1
BAB I
PENDAHULUAN
I. 1. Pendahuluan
Melambungnya harga minyak mentah pada tahun 2008 telah menimbulkan
kepanikan masyarakat global. Muncul kekhawatiran dari masyarakat global tentang
adanya kemungkinan berkurangnya sumber minyak fosil yang kemudian
mengakibatkan harga minyak akan terus meningkat. Di sisi lain, masyarakat global
terus berupaya untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Adanya dua hal
tersebut mendorong masyarakat global untuk mencari sumber alternatif lain yang
lebih murah dan ramah lingkungan. Dalam hal ini, bahan bakar nabati dinilai lebih
murah dan ramah lingkungan. Oleh karena itu, banyak negara yang mulai beralih
dan mengembangkan minyak nabati untuk dijadikan bahan bakar nabati atau
biofuel. Antara tahun 1980 hingga 2008, terjadi peningkatan konsumsi minyak
nabati hingga lebih dari tiga kali lipat, yang semula 40 juta ton menjadi 130 juta ton
(World Growth, 2011, p. 9). Sejak tahun 1980, minyak nabati utama, yaitu minyak
kedelai, mampu mencakup sepertiga dari konsumsi total minyak nabati dunia.
Namun, dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, kecenderungan pasar dunia mulai
beralih ke minyak kelapa sawit. Hal tersebut mengakibatkan peningkatan hingga
sepuluh kali lipat terhadap konsumsi minyak kelapa sawit. Minyak kelapa sawit
memiliki keunggulan yang mampu menarik minat konsumen dunia. Keunggulan
tersebut antara lain: lebih tahan lama disimpan, tahan terhadap tekanan dan suhu
2
tinggi, tidak cepat bau, memiliki kandungan gizi yang relatif tinggi (Hermayanti, et
al., 2013, p. 1). Selain itu, minyak kelapa sawit sangat bermanfaat untuk bahan baku
dalam industri pangan dan non-pangan.
Uni Eropa merupakan salah satu kawasan yang negara-negaranya banyak
mengonsumsi minyak nabati, baik untuk kebutuhan bahan pangan maupun non-
pangan. Salah satu minyak nabati yang dikonsumsi Uni Eropa adalah minyak
kelapa sawit. Di Eropa, minyak kelapa sawit banyak digunakan untuk keperluan
industri-industri di Eropa. Selain itu, minyak kelapa sawit juga dimanfaatkan oleh
Uni Eropa sebagai bahan bakar nabati, menggantikan bahan bakar fosil. Uni Eropa
merupakan salah satu kawasan yang mulai berupaya untuk mengurangi
ketergantungannya terhadap penggunaan bahan bakar fosil. Hal tersebut yang
kemudian mengakibatkan meningkatnya kebutuhan Uni Eropa akan minyak nabati.
Selama ini Uni Eropa banyak mengimpor minyak kelapa sawit, atau yang biasa
dikenal dengan crude palm oil (CPO), dari Indonesia.
Namun pada awal tahun 2013, Uni Eropa menyatakan menolak masuknya
CPO Indonesia ke negara-negara di Eropa. Terdapat berbagai alasan yang
disampaikan oleh Uni Eropa terkait penolakan CPO tersebut. Hal inilah yang
menimbulkan ketertarikan penulis untuk memilih judul “Penolakan Crude Palm
Oil (CPO) Indonesia oleh Uni Eropa”. Penulis ingin meneliti serta menganalisis
alasan penolakan CPO Indonesia oleh Uni Eropa, terlebih bahwa Uni Eropa
merupakan salah satu pasar potensial Indonesia dalam memasarkan CPO-nya.
3
I. 2. Latar Belakang
Kelapa sawit merupakan tumbuhan pohon yang berasal dari benua Afrika.
Kelapa sawit banyak dibudidayakan di wilayah-wilayah yang beriklim tropis,
seperti Asia Tenggara dan Amerika. Kelapa sawit diperkenalkan ke Malaysia dan
Indonesia pada masa penjajahan. Mulai saat itulah, Malaysia dan Indonesia mulai
membudidayakan dan mengembangkan kelapa sawit. Kelapa sawit dapat tumbuh
hingga mencapai 24 meter. Banyak manfaat yang diperoleh dari tumbuhan kelapa
sawit di setiap bagiannya. Daging dan kulit dari kelapa sawit mengandung minyak
yang bermanfaat untuk dijadikan minyak goreng, sabun, dan lilin. Hampas dari
kelapa sawitpun dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Sedangkan tempurung
dari kelapa sawit dapat dijadikan bahan bakar dan arang. Sebagai negara agraris,
sektor pertanian dan perkebunan Indonesia merupakan salah satu sektor yang dapat
menunjang pembangunan dan perekonomian negara. Dalam hal ini, pemerintah
Indonesia sedang berupaya mengembangkan sektor agroindustri dalam sektor
perkebunan kelapa sawit.
Salah satu hasil dari tanaman kelapa sawit yang banyak dihasilkan adalah
minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO). CPO merupakan produk turunan
pertama kelapa sawit yang berfungsi sebagai salah satu bahan bakar alternatif
biodiesel. CPO memiliki prospek yang sangat baik bagi perdagangan minyak nabati
dunia. Oleh karena itulah pemerintah Indonesia berupaya untuk mengembangkan
areal perkebunan kelapa sawit. Pengembangan areal kelapa sawit utamanya
dilakukan di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Papua. CPO tergolong dalam
4
komoditas minyak nabati yang merupakan salah satu komoditas non-migas utama
yang banyak diekspor ke luar negeri.
