22
- 1 - Info Singkat © 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI www.dpr.go.id ISSN 2088-2351 Vol. VI, No. 10/II/P3DI/Mei/2014 H U K U M Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini SENGKETA PEMILIHAN KEPALA DAERAH PASCA PUTUSAN MK: KEWENANGAN SIAPA? Inosentius Samsul*) Abstrak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 yang membatalkan ketentuan Pasal 236C Undang_Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ditanggapi berbeda oleh berbagai pakar dan aparatur penegak hukum. Pembatalan ketentuan tersebut berarti kewenangan mengadili sengketa pemilihan kepala daerah tidak berada pada lembaga Mahkamah Konstitusi. Pertanyaannya, kewenangan siapakah untuk menyelesaikan sengketa pemilihan kepala daerah tersebut? Terdapat beberapa pemikiran alternatif antara lain kewengangan tersebut ditangani oleh Peradilan Tata Usaha Negara atau membentuk lembaga penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah yang bersifat ad hoc. Namun keputusannya akan tetap ditentukan oleh DPR dan Pemerintah yang akan dituangkan dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah. Pendahuluan Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan pengadilan guna menegakkan hukum dan keadilan dan lembaga peradilan tertinggi yang berperan sebagai penjaga utama konstitusi (Guardian of The Constitution). Sebagai penjaga konstitusi, MK mempunyai empat kewenangan yang diatur dalam UUD 1945 dan UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa: MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya EHUVLIDW ¿QDO XQWXN PHQJXML XQGDQJXQGDQJ terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang- Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Ketika pemilihan kepala daerah (pilkada) ditempatkan sebagai bagian dari rezim pemilihan umum (pemilu) yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), implikasinya adalah sengketa pilkada menjadi bagian perkara Perselisihan *) Peneliti Madya Hukum Ekonomi pada bidang Hukum, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. E-mail: [email protected]

Vol.VI No.10 II P3DI MEI 2014

Embed Size (px)

Citation preview

  • - 1 -

    Info Singkat 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

    Vol. VI, No. 10/II/P3DI/Mei/2014H U K U M

    Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini

    SENGKETA PEMILIHAN KEPALA DAERAH PASCA PUTUSAN MK: KEWENANGAN SIAPA?

    Inosentius Samsul*)

    Abstrak

    Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 yang membatalkan ketentuan Pasal 236C Undang_Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ditanggapi berbeda oleh berbagai pakar dan aparatur penegak hukum. Pembatalan ketentuan tersebut berarti kewenangan mengadili sengketa pemilihan kepala daerah tidak berada pada lembaga Mahkamah Konstitusi. Pertanyaannya, kewenangan siapakah untuk menyelesaikan sengketa pemilihan kepala daerah tersebut? Terdapat beberapa pemikiran alternatif antara lain kewengangan tersebut ditangani oleh Peradilan Tata Usaha Negara atau membentuk lembaga penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah yang bersifat ad hoc. Namun keputusannya akan tetap ditentukan oleh DPR dan Pemerintah yang akan dituangkan dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah.

    PendahuluanMahkamah Konstitusi (MK)

    merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan pengadilan guna menegakkan hukum dan keadilan dan lembaga peradilan tertinggi yang berperan sebagai penjaga utama konstitusi (Guardian of The Constitution). Sebagai penjaga konstitusi, MK mempunyai empat kewenangan yang diatur dalam UUD 1945 dan UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa: MK berwenang mengadili pada tingkat

    pertama dan terakhir yang putusannya EHUVLIDWQDOXQWXNPHQJXMLXQGDQJXQGDQJ

    terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

    Ketika pemilihan kepala daerah (pilkada) ditempatkan sebagai bagian dari rezim pemilihan umum (pemilu) yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), implikasinya adalah sengketa pilkada menjadi bagian perkara Perselisihan

    *) Peneliti Madya Hukum Ekonomi pada bidang Hukum, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. E-mail: [email protected]

  • - 2 -

    Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang menjadi kewenangan MK. Melalui UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, terminologi pemilihan kepala daerah diubah menjadi pemilihan umum kepala daerah (pemilukada).

    Ketentuan dalam UU No. 22 Tahun 2007 kemudian diperkuat dalam Pasal 263C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 236 C yang menyatakan bahwa: Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan. Dengan demikian, kewenangan MK yang semula hanya memutus perselisihan hasil pemilihan umum Presiden, DPR, DPRD, dan DPD menjadi bertambah dengan memutus perselisihan hasil pemilukada.

    Dengan melihat volume jumlah perkara yang ada, MK cenderung menjadi Mahkamah Sengketa Pemilu (Election Court) karena jumlah perkara sengketa pemilu yang ditangani lebih banyak volumenya dibandingkan pengujian undang-undang (Judicial Review) yang merupakan kewenangan utama sebuah MK. Kewenangan baru ini ternyata juga mengubah irama kehidupan dan suasana kerja di MK. Sengketa Pemilukada mendominasi sidang-sidang di MK. Kemudian dengan banyaknya perkara sengketa pemilukada yang harus diselesaikan sembilan hakim MK dalam waktu 14 hari tersebut, dikhawatirkan bisa mempengaruhi kualitas putusan MK terhadap sengketa tersebut dan mengurangi kualitas putusan MK dalam menangani perkara sengketa hasil pemilukada dan mengganggu peran MK dalam memutus permohonan judicial review yang sejatinya merupakan domain utama kewenangannya.

    Dengan kata lain, MK bergeser dari Constitutional Court menjadi seolah-olah Election Court karena lebih banyak menangani perkara sengketa pemilukada daripada pengujian undang-undang. Lebih mengkuatirkan ketika kasus yang menimpa mantan Ketua MK Akil Mochtar justru tersangkut pada tindak pidana korupsi di bidang sengketa pilkada. Kasus ini sungguh

    mencoreng dan merusak citra MK sampai pada titik nadir. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kenyataannya MK berperan penting dalam penyelesaian sengketa hasil pemilukada. MK mampu PHPIDVLOLWDVLNRQLNSROLWLN\DQJPHUXSDNDQ

    hasil pemilukada dengan membawanya GDUL NRQLN \DQJ WHUMDGL \DQJ ELVDPHPLFX

    NRQLN KRUL]RQWDO DQWDU SHQGXNXQJ NH

    gedung MK. Di tingkat tertentu MK telah memiliki prestasi dalam mendorong pelaksanaan pemilukada yang demokratis.

    Putusan MK Nomor 97/PUU XI 2013: Sengketa Pilkada Bukan Wewenang MK

    Melalui Putusan No. 97/PUU-XI/2013, MK membatalkan kewenangannya dalam memeriksa dan memutus sengketa pemilukada. Permohonan pengujian diajukan oleh oleh Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), BEM Universitas Esa Unggul, dan Gerakan Mahasiswa Hukum Jakarta (GMHJ).

    Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844) dan Pasal 29 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

    Dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah berpendapat, dalam memahami kewenangan MK yang ditentukan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, harus kembali melihat makna teks, original intent, makna gramatika yang komprehensif terhadap UUD 1945. Oleh karena itu, pemilihan umum menurut Pasal 22E UUD 1945 harus dimaknai secara limitatif, yaitu pemilihan umum yang diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD dan dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Berdasarkan putusan tersebut, yang dimaksud pemilihan umum setiap lima tahun sekali pada Pasal

  • - 3 -

    22E UUD 1945 adalah pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD serta Presiden dan Wakil Presiden secara bersamaan setiap lima tahun sekali atau pemilihan lima kotak suara.

    MK berpendapat jika memasukkan Pemilukada menjadi bagian dari pemilihan umum sehingga menjadi kewenangan MK untuk menyelesaikan perselisihan hasilnya, bukan saja tidak sesuai dengan makna original intent dari pemilihan umum sebagaimana telah diuraikan di atas, tetapi juga akan menjadikan Pemilu tidak saja setiap lima tahun sekali, tetapi berkali-kali, karena pemilihan kepala daerah sangat banyak dilakukan dalam setiap lima tahun dengan waktu yang berbeda-beda.

    Di samping itu, sebagaimana telah menjadi pendirian MK dalam pertimbangan putusannya Nomor 1-2/PUU-XII/2014 Tentang Pengujian Undang-Undang No. 4 Tahun 2014 Tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi tanggal 13 Februari 2014, kewenangan lembaga negara yang secara limitatif ditentukan oleh UUD 1945 tidak dapat ditambah atau dikurangi oleh Undang-Undang maupun putusan Mahkamah karena akan mengambil peran sebagai pembentuk UUD 1945. Dengan demikian, menurut MK, penambahan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengadili perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah dengan memperluas makna pemilihan umum yang diatur Pasal 22E UUD 1945 adalah inkonstitusional.

    Untuk menghindari keragu-raguan, ketidakpastian hukum serta kevakuman lembaga yang berwenang menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah karena belum adanya Undang-Undang yang mengatur mengenai hal tersebut maka penyelesaian perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah tetap menjadi kewenangan Mahkamah.

    Dalam putusan tersebut, tiga hakim konstitusi memiliki pendapat berbeda, yakni Wakil Ketua MK Arief Hidayat, Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi, dan Anwar Usman, Arief mengungkapkan tugas dan kewenangan MK, seharusnya bukan hanya berusaha menemukan maksud dari pembentuk konstitusi, tetapi berusaha pula untuk menemukan makna yang dikehendaki

    oleh teks norma konstitusi itu sendiri untuk menyelesaikan persoalan hukum yang dihadapi di masa kini dan masa depan. Selain itu, MK juga mempunyai kewenangan untuk bisa menghidupkan konstitusi dari masa ke masa (the living constitution) untuk menghadapi berbagai tantangan yang tentunya akan berbeda pada tiap zamannya.

    Sementara Anwar berpendapat apabila MK menyatakan diri tidak berwenang mengadili sengketa Pemilukada dengan pertimbangan tidak diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, seharusnya hal tersebut dinyatakan sejak pertama kali menerima permohonan penyelesaian sengketa Pemilukada pada tahun 2008. Sebab hal tersebut menyangkut kewenangan mutlak yang dapat membawa akibat hukum tersendiri.

    Demikian pula hakim konstitusi Fadlil menjelaskan, oleh karena sistem dan mekanisme rekrutmen pengisian kepala daerah adalah pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E maka perselisihan hasil pemilihan kepala daerah berdasarkan uraian di atas adalah perselisihan hasil pemilu (PHPU). Perselisihan hasil merupakan bagian daripada sistem. Perselisihan hasil sebagai sesuatu permasalahan sistem harus dapat diselesaikan. Untuk itu haruslah ada forum yang menyelesaikannya. PHPU adalah perselisihan hukum konstitusi terkait dengan pemilu sebagai mekanisme dalam pelaksanaan hak konstitusional di bidang politik, khusunya hak untuk memilih (right to vote) dan hak untuk dipilih (right to be voted or to be candidate). MK merupakan penyelenggara peradilan sebagai forum penyelesaian perselisihan dengan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan konstitusi. Oleh karena itu berdasarkan Pasal 24C ayat (1) maka MK berwenang mengadili PHPU kepala daerah dan dengan demikian maka permohonan Pemohon seharusnya ditolak.

