%. Komponen substrat yang cukup tinggi adalah ”karang mati ditumbuhi

alga” 23,27%. Selanjutnya tutupan pasir (S) 10,07 %, sedangkan rubble 6,83 %. Kondisi karang

di lokasi ini masuk dalam kategori sangat ”jelek”.

Gambar 10. Peta persentasi tutupan karang di stasiun monitoring di perairan Maumere,

Sikka, 2015

Page 39: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

23

23

IKAN KARANG

Jumlah Jenis

Hasil sensus visual pada transek sabuk seluas 350 m2 untuk seluruh lokasi stasiun ditemukan 60

jenis ikan karang dari 7 suku ikan ekonomis penting dari kategori herbivore dan karnivora, yaitu

suku yang dianggap berpengaruh langsung dan signifikan pada proses resiliensi terumbu karang

karena fungsinya dalam jejaring makanan. Ke tujuh suku tersbut yaitu suku Acanthuridae

(butana), Haemulidae (bibir tebal/kaneke), Lutjanidae (kakap), Lethrinidae (Lencam), Scaridae

(kakatua), Serranidae (kerapu), dan Siganidae (baronang).

Jumlah jenis ikan karang yang ditemukan pada masing-masing stasiun penelitian ternyata

bervariasi cukup lebar (Gambar 10). Jumlah jenis terendah 7 spesies dijumpai pada stasiun

MMRL 13 dan MMRL 21 dan jumlah jenis tertinggi 26 dan 27 spesies ditemukan masing-masing

pada stasiun MMRL 47a, MMRL 78, MMRL 79 dan MMRL 80. Adapun lokasi penelitian yang

mempunyai jumlah jenis yang tergolong sedang adalah pada stasiun MMRL 55, MMRL 69,

MMRL 75 dan MMRL 88.

Gambar 11. Variasi jumlah jenis ikan karang dari 7 suku ikan ekonomis penting yang berhasil ditemukan selama sensus visual berdasarkan lokasi atau stasiun penelitian di perairan terumbu karang Sikka, Flores, 2015

21

27 24

22

11

27 26 27

17 19

7 7

16

21

0

5

10

15

20

25

30

Jum

lah

Jeni

s

Stasiun

Page 40: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

24

25

Tabel 7. Jumlah individu, kepadatan dan jumlah jenis ikan kepe-kepe menurut stasiun penelitian di perairan Sikka, Flores, 2015

Gambar 13. Jumlah jenis ikan kepe-kepe dari kelompok suku Chaetodontidae menurut lokasi penelitian di perairan Sikka, Flores, 20015

02468

10121416

MM

RL 8

8

MM

RL 8

0

MM

RL 6

9

MM

RL 7

5

MM

RL 7

4

MM

RL 7

9

MM

RL 7

8

MM

RL 4

7a

MM

RL 3

7

MM

RL 0

6

MM

RL 1

3

MM

RL 2

1

MM

RL 6

5

MM

RL 5

5

Jum

lah

Jeni

s

Stasiun

Jumlah Jenis Ikan Indikator (Chaetodontidae) Menurut Letak Stasiun di Perairan Maumere 2015

24

Gambar 12. Jumlah jenis ikan karang dari 7 suku ekonomis penting di stasiun penelitian monitoring, perairan Maumere, kabupaten Sikka, 2015

Untuk kelompok ikan pemakan karang (Coralivores) yang dalam hal ini diwakili oleh satu suku

yakni Chetodontidae, ditemukan sedikitnya ada 22 spesies ikan kepe-kepe, tetapi tidak semua

lokasi dapat dijumpai ikan kepe-kepe sebanyak itu. Lokasi stasiun yang memiliki kelimpahan ikan

kepe-kepe yang relatif tinggi adalah MMRL 69, MMRL 55 dan MMRL 75. Lokasi stasiun yang

memiliki jumlah jenis tertinggi adalah MMRL 75 (Tabel 7, Gambar 13). Jadi dapat diprediksi

bahwa stasiun MMRL 75 memiliki kondisi kompleksitas dasar terumbu karang yang relatif baik.

Jenis kepe-kepe yang paling umum ditemukan dalam jumlah tinggi dan menyebar di semua

lokasi penelitian adalah jenis Chaetodon kleinii, yaitu jenis yang mampu beradaptasi pada semua

kondisi terumbu karang dan juga ditemukan pada kondisi karang rusak sekalipun. Sementara,

jenis yang tidak menyebar merata adalah jenis Chaetodon unimaculata, yaitu hanya ditemukan

pada stasiun MMRL 75.

Page 41: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

25

25

Tabel 7. Jumlah individu, kepadatan dan jumlah jenis ikan kepe-kepe menurut stasiun penelitian di perairan Sikka, Flores, 2015

Gambar 13. Jumlah jenis ikan kepe-kepe dari kelompok suku Chaetodontidae menurut lokasi penelitian di perairan Sikka, Flores, 20015

02468

10121416

MM

RL 8

8

MM

RL 8

0

MM

RL 6

9

MM

RL 7

5

MM

RL 7

4

MM

RL 7

9

MM

RL 7

8

MM

RL 4

7a

MM

RL 3

7

MM

RL 0

6

MM

RL 1

3

MM

RL 2

1

MM

RL 6

5

MM

RL 5

5

Jum

lah

Jeni

s

Stasiun

Jumlah Jenis Ikan Indikator (Chaetodontidae) Menurut Letak Stasiun di Perairan Maumere 2015

Page 42: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

26

27

Tabel 8. Komposisi jenis ikan karang dari 7 suku terpilih

26

Kepadatan Ikan Karang

Rata-rata kepadatan ikan karang yang termasuk dalam 7 suku ikan ekonomis penting

adalah 228 ekor/m2 atau setara dengan 0,65 ekor/m2. Variasi kepadatan antar stasiun penelitian

cukup lebar, terkecil 24 ekor/350m2 pada stasiun MMRL 13 dan terbesar 400 ekor/350m2 pada

stasiun MMRL 79 (Gambar 14).

Gambar 14. Tingkat kepadatan ikan karang dari 7 suku ekonomis penting menurut lokasi penelitian di perairan terumbu karang Sikka, Flores, 2015

Biomassa Ikan Karang

Sediaan ikan karang menurut jenis, suku dan biomassanya untuk ikan ekonomis penting (7 suku)

untuk masing-masing lokasi penelitian secara detail disajikan pada Tabel 8. Dari hasil analisa

data diketahui bahwa rata-rata biomassa atau sediaan ikan karang dari 7 suku ikan ekonomis

penting adalah 906 kg/ha. Lokasi yang memiliki sediaan ikan karang tertinggi adalah termasuk

stasiun MMRL 47a, MMRL 78, MMRL 79 dan MMRL 88, dimana lokasi tersebut memiliki

biomassa ikan karang di atas 1,4 ton/ha. Lokasi dengan biomassa kategori sedang atau sekitar

nilai rata-rata adalah termasuk stasiun MMRL 06, MMRL 37, MMRL 55, MMRL 69, MMRL 75,

dan MMRL 80. Sebaliknya lokasi yang tergolong paling rendah biomassanya (> 200 kg/ha)

adalah termasuk MMRL 13, MMRL 21, MMRL 65 dan MMRL 74 (Gambar 15).

383

326

266 305

109

400

338 310

165 174

24 55

164 170

0

50

100

150

200

250

300

350

400

450

MMRL88

MMRL80

MMRL69

MMRL75

MMRL74

MMRL79

MMRL78

MMRL47a

MMRL37

MMRL06

MMRL13

MMRL21

MMRL65

MMRL55

Jum

lah

(eko

r)

Stasiun Penelitian

Kepadatan Ikan Karang dari 7 Suku ikan ekonomis penting (individu/350m2)

Page 43: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

27

27

Tabel 8. Komposisi jenis ikan karang dari 7 suku terpilih

Page 44: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

28

29

MEGA BENTOS

Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa seluruh biota target ditemukan pada

seluruh lokasi monitoring. Biota target yang ditemukan hampir diseluruh lokasi monitoring adalah

bulu babi, keberadaan bulu babi tidak terlepas dari adanya alga yang menempel pada substrate

sebagai makanan dari bulu babi tersebut. Biota yang paling jarang ditemukan adalah lobster, dari

keempat belas lokasi monitoring hanya ditemukan 1 individu yang terlihat didalam transek

pengamatan dan 1 individu yang terlihat diluar transek. Sedikitnya kemunculan lobster

dimungkinkan karena banyaknya exploitasi pada lobster di wilayah perairan Sikka, mengingat

lobster merupakan biota ekonomis tinggi.