Tabel I. 1. Ekspor Non-Migas Indonesia (dalam juta US$)
No Komoditas 2008 2009 2010 2011 2012
1 Bahan Bakar Mineral 10.656,2 13.934,0 18.725,7 27.444,1 26.407,8
2
Lemak&Minyak
Hewan/Nabati
15.624,0 12.219,5 16.312,2 21.655,3 21.299,8
3
Karet dan Barang dari
Karet
7.637,3 4.912,8 9.373,3 14.352,2 10.475,2
4 Mesin/Peralatan Listrik 8.120,2 8.020,4 10.373,2 11.145,4 10.764,8
5
Bijih, Kerak, & Abu
Logam
4.295,6 5.804,8 8.148,0 7.342,6 5.082,6
(Badan Pusat Statistik, diolah oleh Kementerian Perdagangan)
Sejak 2004 penggunaan komoditi CPO telah menduduki posisi tertinggi
dalam pasar vegetable oil dunia yaitu mencapai sekitar 30 juta ton dengan
pertumbuhan rata-rata 8% per tahun, mengalahkan komoditi minyak kedelai sekitar
25 juta ton dengan pertumbuhan rata-rata 3,8% per tahun (Kementerian
Perindustrian Republik Indonesia, 2012). Dan sejak tahun 2006 Indonesia telah
menempati peringkat pertama dalam produsen CPO dunia, dengan produksi pada
tahun 2006 hampir mencapai 16 juta ton (Mariati, 2009, p. 30). Bahkan menurut
5
informasi dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM), sejak tahun 2010
Indonesia merupakan negara produsen CPO terbesar di dunia.
Tabel I. 2. Produksi Crude Palm Oil Dunia (dalam 1000 MT)
Negara Tahun
2009/10 2010/2011 2011/12 2012/2013 Nov 2013 Des 2013/14
Indonesia 22000 23600 26200 28500 31000 31000
Malaysia 17763 18211 18202 19321 19200 19200
Thailand 1287 1832 1892 2000 2100 2100
Kolombia 805 753 945 974 1000 1000
Nigeria 850 850 850 910 930 930
Lainnya 3336 3486 3862 4065 4079 4166
Total 46041 48732 51951 55770 58309 58396
(United States Department of Agriculture, 2013)
Berdasarkan tabel di atas dapat terlihat bahwa Indonesia merupakan negara
produsen minyak kelapa sawit dengan tingkat produksi paling tinggi. Peningkatan
jumlah produksi minyak kelapa sawit Indonesia diikuti pula dengan peningkatan
jumlah permintaan CPO oleh dunia. Hingga kini Indonesia masih menduduki
peringkat pertama sebagai negara eksportir minyak kelapa sawit atau crude palm
oil (CPO).
6
Tabel I. 3. Ekspor Crude Palm Oil (dalam 1000 MT)
Negara Tahun
2009/10 2010/11 2011/12 2012/13 Nov 2013 Des 2013/14
Indonesia 16573 16423 18452 20300 21300 21300
Malaysia 15530 16596 16600 18000 17200 17500
Papua
Nugini
520 577 587 620 640 640
Thailand 121 382 290 420 520 520
Benin 466 255 253 390 390 390
Lainnya 2295 2621 2840 2799 2920 2919
Total 35505 36854 39022 42529 42970 43269
(United States Department of Agriculture, 2013)
Minyak kelapa sawit Indonesia banyak yang diekspor ke India, Cina, Uni
Eropa, Pakistan, bahkan Malaysia juga turut mengimpor minyak kelapa sawit dari
Indonesia. Dalam hal ini, negara-negara Uni Eropa merupakan salah satu konsumen
terbesar CPO dari Indonesia selain India dan Cina.
Tabel I. 4. Ekspor Minyak Kelapa Sawit Indonesia ke Beberapa Negara
(dalam 1000 MT)
Negara Tahun
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Uni Eropa 1.496 1.682 1.885 2.183 2.614 2.782 3.207 3.632
India 1.767 1.916 2.035 2.335 2.789 3.010 3.053 3.096
7
Cina 789 980 1.269 1.589 1.930 2.071 2.492 2.913
Malaysia 205 225 660 472 643 544 751 958
Pakistan 669 730 835 863 1.023 1.029 1.161 1.293
Bangladesh 221 262 338 354 430 433 501 569
Turki 152 160 196 226 260 288 319 350
Nigeria 141 158 181 229 264 272 357 442
Tanzania 114 123 153 168 193 199 219 239
Hongkong 101 110 130 185 213 232 324 416
Yordania 96 112 132 170 196 202 286 370
Afrika Selatan 93 105 179 186 214 224 243 262
Rusia 91 103 162 168 193 209 241 273
Mesir 80 129 190 191 220 240 279 318
Lainnya 466 575 651 1.117 1.287 915 1.037 1.159
Total 6.490 7.370 8.996 10.436 12.539 12.650 14.470 16.290
(Dirjend Bina Produksi Perkebunan, Deptan RI, 2010)
Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa Uni Eropa merupakan pasar
utama dan potensial bagi Indonesia. Dubes RI di Brussel, Arif Havas Oegroseno
menyatakan bahwa salah satu sumber biodiesel yang digunakan sektor
transportasi Uni Eropa merupakan biodiesel yang diimpor dari Indonesia
(Wibisono, 2013). Bahkan di tahun 2012, ekspor biodiesel Indonesia ke Uni
Eropa mencapai 2,6 juta MT. Biodiesel Indonesia yang diekspor ke Uni Eropa
merupakan biodiesel yang berasal dari crude palm oil (CPO). Namun, ekspor CPO
Indonesia ke Uni Eropa mengalami kendala dengan adanya penolakan Uni
8
Eropa terhadap CPO yang berasal dari Indonesia. Alasan Uni Eropa menolak CPO
Indonesia yaitu ada tuduhan yang menyatakan bahwa CPO Indonesia tidak ramah
lingkungan. Tuduhan Uni Eropa yang menyatakan bahwa CPO Indonesia tidak
ramah lingkunganpun telah dibantah oleh pihak Indonesia. Pihak Indonesia telah
menerapkan kebijakan sertifikasi terhadap produk-produk CPO. Kebijakan
sertifikasi tersebut adalah Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Kebijakan ISPO
sebenarnya telah terbentuk sejak tahun 2009, namun Pemerintah Indonesia kian giat
menggalakan kebijakan ini terlebih karena adanya tuduhan terhadap CPO Indonesia
yang dianggap tidak ramah lingkungan. ISPO terbentuk untuk memastikan semua
pihak pengusaha CPO memenuhi standar pertanian yang diizinkan. Indonesia
menetapkan standar bagi produk CPO untuk menjadi bukti bahwa produk CPO
Indonesia merupakan produk yang ramah lingkungan.
