K E M E N T E R I A NPEKERJAAN UMUM
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
JALAN DAN JEMBATAN
K E M E N T E R I A NPEKERJAAN UMUM
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
JALAN DAN JEMBATAN
KAJIAN PENANGANAN
DENGAN TIMBUNAN TANAH LUNAK
JALAN MORTAR BUSA
Maulana Iqbal, S.T.
Deposit tanah lunak di Indonesia mencapai 10 juta hektar atau sekitar 10% dari luas
daratan. Permasalahan yang timbul pada tanah bermasalah ini adalah stabilitas dan
penurunan timbunan. Sebagai salah satu opsi penanganan jalan di atas tanah lunak, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Jalan dan Jembatan mengembangkan teknologi timbunan
ringan dengan mortar busa. Mortar busa tersebut mempunyai karakteristik berat isi yang
ringan dengan kekuatan yang cukup tinggi sehingga diharapkan tidak terjadi masalah
stabilitas dan penurunan timbunan maupun tekanan lateral berlebih pada abutmen
jembatan.
Teknologi tersebut telah diuji coba dalam skala penuh pada di dua lokasi. Uji coba skala
penuh pertama dilakukan tahun 2009 pada oprit Jembatan Kedaton di Ruas Jalan Cirebon -
Karang Ampel, Cirebon, Jawa Barat, dengan tinggi timbunan 4,35 meter dan panjang oprit
70 meter. Pada tahun 2010 dilakukan uji coba skala penuh timbunan ringan sebagai badan
jalan di Ruas Pangkalan Lima - Kumai, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, sepanjang 400
meter dengan tinggi timbunan mortar busa 1,1 meter.
Buku naskah ilmiah ini berisi hasil kajian kinerja kedua uji coba tersebut. Kinerja timbunan
ringan dianalisis berdasarkan data monitoring instrumen-instrumen terpasang. Dalam
buku ini dipaparkan pula kajian literatur penggunaan material setempat sebagai bahan
timbunan yang diperkuat dengan mortar busa.
KAJIAN PENANGANAN
DENGAN TIMBUNAN TANAH LUNAK
JALAN MORTAR BUSA
KA
JIAN
PEN
AN
GA
NA
N
DEN
GA
N TIM
BU
NA
N
TAN
AH
LUN
AK
JALA
N M
OR
TAR
BU
SA
Maulana Iqbal, S.T.
Maulana Iqbal, S
.T.
KAJIAN PENANGANAN TANAH LUNAK DENGAN TIMBUNAN JALAN MORTAR BUSA
KAJIAN PENANGANAN TANAH LUNAK DENGAN TIMBUNAN JALAN MORTAR BUSA
KA
JIA
N P
ENA
NG
AN
AN
TA
NA
H L
UN
AK
DEN
GA
N T
IMB
UN
AN
JA
LAN
MO
RTA
R B
US
A
KA
JIAN
PEN
AN
GA
NA
N TA
NA
H LU
NA
K D
ENG
AN
TIMB
UN
AN
JALA
N M
OR
TAR
BU
SA
K A J I A N P E N A N G A N A N T A N A H L U N A K D E N G A N T I M B U N A N J A L A N M O R T A R B U S A
K A J I A N P E N A N G A N A N T A N A H L U N A K D E N G A N T I M B U N A N J A L A N M O R T A R B U S A9 786028 256865
ISBN: 978-602-8256-86-5
KAJIAN PENANGANAN TANAH LUNAK DENGAN TIMBUNAN JALAN
MORTAR BUSA
Maulana Iqbal, S.T.
Reviewer: Ir. GJW Fernandez dan Rakhman Taufik, M.Sc.
KAJIAN PENANGANAN TANAH LUNAK DENGAN TIMBUNAN JALAN MORTAR BUSA Cetakan ke‐1, 2012, ( xviii + 150 halaman) No. ISBN : 978‐602‐8256‐86‐5 ©Pemegang Hak Cipta Pusat Penelitian dan Pengembangan Jalan dan Jembatan Penulis: Maulana Iqbal, S.T.
Reviewer: Ir. GJW Fernandez dan Rakhman Taufik, M.Sc.