Tabel 9. Pola kehadiran megabenthos pada setia stasiun pengamatan

No. Megabenthos STASIUN MMRL 88 80 69 75 74 79 78 47A 37 06 13 21 65 55

1 Acanthaster planci + + 2 Bulu babi + + + + + + + + + + + + + +

3 Teripang + + + + + + 4 Kima + + + + + + + + +

5 Drupella spp. + + + + + + + + +

6 Lola + +

7 Lobster + 8 Linchia Spp + + + + + + + +

Gambar 17. Diagram perbandingan jumlah individu megabenthos di perairan Sikka -Maumere

Acanthaster planci 0.37%

Bulu babi/Echinoid

59.18% Drupella sp

17.42%

Kima / Tridacna sp

10.67%

Teripang / Holothurian

1.69%

Lobster 0.19%

Lola / Trochus sp

0.37%

Linchia 10.11%

Megabenthos Perairan Sikka-Maumere Tahun 2015

28

Gambar 15. Biomassa ikan karang dari 7 suku ikan ekonomis penting berdasarkan lokasi penelitian di perairan terumbu karang Teluk Sikka, Flores, 2015

Gambar 16. Peta biomassa ikan karang dari 7 suku ikan ekonomis penting di stasiun monitoring di perairan Maumere, Kabupaten Sikka, 2015

- 200 400 600 800

1,000 1,200 1,400 1,600 1,800 2,000 2,200 2,400 2,600 2,800 3,000 3,200 3,400 3,600 3,800 4,000

MMRL88

MMRL80

MMRL69

MMRL75

MMRL74

MMRL79

MMRL78

MMRL47a

MMRL37

MMRL06

MMRL13

MMRL21

MMRL65

MMRL55

Biom

assa

(Kg/

ha)

Stasiun

Page 45: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

29

29

MEGA BENTOS

Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa seluruh biota target ditemukan pada

seluruh lokasi monitoring. Biota target yang ditemukan hampir diseluruh lokasi monitoring adalah

bulu babi, keberadaan bulu babi tidak terlepas dari adanya alga yang menempel pada substrate

sebagai makanan dari bulu babi tersebut. Biota yang paling jarang ditemukan adalah lobster, dari

keempat belas lokasi monitoring hanya ditemukan 1 individu yang terlihat didalam transek

pengamatan dan 1 individu yang terlihat diluar transek. Sedikitnya kemunculan lobster

dimungkinkan karena banyaknya exploitasi pada lobster di wilayah perairan Sikka, mengingat

lobster merupakan biota ekonomis tinggi.

Tabel 9. Pola kehadiran megabenthos pada setia stasiun pengamatan

No. Megabenthos STASIUN MMRL 88 80 69 75 74 79 78 47A 37 06 13 21 65 55

1 Acanthaster planci + + 2 Bulu babi + + + + + + + + + + + + + +

3 Teripang + + + + + + 4 Kima + + + + + + + + +

5 Drupella spp. + + + + + + + + +

6 Lola + +

7 Lobster + 8 Linchia Spp + + + + + + + +

Gambar 17. Diagram perbandingan jumlah individu megabenthos di perairan Sikka -Maumere

Acanthaster planci 0.37%

Bulu babi/Echinoid

59.18% Drupella sp

17.42%

Kima / Tridacna sp

10.67%

Teripang / Holothurian

1.69%

Lobster 0.19%

Lola / Trochus sp

0.37%

Linchia 10.11%

Megabenthos Perairan Sikka-Maumere Tahun 2015

Page 46: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

30

31

Kima

Kima ditemukan pada stasiun MMRL 74, 79, 78, 8B, 47A, 37, 06, 65 dan 55. Jumlah yang paling

banyak ditemukan pada stasiun MMRL 78 sebanyak 23 organisme. Rata-rata kima yang

ditemukan masih berukuran kecil atau dibawah 10 cm, dengan demikian berarti kima yang

ditemui masih berusia muda. Masih banyaknya jumlah kima yang ditemukan di sepuluh stasiun

pengamatan menunjukkan tanda recovery kima yang masih bagus dan jumlah exploitasi kima

yang masih terkendali.

Bintang laut Biru

Bintang laut biru Linckia laevigata ditemukan di dalam transek pada stasiun MMRL 74, 78, 8B,

47A, 37, 06, 21 dan 55. Jumlah individu yang didapatkan pada masing-masing stasiun relatif

beragam, yaitu antara 1 – 23 individu yang ditemukan dalam transek. Beberapa stasiun lainnya

yang di dalam transek tidak terdapat bintang laut biru sebenarnya juga dapat ditemukan bintang

laut biru ini, akan tetapi karena posisinya berada di luar transek (terutama di sekitar rataan

terumbu) sehingga datanya tidak ditampilkan. Namun demikian, informasi tentang keberadaan

bintang laut biru di luar tetap dicatat sebagai informasi tambahan. Ukuran individu hampir

seragam. Bintang laut ini ditemukan berasosiasi dengan berbagai tipe pertumbuhan karang

maupun di atas substrat pasir maupun batu.

Kekehadiran dan peran maupun ketidakhadiran bintang laut biru Linckia laevigata ini bagi

terumbu karang memang belum diketahui secara pasti, namun biota ini berpotensi sebagai

bioindikator untuk mengukur kesehatan ekosistem. Selain tidak dimanfaatkan oleh nelayan

sehingga keberadaannya relatif tidak terganggu, biota ini sebarannya merata di seluruh perairan

tropis. Jika dibandingkan dengan hasil pengamatan di perairan pantai barat Sumatra, jumlah

individu yang didapatkan di perairan ini relatif banyak. Namun jika dibandingkan dengan hasil

pengamatan di perairan Indonesia timur, jumlah ini relatif sedikit. Jumlah individu yang ditemukan

kemungkinan pada suatu wilayah diduga karena pengaruh batasan geografis yang

mempengaruhi sebarannya.

Teripang

Teripang paling banyak ditemukan pada stasiun MMRL 74, 79, 8B, 06, 13 dan 21 dengan jumlah

yang mncul sama pada setiap stasiun sekitar satu sampai dengan tiga organisme. Sedikitnya

jumlah teripang yang ditemui pada setiap stasiun pengamatan diduga dikarenakan adanya

penangkapan yang berlebih terhadap organisme ini. Penangkapan berlebih terjadi karene

adanya permintaan yang tinggi. Sudah sejak lama teripang dikenal sebagai bahan obat yang

30

Komposisi jenis dan kepadatan megabenthos

Dari hasil pengamatan di 14 lokasi monitoring ditemukan 8 jenis megabenthos target. Total

terdapat 534 individu megabenthos target memiliki pola persebaran seperti yang disajikan pada

tabel dibawah ini :

Tabel 10. Pola kehadiran spesies megabentos pada setiap stasiun di perairan Kabupaten Kabupaten Sikka, Maumere

No

Megabenthos

STASIUN MMRL MMRL 88

MMRL 69

MMRL 75

MMRL 74

MMRL 79

MMRL 78

MMRL 8B

MMRL 47A

MMRL 37

MMRL 06

MMRL 13

MMRL 21

MMRL 65

MMRL 55

1 Acanthaster planci + + 2 Bulu babi + + + + + + + + + + + + + +

3 Teripang + + + + + + 4 Kima + + + + + + + + +

5 Drupella spp. + + + + + + + + +

6 Lola + +

7 Lobster + 8 Linckia Spp + + + + + + + +

Dari data yang diperoleh dari pengamatan megabenthos, menunjukkan bahwa stasiun yang

diamati memiliki keberagaman yang berbeda, keberagaman memiliki mulai dari 3 jenis

oraganisme sampai dengan 6 organisme target. Yang paling rendah keberagamannya adalah

stsiun MMRL 88, 69, 75, 13, 21dan 65 yaitu hanya terdapat 3 organisme target, sedangkan

stasiun yang paling tinggi keberagamannya adalah MMRL 47A.