Meskipun telah menyatakan bahwa CPO Indonesia ramah lingkungan, Uni
Eropa masih menolak CPO asal Indonesia. Selain adanya tuduhan tidak ramah
lingkungan, Uni Eropa menolak CPO Indonesia dikarenakan adanya kecurigaan
Uni Eropa terhadap pemberian subsidi Pemerintah Indonesia kepada petani-petani
dan pengusaha-pengusaha kelapa sawit, yang kemudian menyebabkan harga CPO
Indonesia lebih murah. Tuduhan Uni Eropa tersebut telah dibantah oleh pihak
Indonesia, bahkan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) telah
menyampaikan bahwa tuduhan pemberian subsidi pemerintah kepada petani-
petani kelapa sawit tidak benar. Meski demikian Uni Eropa masih menolak
CPO yang berasal dari Indonesia. Kalangan industri biofuel Eropa yang tergabung
dalam European Biodiesel Board (EBB), menyatakan penolakan terhadap
9
masuknya biodiesel Indonesia ke Uni Eropa (Wibisono, 2013). EBB menilai bahwa
impor biodiesel asal Indonesia telah menghancurkan industri biofuel Uni Eropa
serta merugikan petani-petani Eropa. EBB bahkan melakukan protes dan meminta
penghentian impor biodiesel asal Indonesia. Upaya penghentian impor ini
kemudian berakibat pada diberlakukannya bea masuk anti-dumping sebesar 2,8-
9,6% terhadap biodiesel Indonesia yang dijual ke Uni Eropa (Wahyuni, 2013).
I. 3. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, terlihat bahwa Uni Eropa yang selama
ini menjadi pengimpor crude palm oil (CPO) Indonesia untuk kebutuhan biofuelnya
melakukan penolakan atas masuknya CPO Indonesia ke negara-negara Uni Eropa.
Sehingga penulis merumuskan rumusan masalah: Mengapa Uni Eropa menolak
CPO Indonesia?
I. 4. Tinjauan Pustaka
Untuk menganalisis alasan penolakan Uni Eropa terhadap CPO Indonesia,
penulis memaparkan terlebih dahulu mengenai trend minyak dunia saat ini.
Terdapat beberapa tulisan yang memaparkan tentang upaya beberapa negara dalam
mengembangkan bahan bakar alternatif demi mengurangi ketergantungan akan
bahan bakar fosil.
Dalam jurnal The Emerging Global Biofuels Market yang ditulis oleh John
Wilkinson pada tahun 2009 (Wilkinson, 2009) disebutkan terdapat upaya negara-
negara maju dalam mengembangkan biofuel mereka berdasarkan bahan baku yang
10
mereka miliki. Dalam tulisan Wilkinson dijelaskan bahwa biofuel atau bahan bakar
nabati mulai dipandang sebagai alternatif energi baru sejak tahun 2000-an. Biofuel
dinilai lebih aman bagi lingkungan dan makhluk hidup. Penggunaan biofuel juga
dianggap mampu mengatasi masalah perubahan iklim dan mengurangi
ketergantungan akan bahan bakar fosil. Melihat banyaknya kelebihan atau sisi
positif dari biofuel akhirnya mendorong negara-negara maju untuk melakukan
investasi dalam jumlah besar untuk mengelola dan mengembangkan biomassa
untuk dijadikan biofuel. Namun, dalam tulisan Wilkinson juga dipaparkan bahwa
upaya pengembangan biofuel oleh negara-negara maju mendapatkan kritik dari
beberapa pihak. Kritik-kritik tersebut datang dari World Bank, Food and
Agricultural Organization (FAO), dan mantan ekonom United States Department
of Agriculture (USDA). Mereka mengidentifikasi bahwa upaya pengembangan
biofuel telah memicu kenaikan harga pangan dunia (Wilkinson, 2009, p. 91).
Identifikasi mereka mengacu pada pemanfaatan jagung untuk kebutuhan bahan
bakar nabati yang kemudian menyebabkan harga jagung dunia meningkat. Meski
menimbulkan beberapa kekhawatiran tentang harga pangan dan ketersediaan bahan
pangan dunia, banyak negara maju yang masih mengembangkan bahan bakar
nabati dengan menggunakan tanaman-tanaman pangan, seperti jagung, gandum,
dan gula.
Terdapat dua negara produsen yang telah mengembangkan biofuel sejak
tahun 1970-an, yaitu Amerika Serikat dan Brasil. Kedua negara tersebut merupakan
produsen biofuel yang terkenal dan juga sangat aktif terlibat dalam produksi
bioetanol sejak tahun 1970-an (Wilkinson, 2009, p. 94). Dalam
11
pengembangannya, Brasil menggunakan tebu sebagai bahan untuk membuat
bioetanol, sedangkan Amerika Serikat menggunakan jagung. Untuk memproduksi
bioetanol, pemerintah Amerika memberikan subsidi sebesar 40 sen per galon,
seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Pajak Energi tahun 1978 (Wilkinson,
2009, p. 94). Produksi bioetanol di Amerika Serikat pun dilindungi oleh
pemerintah dengan ditetapkannya tarif yang lebih kompetitif dari bioetanol
milik Brasil.
Sedangkan dalam kasus Brasil, terdapat upaya negara untuk
menyeimbangkan antara upaya untuk mengurangi ketergantungan impor minyak
dan tekanan terhadap pemanfaatan gula yang mengakibatkan terjadinya penurunan
harga gula dunia. Adanya upaya tersebut kemudian mengakibatkan pemerintah
mengeluarkan Program Proalcohol. Awalnya ditetapkan pencampuran wajib
dengan bensin, namun kemudian dengan cepat pemerintah melakukan promosi
untuk mulai menggunakan bioetanol secara eksklusif pada mobil-mobil di
Brasil. Selain itu adanya subsidi di setiap tahap produksi bioetanol dan monopoli
distribusi bensin oleh Petrobas yang bertujuan untuk memastikan tersedianya
bioetanol di setiap pompa bensin di Brasil (Wilkinson, 2009, p. 94). Sejak tahun
1980-an, Brasil mampu memproduksi lebih dari 10 miliar liter bioetanol per
tahun.