Naskah ini disusun dengan sumber dana APBN Tahun 2012, pada paket pekerjaan Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa. Pandangan yang disampaikan di dalam publikasi ini tidak menggambarkan pandangan dan kebijakan Kementerian Pekerjaan Umum, unsur pimpinan, maupun instruksi pemerintah lainnya. Kementerian Pekerjaan Umum tidak menjamin akurasi data yang disampaikan dalam publikasi ini, dan tanggung jawab atas data dan informasi sepenuhnya dipegang oleh penulis. Kementerian Pekerjaan Umum mendorong percetakan dan memperbanyak informasi secara eklusif untuk perorangan dan pemanfaatan nonkomersil dengan pemberitahuan yang memadai kepada Kementerian Pekerjaan Umum. Pengguna dibatasi dalam menjual kembali, mendistribusikan atau pekerjaan kreatif turunan untuk tujuan komersil tanpa izin tertulis dari Kementerian Pekerjaan Umum. Dicetak oleh: Penerbit Informatika – Bandung Anggota IKAPI Jabar No. 033/JBA/99 Pemesanan melalui: Perpustakaan Puslitbang Jalan dan Jembatan [email protected]
TENTANG PUSLITBANG JALAN DAN JEMBATAN
Puslitbang Jalan dan Jembatan (Pusjatan) adalah institusi riset yang dikelola
oleh Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum Republik Indonesia.
Lembaga ini mendukung Kementerian PU dalam menyelenggarakan jalan
dengan memastikan keberlanjutan keahlian, pengembangan inovasi dan nilai –
nilai baru dalam pengembangan infrastruktur.
Pusjatan memfokuskan kepada penyelenggara jalan di Indonesia, melalui
penyelenggaraan litbang terapan untuk menghasilkan inovasi teknologi bidang
jalan dan jembatan yang bermuara pada standar, pedoman, dan manual. Selain
itu, Pusjatan mengemban misi untuk melakukan advis teknik, pendampingan
teknologi, dan alih teknologi yang memungkinkan infrastruktur Indonesia
menggunakan teknologi yang tepat guna.
KEANGGOTAAN TIM TEKNIS DAN SUBTIM TEKNIS TIM TEKNIS: 1. Prof (R) Dr. Ir. M. Sjahdanulirwan, M.Sc.
2. Ir. Agus Bari Sailendra. M.T.
3. Ir. I. Gede Wayan Samsi Gunarta, M.Appl.Sc.
4. Prof (R) Dr. Ir. Furqon Affandi, M.Sc.
Tentang Puslitbang Jalan dan Jembatan iii
5. Prof (R) Ir. Lanneke Tristanto, APU
6. Ir. GJW Fernandez
7. Ir. Soedarmanto Darmonegoro
8. DR. Djoko Widayat, MSc.
SUBTIM TEKNIS: 1. Ir. GJW Fernandez
2. Dr. Ir. M. Eddie Soenaryo, M.Sc.
3. Dr. Ir. Imam Aschuri, M.T.
4. Dr. Ir. Hindra Mulya
5. Ir. Benny Moestofa
6. Ir. Suhaimi Daud
7. Drs. M. Suherman
iv Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Kata Pengantar
Deposit tanah lunak di Indonesia mencapai 10 juta hektar atau sekitar 10%
dari luas daratan. Permasalahan yang timbul pada tanah bermasalah ini
adalah stabilitas dan penurunan timbunan. Sebagai salah satu opsi
penanganan jalan di atas tanah lunak, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Jalan dan Jembatan mengembangkan teknologi timbunan ringan dengan
mortar busa. Mortar busa tersebut mempunyai karakteristik berat isi yang
ringan dengan kekuatan yang cukup tinggi sehingga diharapkan tidak terjadi
masalah stabilitas dan penurunan timbunan maupun tekanan lateral
berlebih pada abutmen jembatan.
Teknologi tersebut telah diuji coba dalam skala penuh pada di dua lokasi.
Uji coba skala penuh pertama dilakukan tahun 2009 pada oprit Jembatan
Kedaton di Ruas Jalan Cirebon ‐ Karang Ampel, Cirebon, Jawa Barat, dengan
tinggi timbunan 4,35 meter dan panjang oprit 70 meter. Pada tahun 2010
dilakukan uji coba skala penuh timbunan ringan sebagai badan jalan di Ruas
Pangkalan Lima ‐ Kumai, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, sepanjang 400
meter dengan tinggi timbunan mortar busa 1,1 meter.