Bulu babi

Bulu babi ditemukan pada semua stasiun, namun paling banyak ditemukan pada stasiun MMRL

88 sebanyak 236 individu. Ditemukannya bulu babi, terutama jenis Diadema setosum

menunjukkan bahwa karang di wilayah tersebut relatif dalam kondisi tidak sehat. Bulu babi

adalah indikator kesehatan karang, dimana kehadiran dalam jumlah besar mengindikasikan

karang yang tidak sehat. Yang dimaksud adalah, ketika diadema muncul banyak di perairan hal

ini disebabkan karena makanan diadema yaitu algae melimpah di lokasi tersebut, oleh karena itu

diadema yang berperan sebagai grazer membantu karang dalam membersihkan algae-algae

tersebut. Munculnya alga dalam jumlah yang besar di periran dapat mengakibatkan kompetisi

tempat bagi karang dan mengancam kesehata ekosistem terumbu karang. Banyaknya jumlah

diadema yang ditemukan dikarenakan berkurangnya jumlah predtor alami diadema yang dapat

mengontrol populasi diadema. Predator alami diadema antara larger wrasses, triggerfishes,

puffers dan porcupinefishes.

Page 47: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

31

31

Kima

Kima ditemukan pada stasiun MMRL 74, 79, 78, 8B, 47A, 37, 06, 65 dan 55. Jumlah yang paling

banyak ditemukan pada stasiun MMRL 78 sebanyak 23 organisme. Rata-rata kima yang

ditemukan masih berukuran kecil atau dibawah 10 cm, dengan demikian berarti kima yang

ditemui masih berusia muda. Masih banyaknya jumlah kima yang ditemukan di sepuluh stasiun

pengamatan menunjukkan tanda recovery kima yang masih bagus dan jumlah exploitasi kima

yang masih terkendali.

Bintang laut Biru

Bintang laut biru Linckia laevigata ditemukan di dalam transek pada stasiun MMRL 74, 78, 8B,

47A, 37, 06, 21 dan 55. Jumlah individu yang didapatkan pada masing-masing stasiun relatif

beragam, yaitu antara 1 – 23 individu yang ditemukan dalam transek. Beberapa stasiun lainnya

yang di dalam transek tidak terdapat bintang laut biru sebenarnya juga dapat ditemukan bintang

laut biru ini, akan tetapi karena posisinya berada di luar transek (terutama di sekitar rataan

terumbu) sehingga datanya tidak ditampilkan. Namun demikian, informasi tentang keberadaan

bintang laut biru di luar tetap dicatat sebagai informasi tambahan. Ukuran individu hampir

seragam. Bintang laut ini ditemukan berasosiasi dengan berbagai tipe pertumbuhan karang

maupun di atas substrat pasir maupun batu.

Kekehadiran dan peran maupun ketidakhadiran bintang laut biru Linckia laevigata ini bagi

terumbu karang memang belum diketahui secara pasti, namun biota ini berpotensi sebagai

bioindikator untuk mengukur kesehatan ekosistem. Selain tidak dimanfaatkan oleh nelayan

sehingga keberadaannya relatif tidak terganggu, biota ini sebarannya merata di seluruh perairan

tropis. Jika dibandingkan dengan hasil pengamatan di perairan pantai barat Sumatra, jumlah

individu yang didapatkan di perairan ini relatif banyak. Namun jika dibandingkan dengan hasil

pengamatan di perairan Indonesia timur, jumlah ini relatif sedikit. Jumlah individu yang ditemukan

kemungkinan pada suatu wilayah diduga karena pengaruh batasan geografis yang

mempengaruhi sebarannya.

Teripang

Teripang paling banyak ditemukan pada stasiun MMRL 74, 79, 8B, 06, 13 dan 21 dengan jumlah

yang mncul sama pada setiap stasiun sekitar satu sampai dengan tiga organisme. Sedikitnya

jumlah teripang yang ditemui pada setiap stasiun pengamatan diduga dikarenakan adanya

penangkapan yang berlebih terhadap organisme ini. Penangkapan berlebih terjadi karene

adanya permintaan yang tinggi. Sudah sejak lama teripang dikenal sebagai bahan obat yang

Page 48: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

32

33

Lobster

Lobster hanya ditemukan pada tasiun MMRL 47A. Sedikitnya jumlah lobster yang dijumpai

dimungkinkan karena adanya tekanan yang tinggi atau tingkat penangkapan yang tinggi pada

organisme ini, mengingta organisme ni memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi. Kemungkinan

lain dari tidak ditemukannya lobster adalah sifat alami lobster sebagai hewan noktunal atau

hewan yang aktif bergerak di malam hari, sehingga pada siang hari sulit ditemukan.

Druppela spp. dan Acanthaster planci

Druppela spp. dan Acanthaster planci merupakan predator hewan karang yang keberadaannya

jika berlebihan akan sangat merugikan ekositem terumbu karang. Bintang laut berduri yang

dikenal dengan nama Crown of Thorns Starfish merupakan predator ganas bagi biota pembentuk

terumbu karang. Bintang laut memangsa karang dengan menyelimuti permukaan terumbu karang

dengan perutnya dan menghasilkan enzim pencerna yang merusak jaringan lunak karang.

Bintang laut Acanthaster planci hanya ditemukan pada stasiun MMRL 78 dan 47A, dan hanya

berjumlah 1 organisme pada setiap stasiun pengamatan. Organisme tersebut merupakan salah

satu masalah besar yang potensial dihadapi di dalam pengelolaan terumbu karang. Di antara

pemangsa karang yang ada, Acanthaster planci adalah pemangsa karang yang paling berbahaya

ketika terjadi peledakan populasi (outbreak), sehingga hampir seluruh karang hidup dimangsa

oleh Acanthaster planci. Hewan ini langsung memakan jaringa hewan karang yang mampu

memakan terumbu karang hidup sekitar 5-13 m2. Hal ini tentu saja mampu menimbulkan

kerusakan karang jika dibandingkan dengan pertumbuhan rata-rata karang yang hanya 1-2 cm

per tahun.

Druppela spp. ditemukan pada stasiun MMRL 69, 75, 79, 78, 47A, 37, 06, 65, dan 55. Druppela

spp. paling banyak ditemukan pada stasiun 47A dengan jumlah 31 Organisme. Siput pemakan

polip karang Drupella spp.. Keberadaan biota ini terhadap terumbu karang harus diwaspadai

karena banyaknya jumlah individu yang ditemukan menjadi peringatan yang berpotensi memicu

kerusakan karang. Keberadaan siput ini di lapangan diindikasikan dengan adanya pemutihan

karang pada beberapa stasiun. Pada karang yang terlihat mengalami pemutihan, siput ini

biasanya ditemukan hidup secara berkoloni dalam kelompok kecil yang terdiri dari 5 – 10

individu. Bahkan pada Sasiun MMRL 47A dalam satu koloni ditemukan lebih dari 10 individu

yang bergerombol di karang bercabang. Sedangkan pada karang yang tidak terlihat mengalami

pemutihan, siput ini ditemukan hidup secara soliter atau sendirian. Beberapa individu siput ini

ditemukan berada di karang mati atau substrat batu yang ditumbuhi oleh algae, dan