Tidak hanya Amerika Serikat dan Brasil, Uni Eropa juga turut
mengembangangkan dan memproduksi biofuel. Berbeda dengan Amerika
Serikat, Uni Eropa merupakan salah satu kawasan yang meratifikasi Protokol Kyoto
pada tahun 1998 dan menjadi penanda tangan secara keseluruhan pada tahun 2002.
12
Pada tahun 2003, Uni Eropa kemudian menerbitkan European Biofuels Directive,
yang menetapkan target sebesar 2% substitusi dengan kandungan energi dari semua
bensin dan solar untuk keperluan transportasi pada tahun 2005 dan pada tahun 2010
harus ditingkatkan hingga mencapai 5,75% (Wilkinson, 2009, p. 95). Terjadinya
pergeseran target adalah untuk perbaikan efesiensi kendaraan. Pada tahun 2007,
Uni Eropa menetapkan target substitusi biofuel sebesar 10% yang harus dicapai
pada tahun 2020. Sebagian besar negara-negara industri dan berkembang
menetapkan target yang berbeda-beda, namun fokus dan tujuan mereka sama, yaitu
melakukan pencampuran biofuel baik, untuk bensin maupun diesel (Wilkinson,
2009, p. 95). Kepentingan negara-negara seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa
terhadap kemajuan sektor agrobisnis telah memberikan dampak yang
menguntungkan bagi para petani sebagai penerima manfaat langsung dari program
biofuel tersebut, terlebih karena adanya subsidi yang diberikan pemerintah kepada
para petani. Kedua negara juga menjadi negara yang cukup proteksonis terhadap
industri biofuel mereka, dan bahkan kebijakan proteksionis mereka dapat
menghalangi pengembangan pasar komoditas biofuel global, baik bioetanol
maupun biodiesel (Wilkinson, 2009, p. 96).
Melalui tulisan Wilkinson ini penulis menilai bahwa terdapat tujuan ganda
dari pengembangan biofuel oleh negara-negara maju. Pertama yaitu adanya upaya
untuk mengurangi ketergantungan akan bahan bakar fosil yang kian langka dan
kedua adalah untuk mengatasi masalah kerusakan lingkungan. Kedua hal tersebut
yang mendorong negara-negara berupaya untuk mengembangkan sendiri bahan
bakar alternatif dengan menggunakan biomassa yang khas dari masing-masing
13
negara. Dalam kasus Uni Eropa, meskipun kawasan tersebut telah menetapkan
kebijakannya untuk menggunakan biofuel sebagai campuran dalam bahan
bakarnya, pada kenyataannya Uni Eropa masih bergantung pada impor. Dan
meskipun tanaman minyak Eropa mampu menyediakan sebagian besar bahan baku,
Uni Eropa masih mengimpor bahan baku biofuelnya dari negara-negara lain yang
memproduksi sumber bahan bakar nabati lain, seperti Indonesia dan Malaysia, yang
merupakan negara produsen minyak sawit utama dunia. Produktivitas kelapa sawit
untuk transpotasi dinilai lima kali lipat lebih tinggi dibandingkan rapeseed dan
kedelai, yang biasa digunakan oleh negara-negara Uni Eropa. Penggunaan biodiesel
berbahan baku kelapa sawit menjadi yang diminati di Eropa, khususnya untuk
pembangkit energi non-transportasi.
Amerika Serikat dan Brasil berhasil menguasai pasar etanol dunia mencapai
90%, sedangkan Eropa mendominasi pasar biodiesel (Wilkinson, 2009, p. 101).
Untuk produksi biodiesel, diperkirakan akan terjadi peningkatan mencapi 24 miliar
liter di tahun 2020. Dan dalam hal ini Eropa diprediksi akan terus memimpin
produksi biodiesel dunia, baru kemudian diikuti oleh Amerika Serikat, Brasil, dan
beberapa negara Asia lainnya seperti Cina, Jepang, dan Korea Selatan.
Selanjutnya adalah tulisan Annie Dufey yang berjudul Biofuels
Production, Trade, and Sustainable Development: Emerging Issues tahun 2006.
Dalam tulisannya, Dufey memaparkan bahwa produksi biofuel mulai
dikembangkan sejak awal munculnya mobil, namun keberadaan biofuel segera
tergantikan oleh bahan bakar bensin yang lebih murah. Namun, persediaan bensin
di dunia mulai mengalami krisis sejak tahun 1970-an, yang kemudian mendorong
14
pemerintah untuk melakukan eksplorasi alternatif sumber bahan bakar. Namun,
menurut Dufey, minat dunia akan penggunaan biofuel kembali menurun sejak
berakhirnya krisis minyak tahun 1980/90-an. Minat baru dalam biofuel kembali
tercermin sejak tahun 2000-an, yang disebabkan oleh adanya ekspansi secara
global. Biofuel menjadi bahan bakar transportasi yang mampu mengurangi emisi
gas rumah kaca. Tentu saja hal tersebut menarik minat negara-negara maju, yang
memang telah berkomitmen untuk memerangi masalah pemanasan global sesuai
dengan dengan tertuang dalam Protokol Kyoto. Uni Eropa, merupakan kawasan
yang memiliki kepedulian tinggi dalam mengatasai masalah lingkungan. Sehingga
dalam hal ini, Uni Eropa berupaya untuk dapat memproduksi biofuel demi
memenuhi kebutuhan transportasinya. Selain untuk mengatasi masalah kelangkaan
bahan bakar fosil dan mengatasi masalah lingkungan, produksi biofuel juga dapat
membantu pengembangan pedesaan. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Brasil.