Kata Pengantar v
Buku naskah ilmiah ini berisi hasil kajian kinerja kedua uji coba tersebut.
Kinerja timbunan ringan dianalisis berdasarkan data monitoring instrumen‐
instrumen terpasang. Dalam buku ini dipaparkan pula kajian literatur
penggunaan material setempat sebagai bahan timbunan yang diperkuat
dengan mortar busa.
Bandung,
Tim Penulis
vi Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Daftar Isi
Kata Pengantar ................................................................................. v
Daftar Isi ........................................................................................... vii
Daftar Tabel ...................................................................................... xi
Daftar Gambar .................................................................................. xiii
BAB 1. PENDAHULUAN .................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .............................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah......................................................... 2
1.3 Tujuan dan Sasaran....................................................... 2
1.4 Metodologi ................................................................... 2
1.5 Sistematika Bab............................................................. 3
BAB 2. TIMBUNAN JALAN DENGAN MORTAR BUSA ....................... 5
2.1 Gambaran Umum ......................................................... 5
2.2 Penggunaan Mortar Busa yang Telah Digunakan di Jepang 6
2.3 Kriteria Kinerja Timbunan............................................. 8
2.3.1 Kriteria Stabilitas Timbunan............................. 8
2.3.2 Kriteria Deformasi pada Timbunan Jalan......... 9
2.3.3 Kriteria Deformasi pada Oprit Jembatan ......... 16
2.3.4 Retakan pada Perkerasan ................................ 17
Daftar Isi vii
BAB 3. PEMBUATAN RENCANA CAMPURAN (DESIGN MIX FORMULA)
MORTAR BUSA ................................................................... 27
3.1 Umum ........................................................................... 27
3.2 Spesifikasi Timbunan Ringan dengan Mortar Busa ...... 28
3.2.1 Persyaratan Bahan ........................................... 28
3.2.2 Persyaratan Kuat Tekan dan Berat Isi Mortar Busa 32
3.3 Prosedur Pembuatan Rencana Campuran Mortar Busa 33
3.3.1 Pembuatan Busa (foam) Campuran Foam
dengan Air........................................................ 35
3.3.2 Pembuatan Material Campuran (Campuran
Foam, Semen, dan Pasir) ................................. 37
3.3.3 Pengujian Berat Isi (densitas) Mortar dan Flow 39
3.3.4 Pembuatan dan Pengujian Benda Uji .............. 39
3.3.5 Perawatan Benda Uji (Curing).......................... 41
3.3.6 Pengujian Berat Isi dan Kuat Tekan Bebas,
Unconfined Compressive Strength (UCS) ......... 41
BAB 4. METODE KONSTRUKSI TIMBUNAN RINGAN DENGAN MORTAR
BUSA .................................................................................. 43
4.1 Persyaratan Peralatan................................................... 43
4.1.1 Mixers............................................................... 43
4.1.2 Mortar Pump (Pompa Mortar)......................... 44
4.1.3 Peralatan Lain Pembentuk Foam ..................... 45
4.2 Tahapan Konstruksi....................................................... 45
4.2.1 Persiapan Kerja ................................................ 45
4.2.2 Pemasangan Anyaman Baja (Wire Mesh) ........ 46
4.2.3 Pemasangan Bekisting ..................................... 47
4.2.4 Penuangan (Pengecoran)................................. 48
4.2.5 Perataan........................................................... 49
4.2.6 Perawatan (Curing) .......................................... 50
4.2.7 Pembukaan Bekisting....................................... 50
4.2.8 Sambungan Pengecoran (Construction Joint) .. 50