32

berkhasiat. Sedikitnya jumlah teripang yang ditemui dikhawatirkan memberikan efek yang buruk

terhadap kondisi kesehatan ekositem terumbu karang, mengingat fungsi ekologis teripang

sebagai deposit feeder dan susspensi feeder dalam rantai makanan. Sedikitnya jumlah teripang

yang ditemui juga diduga disebabkan Karena teripang sendiri bergerak dan aktif pada malam

hari, sehingga pada siang hari pada saat dilakukan monitoring tidak ditemukan banyak teripang

yang muncul

Lola

Trochus niloticus (Linnaeus, 1767), merupakan gastropoda yang distribusinya menyebar di

seluruh indo pasifik, diamana troca hidup di daerah terumbu karang hingga kedalaman 25 m

(Woodhams, 2008). Kemunculan lola hanya terdapat pada stasiun MMRL 88 dan 55, dan hanya

berjumlah 1 organisme pada setiap stasiun. Kehadiran lola sangat ditentukan oleh kondisi

lingkungannya, karena sifat yang relatif menetap dan mempunyai pergerakan yang sangat

terbatas, sehingga hewan ini secara langsung akan mudah terkena dampak dari perubahan

lingkungan, terlebih secara umum gastropoda adalah deposit feeder dan suspension feeder

sehingga makanan yang diperolehnya hanya tergantung apa yang ada di substrat atau tersaring

saja. Berdasarkan analisa isi perut lola yang dilakukan oleh Soekendarsi et al. (1998)

menunjukkan bahwa lola merupakan oragnisme grazer yang makanannya berupa micro algae

(chrysophycées, chlorophycées, rhodophycées, cyanophycées), foraminifera, dan material yang

tersuspensi yang bercampur detritus yang berada di pasir.

Sebagaimana komponen biotik terumbu karang lainya lainnya, kehadiran gastropoda sangat

ditentukan kondisi ekosistem terumbukarang yang ada. Hal ini karena kelimpahan dan distribusi

gastropoda dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan setempat seperti faktor fisika-kimia (suhu,

salinitas, derajat keasaman (pH), pasang-surut, kandungan bahan organik dan ukuran butir),

ketersediaan makanan, pemangsaan dan kompetisi (Suwondo et al., 2006).

Pada kedaan surut, mangsa-mangsa tersebut berada di permukaan substrat sehingga

memudahkan gastropoda untuk memakanya. Menurut Barnes dan Rupert (1994) ada 3 pola

makan bentos, yaitu : sebagai suspension feeder yang memperoleh makananya dengan

menyaring partikel-partikel melayang di perairan, sebagai deposit feeder yang mencari makanan

pada sedimen dan mengasimilasikan material organic yang dapat dicerna dari sedimen. Material

organic dalam sedimen biasanya disebut detritus. Dan sebagai detritus feeder tersebut khusus

hanya makan detritus saja.

Page 49: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

33

33

Lobster

Lobster hanya ditemukan pada tasiun MMRL 47A. Sedikitnya jumlah lobster yang dijumpai

dimungkinkan karena adanya tekanan yang tinggi atau tingkat penangkapan yang tinggi pada

organisme ini, mengingta organisme ni memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi. Kemungkinan

lain dari tidak ditemukannya lobster adalah sifat alami lobster sebagai hewan noktunal atau

hewan yang aktif bergerak di malam hari, sehingga pada siang hari sulit ditemukan.

Druppela spp. dan Acanthaster planci

Druppela spp. dan Acanthaster planci merupakan predator hewan karang yang keberadaannya

jika berlebihan akan sangat merugikan ekositem terumbu karang. Bintang laut berduri yang

dikenal dengan nama Crown of Thorns Starfish merupakan predator ganas bagi biota pembentuk

terumbu karang. Bintang laut memangsa karang dengan menyelimuti permukaan terumbu karang

dengan perutnya dan menghasilkan enzim pencerna yang merusak jaringan lunak karang.

Bintang laut Acanthaster planci hanya ditemukan pada stasiun MMRL 78 dan 47A, dan hanya

berjumlah 1 organisme pada setiap stasiun pengamatan. Organisme tersebut merupakan salah

satu masalah besar yang potensial dihadapi di dalam pengelolaan terumbu karang. Di antara

pemangsa karang yang ada, Acanthaster planci adalah pemangsa karang yang paling berbahaya

ketika terjadi peledakan populasi (outbreak), sehingga hampir seluruh karang hidup dimangsa

oleh Acanthaster planci. Hewan ini langsung memakan jaringa hewan karang yang mampu

memakan terumbu karang hidup sekitar 5-13 m2. Hal ini tentu saja mampu menimbulkan

kerusakan karang jika dibandingkan dengan pertumbuhan rata-rata karang yang hanya 1-2 cm

per tahun.

Druppela spp. ditemukan pada stasiun MMRL 69, 75, 79, 78, 47A, 37, 06, 65, dan 55. Druppela

spp. paling banyak ditemukan pada stasiun 47A dengan jumlah 31 Organisme. Siput pemakan

polip karang Drupella spp.. Keberadaan biota ini terhadap terumbu karang harus diwaspadai

karena banyaknya jumlah individu yang ditemukan menjadi peringatan yang berpotensi memicu

kerusakan karang. Keberadaan siput ini di lapangan diindikasikan dengan adanya pemutihan

karang pada beberapa stasiun. Pada karang yang terlihat mengalami pemutihan, siput ini

biasanya ditemukan hidup secara berkoloni dalam kelompok kecil yang terdiri dari 5 – 10

individu. Bahkan pada Sasiun MMRL 47A dalam satu koloni ditemukan lebih dari 10 individu

yang bergerombol di karang bercabang. Sedangkan pada karang yang tidak terlihat mengalami

pemutihan, siput ini ditemukan hidup secara soliter atau sendirian. Beberapa individu siput ini

ditemukan berada di karang mati atau substrat batu yang ditumbuhi oleh algae, dan

Page 50: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

34

35

penutupan tertinggi yaitu 48.00%. C. rotundata dan T. hemprichii tercatat mendominasi daerah

monitoring, karena selain memiliki penyebaran yang luas juga memiliki persentase penutupan

relatif lebih tinggi dibandingkan spesies-spesies yang lain, kemudian diikuti oleh spesies S.

isoetifolium,sedangkan E. acoroideswalaupun memiliki penyebaran yang luas, namun memiliki

persentase penutupan yang relatifkecil.

Kehadiran jenis-jenis lamun ini didukung oleh kondisi substrat berpasir, pasir kasar dan pasir

bercampur patahan karang. Penyebaran lamun berdasarkan substrat ini dapat dibagi atas

beberapa zonasi. Zonasi pertama, dari arah darat ke laut ditemukan mangrove yang tumbuh

pada substrat pasir, kemudian kira-kira 10 meter ke arah laut ditemukan H. pinifolia, selanjutnya

T. hemprichii yang berasosiasi dengan S. isoetifolium yang tumbuh pada substrat pasir kasar dan

ke arah tubir dijumpai E.acoroides pada substrat pasir campur patahan karang. Zonasi seperti ini

dijumpai pada stasiun 1 dan 2 (Nangahure dan Wailiti) serta stasiun 5 dan 6 (Pulau Besar).

Zonasi ke dua adalah daerah Pangabatang (stasiun 3). Stasiun ini dimulai dari arah darat dengan

substrat pasir putih, kemudian pada jarak 20 meter ke arah laut ditemukan C. rotundata yang

melimpah dan mendominasi perairan ini dari depan sampai ke arah tubir. Pada bagian tengah

zonasi dijumpai T. hemprichii yang berasosiasi dengan C. rotundata dan ke arah tubir dijumpai

E.acoroides.