Upaya produksi biofuel Brasil telah membuka peluang yang besar untuk ekspor
biofuel serta pengembangan pedesaan, khususnya pedesaan yang memproduksi
biofuel (Dufey, 2006, p. 4).
Dufey juga memaparkan bahwa terdapat peran penting dari kebijakan
dalam negeri untuk mendukung produksi biofuel, seperti yang terjadi di
Amerika Serikat dan Brasil. Kedua negara tersebut membentuk suatu kebijakan
dalam negeri yang bertujuan untuk mengurangi tagihan impor dan meningkatkan
keamanan energi. Selain itu, Amerika Serikat dan Brasil memasukan dukungan
pedesaan ke dalam kebijakan dalam negerinya sebagai salah satu pendorong
penting dalam memproduksi tanaman penghasil energi. Baik Amerika Serikat
15
maupun Brasil membentuk suatu kebijakan yang komprehensif di berbagai sektor
demi menunjang produksi biofuelnya, seperti sektor energi, pertanian, industri, dan
perdagangan (Dufey, 2006, p. 18).
Patrick Lamers dalam tulisannya yang berjudul International Biodiesel
Markets Developments in Production and Trade tahun 2011 juga memaparkan hal
yang sama dengan Annie Dufey. Di Uni Eropa, biofuel jenis biodiesel mulai
dipromosikan pada tahun 1980-an, namun mulai dikembangkan secara luas pada
pertengahan tahun 1990-an. Peningkatan terbesar kapasitas produksi biofuel di Uni
Eropa dapat dilihat di Perancis, Benelux (Belgium, Netherlands, Luxembourg),
Jerman, dan Inggris. Negara-negara tersebut telah menjadi entrance gate Eropa
untuk biofuel internasional (Lamers, 2011, p. 7). Hal ini berdasarkan pada latar
belakang dari negara-negara tersebut yang memang merupakan negara penghasil
minyak nabati. Dan tentu saja Uni Eropa hendak menjadikan posisi negara-negara
tersebut tetap kuat sebagai produsen biofuel. Dalam hal ini, Uni Eropa juga
memiliki kebijakan dalam negeri yang menjadi kebijakan kunci untuk
mempengaruhi perkembangan biofuelnya. Pertama, Uni Eropa membentuk
Directive 2003/30/EC pada tahun 2003 yang menetapkan target konsumsi biofuel
di sektor transportasi. Kemudian Uni Eropa membentuk Directive 2003/96/EC
yang melengkapi paket kebijakan sebelumnya (Lamers, 2011, p. 6). Dalam
directive ini terdapat kerangka kerja yang mengikat secara hukum, selain itu
directive tersebut juga membedakan antara pajak biofuel dan bahan bakar
konvensional. Beberapa negara Uni Eropa juga menerapkan kredit pajak untuk
biofuel, seperti yang dilakukan oleh Jerman, Swedia,dan Spanyol.
16
Kebijakan-kebijakan yang dibentuk oleh negara-negara produsen biofuel,
khususnya Uni Eropa, merupakan kebijakan proteksionis. Negara-negara tersebut
melakukan proteksi demi peningkatan produksi biofuelnya. Dominick Salvatore
dalam jurnalnya yang berjudul A Model of Dumping and Protectionism in the
United States memaparkan bahwa untuk dapat mempertahankan produksi serta
industri domestiknya, beberapa negara menerapkan kebijakan proteksionisme dan
juga subsidi, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Dua negara yang cukup
sering melakukan proteksionisme adalah Amerika Serikat dan Uni Eropa. Terdapat
dua jenis proteksionisme dalam bentuk baru, pertama yaitu proteksionisme sebagai
bentuk dari upaya melarikan diri dari klausa yang ada (escape clauses) dan yang
kedua adalah proteksionisme sebagai bentuk keluhan dari adanya “less-than-fair-
value”. Proteksionisme dalam bentuk yang pertama menjadikan escape clauses
sebagai cara untuk melindungi atau memberikan bantuan kepada industri dalam
negeri yang menghadapi gangguan yang ditimbulkan dari perdangan internasional.
Dalam aturan GATT (kini WTO) escape clauses dimungkinkan untuk memberikan
waktu bagi industri dalam negeri untuk menyesuaikan diri dengan meningkatnya
persaingan internasional. Pada dasarnya, escape clauses merupakan tindakan
proteksionis negara. Sebagai contohnya adalah Amerika Serikat. Escape clauses
bagi Amerika Serikat merupakan cara untuk melindungi produsen-produsen
Amerika Serikat, seperti yang telah ditetapkan dalam Section 201 of the Trade Act
of 1974 (Salvatore, 1989, p. 764). Kebijakan ini telah ada sejak tahun 1950 dan
tetap ada hingga kini. Sedangkan proteksionisme sebagai bentuk yang kedua
17
dianggap sebagai cara untuk melindungi produsen dalam negeri terhadap praktek-
praktek perdagangan yang tidak adil oleh ekportir dan pemerintah asing.
Dari beberapa tulisan di atas, penulis melihat bahwa pada saat ini trend
minyak dunia sedang berfokus pada pemanfaatan biomassa sebagai bahan baku
biofuel. Banyak alasan dan latar belakang yang mendorong pengembangan biofuel
oleh beberapa negara, mulai dari untuk mengatasi krisis minyak, mengurangi
ketergantungan terhadap bahan bakar fosil, serta untuk mengatasi masalah
lingkungan. Pengembangan biofuel pun tidak dapat terlepas dari kebijakan dalam
negeri, yang meliputi beberapa sektor, mulai dari sektor pertanian hingga
perdagangan. Kebijakan-kebijakan tersebut menjadi kerangka kerja bagi negara-
negara yang ingin meningkatkan produksi biofuel dan memperkuat posisinya
sebagai produsen minyak nabati di pasar dunia.