    Fadlil berpendapat bahwa kententuan Pasal 236C UU No 12 Tahun 2008 berkaitan dengan Pasal 29 ayat (1) huruf e UU 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan: MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir \DQJ SXWXVDQQ\D EHUVLIDW QDO XQWXN

    e. kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang.

    Penulis berpandangan bahwa Pemilu

  • - 4 -

    yang dimaksudkan oleh UUD 1945 adalah pemilihan Presiden dan pemilihan legislatif. Oleh karena itu, Pilkada bukan merupakan kewenangan MK, tetapi menjadi kewenangan MA dan lembaga peradilan di bawahnya. Karena sengketa Pilkada terkait putusan lembaga negara, yaitu Komisi Pemilihan Umum, maka sengketa Pilkada masuk dalam kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sedangkan penanganannya dilakukan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN). Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah pengawasan atau kontrol serta rentang kewenangan yang mencakup pemilihan Gubernur dan Bupati/Wali Kota. Kekhawatiran terhadap tindakan anarkis yang dilakukan oleh pendukung bukan merupakan persoalan substantif dalam hukum, sebab tindakan anarkis dipengaruhi banyak faktor yang dapat juga terjadi dalam sidang di MK. Terkait dengan kemungkinan Pilkada oleh DPRD, penulis berpendapat pilihan tersebut tidak berpengaruh terhadap kewenangan penyelesaian sengketa, sebab pemilihan oleh DPRD maupun langsung oleh rakyat tetap bukan merupakan rezim Pemilu yang dimaksudkan oleh UUD 1945.

    KesimpulanPutusan ini melahirkan tugas legislasi

    bagi DPR dan Pemerintah untuk mengatur mengenai kewenangan penanganan sengketa pilkada. Secara teknis, tidak ada batas waktu pembentukan Undang-Undang tersebut. Namun, pilihan yang tepat adalah memasukannya dalam dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah yang sedang dibahas oleh DPR dan Pemerintah. Persoalan dari sisi substansi, pihak MA menilai MK melempar tanggungjawab, sebab MK sesungguhnya banyak menangani sengketa Pilkada berarti konstitusional. Alternatif yang mungkin dituangkan dalam Undang-undang yang baru adalah sengketa Pilkada menjadi kewenangan PT TUN, karena yang digugat adalah keputusan KPUD, sehingga lebih administratif. Dalam hal ini PT TUN mengadilinya dengan pemeriksaan langsung seperti PTUN pada tingkat pertama. PT TUN harus diberi batas waktu tertentu untuk memutus sengketa Pilkada agar cepat selesai. Pemikiran lain dapat dalam bentuk badan khusus untuk penyelesaian sengketa Pilkada.

    Referensi:1. Jimly Asshiddiqie, "Pemilihan Langsung

    Presiden dan Wakil Presiden", Jurnal Unisia No 51/XXVII/I/2004.

    +DUXQ 5H\ 0. .HOLUX +DSXV

    Kewenangan Mengadili Sengketa Pilkada", http://www.tempo.co/read/news/2014/05/20/078578958/MK-Kel iru-Hapus-Kewenangan-Adi l i -Sengketa-Pilkada, diakses tanggal 23 Mei 2014.

    3. Yusril Ihsa Mahendra, Setuju MK Hapus Kewenangan Sidangkan Sengketa Pilkada, http://politik.news.viva.co.id/news/read/505650-yusril-setuju-mk-hapus-kewenangan-sidangkan-sengketa-pilkada, diakses tanggal 25 Mei 2014

    4. MA Tuding MK Lempar Tanggung Jawab, http://www.tribunnews.com/pemilu-2014/2014/05/22/ma-tuding-mk-lempar-tanggung-jawab, diakses tanggal 23 Mei 2014.

    5. MK Tak Lagi Tangani Sengketa Pilkada, http://www.tempo.co/read/news/2014/05/19/078578811/MK-Tak-Lagi-Tangani-Sengketa-Pilkada, diakses tanggal 23 Mei 2014.

    6. Iwan Satriawan dkk. 2012. Studi Efektivitas Penyelesaian Sengketa Hasil pemilukada oleh Mahkamah Konstitusi, Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi, Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta.

  • - 5 -

    Info Singkat 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

    Vol. VI, No. 10/II/P3DI/Mei/2014HUBUNGAN INTERNASIONAL

    Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini

    PELUANG INDONESIA DALAMMASYARAKAT EKONOMI ASEAN 2015

    Humphrey Wangke*)

    Abstrak

    Pemberlakuan MEA tahun 2015 menyebabkan lalulintas perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara menjadi tanpa kendala. MEA merupakan wujud kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia serta menciptakan pasar regional bagi kurang lebih 500 juta penduduknya. Perdagangan bebas dapat diartikan tidak ada hambatan tarif (bea masuk 0-5%) maupun hambatan nontarif bagi negara-negara anggota ASEAN. Sebenarnya AFTA dibentuk sudah sejak Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke IV di Singapura tahun 1992. Tetapi, pada akhir tahun 2015 negara-negara ASEAN akan merasakan dampaknya.

    Latar BelakangIndonesia kini tengah berpacu dengan

    waktu dalam menyambut pelaksanaan pasar bebas Asia Tenggara atau biasa disebut dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan dimulai pada tahunn 2015. ASEAN telah menyepakati sektor-sektor prioritas menuju momen tersebut. Ketika berlangsung ASEAN Summit ke-9 tahun 2003 ditetapkan 11 Priority Integration Sectors (PIS). Namun pada tahun 2006 PIS yang ditetapkan berkembang menjadi 12 yang dibagi dalam dua bagian yaitu tujuh sektor barang industri dan lima sektor jasa. Ke-7 sektor barang industri terdiri atas produk berbasis pertanian, elektronik, perikanan, produk

    berbasis karet, tekstil, otomotif, dan produk berbasis kayu. Sedangkan kelima sektor jasa tersebut adalah transportasi udara, e-asean, pelayanan kesehatan, turisme dan jasa logistik.

    Keinginan ASEAN membentuk MEA didorong oleh perkembangan eksternal dan internal kawasan. Dari sisi eksternal, Asia diprediksi akan menjadi kekuatan ekonomi baru, dengan disokong oleh India, Tiongkok, dan negara-negara ASEAN. Sedangkan secara internal, kekuatan ekonomi ASEAN sampai tahun 2013 telah menghasilkan GDP sebesar US$ 3,36 triliun dengan

    *) Peneliti Utama Masalah-Masalah Hubungan Internasional pada bidang Hubungan Internasional, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data, dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI. E-mail: [email protected].

  • - 6 -

    laju pertumbuhan sebesar 5,6 persen dan memiliki dukungan jumlah penduduk 617,68 juta orang. Tulisan ini secara ringkas akan menganalisis peluang Indonesia menghadapi persaingan dalam MEA.

    Konsep Masyarakat Ekonomi ASEAN

    Sejalan dengan pesatnya dinamika hubungan antar-bangsa di berbagai kawasan, ASEAN menyadari pentingnya integrasi negara-negara di Asia Tenggara. Pada pertemuan informal para Kepala Negara ASEAN di Kuala Lumpur tanggal 15 Desember 1997 disepakati ASEAN Vision 2020 yang kemudian ditindaklanjuti dengan pertemuan di Hanoi yang menghasilkan Hanoi Plan of Action (HPA). Visi 2020 termasuk HPA berisi antara lain: kondisi yang ingin diwujudkan di beberapa bidang, seperti orientasi ke luar, hidup berdampingan secara damai dan menciptakan perdamian internasional.

    Beberapa agenda kegiatan yang akan dilaksanakan untuk merealisasikan Visi 2020 adalah dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, ekonomi, lingkungan hidup, sosial, teknologi, hak cipta intelektual, keamanan dan perdamaian, serta turisme melalui serangkaian aksi bersama dalam bentuk hubungan kerjasama yang baik dan saling menguntungkan diantara negara-negara anggota ASEAN.

    Selanjutnya pada KTT ASEAN ke 9 di Bali pada tahun 2003 dihasilkan Bali Concord II, yang menyepakati pembentukan ASEAN Community untuk mempererat integrasi ASEAN. Terdapat tiga komunitas dalam ASEAN Community yang disesuaikan dengan tiga pilar didalam ASEAN Vision 2020, yaitu pada bidang keamanan politik (ASEAN Political-Security Community), ekonomi (ASEAN Economic Community), dan sosial budaya (ASEAN Socio-Culture Community). MEA adalah tujuan akhir integrasi ekonomi seperti yang dicanangkan dalam ASEAN Vision 2020, adalah :

    "To create a stable, prosperous and highly competitive ASEAN economic UHJLRQ LQ ZKLFK WKHUH LV IUHH RZ RIgoods, services, investment, skill labor DQG IUHHU RZ RI FDSLWDO HTXLWDEOHeconomic development and reduced poverty and socio-economic disparities

    in year 2020."Untuk membantu tercapainya integrasi

    ekonomi ASEAN melalui AEC, maka dibuatlah AEC Blueprint yang memuat empat pilar utama yaitu (1) ASEAN sebagai pasar tunggal dan berbasis produksi tunggal yang didukung dengan elemen aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik dan aliran modal yang lebih bebas; (2) ASEAN sebagai kawasan dengan daya saing ekonomi tinggi, dengan elemen peraturan kompetisi, perlindungan konsumen, hak atas kekayaan intelektual, pengembangan infrastruktur, perpajakan, dan e-commerce; (3) ASEAN sebagai kawasan dengan pengembangan ekonomi yang merata dengan elemen pengembangan usaha kecil dan menengah, dan prakarsa integrasi ASEAN untuk negara-negara Kamboja, Myanmar, Laos, dan Vietnam; dan (4) ASEAN sebagai kawasan yang terintegrasi secara penuh dengan perekonomian global dengan elemen pendekatan yang koheren dalam hubungan ekonomi di luar kawasan, dan meningkatkan peran serta dalam jejaring produksi global.

    Dengan berlakunya MEA 2015, berarti negara-negara ASEAN menyepakati perwujudan integrasi ekonomi kawasan yang penerapannya mengacu pada ASEAN Economic Community (AEC) Blueprint. AEC Blueprint merupakan pedoman bagi negara-negara Anggota ASEAN dalam mewujudkan AEC 2015.