Tabel 12. Persentase Penutupan Lamun pada Stasiun Monitoring

Jenis Lamun Stasiun 1 2 3 4 5 6 7 8

Enhalus acoroides 2.60 8.75 4.00 2.33 7.50 9.57 7.73 8.57 Thalassia hemprichii 5.60 16.56 19.95 24.17 22.50 19.29 22.61 30.71 Cymodocea rotundata 26.45 10.63 48.00 6.04 19.17 11.96 14.43 8.21 Cymodocea serrulata 6.70 2.50

14.33 2.92 2.04 4.09

Siringodium isoetifolium 3.45 12.50

17.50 11.67 12.14 7.05 24.29 Halophila ovalis 1.20

0.30

3.86

Halodule uninervis

4.55 Halodule pinifolia 7.00 2.50 10.00 0.45 0.36

Rerata total penutupan lamun(%) 53.00 53.44 72.25 64.37 63.76 65.00 64.77 72.14

Zonasi yang berikut adalah daerah Kojagete (stasiun7). Daerah ini lebih bervariasi, dimana dari

arah darat ditemukan tumbuhan pantai pada substrat pasir kasar. Pada jarak 50 meter ditemukan

lamun yang bervariasi antara jenis H. pinifolia, C. rotundata dan T. hemprichii. T. hemprichii

ditemukan mulai dari arah darat sampai ke arah tubir. Pada bagian tengah dijumpai S isoetifolium

yang berasosiasi dengan C. serulata, C. rotundata, H. ovalis dan H. uninervis, serta ke arah tubir

dijumpai E. acoroides. Perairan ini lebih keruh karena gelombang cukup besar sehingga

mengaduk substrat dasar perairan.

34

kemungkinan microalgae mengjadi sumber makanannya. Drupella spp. merupakan kelompok

siput yang memiliki kebiasaan memakan polip karang, terutama pada karang bercabang

(terutama dari kelompok Acropora dan Pocillopora) maupun karang masif (kelompok Porites)

(Arbi, 2009). Namun demikian, terlihat siput ini juga memakan polip karang pada jenis karang

dengan tipe pertumbuhan karang submasif maupun karang daun.

LAMUN

Perairan Kabupaten Sikka/Maumere dengan beberapa pulau kecilnya umumnya memiliki

topografi pantai tidak landai tetapi agak terjal dengan substrat dasar perairan didominasi oleh

pasir kasar dan pasir bercampur karang. Pada perairan ini ditemukan lamun pada jarak 10 – 50

meter dari batas pasang tertinggi. Lamun ini ditemukan tumbuh dengan subur dan membentuk

padang yang luas serta terlihat cukup padat. Kondisi ini didukung oleh perairan yang jernih dan

jauh dari pemukiman penduduk sehingga dampak aktivitas manusia terlihat tidak berpengaruh

terhadap pertumbuhan lamun.

Jenis-jenis lamun yang ditemukan terdiri dari delapan spesies pada delapan stasiun monitoring.

Spesies Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundatadan Enhalus acoroides.memiliki penyebaran

yang luas karena ditemukan pada semua stasiun monitoring, sedangkan Halodule uninervis

hanya ditemukan pada stasiun 7 (Kojagete) (Tabel 11).

Tabel 11. Penyebaran Jenis Lamun pada Stasiun Monitoring

Jenis Lamun Stasiun

1 2 3 4 5 6 7 8

Enhalus acoroides ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ Thalassia hemprichii ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ Cymodocea rotundata ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ Cymodocea serrulata ⁺ ⁺

⁺ ⁺ ⁺ ⁺

Siringodium isoetifolium ⁺ ⁺

⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺

Halophila ovalis ⁺

⁺ Halodule uninervis

Halodule pinifolia ⁺ ⁺ ⁺ ⁺ ⁺

Secara umum, kondisi lamun pada perairan Kabupaten Sikka berada pada status kaya atau

sehat, dimana 6 dari 8 stasiun monitoring memiliki persentase penutupan berkisar antara 63.76

% - 72.25 %, sedangkan hanya 2 stasiun yaitu stasiun 1 dan 2 (Nangahure dan Wailiti) memiliki

kondisi lamun kurang kaya atau kurang sehat yaitu 53.00% dan 53.44% (Tabel 12.) Stasiun 7

(Kojagete) tercatat memiliki jumlah spesies terbanyak, namun yang memiliki persenatse

penutupan tertinggi adalah stasiun 3 (Pangabatang), dimana C. rotundata memiliki persentase

Page 51: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

35

35

penutupan tertinggi yaitu 48.00%. C. rotundata dan T. hemprichii tercatat mendominasi daerah

monitoring, karena selain memiliki penyebaran yang luas juga memiliki persentase penutupan

relatif lebih tinggi dibandingkan spesies-spesies yang lain, kemudian diikuti oleh spesies S.

isoetifolium,sedangkan E. acoroideswalaupun memiliki penyebaran yang luas, namun memiliki

persentase penutupan yang relatifkecil.

Kehadiran jenis-jenis lamun ini didukung oleh kondisi substrat berpasir, pasir kasar dan pasir

bercampur patahan karang. Penyebaran lamun berdasarkan substrat ini dapat dibagi atas

beberapa zonasi. Zonasi pertama, dari arah darat ke laut ditemukan mangrove yang tumbuh

pada substrat pasir, kemudian kira-kira 10 meter ke arah laut ditemukan H. pinifolia, selanjutnya

T. hemprichii yang berasosiasi dengan S. isoetifolium yang tumbuh pada substrat pasir kasar dan

ke arah tubir dijumpai E.acoroides pada substrat pasir campur patahan karang. Zonasi seperti ini

dijumpai pada stasiun 1 dan 2 (Nangahure dan Wailiti) serta stasiun 5 dan 6 (Pulau Besar).

Zonasi ke dua adalah daerah Pangabatang (stasiun 3). Stasiun ini dimulai dari arah darat dengan

substrat pasir putih, kemudian pada jarak 20 meter ke arah laut ditemukan C. rotundata yang

melimpah dan mendominasi perairan ini dari depan sampai ke arah tubir. Pada bagian tengah

zonasi dijumpai T. hemprichii yang berasosiasi dengan C. rotundata dan ke arah tubir dijumpai

E.acoroides.

Tabel 12. Persentase Penutupan Lamun pada Stasiun Monitoring

Jenis Lamun Stasiun 1 2 3 4 5 6 7 8

Enhalus acoroides 2.60 8.75 4.00 2.33 7.50 9.57 7.73 8.57 Thalassia hemprichii 5.60 16.56 19.95 24.17 22.50 19.29 22.61 30.71 Cymodocea rotundata 26.45 10.63 48.00 6.04 19.17 11.96 14.43 8.21 Cymodocea serrulata 6.70 2.50

14.33 2.92 2.04 4.09

Siringodium isoetifolium 3.45 12.50

17.50 11.67 12.14 7.05 24.29 Halophila ovalis 1.20

0.30

3.86

Halodule uninervis

4.55 Halodule pinifolia 7.00 2.50 10.00 0.45 0.36

Rerata total penutupan lamun(%) 53.00 53.44 72.25 64.37 63.76 65.00 64.77 72.14

Zonasi yang berikut adalah daerah Kojagete (stasiun7). Daerah ini lebih bervariasi, dimana dari

arah darat ditemukan tumbuhan pantai pada substrat pasir kasar. Pada jarak 50 meter ditemukan

lamun yang bervariasi antara jenis H. pinifolia, C. rotundata dan T. hemprichii. T. hemprichii

ditemukan mulai dari arah darat sampai ke arah tubir. Pada bagian tengah dijumpai S isoetifolium

yang berasosiasi dengan C. serulata, C. rotundata, H. ovalis dan H. uninervis, serta ke arah tubir

dijumpai E. acoroides. Perairan ini lebih keruh karena gelombang cukup besar sehingga

mengaduk substrat dasar perairan.

Page 52: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

36

37

Tabel 13. Jumlah jenis dalam plot permanen, persentase tutupan kanopi dan jenis yang mendominasi pada 13 stasiun pemantauan mangrove COREMAP CTI di wilayah KKPD Teluk Maumere.