4.2.9 Pembukaan untuk Lalu Lintas .......................... 52
viii Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
4.3 Pengendalian Mutu....................................................... 53
4.3.1 Pengujian Timbunan Ringan dengan Mortar Busa 54
4.3.2 Pengamatan Mutu Khusus setelah Campuran
Mortar Busa Selesai di Hampar....................... 56
BAB 5. KINERJA TIMBUNAN RINGAN MORTAR BUSA OPRIT JEMBATAN
DI KEDATON, CIREBON, JAWA BARAT ................................. 59
5.1 Kondisi Geologi dan Geoteknik..................................... 60
5.2 Konstruksi Timbunan dan Instrumentasi pada Oprit
Jembatan Kedaton ........................................................ 62
5.2.1 Tahapan Pelaksanaan Konstruksi Timbunan Oprit
Mortar Busa ..................................................... 66
5.2.2 Kondisi Instrumen Terpasang .......................... 77
5.3 Pemodelan Numerik ..................................................... 89
5.3.1 Paramater Desain............................................. 90
5.3.2 Analisis Numerik .............................................. 91
5.3.3 Analisis Sensitifitas........................................... 93
5.4 Evaluasi Kinerja Lokasi Oprit Jembatan Kedaton, Cirebon,
Jawa Barat..................................................................... 95
BAB 6. KINERJA TIMBUNAN RINGAN DENGAN MORTAR BUSA,
LOKASI DI PANGKALAN BUN, KALIMANTAN TENGAH.......... 97
6.1 Kondisi Geologi dan Geoteknik..................................... 98
6.1.1 Index Properties ............................................... 100
6.1.2 Sifat Kuat Geser................................................ 100
6.1.3 Sifat Kompresibilitas ........................................ 103
6.2 Konstruksi Timbunan dan Instrumentasi pada Badan Jalan 106
6.2.1 Tahapan Pelaksanaan Konstruksi Timbunan Oprit
Mortar Busa pada Badan Jalan ........................ 106
6.2.2 Kondisi Instrumen Terpasang .......................... 111
6.3 Kondisi Umum Jalan dan Retakan Melintang pada
Permukaan Aspal .......................................................... 127
6.4 Pemodelan Numerik ..................................................... 135
Daftar Isi ix
6.4.1 Parameter Desain ............................................ 135
6.4.2 Pemodelan Penurunan Pada STA 0+200.......... 136
6.5 Evaluasi Kinerja Mortar Busa Lokasi Pangkalan Bun,
Kalimantan Tengah ....................................................... 141
BAB 7. PENUTUP............................................................................ 143
7.1 Evaluasi Kinerja Timbunan Ringan dengan Mortar Busa
pada Oprit Jembatan Kedaton...................................... 143
7.2 Evaluasi Kinerja Timbunan Ringan dengan Mortar Busa
di Pengkalan Bun .......................................................... 144
Daftar Pustaka .................................................................................. 147
x Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Daftar Tabel
Tabel 2‐1. Beban Lalu Lintas untuk Analisis Stabilitas (Kimpraswil, 2002b). ............................................................................... 9 Tabel 2‐2. Kriteria Penurunan Timbunan (Kimpraswil, 2002b) .......... 9 Tabel 2‐3. Klasifikasi Perencanaan Jalan Tipe II (Kimpraswil, 2002a) . 10 Tabel 2‐4. Kriteria Kinerja Timbunan Selama Masa Layan/Kondisi SLS (diadopsi dari SCDOT, 2008) .............................................. 12 Tabel 2‐5. Kriteria Kinerja Ketidakstabilan Timbunan pada Kondisi Terekstrim (EE I) (diadopsi dari SCDOT, 2008)................... 14 Tabel 2‐6. Kriteria Kinerja Penurunan Timbunan pada Kondisi Terekstrim (EE I) (diadopsi dari SCDOT, 2008) ..................................... 15 Tabel 2‐7. Kriteria Penurunan Dalam Arah Memanjang (Longitudinal) untuk Transisi Badan Jalan/Jembatan Selama Masa Layan 16 Tabel 2‐8. Kriteria Penurunan pada Arah Memanjang pada Kondisi Terekstrim untuk Transisi Jembatan/Timbunan (SCDOT, 2008) .................................................................................. 17 Tabel 2‐9. Jenis Kerusakan pada Perkerasan Jalan dan Penyebabnya (BM,1983) .......................................................................... 18 Tabel 3‐1. Persyaratan Pasir (ASTM C 33‐97, 1997) ........................... 29