I. 5. Kerangka Konseptual
Dalam tulisan ini penulis menggunakan teori neo-merkantilisme untuk
menjawab rumusan masalah. Namun sebelumnya penulis terlebih dahulu
menjelaskan tentang konsep dasar dari teori merkantilisme klasik yang merupakan
dasar dari munculnya teori neo-merkantilisme. Teori merkantilisme muncul pada
abad ke-17. Teori ini menjelaskan tentang keinginan negara-negara pada masa itu
untuk meningkatkan kemakmurannya dengan memperkuat ekspor. Pada abad itu
ada upaya dari negara-negara, khususnya negara kapitalis, untuk mengumpulkan
emas dan perak. Emas dan perak merupakan logam mulia yang dijadikan sebagai
alat pembayaran yang berharga pada masa itu. Sehingga bagi negara atau raja yang
18
memiliki logam mulia (emas atau perak) dalam jumlah yang besar dapat dikatakan
sebagai negara atau raja yang kaya, makmur, dan kuat. Perdagangan internasional
menjadi jalan bagi negara atau raja untuk memperbanyak aset serta modalnya.
Merkantilisme menjadi acuan bagi negara-negara Eropa untuk menjalankan sistem
ekonominya pada abad ke 16 hingga 18.
Teori merkantilisme memberikan pemahaman bahwa peningkatan
kekayaan nasional dapat meningkatkan pula keamanan nasional, hal ini diukur dari
kemampuan suatu negara dalam membeli atau memproduksi senjata. Teori ini juga
menjelaskan tentang kecenderungan perilaku negara-negara pada masa itu, yaitu
menciptakan kekayaan dan kekuasaan demi meningkatkan kemerdekaan dan
keamanan nasional (Mas'oed, 1998, p. 4). Terdapat dua hal utama yang dapat
dipahami dari teori merkantilisme. Pertama, merkantilisme dipahami sebagai upaya
atau cara yang digunakan pemerintah untuk memanfaatkan kekayaan dan
kekuasaan demi melindungi industri nasional dan kepentingan nasional mereka
(Mas'oed, 1998, p. 4). Kedua, dalam teori merkantilisme negara dituntut untuk
berperan aktif menggalakkan industri dalam negerinya. Untuk dapat berhasil
melakukan industrialisasi negara harus menerapkan kebijakan proteksionis demi
membantu industrinya untuk mampu bersaing dengan industri negara lain.
Menurut Alexander Hamilton, kedua hal tersebut merupakan bentuk
semangat nasionalisme ekonomi. Dalam semangat nasionalisme ekonomi, peran
negara lebih diutamakan dan ekonomi digunakan sebagai sarana untuk mencapai
tujuan atau kepentingan nasionalnya. Sebagai pelopor merkantilisme, Hamilton
menyatakan bahwa untuk melakukan industrialisasi dengan berhasil, maka negara
19
harus menerapkan kebijakan perdagangan proteksionis yang dapat membantu
industrinya agar mampu bersaing dengan industri negara lain yang lebih maju. Agar
industri mampu bersaing di pasar internasional, maka pemerintah harus ikut campur
dan membantu industri tersebut.
Dalam hubungan internasional, teori merkantilisme berpandangan bahwa
negara-negara saling bersaing untuk memenuhi kepentingan ekonominya masing-
masing. Terdapat beberapa istilah yang biasa dikenal dalam teori merkantilisme,
yaitu nasionalisme ekonomi, ekonomi politik, proteksionisme, dan isolasionisme.
Istilah-istilah tersebut menjadi ciri dari merkantilisme dikarenakan adanya upaya
negara-negara kapitalis untuk benar-benar membatasi impor demi melindungi
produksi dalam negeri serta meningkatkan nilai ekspornya. Dalam pelaksanaan
politik luar negeri, teori merkantilisme memunculkan kebijakan yang berkaitan
dengan proteksi, regulasi, subsidi, serta pengenaan pajak. Kebijakan-kebijakan
tersebut dibuat oleh negara untuk meningkatkan keuntungan dan surplus ekonomi.
Barry Buzan membedakan merkantilisme menjadi dua, benign (jinak) dan
malevolent (jahat). Merkantilisme benign bertujuan untuk melindungi
kesejahteraan dan stabilitas dalam negeri, sedangkan merkantilisme malevolent
bertujuan untuk meningkatkan kekuasaan negara. Baik buruknya tujuan
merkantilisme dapat dilihat dari kebijakan yang dibentuk oleh suatu negara serta
dampaknya bagi negara tersebut dan negara-negara lain (Guerrieri & Padoan, 1986,
p. 29). Buzan mengklaim bahwa dalam kondisi hubungan internasional saat ini
kebijakan merkantilis dapat lebih mudah menciptakan keseimbangan ketika
20
diimplementasikan dalam sistem regional (multipolar) daripada dalam sistem
global (unipolar).
Merkantilis banyak menekankan pada adanya dominasi kepentingan
nasional dalam kebijakan ekonomi, serta adanya peran sentral negara dalam
mengarahkan kegiatan ekonomi. Selain itu juga adanya penekanan dalam hal
menciptakan neraca perdagangan yang menguntungkan demi meningkatkan
pertumbuhan dan kemakmuran. Dalam merkantilisme terdapat tiga aspek yang
saling berhubungan, yatu keamanan nasional, state building, dan penciptaan
kekayaan ekonomi (Falkner, 2011, p. 21). Ekonomi dan politik menjadi sektor
penting yang saling berkaitan dimana negara yang mengatur interaksi kedua sektor
tersebut.
Gagasan utama teori neo-merkantilisme tidak berbeda dengan gagasan
utama teori merkantilisme. Neo-merkantilisme berkembang pada periode setelah
Perang Dunia II. Berakhirnya Perang Dunia II semakin mendorong Amerika Serkat
dan negara-negara sekutunya untuk semakin berusaha menyebarkan paham
liberalisasi dalam sistem ekonomi internasional. Hal ini kemudian menimbulkan
saling ketergantungan dalam ekonomi internasional. Adanya saling ketergantugan
ini kian mempersulit negara-negara untuk melindungi dirinya dari pengaruh satu
sama lain (Mas'oed, 1998, p. 10). Selain itu, saling ketergantungan negara juga
mengakibatkan semakin kaburnya garis batas antara isu-isu ekonomi domestik dan
ekonomi internasional, yang kemudian mempersulit pemerintah dalam
meningkatkan pertumbuhan ekonomi sambil mempertahankan kestabilannya.