    Posisi IndonesiaGuna menyambut era perdagangan

    bebas ASEAN di ke-12 sektor yang telah disepakati, Indonesia telah melahirkan regulasi penting yaitu UU No 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan yang telah diperkenalkan ke masyarakat sebagai salah satu strategi Indonesia membendung membanjirnya produk impor masuk ke Indonesia. UU ini antara lain mengatur ketentuan umum tentang perijinan bagi pelaku usaha yang terlibat dalam kegiatan perdagangan agar menggunakan bahasa Indonesia didalam pelabelan, dan peningkatan penggunaan produk dalam negeri. Melalui UU ini pula pemerintah diwajibkan mengendalikan ketersediaan bahan kebutuhan pokok bagi seluruh wilayah Indonesia. Kemudian menentukan larangan atau pembatasan barang dan jasa

  • - 7 -

    untuk kepentingan nasional misalnya untuk melindungi keamanan nasional.

    Regulasi tersebut terasa penting bila mempertimbangkan kondisi perdagangan Indonesia selama ini belum optimal memanfaatkan potensi pasar ASEAN. Pada periode Januari-Agustus 2013 misalnya, ekspor Indonesia ke pasar ASEAN baru mencapai 23% dari nilai total ekspor Hal ini antara lain karena tujuan ekspor Indonesia masih terfokus pada pasar tradisional seperti Amerika Serikat, Tiongkok dan Jepang. Tingkat utilitisasi preferensi tarif ASEAN yang digunakan eksportir Indonesia untuk penetrasi ke pasar ASEAN baru mencapai 34,4%. Peringkat Indonesia menurut global competitivenes index masih berada pada posisi ke-38 dari 148 negara. Sementara Singapura menempati posisi ke 2, Malaysia di posisi ke 24, Thailand di posisi 37, Vietnam ke 70 dan Filipina di posisi 59.

    Ketatnya persaingan di pasar ASEAN lebih jauh dapat disimak dari kinerja perdagangan Indonesia di tahun 2014. Sampai bulan Maret 2014, transaksi perdagangan Indonesia surplus hingga 673,2 juta dolar AS. Surplus didapat dari selisih antara nilai ekspor yang mencapai 15,21 miliar dengan impor 14,54 miliar dolar AS. Surplus Maret ini adalah yang kedua setelah bulan Februari sebesar 843,4 juta dolar AS. Namun demikian, Indonesia perlu memberi perhatian khusus terhadap transaksi dagang dengan Thailand yang akan bersama-sama terlibat dalam MEA 2015. Pada Maret 2014 LQL ,QGRQHVLD PHQJDODPL GHVLW GDJDQJ

    dengan Thailand sampai 1,048 miliar dolar AS.

    Lebih jauh lagi, surplus perdagangan Indonesia pada bulan 2014 ini belum mencerminkan kekuatan struktur ekspor Indonesia. Industri pengolahan produk ekspor masih bergantung pada bahan baku impor. Kondisi ini sangat rentan karena berarti Indonesia sangat bergantung pada ketersediaan baku dunia. Karena itu arah kebijakan ekonomi Indonesia mulai tahun 2015 harus lebih jelas seiring dengan berlakunya pasar bebas ASEAN.

    Karenanya, menghadapi MEA 2015, Indonesia masih mempunyai berbagai pekerjaan rumah yang harus ditingkatkan agar tetap mempunyai daya saing. Untuk pilar sosial budaya, Indonesia masih perlu kerja keras mengingat masih banyak warga Indonesia yang belum mengetahui

    tentang ASEAN. Padahal salah satu kunci keberhasilan MEA adalah konektivitas atau kontak antara satu warga negara dengan warga negara ASEAN lainnya. Pemahaman warga negara di Asia Tenggara terhadap MEA belum sampai 80 persen. Karena itu, sosialisasi MEA menjadi sangat penting terhadap seluruh warga negara Indonesia yang memiliki jumlah penduduk terbesar di ASEAN. Kekuatiran yang muncul adalah, Indonesia hanya akan menjadi pasar bagi produk sejenis dari negara ASEAN lainnya.

    Untuk pilar ekonomi, Indonesia juga masih harus meningkatkan daya produk Indonesia. Indonesia masih harus mengembangkan industri yang berbasis nilai tambah. Oleh karena itu Indonesia perlu kerja keras melakukan hilirisasi produk. Dari sisi hulu, Indonesia sudah menjadi produsen yang dapat diandalkan mulai dari pertanian, kelautan dan perkebunan. Tetapi semua produk tersebut belum sampai ke hilir untuk mengurangi inpor barang jadi, sebab Indonesia telah memiliki bahan baku yang cukup.

    Dari sisi liberalisasi perdagangan, produk Indonesia praktis tidak terlalu menghadapi masalah sebab hampir 80 persen perdagangan Indonesia sudah bebas hambatan. Bahkan ekonomi yang berbasis kerakyatan (UMKM) berpeluang menembus pasar negara ASEAN. Pemerintah telah melakukan upaya percepatan pemerataan pembangunan sebagai bagian dari penguatan ekonomi kerakyatan. Antara tahun 2011-2013, investasi Indonesia banyak diarahkan pada wilayah-wilayah di luar pulau Jawa dengan memberikan rangsangan tax holiday. Dengan demikian, pusat pertumbuhan ekonomi di masa depan bukan hanya terpusat di Jawa saja tetapi juga di luar Jawa. Usaha lain yang dilakukan pemerintah adalah dengan membentuk kluster untuk pembinaan UMKM agar memiliki daya saing.

    Bukan hanya tantangan yang akan dihadapi tetapi juga peluang. Sektor-sektor yang akan menjadi unggulan Indonesia dalam MEA 2015 adalah Sumber Daya Alam (SDA), Informasi Teknologi, dan Ekonomi Kreatif. Ketiga sektor ini merupakan sektor terkuat Indonesia jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN yang lain. Selain itu, dampak masuknya Tenaga Kerja Asing (TKA) ke Indonesia harus dipastikan bisa berbahasa Indonesia yang baik dan benar.

  • - 8 -

    Menurut Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Hendri Saparini, kesiapan Indonesia dalam menghadapi MEA 2015 baru mencapai 82 persen. Hal itu ditengarai dari empat (4) isu penting yang perlu segera diantisipasi pemerintah dalam menghadapi MEA 2015, yaitu: 1) Indonesia berpotensi sekedar pemasok energi dan bahan baku bagi industrilasasi di kawasan ASEAN, sehingga manfaat yang diperoleh dari kekayaan VXPEHU GD\D DODP PLQLQDO WHWDSL GHVLW

    neraca perdagangan barang Indonesia yang saat ini paling besar di antara negara-negara ASEAN semakin bertambah, 2) melebarkan GHVLWSHUGDJDQJDQMDVDVHLULQJSHQLQJNDWDQ

    perdagangan barang, 3) membebaskan aliran tenaga kerja sehingga Indonesia harus mengantisipasi dengan menyiapkan strategi karena potensi membanjirnya Tenaga Kerja Asing (TKA), dan 4) masuknya investasi ke Indonesia dari dalam dan luar ASEAN.

    Dengan demikian didalam perdagangan bebas akan ada hal positif dan negatif yang akan dialami setiap negara yang terlibat didalamnya. Tantangan bagi Indonesia kedepan adalah memwujudkan perubahan bagi masyarakatnya agar siap menghadapi perdagangan bebas di maksud.

    KesimpulanMenghadapi perdagangan bebas

    ASEAN, langkah pertama yang harus dilakukan pemerintah adalah meningkatkan daya saing produk Indonesia mengingat jumlah penduduk Indoonesia yang sangat besar berpotensi menjadi pasar bagi produk sejenis dari negara tetangga. Peningkatan daya saing ini mencakup baik produk unggulan maupun yang bukan unggulan. Di samping itu, parlemen Indonesia dapat membantu tugas pemerintah dimaksud dengan mempersiapkan berbagai regulasi yang bertujuan melindungi pasar Indonesia dari serbuan barang produk negara-negara ASEAN. Langkah semacam ini bukan dimaksudkan sebagai langkah proteksi terhadap pasar Indonesia tetapi semata-mata untuk mencari keseimbangan antara ekspor dan impor.

    Referensi1. Cegah Serangan Menjelang MEA,

    Media Indonesia, 21 Mei 2014, hal. 18.2. Departemen Perdagangan Republik

    Indonesia, Menuju ASEAN Economic Community 2015, 2009.

    3. Helen E.S.Nesadurai, Globalisation, Domestic Politics and Regionalism: the ASEAN Free Trade Area, Routledge, London, 2005.

    4. Kerja Sama ASEAN Harus Diperluas, Media Indonesia, 11 Mei 2014.

    5. Mida Saragih, Pertanian Jelang Masyarakat Ekonomi ASEAN, Kompas, 19 Mei 2014, hal. 6.

    6. Pelaksanaan MEA Jadikan Peluang, Kompas, 6 Mei 2014.

    7. Perkuat Pilar Budaya dan Sosial, Kompas, 3 Mei 2014, hal. 19.

    8. Transaksi Ekspor Dorong Surplus, Kompas, 3 Mei 2013, hal. 18.

  • - 9 -

    Info Singkat 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

    Vol. VI, No. 10/II/P3DI/Mei/2014KESEJAHTERAAN SOSIAL

    Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini

    PENURUNAN KETERWAKILAN PEREMPUANDALAM PEMILU 2014

    Sali Susiana*)Abstrak

    Pengaturan tentang kuota 30% keterwakilan perempuan yang bertujuan untuk meningkatkan jumlah perempuan yang duduk di lembaga legislatif telah diatur dalam beberapa undang-undang yang terkait dengan pemilu, bahkan bila dibandingkan dengan beberapa pemilu sebelumnya, peraturan perundang-undangan yang mengatur hal tersebut pada Pemilu 2014 lebih banyak dan rinci. Meskipun demikian, jumlah perempuan yang pada akhirnya menjadi Anggota DPR RI periode 2014-2019 justru menurun dari 101 orang atau 17,86% menjadi hanya 79 orang atau 14% dari total 560 anggota terpilih. Hal ini perlu dicermati secara kritis karena hasil yang diperoleh berbanding terbalik dengan tingkat pencalonan caleg perempuan yang mengalami peningkatan pada Pemilu 2014 ini.