Daftar Tabel xi
Tabel 3‐2. Kekuatan Tekan Minimum Mortar Busa Lapis Pondasi Atas (Kemen.PU, 2011) .............................................................. 32 Tabel 3‐3. Kekuatan Tekan Minimum Mortar Busa Lapisan Pondasi Bawah (Kemen.PU, 2011) .................................................. 32 Tabel 4‐1. Jenis Pengujian Semen....................................................... 53 Tabel 4‐2. Pengendalian Mutu............................................................ 57 Tabel 5‐1. Instrumen dan Simbol........................................................ 66 Tabel 5‐2. Instrumen Vibrating Wire Piezometer ............................... 78 Tabel 5‐3. Tipe Strain Gages ............................................................... 78 Tabel 5‐4. Instrumen Vibrating Wire Pressure Cell ............................. 81 Tabel 5‐5. Instrumen Inklinometer ..................................................... 83 Tabel 5‐6. Instrumen Extensometer ................................................... 87 Tabel 5‐7. Kedalaman Magnetic pada Instrumentasi Extensometer Magnetic setelah Lapisan AC‐WC selesai........................... 87 Tabel 5‐8. Instrumen Piezoemeter Cassagrande ................................ 88 Tabel 5‐9. Parameter Desain Model Soft Soil ..................................... 91 Tabel 5‐10. Parameter Desain Model Hardening Soil........................... 91 Tabel 5‐11. Parameter Timbunan Tanah dan Timbunan Ringan dengan Mortar Busa ....................................................................... 91 Tabel 5‐12. Tahapan Perhitungan dalam Program Plaxis ..................... 92 Tabel 5‐13. Kombinasi Rentang Nilai Berat Isi Timbunan Ringan......... 94 Tabel 6‐1. Klasifikasi Konsistensi Tanah Berdasarkan Nilai Tahanan Konus.................................................................................. 99 Tabel 6‐2. Klasifikasi Kuat Geser Undrained Berdasarkan (Kimpraswil, 2002a) ........................................................... 110 Tabel 6‐3 Kondisi Instrumen Terpasang ............................................ 111 Tabel 6‐4. Kondisi Instrumen Piezometer Pipe Cassagrande ............. 123 Tabel 6‐5 Hasil Pemantauan Piezometer Cassagrande ..................... 123 Tabel 6‐6. Parameter Desain untuk Soft Soil Model........................... 136 Tabel 6‐7. Parameter Desain untuk Mohr Coulomb Model ................ 136
xii Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Daftar Gambar
Gambar 2‐1. Ilustrasi Penurunan (Potongan A‐A) (SCDOT, 2008) ..... 13
Gambar 2‐2. Profil Penurunan Timbunan (SCDOT, 2008) ................. 13
Gambar 2‐3. Ilustrasi Penurunan Vertikal dan Lateral Akibat
Ketidakstabilan Global Timbunan................................. 15
Gambar 2‐4. Ilustrasi Penurunan pada Arah Memanjang Oprit
Jembatan dan Timbunan (SCDOT, 2008) ...................... 16
Gambar 2‐5. Retak Struktural ............................................................ 20
Gambar 2‐6. Retak Melintang Akibat Suhu ....................................... 20
Gambar 2‐7. Retak Refleksi (Reflection Craking) ............................... 21
Gambar 2‐8. Retak dengan Tingkat Keparahan Rendah.................... 21
Gambar 2‐9. Retak dengan Tingkat Keparahan Sedang .................... 22
Gambar 2‐10. Retak dengan Tingkat Keparahan Berat ....................... 22
Gambar 3‐1. Grafik Gradasi Batasan Pasir untuk Mortar Busa ......... 29
Gambar 3‐2. Pasir, Lokasi Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah
(dokumentasi pelaksanaan lapangan) .......................... 30
Gambar 3‐3. Foam Agent (dokumentasi lapangan)........................... 32
Gambar 3‐4. Prosedur Pembuatan Rencana Campuran Mortar Busa 34
Gambar 3‐5. Pengukuran Kebutuhan Foam dengan Gelas Ukur
(dokumentasi pelaksanaan di laboratorium)................ 36
Gambar 3‐6. Compressor yang Dihubungkan dengan Foam Generator
(dokumentasi pelaksanaan di laboratorium)................ 36
Gambar 3‐7. Pencampuran Foam dan Air dengan Tekanan 10 bar
(dokumentasi pelaksanaan di laboratorium)................ 37
Daftar Gambar xiii
Gambar 3‐8. Foam yang Telah Dicampur dengan Air........................ 37
Gambar 3‐9. Penimbangan Semen untuk Rencana Campuran Awal 38
Gambar 3‐10. Pencampuran Foam, Semen dan Pasir Kedalam Bejana
(dokumentasi pelaksanaan di laboratorium)................ 38
Gambar 3‐11. Pengujian Flow untuk Mortar Busa .............................. 39
Gambar 3‐12. Contoh Mortar Busa untuk Pengujian Uji Tekan Bebas
(dokumentasi pelaksanaan di laboratorium)................ 40
Gambar 3‐13. Pengujian UCS di Laboratorium.................................... 42
Gambar 3‐14. Pengujian Uji Kadar Air ................................................. 42
Gambar 4‐1. Box Mixer Kapasitas 1m³............................................... 44
Gambar 4‐2. Mortar Pump (dokumentasi pelaksanaan lapangan) .. 45
Gambar 4‐3. Ukuran Pemasangan Anyaman Baja............................. 46
Gambar 4‐4. Anyaman Baja yang Telah Terhampar .......................... 47
Gambar 4‐5. Pemasangan Bekisting .................................................. 48
Gambar 4‐6. Tahapan Pengecoran .................................................... 49
Gambar 4‐7. Perataan Mortar Busa................................................... 49
Gambar 4‐8. Terpal Penutup Mortar Busa Terpasang....................... 50
Gambar 4‐9. Pengujian Berat Isi ........................................................ 55
Gambar 5‐1. Lokasi Jembatan Kedaton, Cirebon, Jawa Barat ........... 59
Gambar 5‐2. Kondisi Geologi Kedaton, Cirebon, Jawa Barat............. 60
Gambar 5‐3. Grafis Potongan Stratifikasi .......................................... 61
Gambar 5‐4. Sondir dan Hasil Uji Laboratorium................................ 62
Gambar 5‐5. Sketsa Mortar Busa Jembatan Kedaton, Cirebon
Jawa Barat..................................................................... 63
Gambar 5‐6. Sketsa Tampak Atas dan Letak Titik‐Titik Instrumentasi 64
Gambar 5‐7. Sketsa Potongan Memanjang dan Letak Titik Instrumen 65
Gambar 5‐8. Kondisi Existing Oprit Jembatan Kedaton..................... 67
Gambar 5‐9. Ilustrasi Kondisi Existing Jembatan Kedaton ................ 67
Gambar 5‐10. Ilustrasi Pekerjaan Pengerukan tanah .......................... 68
Gambar 5‐11. Pelaksanaan Pengerukan Tanah ................................... 68
Gambar 5‐12. Kondisi Setelah Pengerukan Tanah............................... 69
Gambar 5‐13. Waktu Pengecoran Mortar Busa .................................. 70
Gambar 5‐14. Ilustrasi Tahap Pekerjaan Pemasangan Instrumen....... 71
xiv Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Gambar 5‐15. Pelaksanaan Pemasangan Instrumen ........................... 71
Gambar 5‐16. Tahap Pekerjaan Mortar Busa Lapisan Bawah ............. 72
Gambar 5‐17. Perawatan Mortar Busa yang Telah Dihampar
(dokumentasi pelaksanaan lapangan) .......................... 72
Gambar 5‐18. Tahap Timbunan Mortar Busa Lapisan Bawah ............ 73
Gambar 5‐19. Tahap Penimbunan Mortar Busa di Atas Lapisan Mortar
Busa yang Telah Terhampar ......................................... 73
Gambar 5‐20. Ilustrasi Pemasangan Anyaman Baja pada Lapis Pondasi
Bawah ........................................................................... 74
Gambar 5‐21. Ilustrasi Pemasangan Anyaman Baja Antara Lapis
Pondasi Atas dan Lapis Pondasi Bawah ........................ 74