NO STASIUN DESA ∑JENIS DALAM PLOT JENIS DOMINAN % TUTUPAN STATUS

1 MMRM01 Kojadoi 1 Sonneratia caseolaris 38.82 ± 26.89 Jarang

2 MMRM02 Kojadoi 2 Rhizophora apiculata 87.50 ± 5.20 Padat

3 MMRM03 Kojegete 4 R. apiculata 86.41 ± 4.52 Padat

4 MMRM04 Parumaan 1 S. alba 75.72 ± 7.33 Padat

5 MMRM05 Kojagete 2 R. apiculata 85.31 ± 3.68 Padat

6 MMRM06 Nebe 2 R. apiculata 77.38 ± 5.48 Padat

7 MMRM07 Darat Pantai 1 Ceriops tagal 72.83 ± 10.33 Sedang

8 MMRM08 Darat Pantai 4 R. apiculata 80.44 ± 8.70 Padat

9 MMRM09 Darat Pantai 1 S. alba 42.40 ± 25.38 Jarang

10 MMRM10 Nangahale 2 R. apiculata 82.20 ± 6.59 Padat

11 MMRM11 Kota Uneng 3 S. alba 62.55 ± 24.85 Sedang

12 MMRM12 Talibura 2 S. alba 55.98 ± 10.35 Sedang

13 MMRM13 Magepanda 5 Avicennia marina 51.40 ± 25.91 Sedang

TOTAL 64.59 ± 23.93 Sedang

Stasiun MMRM01 merupakan salah satu stasiun yang unik dan mirip dengan MMRM09 dengan

persentase tutupan yang rendah (jarang). Hal ini disebabkan karena pemanfaatan mangrove di

daerah tersebut untuk pakan ternak kambing. Hal ini menyebabkan rendahnya tutupan kanopi.

Jenis S. alba di lokasi tersebut memiliki tegakan dengan diameter 4 – 30 cm namun

ketinggiannya hanya sampai 2 meter dan terpangkas.

Jenis mangrove yang biasanya dimanfaatkan untuk pakan ternak, seperti Sonneratia dan

Avicennia. Kusmana et al. (1996) menyebutkan jenis Avicennia kaya akan vitamin B, C, mineral

makro dan mikro.

36

Sesuai fungsinya sebagai tempat mencari makan, tempat berlindung, dan tempat memijah maka

pada daerah lamun ditemukan asosiasi beberapa biota. Selain ikan ditemukan juga teripang

pada stasiun 2 (Wailiti), bulu babi pada stasiun 3 dan 7 (Pangabatang dan Kojagete), ular dan

dugong pada stasiun 5 (Margajong Pulau besar). Makroalgae ditemukan pada semua stasiun

monitoring sedangkan karang mati dijumpai pada stasiun 1 dan 2 (Nangahure dan Wailiti).

Gambar 18. Grafik Persentase Penutupan Lamun pada Stasiun Monitoring.

MANGROVE

Analisis foto menemukan bahwa persentase tutupan kanopi mangrove dalam 13 stasiun

permanen KKPD Teluk Maumere ditunjukkan pada Tabel 13. Secara keseluruhan persentase

tutupan kanopi mangrove di wilayah KKPD Teluk Maumere tergolong dalam kategori sedang

dengan persentase tutupan 64.59 ± 23.93%. Persentase tutupan terendah diperoleh pada

stasiun MMRM01 dengan tutupan 38.82 ± 26.89% dan tertinggi pada stasiun MMRM02 87.50 ±

5.20%. Kedua stasiun tersebut terletak pada satu desa yaitu Kojadoi pada Pulau Besar bagian

selatan. Dari 13 stasiun permanen, lebih dari 50% jumlah stasiun memiliki persentase tutupan

mangrove yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh adanya regulasi berupa peraturan desa yang

sebagai dasar hukum perlindungan pesisir (Gambar 16).

0

10

20

30

40

50

60

70

80

Pers

enta

se P

enut

upan

(%)

Stasiun Monitoring

Halodule pinifolia

Halodule uninervis

Halophila ovalis

Siringodium isoetifolium

Cymodocea serrulata

Cymodocea rotundata

Thalassia hemprichii

Enhalus acoroides

Page 53: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

37

37

Tabel 13. Jumlah jenis dalam plot permanen, persentase tutupan kanopi dan jenis yang mendominasi pada 13 stasiun pemantauan mangrove COREMAP CTI di wilayah KKPD Teluk Maumere.

NO STASIUN DESA ∑JENIS DALAM PLOT JENIS DOMINAN % TUTUPAN STATUS

1 MMRM01 Kojadoi 1 Sonneratia caseolaris 38.82 ± 26.89 Jarang

2 MMRM02 Kojadoi 2 Rhizophora apiculata 87.50 ± 5.20 Padat

3 MMRM03 Kojegete 4 R. apiculata 86.41 ± 4.52 Padat

4 MMRM04 Parumaan 1 S. alba 75.72 ± 7.33 Padat

5 MMRM05 Kojagete 2 R. apiculata 85.31 ± 3.68 Padat

6 MMRM06 Nebe 2 R. apiculata 77.38 ± 5.48 Padat

7 MMRM07 Darat Pantai 1 Ceriops tagal 72.83 ± 10.33 Sedang

8 MMRM08 Darat Pantai 4 R. apiculata 80.44 ± 8.70 Padat

9 MMRM09 Darat Pantai 1 S. alba 42.40 ± 25.38 Jarang

10 MMRM10 Nangahale 2 R. apiculata 82.20 ± 6.59 Padat

11 MMRM11 Kota Uneng 3 S. alba 62.55 ± 24.85 Sedang

12 MMRM12 Talibura 2 S. alba 55.98 ± 10.35 Sedang

13 MMRM13 Magepanda 5 Avicennia marina 51.40 ± 25.91 Sedang

TOTAL 64.59 ± 23.93 Sedang

Stasiun MMRM01 merupakan salah satu stasiun yang unik dan mirip dengan MMRM09 dengan

persentase tutupan yang rendah (jarang). Hal ini disebabkan karena pemanfaatan mangrove di

daerah tersebut untuk pakan ternak kambing. Hal ini menyebabkan rendahnya tutupan kanopi.

Jenis S. alba di lokasi tersebut memiliki tegakan dengan diameter 4 – 30 cm namun

ketinggiannya hanya sampai 2 meter dan terpangkas.

Jenis mangrove yang biasanya dimanfaatkan untuk pakan ternak, seperti Sonneratia dan

Avicennia. Kusmana et al. (1996) menyebutkan jenis Avicennia kaya akan vitamin B, C, mineral

makro dan mikro.

Page 54: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

38

39

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

SIG

Citra landsat 8 berresolusi 15 x 15 meter telah mampu dipergunakan dalam pemetaan substrat

dasar perairan yang didukung dengan data ground truth yang memadai. Jumlah data ground

truth akan membantu dalam meningkatkan ketelitian peta.

Klas lamun yang terpetakan menggunakan pendekatan teknologi penginderaan jauh hanya

hamparan lamun yang mempunyai tingkat kerapatan > 40%, sementara pada lamun yang

mempunyai kerapatan < 40%, yang terekam dalam citra adalah substrat dasarnya.

KARANG

Secara keseluruhan kondisi terumbu karang di perairan Kabupaten Sikka dalam kondisi kurang

baik (17,98%) meskipun ada beberapa lokasi memiliki kondisi yang cukup baik, meskipun

demikian dari pengamatan lapangan ditemukan adanya beberapa juvenile karang yang

memberikan harapan adanya proses pemulihan.

IKAN KARANG

Total keragaman ikan karang di perairan terumbu karang Sikka, Flores yang berasal dari 8

suku yang terdiri dari 1 suku yang bersifat coralivores dan 7 suku ikan ekonomis penting

sebesar 92 spesies, dimana variasi jumlah jenis cukup lebar untuk masing-masing stasiun.

Secara umum keragaman jenis di tiap-tiap stasiun berkisar antara 13 - 50 spesies.

Kepadatan ikan karang untuk 7 suku dari kelompok ikan ekonomis penting pada masing-

masing lokasi stasiun di bawah 400 ekor/350 m2 dimana variasi kepadatan juga cukup tinggi

antar lokasi.