    PendahuluanKomisi Pemilihan Umum (KPU)

    telah menetapkan perolehan jumlah kursi serta calon anggota legislatif (caleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terpilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2014 pada tanggal 14 Mei 2014. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) memimpin perolehan kursi di DPR, sebesar 109 kursi (19,5%), diikuti oleh Partai Golongan Karya (Golkar) dengan 91 kursi (16,3%), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) 73 kursi (13,0%), Partai Demokrat 61 kursi (10,9%), Partai Amanat Nasional (PAN) 49 kursi (8,8%), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 47 kursi (8,4%), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 40 kursi (7,1%), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 39 kursi (7,0%), Partai Nasional Demokrat (Nasdem) 35 kursi

    (6,3%), dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) 16 kursi (2,9%).

    Dari 560 orang caleg terpilih, 79,1% di antaranya adalah mereka yang menduduki nomor urut satu dan dua dalam Daftar Calon Tetap (DCT). Bila dilihat dari jumlah perolehan suara setiap caleg, posisi 10 caleg dengan suara terbanyak diduduki oleh caleg petahana. Empat orang caleg dengan suara terbanyak berasal dari PDI-P, yaitu: Karolin Margret Natasa, dari daerah Pemilihan (Dapil) Kalimantan Barat dengan 397.481 suara; Puan Maharani dari Dapil Jawa Tengah V dengan 369.927 suara; I Wayan Koster dari Dapil Bali dengan 260.342 suara; dan Rieke Diah Pitaloka dari Dapil Jawa Barat VII dengan 255.064 suara.

    *) Peneliti Madya Studi Kemasyarakatan pada Bidang Kesejahteraan Sosial, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data, dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI. E-mail: [email protected].

  • - 10 -

    Meskipun 3 dari 4 orang caleg dengan suara terbanyak adalah caleg perempuan, namun secara keseluruhan jumlah caleg perempuan yang terpilih mengalami penurunan bila dibandingkan dengan hasil pemilu sebelumnya. Jumlah perempuan yang menjadi Anggota DPR RI periode 2014-2019 diperkirakan hanya sekitar 79 orang atau 14% dari total Anggota DPR RI yang berjumlah 560 orang. Jumlah ini lebih sedikit dibandingkan dengan DPR periode 2009-2014, yaitu 101 orang atau 17,86%. Penurunan ini perlu disikapi secara kritis karena berbanding terbalik dengan tingkat pencalonan. Pada Pemilu 2009 tingkat pencalonan hanya 33,6%, sementara pada Pemilu 2014 tingkat pencalonan mencapai 37%.

    Tabel 1Jumlah Perempuan di DPR

    Hasil Pemilu 1999-2009

    Pemilu Total Anggota DPRJumlah

    Perempuan %

    1999 500 45 9,002004 550 61 11,092009 560 101 17,86Sumber: Kemitraan bagi Pembaruan Tata

    Pemerintahan, 2011.

    Jumlah anggota legislatif perempuan terus mengalami peningkatan dari 1999 hingga periode 2009 sebagaimana yang ditampilkan dalam tabel 1. Oleh karena itu, penurunan secara kuantitatif keterwakilan perempuan hasil Pemilu 2014 harus dilihat secara holistik terhadap praktek pemilu legislatif 2014 ini yang menggunakan sistem proporsional terbuka berdasarkan urutan suara terbanyak. Seperti yang dinyatakan salah seorang Anggota DPR RI periode 2009-2014 dari Fraksi Partai Golkar, 1XUXO $ULQ EDKZD 3HPLOX LQL VHSHUWL

    perang saudara di Suriah karena persaingan antarcalon separtai di satu daerah pemilihan sangat terbuka. Di sinilah pentingnya sistem pemilu dalam mewujudkan keterwakilan

    perempuan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif (substantif).

    Pentingnya Keterwakilan Perempuan di DPR RI

    Sistem pemilu merupakan salah VDWX IDNWRU XWDPD \DQJ VLJQLNDQ GDODP

    menentukan tingkat keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. Oleh karena itu pasca-pemerintahan Presiden Soeharto atau lebih dikenal dengan era reformasi, diatur ketentuan mengenai DIUPDWLYH DFWLRQatau tindakan khusus sementara dalam bentuk kuota 30% keterwakilan perempuan dalam daftar caleg. Upaya DIUPDWLYHaction yang diakomodasi ke dalam undang-undang bidang politik terbukti telah berhasil meningkatkan jumlah perempuan yang duduk di lembaga legislatif, terutama di DPR. Pada Pemilu Tahun 2004, kuota 30% keterwakilan perempuan diatur melalui Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum. Sedangkan pada Pemilu Tahun 2009, kebijakan tersebut diatur melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

    Dibandingkan dengan beberapa pemilu sebelumnya, pengaturan tentang kuota 30% keterwakilan perempuan dalam beberapa undang-undang yang terkait dengan Pemilu 2014 lebih banyak dan rinci. Terlebih setelah dikeluarkannya Peraturan KPU yang memasukkan kuota 30% keterwakilan perempuan sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh partai politik (parpol) peserta pemilu. Kuota 30% keterwakilan perempuan antara lain diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (UU Parpol). Pasal 2 ayat (2) UU Parpol menyatakan bahwa pendirian dan pembentukan partai politik menyertakan 30% keterwakilan perempuan. Selain itu, keterwakilan paling sedikit 30% untuk perempuan juga menjadi salah satu syarat dalam penyusunan kepengurusan parpol untuk tingkat pusat. Hal itu diatur dalam Pasal 2 ayat (5) UU Parpol. Pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota, kepengurusan parpol tingkat provinsi dan kabupaten/kota juga harus disusun dengan

  • - 11 -

    memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30% yang diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga parpol masing-masing (Pasal 20 UU Parpol).

    Selain menjadi salah satu syarat dalam pendirian dan pembentukan parpol, kuota 30% keterwakilan perempuan juga menjadi salah satu pertimbangan dalam proses rekrutmen yang dilakukan oleh parpol, baik untuk menjadi anggota parpol, bakal calon Anggota DPR dan DPRD, bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, maupun bakal calon presiden dan wakil presiden (Pasal 29 ayat (1a)).

    Secara khusus, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu) sebagai salah satu dasar hukum penyelenggaraan Pemilu 2014 juga telah mencantumkan beberapa pasal yang mengatur mengenai kuota 30% keterwakilan perempuan. Ketentuan yang mengatur mengenai kuota 30% keterwakilan perempuan tersebut terkait dengan beberapa substansi, yaitu:1. persyaratan parpol yang dapat menjadi

    peserta pemilu, diatur dalam Pasal 8 ayat (2) huruf e dan Pasal 15 huruf d;

    2. pencalonan Anggota DPR, DPD, dan DPRD provinsi dan kabupaten/kota, diatur dalam Pasal 55, Pasal 56 ayat (2), Pasal 58, Pasal 59 ayat (2), Pasal 62 ayat (6), dan Pasal 67 ayat (2);

    3. penetapan calon terpilih, diatur dalam Pasal 215 huruf b.

    6HEDJDLWLQGDNODQMXWNHELMDNDQDUPDVL

    tersebut, KPU menerbitkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 7 Tahun 2013 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (selanjutnya disebut Peraturan KPU). Pasal 27 ayat (1) Huruf b Peraturan KPU menyatakan jika ketentuan 30% keterwakilan perempuan tidak terpenuhi, parpol dinyatakan tidak memenuhi syarat pengajuan daftar bakal calon pada daerah pemilihan bersangkutan. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin bahwa parpol peserta pemilu akan mematuhi ketentuan 30% keterwakilan perempuan sehingga angka keterwakilan perempuan di lembaga legislatif diharapkan akan meningkat dibanding dengan hasil pemilu sebelumnya.

    Keterwakilan Deskriptif vs Keterwakilan Substantif

    $IUPDWLYH DFWLRQ melalui kuota 30% keterwakilan hanyalah salah satu upaya untuk meningkatkan keterwakilan perempuan secara kuantitatif. Keterwakilan secara kuantitatif ini tidak akan berarti banyak jika perempuan yang duduk di lembaga legislatif tidak dapat mewakili dan mengartikulasikan kepentingan perempuan dengan baik. Oleh karena itu keterwakilan secara kuantitatif juga perlu diimbangi dengan kualitas perempuan yang duduk dalam lembaga tersebut.

    Menurut Hanna Pitkin sebagaimana dikutip Nuri Soeseno ada empat pandangan yang berbeda mengenai keterwakilan, yaitu: (1) keterwakilan formal; (2) keterwakilan simbolis; (3) keterwakilan deskriptif; dan (4) keterwakilan substantif. Keterwakilan formal merupakan keterwakilan yang terbentuk sebagai hasil pengaturan institusional yang dilakukan sebelum keterwakilan ada. Keterwakilan deskriptif merupakan sebuah bentuk keterwakilan yang berdasarkan pada persamaan atau kemiripan antara wakil dan yang diwakili (konstituen atau pemilih). Adapun keterwakilan substantif merupakan konsep keterwakilan yang menunjukkan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh seorang wakil adalah untuk kepentingan yang diwakilinya.

    Terkait dengan keterwakilan perempuan dalam politik dilihat dari 30% keberadaan perempuan dalam parpol dan dalam daftar caleg Pemilu 2014, Nuri Soeseno menyatakan bahwa sebagai konsekuensi kuota, cara-cara parpol merekrut caleg pada Pemilu 2014 dan posisi perempuan dalam struktur kepengurusan partai, maka dapat dikatakan bahwa keterwakilan perempuan dalam politik masih bersifat deskriptif. Apabila berbagai ketentuan mengenai kuota 30% untuk perempuan membawa hasil dan angka 30% tersebut dapat tercapai maka ada harapan bahwa keterwakilan deskriptif tersebut dapat memunculkan keterwakilan substantif. Akan tetapi hasil Pemilu 2014 menunjukkan bahwa keterwakilan perempuan tidak mencapai 30%, bahkan menurun jika dibandingkan dengan pemilu sebelumnya (2009). Oleh karena itu, kita tidak dapat berharap banyak akan munculnya keterwakilan substantif perempuan dalam politik.

    Sejumlah kajian menunjukkan bahwa

  • - 12 -

    keterwakilan deskriptif (standing for) tidak menjadi jaminan munculnya keterwakilan substantif (acting for). Sistem kepartaian yang ada saat ini dan pilihan serta cara-cara rekrutmen caleg perempuan oleh parpol semakin menguatkan pesimisme terhadap munculnya keterwakilan substantif dari kuota 30% untuk perempuan.