21
Kondisi yang demikian mendorong pemerintah untuk mengembangkan dan
menerapkan kebijakan proteksionisme yang semakin canggih dalam berbagai
bidang perdagangan moneter, investasi, dan kebijakan-kebijakan ekonomi lainnya.
Pemerintah berusaha untuk memanfaatkan isu-isu tertentu untuk dijadikan landasan
mereka dalam menerapkan kebijakan proteksionisme. Neo-merkantilisme
digunakan untuk menggambarkan pemerintah dalam menghadapi isu-isu ekonomi
politik internasional di masa kini yang semakin saling tergantung. Masing-masing
pemerintah berupaya mengembangkan industri nasional mereka masing-masing
untuk memperoleh keunggulan komparatif (Mas'oed, 1998, p. 6). Menurut neo-
merkantilis, untuk dapat mencapai dan mempertahankan kekayaan dan kekuasaan,
negara perlu melakukan intevensi dan mempengaruhi perkembangan ekonomi
domestik mereka serta ekonomi internasional.
Teori neo-merkantilisme merupakan perkembangan dari kebijakan
merkantilisme yang digunakan pada era perdagangan internasional yang liberal.
Teori neo-merkantilisme menjelaskan adanya kecenderungan negara untuk
menggunakan ekonomi untuk mencapai kekayaan. Dalam neo-merkantilisme,
negara lebih cenderung melakukan proteksi serta investasi sebagai strateginya
mencapai kekayaan. Perkembangan teori neo-merkantilisme kian menjelaskan
peran utama pembangunan bangsa dan intervensi negara untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi di industri baru. Neo-merkantilisme menekankan aspek
nasionalisme dalam pemikiran dan praktek politik serta ekonomi.
Wolfgang Hager (1987) menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara
merkantilisme klasik dengan neo-merkantilisme. Dalam merkantilisme klasik
22
kekuasaan negara menjadi dasar untuk memperkuat militer melalui ekonomi.
Namun dalam neo-merkantilisme terjadi perubahan tujuan. Sebelumnya, negara
berfokus untuk meningkatkan keamanannya, namun dalam neo-merantilisme
negara berfokus untuk meningkatkan industrialisasinya.
Friedrich List menjelaskan bahwa terdapat empat hal yang perlu
diperhatikan dari teori merkantilisme/neo-merkantilisme (Falkner, 2011, pp. 22-
23). Pertama, adanya proteksionisme. Perdagangan bebas menyebabkan mudahnya
suatu barang atau produk untuk berpindah dari satu negara ke negara lain. Bagi
negara-negara yang kurang berkembang hal tersebut mengakibatkan kerugian
karena kurangnya kemampuan mereka untuk bersaing. Sehingga dalam hal ini
dibutuhkan campur tangan negara dalam perdagangan dengan memberikan
hambatan demi melindungi produsen dalam negeri. Namun, proteksionisme tidak
hanya berlaku di negara berkembang, Uni Eropa merupakan salah satu kawasan
yang juga menerapkan kebijakan yang bersifat protektif. Terdapat beberapa industri
dalam Uni Eropa yang ingin dilindungi, salah satunya industri pertanian. Kedua,
promosi “infant industries”. Salah satu tujuan utama dari proteksionisme adalah
untuk mempromosikan pertumbuhan industri dalam negeri. Bagi industri-industri
yang baru “lahir” tentu akan kesulitan apabila harus bersaing degan industri dewasa
yang telah lebih dahulu berkembang. Sehingga dalam hal ini negara harus
melindungi industri dalam negerinya dari pesaing asing sampai industri
mereka memiliki kemampuan yang memadai untuk bersaing di pasar
internasional.
23
Ketiga, pentingnya faktor pendidikan. Friederich List menekankan
pentingnya strategi pendidikan nasional untuk mengembangkan modal manusia.
Negara memiliki peran untuk menyediakan infrastruktur pendidikan dan
mempromosikan pembelajaran untuk kepentingan individu maupun masyarakat.
Keempat adalah infrastruktur. Selain menyediakan infrastruktur untuk pendidikan,
negara juga memiliki peran dalam menyediakan infrastruktur bagi industri dan
perdagangan, sehingga dapat membantu mengatasi masalah-masalah dalam pasar
maupun kegagalan pasar.
Terkait dengan kasus yang penulis teliti, Uni Eropa merupakan salah satu
kawasan yang menerapkan neo-merkantilisme dalam perdagangannya. Meskipun
merupakan kawasan yang liberal, dalam prakteknya Uni Eropa tetap berupaya
untuk memproteksi beberapa sektor dan komoditas dalam aktivitas
perdagangannya, salah satunya adalah komoditas pertanian, termasuk tanaman
energi. Tanaman energi merupakan salah satu komoditas yang sedang
dikembangkan di Uni Eropa, yang merupakan bahan baku dari biofuel. Industri
biofuel juga merupakan salah satu industri strategis yang sedang dikembangkan
oleh Uni Eropa. Negara-negara di dunia sedang berupaya untuk mengurangi
ketergantungan terhadap bahan bakar fosil dengan mencari bahan bakar alternatif.
Biofuel merupakan bahan bakar alternatif yang dinilai ramah lingkungan dan lebih
murah. Sehingga dalam hal ini, seperti yang telah dipaparkan dalam tinjauan
pustaka, apabila Uni Eropa dapat mengembangkan industri biofuelnya tentu Uni
Eropa dapat menguasai pasar biofuel dunia, yang secara langsung juga dapat
meningkatkan ekspor biofuel.