Potensi sediaan ikan karang adalah 0,9 ton/ha untuk ikan dari 7 suku ikan ekonomis.

Komposisi dari ikan karang yang termasuk 7 suku ikan ekonomis adalah 16 % termasuk

karnivora dan 84 % termasuk herbivora.

Kelompok ikan pemakan karang/coralivores (kepe-kepe) dijumpai sebanyak 22 spesies dan

pada masing-masing lokasi hanya dijumpai di bawah 15 spesies dengan kepadatan tertinggi

55 ekor/350m2.

38

Gambar 19. Daun Sonneratia alba, yang digunakan sebagai pakan ternak (kiri); media sosialisasi Peraturan Desa tentang perlindungan kawasan pesisir di Desa Darat Pantai (kanan)

Seluruh lokasi yang didominasi oleh jenis Rhizophora apiculata memiliki persentase tutupan

mangrove yang tergolong padat kecuali stasiun MMRM04 yang didominasi mono-spesies

Sonneratia alba. Jenis R. apiculata tumbuh berdekatan antara satu tegakan dengan lainnya

namun Sonneratia memiliki kemampuan mengeluarkan alelopati yang mampu menghambat

pertumbuhan jenis baru di area perakarannya ((Li et al. 2004). Hal ini mengakibatkan jarak antar

tegakan pada zona Sonneratia tergolong lebih jauh dibandingkan dengan Rhizophora.

Selanjutnya hal ini yang memungkinkan persentase tutupan kanopi pada wilayah Sonneratia

lebih rendah dibandingkan dengan Rhizophora pada kondisi alamiah. Seperti halnya pada

wilayah Desa Kota Uneng (MMRM11), Talibura (MMRM12), dan Parumaan (MMRM04) yang

didominasi secara alami oleh Sonneratia alba termasuk dalam kategori tutupan sedang.

Stasiun MMRM13 (Desa Magepanda) merupakan stasiun permanen dengan jumlah jenis (lima

jenis) yang paling banyak dibandingkan dengan stasiun lainnya. Variasi tipe substrat yang

beragam ditemukan di wilayah ini, namun didominasi oleh lumpuran pada zona dekat laut dan

pasir pada zona dekat darat. Variabilitas ini memberikan kemungkinan variasi jenis yang lebih

lebar dibandingkan stasiun mono-species seperti MMRM01, MMRM4, MMRM7, MMRM9. Pada

stasiun 13 ditemukan jenis yang cenderung tumbuh pada substrat berpasir (S. alba; Avicennia

marina) dan berlumpur (R. apiculata; R. stylosa) serta campuran pasir-lumpur (Ceriops tagal).

Page 55: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

39

39

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

SIG

Citra landsat 8 berresolusi 15 x 15 meter telah mampu dipergunakan dalam pemetaan substrat

dasar perairan yang didukung dengan data ground truth yang memadai. Jumlah data ground

truth akan membantu dalam meningkatkan ketelitian peta.

Klas lamun yang terpetakan menggunakan pendekatan teknologi penginderaan jauh hanya

hamparan lamun yang mempunyai tingkat kerapatan > 40%, sementara pada lamun yang

mempunyai kerapatan < 40%, yang terekam dalam citra adalah substrat dasarnya.

KARANG

Secara keseluruhan kondisi terumbu karang di perairan Kabupaten Sikka dalam kondisi kurang

baik (17,98%) meskipun ada beberapa lokasi memiliki kondisi yang cukup baik, meskipun

demikian dari pengamatan lapangan ditemukan adanya beberapa juvenile karang yang

memberikan harapan adanya proses pemulihan.

IKAN KARANG

Total keragaman ikan karang di perairan terumbu karang Sikka, Flores yang berasal dari 8

suku yang terdiri dari 1 suku yang bersifat coralivores dan 7 suku ikan ekonomis penting

sebesar 92 spesies, dimana variasi jumlah jenis cukup lebar untuk masing-masing stasiun.

Secara umum keragaman jenis di tiap-tiap stasiun berkisar antara 13 - 50 spesies.

Kepadatan ikan karang untuk 7 suku dari kelompok ikan ekonomis penting pada masing-

masing lokasi stasiun di bawah 400 ekor/350 m2 dimana variasi kepadatan juga cukup tinggi

antar lokasi.

Potensi sediaan ikan karang adalah 0,9 ton/ha untuk ikan dari 7 suku ikan ekonomis.

Komposisi dari ikan karang yang termasuk 7 suku ikan ekonomis adalah 16 % termasuk

karnivora dan 84 % termasuk herbivora.

Kelompok ikan pemakan karang/coralivores (kepe-kepe) dijumpai sebanyak 22 spesies dan

pada masing-masing lokasi hanya dijumpai di bawah 15 spesies dengan kepadatan tertinggi

55 ekor/350m2.

Page 56: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

40

41

DAFTAR PUSTAKA

Allen, G.R., R. Steene, P. Humann, and N. Deloach 2009. Reef Fish Identification, Tropical Pacifi c. New World Publications, Inc. El Cajon CA. 480 pp.

Allen, G.R. and R. Steene. 1996. Indo-pacific Coral Reef Field Guide. Tropical Reef Research. Singapore. 378p

Arbi, U.Y. 2009. Drupella spp. (Muricidae: Mollusca): Siput pemakan karang. Oseana XXXIV(3): 19-24.

Campbell, J.B. 1996. Introduction to Remote Sensing. London: Taylor & Francis. 622 p.

Dahuri. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: Pradnya Paramita.

Dharmawan, I.W.E. dan Pramudji. 2014. Panduan Monitoring Kesehatan Ekosistem Mangrove. COREMAP-CTI, P2O LIPI. Jakarta.

English, S., C. Wilkinson and V. Baker.1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Australian Institute of Marine Science, Townsville. Australia.

Froese, R. and D. Pauly. Editors. 2014. FishBase. World Wide Web electronic publication. www.fishbase.org, version (04/2014).

Giyanto. 2012a. Kajian tentang panjang transek dan jarak antar pemotretan pada penggunaan metode transek foto bawah air. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 38 (1): 1-18.

Giyanto. 2012b. Penilaian Kondisi Terumbu Karang Dengan Metode Transek Foto Bawah Air. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 38 (3): 377-390.

Giyanto; B.H. Iskandar; D. Soedharma & Suharsono. 2010. Effi siensi dan akurasi pada proses analisis foto bawah air untuk menilai kondisi terumbu karang. 41 Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 36 (1): 111-130.

Hudaya, A. 2004. Pemanfaatan Citra Landsat 7 ETM+ Untuk Pemetaan Hutan Mangrove di Kawasan Hutan Segara Anakan Kabupaten Cilacap. Skripsi S-1. Yogyakarta:

Kohler, K.E. and S.M. Gill. 2006. Coral Point Count with Excel extensions (CPCe): A Visual Basic program for the determination of coral and substrate coverage using random point count methodology. Computers and Geosciences. 32(9) : 1259-1269Lyzenga, D.R., 1981. Remote Sensing of Bottom Reflectance and Water Attenuation Parameters in Shallow Water Using Aircraft and Landsat Data. International Journal of Remote Sensing 2, pp. 71-82.

Kuiter, R.H. & T. Tonozuka. 2001. Pictorial Guide to : Indonesian Reef Fishes. Zoonetics Publc. Seaford VIC 3198. Australia.

40

MEGA BENTOS

Megabenthos pada perairan Kabupaten Sikka, Maumere sangat beragam namun

kebanyakan di dominasi oleh bulu babi sebanyak 316 individu. Bulu babi merupakan organisme

dominan yang ditemukan dalam seluruh stasiun pengamatan. Drupella ditemukan sebanyak 93

individu, Linkia ditemukan sebanyak 54 individu dan kima ditemukan sebanyak 57 individu.