    Fakta dalam Pemilu 2014, perwakilan deskriptif masih menjadi fokus perhatian ketika melihat keterwakilan perempuan di parlemen yang persentasenya menurun menjadi hanya 14% dari sebelumnya 17,86%. Salah satu faktor yang menjadi penyebab hal itu adalah sistem pemilu yang tidak ramah terhadap hadirnya keterwakilan perempuan. Ketika pemilu menggunakan sistem proporsional terbuka didasarkan atas urutan suara terbanyak, maka calon perempuan membutuhkan energi ekstra, tidak hanya modal sosial berupa pengaruh, cara kampanye, popularitas, tetapi juga faktor modal materi, baik uang maupun benda lainnya yang tidak kecil jumlahnya. Dengan sistem suara terbanyak tersebut, kebijakan DIUPDWLYH DFWLRQ 30% dalam hal pencalonan melalui aturan 1 di antara 3 calon harus perempuan tetap tidak cukup membantu keterpilihan calon perempuan. Selain faktor tersebut, yang harus diperhatikan adalah bagaimana perempuan menghadapi persaingan secara kualitatif dengan calon laki-laki. Hal itulah yang tidak mudah diwujudkan dan membutuhkan perhatian khusus dari parpol serta lembaga nonpemerintah dalam mendorong perempuan agar mau terjun ke dunia politik praktis disertai bekal pengetahuan dan energi yang cukup. Dengan demikian ke depan akan terwujud cita-cita keterwakilan perempuan minimal 30% atau bahkan lebih di parlemen. Penutup

    Kemunculan keterwakilan deskriptif yang tidak diikuti dengan keterwakilan substantif dengan diterapkannya kebijakan DIUPDWLI DFWLRQ melalui kuota 30% untuk perempuan telah dikaji oleh sejumlah ilmuwan sosial politik. Kajian tersebut pada umumnya berusaha menjawab 2 pertanyaan utama, yaitu: (1) apakah kehadiran perempuan dalam politik membawa perbedaan; dan (2) apakah perempuan melakukan tindakan untuk perempuan. Kajian terhadap dua pertanyaan tersebut kemudian memunculkan fokus baru sebagai

    pendekatan alternatif dalam melihat keterwakilan perempuan dalam politik, yaitu: (1) bukan kapan perempuan membawa perbedaan, tetapi bagaimana keterwakilan substantif perempuan dapat terjadi; dan (2) tidak pada apa yang dilakukan perempuan tetapi apa yang dilakukan oleh aktor-aktor tertentu atau critical actors.

    Dengan demikian, dua agenda penting pasca Pemilu 2014 terkait dengan upaya untuk meningkatkan derajat keterwakilan dari yang bersifat deskriptif menjadi keterwakilan substantif adalah bagaimana mengubah konsep stand for menjadi acting for GDQPHQJLGHQWLNDVL VLDSD VDMDyang dapat menjadi critical actors dalam memperjuangkan kepentingan perempuan. Peran sebagai critical actors yang dapat memotori perubahan keterwakilan perempuan yang deskriptif menjadi substantif ini tidak hanya dapat diambil oleh perempuan, melainkan juga laki-laki.

    Rujukan:1. Jumlah Perempuan di DPR 2014-2019

    Berkurang, Kompas, 13 Mei 2014.2. Caleg Perempuan Hanya 79 Orang, Media

    Indonesia, 13 Mei 2014.3. Jumlah Kursi Perempuan Turun,

    Republika, 13 Mei 2014.4. Caleg No 1 dan 2 Mendominasi, Anggota

    DPR Baru Diprediksi Lebih Individualis, Kompas, 16 Mei 2014.

    5. Suara Terbanyak Didominasi Wajah Lama, Republika, 16 Mei 2014.

    6. Dahlerup, Drude. 2002. Menggunakan Kuota untuk Meningkatkan Representasi Politik Perempuan dalam Perempuan di Parlemen: Bukan Sekedar Jumlah. Jakarta: IDEA.

    7. IFES. (tanpa tahun). Keterwakilan Perempuan di Lembaga-lembaga Nasional yang Anggotanya dipilih melalui Pemilu: Perbedaan-perbedaan dalam Praktek Internasional dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: IFES.

    8. Kemitraan. 2011. Meningkatkan Keterwakilan Perempuan, Penguatan .HELMDNDQ$UPDVL. Jakarta: Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan.

    9. Soeseno, Nuri. Perempuan Politisi dalam Partai Politik Pemilu 2014: Keterwakilan Deskriptif vs Substantif, dalam Jurnal Perempuan No. 81: Perempuan Politisi, Mei 2014. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

    *DJDONH6HQD\DQ1XUXO$ULQ3LOHJ6HSHUWL

    Perang Saudara di Suriah, http://news.detik.com/pemilu2014/, diakses tanggal 28 Mei 2014.

  • - 13 -

    Info Singkat 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

    Vol. VI, No. 10/II/P3DI/Mei/2014EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK

    Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini

    RAPBN-P TAHUN 2014MINIM FUNGSI STIMULUS

    Nidya Waras Sayekti*)

    Abstrak

    Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) tampaknya selalu menjadi persoalan yang tidak pernah terselesaikan di Indonesia. Saat ini persoalan tersebut merupakan agenda WHUEHVDU\DQJGLDQJJDSPHPEHEDQLVNDO WHUOHELKSURGXNVLPLQ\DNEXPL,QGRQHVLDsemakin merosot dan masuk menjadi negara pengimpor minyak. Resiko domestik EHUXSDSHPEHQJNDNDQVXEVLGL%%0DNDQPHQGRURQJSHOHEDUDQGHVLWVNDOVHKLQJJDdapat mengganggu perekonomian nasional. Besarnya porsi subsidi BBM dalam APBN juga mempersempit porsi belanja produktif seperti, misalnya infrastruktur. Meskipun ada beberapa dampak negatif dari pengurangan subsidi BBM seperti naiknya harga komoditas pokok, pengurangan tersebut sudah seharusnya dilakukan pemerintah.

    PendahuluanSejak ditetapkannya UU No. 23 tahun

    2013 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2014, kondisi perekonomian nasional menunjukkan perkembangan yang berbeda dengan asumsi dasar ekonomi makro yang digunakan dalam APBN tahun 2014, terutama pertumbuhan ekonomi, tingkat bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN) tiga bulan, lifting minyak, dan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Sebelumnya, realisasi pertumbuhan ekonomi tahun 2013 hanya mencapai 5,8 persen (yoy), lebih rendah bila dibandingkan dengan target APBN Perubahannya sebesar 6,3 persen. Tekanan pada pertumbuhan ekonomi tersebut terus berlanjut pada triwulan I tahun 2014, sehingga mengubah asumsi dasar ekonomi makro pada tahun 2014 sebagaimana rincian dalam Tabel 1.

    Perbedaan asumsi dasar ekonomi makro tersebut diperkirakan memberikan tekanan yang sangat berat terhadap pelaksanaan APBN tahun 2014, baik dari sisi pendapatan maupun belanja negara. Selain itu, tekanan terhadap belanja negara juga berasal dari beberapa kewajiban atas kegiatan tahun 2013 yang harus dibayar pada tahun 2014, seperti subsidi BBM dan subsidi listrik, dana bagi hasil, serta kewajiban lainnya.

    Oleh karenanya, dalam rangka mengendalikan dan mengamankan pelaksanaan APBN tahun 2014 dan menjaga GHVLW $3%1 GDODP EDWDV \DQJ DPDQ SHUOX

    GLODNXNDQ ODQJNDKODQJNDK NRQVROLGDVL VNDO

    pada komponen-komponen utama APBN. Langkah tersebut meliputi optimalisasi penerimaan, baik pajak maupun bukan pajak; efesiensi dan pengendalian belanja negara;

    *) Peneliti Muda Ekonomi Terapan pada Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI. E-mail: [email protected]

  • - 14 -

    serta peningkatan kapasitas pembiayaan anggaran. Hal ini diharapkan lebih menjamin terlaksananya APBN tahun 2014 secara lebih aman, dan PHQMDJD NHVLQDPEXQJDQ VNDO GDODP MDQJND

    panjang. Langkah-langkah pengamanan APBN tersebut dituangkan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) tahun 2014 oleh pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 20 Mei 2014. Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Askolani sangat mengharapkan pembahasan APBN-P 2014 dapat selesai pada 18 20 Juni 2014.

    RAPBN-P Tahun 2014Postur RAPBN-P tahun 2014 ditandai

    dengan koreksi turunnya target pendapatan senilai Rp 69,4 triliun dari target APBN tahun 2014 sebesar Rp1.667,1 triliun menjadi Rp1.597,7 triliun. Penurunan tersebut berasal dari turunnya penerimaan perpajakan sebesar Rp48.267,6 miliar dan PNBP sebesar Rp22.109,1 miliar dari target APBN tahun 2014 untuk penerimaan pajak sebesar Rp1.280,4 triliun dan PNBP sebesar Rp385,4 triliun. Sedangkan penerimaan hibah diperkirakan meningkat sebesar Rp965 miliar dari target APBN tahun 2014 sebesar Rp1.360,1 miliar.

    Sementara itu, anggaran belanja negara dalam RAPBN-P tahun 2014 diperkirakan naik sebesar Rp6,952 triliun dari pagu semula Rp1.842,5 triliun dalam APBN tahun 2014 menjadi Rp1.849,4

    triliun. Besaran belanja negara tersebut, selain dipengaruhi perkembangan asumsi dasar ekonomi makro, juga dipengaruhi oleh kebijakan yang ditempuh, antara lain: (1) upaya pengendalian subsidi energi; (2) pemotongan belanja Kementerian dan Lembaga (K/L) yang bersumber dari rupiah murni, di luar anggaran pendidikan dan belanja operasional; serta (3) penurunan dana bagi hasil seiring dengan penurunan pendapatan negara yang dibagihasilkan. Ilustrasi yang lebih rinci dari komposisi belanja negara tersebut disajikan dalam Tabel 2.

    Perubahan anggaran belanja negara dalam RAPBN-P tahun 2014 terdiri atas kenaikan anggaran belanja pemerintah pusat dan penurunan dana transfer ke daerah untuk perimbangan sebagai akibat dari penurunan dana bagi hasil minyak bumi dan gas alam seiring dengan penurunan target penerimaan minyak bumi dan gas alam. Peningkatan besaran belanja pemerintah pusat sebesar Rp15.8 triliun, disebabkan oleh kenaikan anggaran untuk porsi belanja non K/L sebesar Rp114,3 triliun yang semula Rp612,1 triliun menjadi Rp726,4 triliun, utamanya terkait dengan peningkatan besaran subsidi energi yang membengkak Rp110 triliun, dari pagu Rp282,1 triliun diproyeksikan menjadi Rp392,1 triliun. Subsidi tersebut terdiri dari subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), /LTXHHG

    Tabel 1. Asumsi Dasar Ekonomi Makro Tahun 2014

    Indikator Ekonomi2013 2014

    Realisasi APBN APBN-Pa. Pertumbuhan Ekonomi (% yoy) 5,8 6,0 5,5E,QDVL\R\ 8,4 5,5 5,3c. Nilai tukar (Rp/USD) 10.460 10.500 11.700d. Tingkat Bunga SPN 3 bulan rata-rata (%) 4,5 5,5 6,0e. Harga Minyak Mentah Indonesia (USD/barel) 106 105 105f. Lifting Minyak Bumi (ribu barel per hari) 825 870 818g. Lifting Gas Bumi (ribu barel setara minyak per hari) 1.213 1.240 1.224

    Sumber: Nota Keuangan RAPBN-P 2014.