24
Neo-merkantilisme dalam kasus penelitian ini menggambarkan upaya
pemerintah dalam menghadapi isu mengenai energi terbarukan. Uni Eropa sedang
berupaya untuk mengembangkan energi terbarukannya dan berusaha untuk mulai
mengurangi ketergantungannya dari impor energi. Dalam neo-merkatilisme juga
dijelaskan mengenai upaya negara untuk mengembangkan industri nasionalnya
untuk memperoleh keunggulan komparatif, salah satunya dengan memberikan
subsidi. Salah satu komoditas dalam pasar energi yang dianggap sebagai pesaing
oleh Uni Eropa adalah CPO. CPO merupakan bahan baku biodiesel yang banyak
diimpor oleh Uni Eropa. CPO dapat menjadi pesaing bagi tanaman-tanaman energi
lain yang berkembang di Uni Eropa seperti kedelai, rapeseed, dan bunga matahari.
Sehingga Uni Eropa menerapkan prinsip-prinsip neo-merkantilisme untuk
melidungi komoditas tanaman energi tersebut, seperti membentuk standarisasi yang
dapat menjadi protector bagi tanaman energi Uni Eropa.
I. 6. Kerangka Berpikir
Neo-
Merkantilisme
Menolak
crude palm
oil
Indonesia
Melindungi dan
Mengembangkan
Industrinya
Menetapkan
standar /
kriteria untuk
menghambat
impor
Uni
Eropa
- Common
Agricultural
Policy
- Renewable
Energy
Directive
- Produksi
Energy
Crops
- Produksi
Biofuel
25
I. 7. Hipotesis
Berdasarkan teori yang telah penulis paparkan sebelumnya, penulis
berasumsi bahwa penolakan Uni Eropa terhadap crude palm oil Indonesia
disebabkan oleh adanya upaya Uni Eropa untuk melindungi sekaligus
mengembangkan industri energi terbarukannya. Hal tersebut terlihat dari beberapa
paket kebijakan Uni Eropa yang mengatur tentang pengembangan dan penggunaan
energi terbarukannya.
Kebijakan pertama yaitu Common Agricultural Policy (CAP). CAP ini
merupakan salah satu bentuk dorongan Uni Eropa terhadap para petani di wilayah
mereka untuk menanam tanaman penghasil energi. Di bawah skema CAP, terdapat
kebijakan rural development policy and cohesion policy. Kebijakan tersebut
dirancang untuk mempromosikan pengembangan produksi bioenergi, termasuk
pelatihan petani dan investasi, serta dukungan untuk kegiatan pengolahan tanaman
penghasil energi.
Selain menetapkan Common Agricultural Policy, Uni Eropa juga
menetapkan standar produk, salah satunya adalah Renewable Energy Directive
(RED). Tujuan dari ditetapkannya kebijakan RED adalah untuk mengatasi
perubahan iklim dan meningkatkan penggunaan energi terbarukan. Berdasarkan
kebijakan tersebut, produk-produk yang akan masuk ke dalam pasar Uni Eropa
haruslah produk-produk yang ramah lingkungan. Ditetapkannya kebijakan RED
disebabkan oleh adanya upaya negara-negara Uni Eropa untuk mulai memproduksi
biofuel di dalam negeri, sebagai usaha untuk mengatasi masalah lingkungan.
26
Kedua paket kebijakan Uni Eropa tersebut – Common Agricultural Policy
(CAP) dan Renewable Energy Directive (RED), merupakan kebijakan-kebijakan
yang digunakan Uni Eropa untuk mengembangkan dan melindungi industri dalam
negerinya, khususnya industri biofuelnya. Kebijakan-kebijakan tersebutlah yang
mempengaruhi aktivitas ekspor-impor Uni Eropa. Setiap produk biofuel atau
biodiesel yang ada maupun yang akan masuk ke dalam Uni Eropa telah diatur di
dalam kebijakan-kebijakan tersebut.
I. 8. Jangkuan Penelitian dan Metode Penelitian
Jangkauan penelitian ini dimulai pada tahun 2013, dimana pada tahun
tersebut Uni Eropa memutuskan untuk menolak crude palm oil Indonesia dengan
alasan lingkungan. Dalam penelitian ini penulis juga meneliti tahun-tahun
sebelumnya, sebab penolakan Uni Eropa terhadap CPO Indonesia bukan pertama
kali terjadi di tahun 2013. Penulis juga meneliti alasan-alasan Uni Eropa
berdasarkan kebijakan-kebijakan yang telah dibuat sebelum tahun 2013.
Dalam penulisan tesis ini penulis menggunakan metode studi kepustakaan,
baik melalui buku-buku, artikel jurnal, surat kabar, dan informasi dari internet yang
berkaitan dengan topik yang penulis analisis.
I. 9. Sistematika Penulisan
Pada Bab I penulis menjelaskan alasan pemilihan judul, latar belakang
masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka pemikiran,
27
hipotesis, jangkauan penelitian dan metodologi penelitian, serta sistematika
penulisan.
Bab II penulis akan menjelaskan tentang penolakan crude palm oil
Indonesia, yang terlebih dahulu menjelaskan perkembangan industri crude palm oil
Indonesia.
Pada Bab III akan menjelaskan tentang kebijakan-kebijakan Uni Eropa
terkait dengan upaya untuk mengembangkan biofuel-nya sendiri. Terdapat dua
paket kebijakan yang penulis paparkan dalam bab ini, yaitu Common Agricultural
Policy (CAP) dan Renewable Energy Directive (RED).
Sedangkan pada Bab IV berisi analisis penulis yang merupakan pembuktian
dari hipotesis yang telah penulis rumuskan. Bab ini akan menjelaskan upaya-upaya
Uni Eropa mengembangkan industri biofuel-nya dengan kerangka kebijakan
Common Agricultural Policy dan Renewable Energy Directive.
Kemudian tesis ini akan ditutup pada Bab V yang berisi kesimpulan, berupa
ringkasan hasil analisis alasan penolakan Uni Eropa terhadap crude palm oil
Indonesia. Diharapkan dengan adanya analisis ini dapat menjadi pelajaran yang
dapat diambil untuk menjadi pembahasan isu yang diteliti dalam konteks yang lain.