Druppela juga merupakan salah satu megabenthos yang paling sering dijumpai (9 dari 14

stasiun) dengan jumlah 93 individu. Seluruh stasiun yang diamati sedikit ditemukan adanya

Acanthaster planci, biota tersebut dikenal sebgai biota predator karang, tidak ditemukannya biota

tersebut pada seluruh stasiun memberikan damak positif bagi pertumbuhan karang untuk

melakukan recovery. Sedikit ditemukananya lobster pada seluruh stasiun (hanya stasiun 47A)

juga mengindikasikan akan adanya exploitasi yang tinggi atau penangkapan secara berlebih

terhadap biota ekonomis tinggi ini.

LAMUN

Lamun pada perairan Kabupaten Sikka umumnya berstatus kaya atau sehat yang didukung oleh

kondisi perairan yang baik pula. Kondisi ini perlu dipertahankan atau ditingkatkan mengingat

fungsinya yang begitu penting dalam suatu perairan.

MANGROVE

Persentase tutupan kanopi mangrove di KKPD Teluk Maumere bervariasi antara jarang: 38.82 ±

26.89% (MMRM01) – padat: 87.50 ± 5.20% (MMRM02) dengan rata-rata keseluruhan 64.59 ±

23.93 (sedang). Persentase tutupan mangrove dipengaruhi oleh antropogeni (pemanfaatan

mangrove oleh masyarakat) dan alamiah (jenis yang mendominasi).

SARAN

Lokasi yang perlu mendapat perhatian serius untuk direhabilitasi adalah stasiun MMRL 13,

MMRL 21 dan MMRL 74

Lokasi yang perlu dikonservasi adalah stasiun MMRL 62, MMRL 69, MMRL 75, MMRL 78,

MMRL 79, dan MMRL 80.

Page 57: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

41

41

DAFTAR PUSTAKA

Allen, G.R., R. Steene, P. Humann, and N. Deloach 2009. Reef Fish Identification, Tropical Pacifi c. New World Publications, Inc. El Cajon CA. 480 pp.

Allen, G.R. and R. Steene. 1996. Indo-pacific Coral Reef Field Guide. Tropical Reef Research. Singapore. 378p

Arbi, U.Y. 2009. Drupella spp. (Muricidae: Mollusca): Siput pemakan karang. Oseana XXXIV(3): 19-24.

Campbell, J.B. 1996. Introduction to Remote Sensing. London: Taylor & Francis. 622 p.

Dahuri. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: Pradnya Paramita.

Dharmawan, I.W.E. dan Pramudji. 2014. Panduan Monitoring Kesehatan Ekosistem Mangrove. COREMAP-CTI, P2O LIPI. Jakarta.

English, S., C. Wilkinson and V. Baker.1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Australian Institute of Marine Science, Townsville. Australia.

Froese, R. and D. Pauly. Editors. 2014. FishBase. World Wide Web electronic publication. www.fishbase.org, version (04/2014).

Giyanto. 2012a. Kajian tentang panjang transek dan jarak antar pemotretan pada penggunaan metode transek foto bawah air. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 38 (1): 1-18.

Giyanto. 2012b. Penilaian Kondisi Terumbu Karang Dengan Metode Transek Foto Bawah Air. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 38 (3): 377-390.

Giyanto; B.H. Iskandar; D. Soedharma & Suharsono. 2010. Effi siensi dan akurasi pada proses analisis foto bawah air untuk menilai kondisi terumbu karang. 41 Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 36 (1): 111-130.

Hudaya, A. 2004. Pemanfaatan Citra Landsat 7 ETM+ Untuk Pemetaan Hutan Mangrove di Kawasan Hutan Segara Anakan Kabupaten Cilacap. Skripsi S-1. Yogyakarta:

Kohler, K.E. and S.M. Gill. 2006. Coral Point Count with Excel extensions (CPCe): A Visual Basic program for the determination of coral and substrate coverage using random point count methodology. Computers and Geosciences. 32(9) : 1259-1269Lyzenga, D.R., 1981. Remote Sensing of Bottom Reflectance and Water Attenuation Parameters in Shallow Water Using Aircraft and Landsat Data. International Journal of Remote Sensing 2, pp. 71-82.

Kuiter, R.H. & T. Tonozuka. 2001. Pictorial Guide to : Indonesian Reef Fishes. Zoonetics Publc. Seaford VIC 3198. Australia.

Page 58: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

42

43

LAMPIRAN

Kegiatan Monitoring Kesehatan Terumbu Krang dan Ekosistem Terkait Lainnya di Kabupaten Sikka, Juni 2015

Persiapan Penelitian

Semua tim yang terlibat berkumpul untuk membicarakan persiapan penelitian

Kegiatan lapangan

Tim RHM: Karang, ikan karang dan mega bentos

Persiapan tim menuju lokasi penelitian

Tim menuju lokasi penelitian

42

Kusmana, C., A. Suryani, Y. Hartati dan P. Oktadiyani. 2009. Pemanfaatan jenis pohon Mangrove api - api (Avicennia spp.) sebagai bahan pangan dan Obat - obatan. IPB, Bogor.

Li, M., B. Liao, S. Zheng and Y. Chen. 2004. Allelopathic effects of Sonneratia apetala extracts on growth performance of some indigenous mangroves. Forest Research, 17: 641–64

Lyzenga, D.R., 1981. Remote Sensing of Bottom Reflectance and Water Attenuation Parameters in Shallow Water Using Aircraft and Landsat Data. International Journal of Remote Sensing 2, pp. 71-82.

Mediapalu.com. 2011. Terumbu karang NTT rusak berat. http://mediapalu.com/? p=8572. Upload 25 Juli 2011.

Richards, J.A. 1999. Remote Sensing Digital Image Analysis. Berlin: Springer-Verlag. p. 240.

Siringoringo, R.M. & Y. Tuti. 2008. Studi baseline terumbu karang di lokasi DPL Kabupaten Sikka. Laporan COREMAP II-LIPI, Jakarta, 97 hal.

Soekendarsi E., Palinggi A., and Santosa S. 1998. Stomach content in relation to shell length, width and weight of the gastropod Trochus niloticus L. Proceedings of the Eighth Workshop of the Tropical Marine Mollusc Programme (TMMP), Thailand, 18–28 August 1997. Part 1 18: 73–76.

Suwondo., E. Febrita., dan F. Sumanti. 2006. Struktur Komunitas Gastropoda Pada Hutan Mangrove di Kepulauan Sipora Kabupaten Kepulauan Mentawai Sumatera Barat. Jurnal Biogenesis, Vol. 2(1): 25-29.

Wilson J.R. & Green A.L. 2009. Metode Pemantauan Biologi Untuk Menilai Kesehatan Terumbu Karang dan Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut di Indonesia (Terjemahan). Versi 1.0. Laporan TNC Indonesia MarineProgram No 1/09. 46 hal.

Winardi & A.E.W. Manuputty. 2007. Monitoring Ekologi Sikka. Laporan COREMAP II-LIPI, Jakarta, 68 hal.

Page 59: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

43

43

LAMPIRAN

Kegiatan Monitoring Kesehatan Terumbu Krang dan Ekosistem Terkait Lainnya di Kabupaten Sikka, Juni 2015

Persiapan Penelitian

Semua tim yang terlibat berkumpul untuk membicarakan persiapan penelitian

Kegiatan lapangan

Tim RHM: Karang, ikan karang dan mega bentos

Persiapan tim menuju lokasi penelitian

Tim menuju lokasi penelitian

Page 60: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

44

45

Selesai dari lapangan dan kegiatan membersihkan alat penelitian

Kegiatan kompilasi dan analisa data

44

Pemasangan transek permanen, dan pelaksanaan Underwater Photo Transect (UPT)

Tim ikan dan megabentos sedang melakukan kegiatan monitoring

Kegiatan monitoring ekosistem Mangrove

Page 61: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

45

45

Selesai dari lapangan dan kegiatan membersihkan alat penelitian

Kegiatan kompilasi dan analisa data

Page 62: Terumbu Karang dan Ekosistem terkait di Kabupaten Wakatobi ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/Sikka.pdf · MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT LAINNYA COREMAP

46