    Tabel 2. Belanja Negara 2013 2014 (triliun rupiah)

    Indikator Ekonomi

    2013 2014

    LKP Unaudited APBN RAPBN-P

    Perubahan

    Nominal %I. Belanja Pemerintah Pusat 1.126,9 1.249,9 1.265,8 15,8 1,3

    1. Belanja K/L 573,7 637,8 539,3 (98,5) (15,4)2. Belanja Non K/L 553,2 612,1 726,4 114,3 18,7

    II. Transfer ke Daerah 513,3 592,6 583,7 (8,7) (1,5)1. Dana Perimbangan 430,4 487,9 479,1 (8,7) (1,8)2. Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian 82,9 104,6 104,6 0,0 0,0

    1.639,8 1.842,5 1.849,4 6,95 0,4Sumber: Nota Keuangan RAPBN-P 2014.

  • - 15 -

    Petroleum Gas (LPG) dan Bahan Bakar Nabati (BBN) yang mengalami kenaikan dari Rp210,7 triliun menjadi Rp285 triliun (naik 74,3 triliun) dan subsidi listrik dari semula Rp71,4 triliun menjadi Rp107,1 triliun (naik 35,7 triliun).

    Disamping itu, pemerintah juga menambahkan rencana utang dari Rp175,4 triliun menjadi Rp251,7 triliun. Atas tekanan subsidi tersebut, pemerintah melakukan penghematan anggaran belanja dari dua mata anggaran, yaitu mata anggaran untuk belanja K/L yang semula Rp637,8 triliun menjadi Rp539,32 triliun dan mata anggaran dana transfer ke daerah yakni porsi untuk dana perimbangan yang semula sebesar Rp487,9 triliun menjadi Rp479,1 triliun.

    Melihat postur RAPBN-P tahun 2014, ekonom Faisal Basri berpendapat bahwa RAPBN-P tahun 2014 kehilangan fungsi stimulus. RAPBN-P menciptakan banyak variabel yang tidak bisa dikendalikan, seharusnya pos-pos dalam APBN semakin tidak bergantung pada asumsi-asumsi yang sensitif, terutama subsidi BBM.

    Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE) Hendri Saparini menyatakan, RAPBN-P tahun 2014 sebatas otak-atik postur anggaran. Namun, di dalamnya tidak ada perubahan kebijakan esensial. Pemerintah semestinya mengubah politik anggaran. Sejauh tidak ada perubahan politik anggaran, APBN adalah instrumen yang tak memiliki stimulus berarti terhadap perekonomian nasional.

    Sebelumnya, postur APBN tahun 2014 juga memprihatinkan. Anggaran pembangunan infrastruktur secara riil anjlok Rp8,8 triliun dibandingkan pagu tahun 2013. Padahal, pendapatan negara ditargetkan bertambah Rp165 triliun dan utang baru direncanakan Rp175,4 triliun. Anggaran belanja modal adalah anggaran untuk pembangunan infrastruktur. Alokasi dalam APBN-P tahun 2013 adalah Rp192,6 triliun. Pada APBN-P tahun 2014, alokasinya turun menjadi Rp184,2 triliun, artinya anggaran belanja modal turun Rp8,4 triliun.

    Kebijakan yang diambil dalam RAPBN-P tahun 2014, juga dikhawatirkan dapat menghambat pelaksanaan proyek investasi Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) tahun 2014 yang diperkirakan mencapai Rp2.000 triliun dan perwujudan ASEAN Economy Community 2015 yang salah satu pilarnya adalah mewujudkan ASEAN sebagai kawasan dengan daya saing ekonomi tinggi, dengan elemen peraturan kompetisi, perlindungan konsumen, hak atas kekayaan intelektual, pengembangan infrastruktur, perpajakan, dan e-commerse.

    Efisiensi Anggaran K/L Dalam RAPBNP tahun 2014, pemerintah

    PHODNXNDQ HVLHQVL DQJJDUDQ EHODQMD VHEHVDU

    Rp98,5 triliun dari mata anggaran belanja K/L. Efesiensi anggaran belanja tersebut sebagai bentuk tindak lanjut dari Instruksi Presiden (Inpres) No. 4 tahun 2014 tentang Langkah-Langkah Penghematan dan Pemotongan Belanja Kementerian/Lembaga Dalam Rangka Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2014. Dalam Inpres tertanggal 19 Mei 2014 tersebut, menginstruksikan kepada 86 K/L untuk PHODNXNDQ LQGHQWLNDVL VHFDUD PDQGLUL self blocking) terhadap program/kegiatan di Tahun Anggaran 2014 seperti belanja honorarium, perjalanan dinas, biaya rapat/konsinyering, iklan, pembangunan gedung kantor, pengadaan kendaraan operasional, belanja bantuan sosial, sisa dana lelang atau swakelola, serta anggaran dari kegiatan yang belum terikat kontrak.

    Penghematan dan pemotongan tidak dapat dilakukan terhadap anggaran pendidikan, anggaran yang bersumber dari pinjaman dan hibah, dan anggaran yang bersumber dari Penerimaan Negara Bukan Pajak Badan Layanan Umum. Besaran target efesiensi anggaran dari 86 K/L adalah Rp100 triliun. K/L yang mendapatkan nilai pemotongan anggaran terbesar adalah Kementerian Pekerjaan Umum (PU) sebesar Rp22,746 triliun dari anggaran Rp84,148 triliun. Sedangkan yang terkecil adalah Ombudsman RI sebesar Rp11,536 miliar dari anggaran Rp66,968 miliar. Sedangkan DPR mendapatkan pemotongan sebesar Rp864 miliar dari 3,3 triliun.

    Adapun K/L yang tidak mengalami pemotongan anggaran adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang memiliki anggaran Rp80,661 triliun, Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang memiliki anggaran Rp15,410 triliun, dan Badan Pengawas Pemilu (Banwaslu) dengan anggaran Rp3,3261 triliun.

    Menteri Keuangan Chatib Basri menyatakan, pengambilan langkah efesiensi tersebut agar transisi ke pemerintahan baru berjalan dengan baik. Langkah ini juga harus diambil untuk menghentikan pembengkakan VXEVLGL QHJDUD GDQ PHQMDJD GHVLW DQJJDUDQ

    berada di level 2,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Chatib mengharapkan K/L dapat memotong pos-pos anggaran yang tidak terlalu penting atau memilah proyek-proyek yang bisa diundur untuk dilaksanakan tahun depan.

    Menteri Perdagangan Muhammad /XW PHQMHODVNDQ SHQJXUDQJDQ DQJJDUDQ

    di Kementerian Perdagangan (Kemendag) dilakukan pada mata anggaran yang tidak PHQJJDQJJX XSD\D SHQJHQGDOLDQ LQDVL

  • - 16 -

    Sejumlah mata anggaran yang langsung terkait dengan distribusi barang dan kontrol harga tak dikurangi Kemendag.

    Penghematan anggaran tersebut juga sejalan dengan gebrakan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian yang baru dilantik 19 Mei 2014, Chairul Tanjung yang melakukan efesiensi anggaran melalui penghilangan pos pembangunan gedung, pengadaan kendaraan dinas, serta biaya perjalanan dinas yang tidak mendesak. Pemangkasan anggaran akan dilakukan terhadap belanja pemerintah yang tidak mendesak dan tidak memiliki dampak pada pertumbuhan ekonomi serta kesejahteraan rakyat. Selain itu, ia juga mengharapkan agar Menkeu terus melakukan optimalisasi penerimaan pajak dengan mengkaji kembali sumber-sumber penerimaan potensial yang masih dapat diupayakan secara maksimal.

    Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus DW Martowardojo menilai, penghematan anggaran sejumlah K/L merupakan langkah yang tepat bagi pemerintah dalam mengatasi besarnya subsidi energi. Jika subsidi energi tinggi sedangkan penerimaan negara tidak besar, akibatnya belanja negara harus dikurangi. Menurutnya, jika penerimaan negara tidak bisa diupayakan lagi, maka setidaknya ada tiga opsi yang bisa dilakukan, yaitu pemotongan belanja negara, penyesuaian harga BBM, atau mengurangi jumlah subsidi BBM dan listrik.

    BI terus mewaspadai langkah yang diambil pemerintah tersebut. Realisasi subsidi BBM bisa lebih dari plafon yang telah ditetapkan pemerintah dalam RAPBN-P tahun 2014, dan harapannya pemerintah dapat mengatasi serta mengelola dengan baik perkiraan BI ini. Selain itu, BI juga berharap ke depan neraca perdagangan Indonesia bisa terus dipertahankan.

    Sedangkan, Ekonom Bank Pembangunan Asia (ADB) Priasto Aji berpendapat, langkah efesiensi tersebut positif dan dana yang bisa GLKHPDWGDULHVLHQVLWHUVHEXWELVDGLDOLKNDQNH

    sektor lain, semisal infrastruktur, pendidikan, dan lainnya yang produktif.

    PenutupDalam rangka mengendalikan dan

    mengamankan pelaksanaan APBN tahun 2014 GDQ PHQMDJD GHVLW $3%1 GDODP EDWDV \DQJ

    aman, perlu perubahan atas APBN tahun 2014. Sangat disayangkan postur RAPBN-P tahun 2014 dinilai minim fungsi stimulus dan tidak ada perubahan kebijakan esensial. Membengkaknya subsidi energi sebesar Rp110 triliun merupakan salah satu alasan APBN tahun 2014 perlu dilakukan perubahan GHQJDQ HVLHQVL DQJJDUDQ ./ VHEHVDU

    5S WULOLXQ 6HPHVWLQ\D GDQD HVLHQVL

    tersebut dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur atau belanja produktif yang akan menjadi stimulus peningkatan ekonomi, WLGDN GLJXQDNDQ XQWXN VXEVLGL %%0 (VHQVL

    anggaran belanja K/L tersebut tidak dapat GLMDGLNDQ VROXVL MDQJND SDQMDQJ EDJL GHVLW

    APBN.Pengajuan RAPBN-P tahun 2014

    kembali mengindikasikan kurang matangnya perencanaan anggaran nasional sehingga perlu melakukan perubahan anggaran sebelum pelaksanaan APBN tahun 2014 semester I VHOHVDL GLODNVDQDNDQ 'LVDPSLQJ LWX HVLHQVL

    anggaran terhadap seluruh K/L terutama K/L yang memiliki tugas untuk membangun infrastruktur dan mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat dikhawatirkan dapat mengganggu percepatan pembangunan QDVLRQDO 6HPHQWDUD LWX KDVLO HVLHQVL

    anggaran ini akan dialokasikan untuk menutupi subsidi BBM yang membengkak bukan dialokasikan untuk belanja modal untuk pembangunan.

    Oleh karenanya, DPR bersama pemerintah perlu membahas lebih lanjut kebijakan-kebijakan dalam mengatasi permasalahan tersebut. Beberapa alternatif solusi yang telah banyak disuarakan terkait besarnya beban subsidi BBM terhadap APBN antara lain penggunaan energi alternatif, kebijakan larangan penjualan BBM subsidi DNKLU SHNDQ NHELMDNDQ GLVLQVHQWLI VNDO EDJL

    produsen, atau kebijakan penaikan harga BBM.

    Referensi1. Anggaran K/L Dipotong, Republika, 21 Mei

    2014.2. Gebrakan Ekonomi CT Dinilai Positif,

    Republika, 21 Mei 2014.3. APBN-P 2014: Anggaran untuk Hajat Hidup

    Orang Banyak Tidak Dipangkas, Kompas, 22 Mei 2014.

    4. Anggaran Nonstimulus: RAPBN-P 2014 Tanpa Perubahan Kebijakan Esensial, Kompas, 23 Mei 2014.

    5. Penaikan Harga Tetap Terefektif, Media Indonesia, 23 Mei 2014.

    6. Nota Keuangan dan RAPBNP 2014, http://www.anggaran.depkeu.go.id/dja/edef-konten-view.asp?id=980, diakses 23 Mei 2014.

    7. BI Nilai Tepat Penghematan Anggaran di RAPBNP 2014, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt538037450c56f/bi-nilai-tepat-penghematan-anggaran-di-rapbnp-2014, diakses 23 Mei 2014.

    8. Menuju ASEAN Economic Community 2015, http://ditjenkpi.kemendag.go.id/website_kpi/Umum/Setditjen/Buku%20Menuju%20ASEAN%20ECONOMIC%20COMMUNITY%202015.pdf, diakses 26 Mei 2014.

    9. Investasi MP3EI 2014 Capai Rp 2.000 Triliun, BPN Siap Lakukan Terobosan, http://www.setkab.go.id/mp3ei-8557-investasi-mp3ei-2014-capai-rp-2000-triliun-bpn-siap-lakukan-terobosan.html, diakses 26 Mei 2014.

  • - 17 -

    Info Singkat 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RIwww.dpr.go.idISSN 2088-2351

    Vol. VI, No. 10/II/P3DI/Mei/2014PEMERINTAHAN DALAM NEGERI

    Kajian Singkat terhadap Isu-Isu Terkini

    KEBERPIHAKAN TELEVISI PADA PEMILU PRESIDEN 2014

    Handrini Ardiyanti*)

    Abstrak

    Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mencatat stasiun televisi milik petinggi partai politik menunjukkan keberpihakan kepada pasangan calon-calon presiden tertentu. Televisi memiliki kekuatan konstruksi sosial yang lebih besar dari media lainnya. Karenanya jurnalistik televisi terkait berita pemilu presiden termasuk didalamnya memasukan regulasi terkait dengan pengawasan kegiatan jurnalistik televisi termasuk didalamnya pengaturan tentang pemberian peringatan dan saksi perlu diatur lebih ketat lagi baik dalam undang-undang yang mengatur tentang pelaksanaan pemilu maupun dalam UU Penyiaran. Selain itu Komisi I DPR RI perlu mengagas pentingnya mengembalikan peran media sebagai pengawas atau watchdog dalam proses kehidupan bernegara dalam pembahasan RUU Penyiaran.

    PendahuluanKomisi Penyiaran Indonesia (KPI)

    mencatat stasiun televisi milik petinggi partai politik menunjukkan keberpihakan kepada pasangan calon-calon presiden (capres) tertentu. Data KPI, sebagaimana dilansir Koran Tempo pada berita utamanya Senin, 26 Mei 2014 menyebutkan Metro TV menayangkan berita soal Jokowi sebanyak 62 kali pada 6-15 Mei. Pada periode yang sama iklan kampanye di Metro TV mencapai 96 kali. Bahkan usai deklarasi pemberitaan soal Jokowi di Metro TV bisa mencapai 15 kali tiap hari. Hal tersebut melanggar aturan maksimal 10 kali setiap hari dengan durasi masing-masing paling lama 30 detik. Sebaliknya, pemberitaan soal Prabowo di Metro TV hanya 22 kali dan penayangan iklan kampanye Prabowo di Metro TV nihil.

    Di sisi lain, TV One juga memperlihatkan keberpihakannya dengan menyiarkan secara

    langsung deklarasi duet Prabowo-Hatta Rajasa dari Taman Makan Pahlawan Kalibata pada Senin, 19 Mei lalu. Sementara pemberitaan Jokowi, TV One sebagaimana diungkap koordinator divisi penelitian Remotivi Muhammad Heychael Jokowi merupakan tokoh politik dengan berita negatif terbanyak di TV One, yaitu 30.7 persen.

    Tabel 1. Dukungan Media Televisi pada Pemilu 2014

    Pasangan Dukungan Media TelevisiJokowi-Jusuf Kalla Metro TVPrabowo-Hatta MNC Group (MNV TV,

    RCTI, Global TV, Sindo TV)Diolah dari berita Koran Tempo Senin, 26 Mei 2014

    Keberpihakan televisi tersebut

    *) Peneliti Muda Komunikasi/ Opini Publik pada Bidang Politik Dalam Negeri, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI. E-mail: : [email protected] dan [email protected]

  • - 18 -

    disebabkan karena adanya kesadaran bahwa televisi memiliki kemampuan yang sangat besar sekali untuk membentuk opini publik, sehingga dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk membentuk citra positif pasangan capres dan cawapres guna mendapatkan suara para pemilih.

    Keberpihakan di Jurnalistik Televisi Jurnalistik televisi adalah kegiatan

    komunikasi yang dilakukan dengan cara menyiarkan berita ataupun ulasan berita tentang berbagai peristiwa atau kejadian sehari-hari yang aktual dan faktual dalam waktu yang secepat-cepatnya terkait dengan capres dan cawapres pada pemilu 2014.

    Dalam dunia penyiaran, jurnalistik televisi merupakan salah satu bagian dari suatu struktur besar manajemen penyiaran yang ada di stasiun televisi tersebut. Karena itu kerja jurnalistik televisi tidak bisa melepaskan diri dari sembilan kelompok yang saling berinteraksi, yaitu: investor/pemilik stasiun televisi, holding company, perusahaan televisi, departemen berita, budaya organisasi, jurnalis atau wartawan, khalayak umum, sumber berita, dan pemasang iklan

    Kekuatan konstruksi sosial media televisi sebagaimana dipaparkan Burhan Bungin, Pornomedia, Sosiologi Media, Konstruksi Sosial Teknologi Telematika dan Perayaan Seks di Media Massa terletak pada : (1) kekuatan media massa untuk menyuntik jarum pemberitaan ke dalam pikiran masyarakat, sehingga objek pemberitaan menjadi sesuatu yang selamanya benar melalui proses pembenaran virtual yang dilakukan oleh media televisi; (2) sifat pemberitaan media televisi yang tiba-tiba (suddenly) dan diulang-ulang (repetition) merupakan metode yang cepat untuk mengkonstruksikan masyarakat sesuai dengan kekuatan media massa itu sendiri; (3)karakter masyarakat yang kurang kritis terhadap pemberitaan media televisi, menjadikan apa saja yang dikatakan media sebagai ikon pembenaran publik, (4) mitos media televisi sebagai ikon publik PHUHHNVLNDQ REMHN SHPEHULWDDQ WHUXWDPD

    objek pemberitaan positif atau semalin baik bahkan tak jarang mampu mengkontruksikan objek pemberitaan menjadi tokoh dalam waktu singkat, demikian juga sebaliknya.

    Pengaturan dari pemberitaan di televisi terkait dengan aktivitas pemilu perlu mencakup sembilan elemen penting yang wajib diatur dalam jurnalisme sebagaimana dijelaskan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel pada bukunya Sembilan Elemen Jurnalisme, yaitu (1) kewajiban pertama jurnalisme

    adalah pada kebenaran; (2) loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada masyarakat; (3) intisari dari jurnalisme adalah disiplin YHULNDVL SUDNWLVL MXUQDOLVPH KDUXV

    menjaga independensi terhadap sumber berita; (5) jurnalisme harus menjadi pemantau kekuasaan; (6) jurnalisme harus menyediakan forum kritik maupun dukungan masyarakat; (7) jurnalisme harus berupaya keras untuk membuat hal yang penting menarik dan relevan; (8) jurnalisme harus menyiarkan berita komprehensif dan proporsional; dan (9) praktisi jurnalisme harus diperbolehkan mengikuti nurani mereka.

    Keberpihakan televisi dalam melakukan kegiatan jurnalistiknya terkait pemberitaan pemilu presiden 2014 belum beranjak dari keberpihakan yang dilakukan pada pemilu sebelumnya. Menurut Masduki dalam Jurnalisme Politik: Keberpihakan Media dalam Pemilu 2004 menjelaskan, pelaksanaan pemilihan umum yang bertepatan dengan era komersialisasi media (age of media commercialism) memperlihatkan berlakunya teori ekonomi pasar dalam jurnalistik (market theory of journalism). Peristiwa atau isu sosial dan politik dapat atau layak diproduksi menjadi berita hanya apabila (1) tidak menganggu calon investor atau sponsor yang memasang iklan di media, (2)memenuhi biaya peliputan minimal yang bisa dikeluarkannya, (3) memenuhi harapan mayoritas khalayak yang menjadi sasaran pemasang iklan ketika membayar iklan ke media (Macmanus, 1994). Karenanya dalam pembahasan RUU Penyiaran, Komisi I DPR RI perlu menekankan pentingnya mengembalikan peran media sebagai pengawas atau watchdog dalam proses kehidupan bernegara.

    Regulasi Jurnalistik Televisi terkait Pemberitaan Pemilu Presiden

    KPI telah menetapkan sejumlah regulasi untuk kegiatan jurnalistik televisi dalam melakukan aktivitas pemberitaannya terkait pelaksanaan pemilu presiden 2014. Regulasi tersebut sebagaimana diatur dalam Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 01/P/KPI/03/2012 Tentang Pedoman Perilaku Penyiaran pada Bab XXIX tentang Siaran Pemilihan Umum Dan Pemilihan Umum Kepala Daerah pasal 50 menyebutkan diantaranya bahwa lembaga penyiaran wajib menyediakan waktu yang cukup bagi peliputan Pemilihan Umum dan/atau Pemilihan Umum Kepala Daerah, lembaga penyiaran wajib bersikap adil dan proporsional terhadap para peserta Pemilihan Umum dan/atau Pemilihan Umum Kepala Daerah, lembaga penyiaran

  • - 19 -

    tidak boleh bersikap partisan terhadap salah satu peserta Pemilihan Umum dan/atau Pemilihan Umum Kepala Daerah. Selain itu pada Bab yang mengatur tentang Prinsip-Prinsip Jurnalistik pada Pasal 22 dengan jelas ditegaskan bahwa:(1) Lembaga penyiaran wajib menjalankan dan

    menjunjung tinggi idealisme jurnalistik yang menyajikan informasi untuk kepentingan publik dan pemberdayaan masyarakat, membangun dan menegakkan demokrasi, mencari kebenaran, melakukan koreksi dan kontrol sosial, dan bersikap independen.

    (2) Lembaga penyiaran wajib menjunjung tinggi prinsip-prinsip jurnalistik, antara lain: akurat, berimbang, adil, tidak beritikad buruk, tidak menghasut dan menyesatkan, tidak mencampuradukkan fakta dan opini pribadi, tidak menonjolkan unsur sadistis, tidak mempertentangkan suku, agama, ras dan antargolongan, serta WLGDNPHPEXDWEHULWDERKRQJWQDKGDQ

    cabul. (3) Lembaga penyiaran dalam melaksanakan

    kegiatan jurnalistik wajib tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku serta Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS).

    (4) Lembaga penyiaran wajib menerapkan prinsip praduga tak bersalah dalam peliputan dan/atau menyiarkan program siaran jurnalistik.

    (5) Lembaga penyiaran wajib menjaga independensi dalam proses produksi program siaran jurnalistik untuk tidak dipengaruhi oleh pihak eksternal maupun internal termasuk pemodal atau pemilik lembaga penyiaran.

    Terkait dengan regulasi kegiatan

    jurnalistik televisi dalam pemberitaan pemilu presiden 2014, lebih lanjut pada Keputusan KPI No.45Tahun 2014 tentang Petunjuk Pelaksaan Terkait denga Perlindungan Kepentingan Publik, Siaran Jurnalistik, Iklan dan Pemilihan Umum, pada pasal 5 ayat (2) menyebutkan bahwa program siaran jurnalistik yang melibatkan pemilik dan/atau kelompoknya harus memperhatikan prinsip adil, berimbang, tidak berpihak, tidak beritikad buruk dan berpedoman pada kode etik jurnalistik.

    Dalam hal pengaturan tentang netralitas isi program siaran jurnalistik, pada pasal 6 ditegaskan bahwa isi siaran jurnalistik dinilai berlaku adil antara lain apabila memberikan kesempatan yang sama secara proporsional kepada semua pihak yang menjadi obyek pemberitaan, memberikan ruang atau waktu

    pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.

    Pada Pasal 47 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden ditegaskan pemberitaan, penyiaran, dan iklan Kampanye dapat dilakukan melalui media massa cetak dan lembaga penyiaran sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Lebih lanjut dalam pasal 49 ditegaskan bahwa media massa cetak dan lembaga penyiaran yang menyediakan rubrik khusus untuk pemberitaan Kampanye harus berlaku adil dan berimbang kepada seluruh Pasangan Calon.

    Melihat berbagai regulasi terkait dengan pemberitaan pemilu dapat disimpulkan bahwa di atas kertas, regulasi yang diatur sudah sangat memadai. Namun dalam prakteknya, regulasi yang telah diatur ideal tersebut tidak mampu memberikan efek perlindungan apapun kepada masyarakat dari terpaan pemberitaan yang tidak berkesesuaian dengan kaidah-kaidah yang telah diatur oleh peraturan perundangan.

    Namun kenyataannya, menjaga objektivitas dan netralitas dalam melakukan pemberitaan bagi televisi tidaklah mudah. Hal tersebut antara lain disebabkan karena kurang kuatnya posisi tawar yang dimiliki KPI sehingga peringatan dan sanksi yang diberikan KPI seolah hanya sebagai gigitan semut kecil bagi industri televisi yang jauh lebih memiliki kekuatan politis bila dibanding dengan KPI sebagai regulator body.

    Penyebab lainnya adalah posisi Dewan Pers dalam memberikan peringatan maupun sanksi terhadap kegiatan jurnalistik yang dilakukan oleh stasiun televisi seolah masih diperdebatkan kewenangannya dalam mengawasi kegiatan pemberitaan yang dilakukan dalam dunia penyiaran. Padahal salah satu organisasi yang berhimpun dalam Dewan Pers, yaitu Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), telah mewakili dari keberadaan insan pers dari stasiun televisi. Jika memang terjadi pelanggaran prinsip-prinsip jurnalistik yang dilakukan televisi maka KPI ataukah Dewan Pers yang berwenang untuk memberikan peringatan dan sanksi masih diperdebatkan sejumlah kalangan.

    Hal tersebut disebabkan karena kurang jelasnya pengaturan terkait dengan pengawasan kegiatan jurnalistik dalam penyiaran termasuk didalamnya regulasi pemberian peringatan dan sanksi dalam UU Penyiaran. Karenanya perlu diatur secara khusus terkait pelaksanaan, pengawasan, pemberian peringatan dan sanksi terkait pelaksanaan kegiatan jurnalistik yang dilakukan oleh industri penyiaran.

    Padahal sebagai sebuah instrumen, televisi bukanlah sebuah instrumen yang netral

  • - 20 -

    dimana berbagai kepentingan dan pemaknaan dari berbagai kelompok akan mendapatkan perlakuan yang sama dan seimbang. Televisi justru dapat konstruksikan realitas EHUGDVDUNDQSHQDIVLUDQGDQGHQLVLQ\DVHQGLUL

    untuk disebarkan kepada masyarakat. Sementara di sisi lain, dalam proses

    memproduksi isi, televisi tak pernah terlepas dari tekanan beragam kepentingan mulai dari kepentingan dari jurnalis, kepentingan pengiklan hingga kepentingan pemilik modal. Berita yang keluar dari redaksi merupakan titik keseimbangan dari berbagai kepentingan yang terakomodir dalam ruang redaksi. Akibatnya bias dalam pemberitaan dapat terjadi. Bias berita kerap terjadi pada masa kampanye. Mulai dari tataran yang terendah, distorsi informasi hingga dramatisasi fakta. Mulai dari framing berita hingga pada propaganda politik. 6D\DQJQ\D GHQJDQ EHUDOLDVLQ\D SDUD SHPLOLN

    televisi kepada partai politik tertentu telah menjadikan televisi yang diharapkan mampu menjadi wacthdog dalam pertarungan pilpres justru terjebak menjadi bagian dari politik kekuatan tertentu.

    PenutupDi negara demokratis manapun,

    televisi senantiasa diatur oleh hukum lebih ketat daripada media lainnya karena televisi memiliki kekuatan konstruksi sosial yang lebih besar dari media lainnya. Karenanya kegiatan jurnalistik atau pemberitaan di televisi perlu diatur lebih ketat lagi baik dalam undang-undang yang mengatur tentang pelaksanaan pemilu maupun dalam undang-undang yang mengatur tentang televisi sebagai salah satu kegiatan penyiaran.

    Proses kerja profesional juga memiliki landasan ideologis dan etis. Karena itu dalam melakukan kegiatan jurnalistiknya, stasiun televisi tetap harus berdasarkan landasan nilai-nilai tersendiri yang menenyukan bagaimana berita itu diliput dan ditayangkan. Jurnalistik televisi juga memiliki prinsip profesionalisme dan aturan kerja tersendiri khususnya tentang apa tidak boleh, apa yang dilarang dan apa yang tidak boleh dilakukan dalam kegiatan jurnalistiknya. Kebebasan wartawan dalam meliput dan menayangan sebuah peristiwa sesungguhya dibatasi oleh berbagai aturan dan konsep tentang profesionalisme dan prinsip-prinsip etis dari jurnalistik diantara kode etik jurnalistik. Untuk itu perlu diberikan sanksi yang lebih tegas dari pelanggaran berupa keberpihakan jurnalistik yang dilakukan stasiun televisi.

    Kekuatan televisi dalam melakukan

    kontruksi sosial telah mendorong para pasangan calon, khususnya tim sukses selalu berusaha memanfaatkan televisi semaksimal mungkin untuk mendapatkan suara pemilih. Kondisi tersebut telah mengeser eksistensi media sebagai watchdog atau pengawas dalam pelaksanaan pemilu. Untuk itu Komisi I DPR RI perlu memberikan dorongan kepada KPI agar bertindak lebih tegas dalam memberikan peringatan maupun sanksi kepada stasiun televisi yang melanggar berbagai regulasi yang telah ditetapkan KPI.

    Selain itu Komisi I DPR RI perlu terus mendorong arti penting penguatan KPI sebagai regulator body penyiaran dalam RUU Penyiaran yang sedang dibahas di DPR, mengatur secara khusus terkait pelaksanaan, pengawasan, pemberian peringatan dan sanksi terkait pelaksanaan kegiatan jurnalistik yang dilakukan oleh industri penyiaran serta mengagas pentingnya mengembalikan peran media sebagai pengawas atau watchdog dalam proses kehidupan bernegara.

    Referensi1. Bill Kovach & Tom Rosenstiel, Sembilan

    Elemen Jurnalisme, New York : Crown Publisher, 2001.

    2. Burhan Bungin, Pornomedia, Sosiologi Media, Kontsruksi Sosial Teknologi Telematika dan Perayaan Seks di Media Massa, Jakarta : Prenada Media, 2005

    3. Prabowo-Jokowi, Perang Lewat Televisi, Koran Tempo, 26 Mei 2014.

    4. Masduki, "Jurnalisme Politik: Keberpihakan Media dalam Pemilu 2004", Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Volume 8, Nomor 1, Juli 2004

    5. "Aburizal Bakrie Banyak Diberitakan Positif di TV One", republika.co.id/berita/nasional/politik/14/04/07/n3maer-aburizal-bakrie-banyak-diberitakan-positif-di-tv-one, diakses tanggal 26 Mei 2014.

    6. "KPI, Dewan Pers, dan Penyelamatan Jurnalisme", http://www.tempo.co/read/kolom/2010/08/05/219/KPI-Dewan-Pers-dan-Penyelamatan-Jurnalisme , diakses tanggal 26 Mei 2014.