Gambar 5‐22. Ilustrasi Pekerjaan Timbunan Mortar Busa Lapis Pondasi
Atas ............................................................................... 75
Gambar 5‐23. Ilustrasi Pekerjaan Pemesangan Anyaman Baja ........... 75
Gambar 5‐24. Pekerjaan Perkerasan Jalan .......................................... 76
Gambar 5‐25. Ilustrasi Kondisi Setelah Pelaksanaan Pekerjaan.......... 76
Gambar 5‐26. Kondisi Setelah Pelaksanaan Pekerjaan........................ 77
Gambar 5‐27. Grafik Ekses Air Pori dari Instrumen Piezometer Vw‐PZ1 79
Gambar 5‐28. Grafik Ekses Air Pori dari Instrumen Piezometer Vw‐PZ2 79
Gambar 5‐29. Grafik Ekses Air Pori dari Instrumen Piezometer Vw‐PZ3 80
Gambar 5‐30. Grafik Ekses Air Pori dari Instrumen Piezometer Vw‐PZ4 80
Gambar 5‐31. Posisi Instrumentasi Pressure Cell ................................ 81
Gambar 5‐32. Tekanan Lateral Terhadap Dinding Abutment Instrumen
Vw‐PC 1......................................................................... 82
Gambar 5‐33. Tekanan Lateral Terhadap Dinding Abutment Instrumen
Vw‐PC 2......................................................................... 82
Gambar 5‐34. Tekanan Lateral Terhadap Dinding Abutment Instrumen
Vw‐Pc 3 ......................................................................... 82
Gambar 5‐35. Grafik Pergerakan Inclinometer 2 ................................. 84
Gambar 5‐36. Grafik Pergerakan Inclinometer 3 ................................. 85
Gambar 5‐37. Geomodel Timbunan Material Ringan Mortar Busa..... 89
Gambar 5‐38. Mesh Timbunan Material Ringan Mortar Busa ............ 90
Gambar 5‐39. Deformasi Vertikal (cm) Terhadap Waktu dengan Timbunan
Daftar Gambar xv
Tanpa Mortar Busa dan Timbunan dengan Mortar Busa 93
Gambar 5‐40. Analisis Sensitifitas Berat Isi Timbunan Ringan Terhadap
Penurunan .................................................................... 94
Gambar 6‐1. Lokasi Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah................... 97
Gambar 6‐2. Kondisi Geologi Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah ... 98
Gambar 6‐3. Batas‐batas Atterberg dan Konsistensi Indeks ............. 100
Gambar 6‐4. Grafik Plastisitas (Sistem USCS) .................................... 101
Gambar 6‐5. Kuat Geser Undrained berdasarkan Sondir dan Vane Shear 102
Gambar 6‐6. Sudut Geser dalam Efektif ............................................ 103
Gambar 6‐7. Plot Sudut Geser dalam Kurva Anon (Kimpraswil 2002a) 103
Gambar 6‐8. Klasifikasi Kompresibilitas Tanah (Coduto,2004).......... 104
Gambar 6‐9. Kompresibilitas Tanah .................................................. 104
Gambar 6‐10. Korelasi antara Cc dan Kadar Air .................................. 105
Gambar 6‐11. Nilai Cc Hasil Laboratorium........................................... 105
Gambar 6‐12. Kondisi Existing Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah
(dokumentasi pelaksanaan lapangan) .......................... 106
Gambar 6‐13. Gorong‐Gorong Terpasang ........................................... 107
Gambar 6‐14. Penimbunan pada Badan jalan ..................................... 107
Gambar 6‐15. Penimbunan Pasir pada Badan Jalan ............................ 108
Gambar 6‐16. Pembuatan Bekisting pada Sisi Badan Jalan (dokumentasi
pelaksanaan lapangan) ................................................. 108
Gambar 6‐17. Pembuatan Bekisting di Badan Jalan ............................ 109
Gambar 6‐18. Penghamparan Mortar Busa......................................... 109
Gambar 6‐19. Penghamparan Mortar Busa dengan Truk Molen
(dokumentasi pelaksanaan lapangan) .......................... 110
Gambar 6‐20. Mortar Busa yang telah Dihampar................................ 110
Gambar 6‐21. Pemasangan Tenda pada Mortar Busa Sebagai Masa
Perawatan (dokumentasi pelaksanaan lapangan)........ 111
Gambar 6‐22. Sketsa Pemasangan Instrumentasi Lokasi Pangkalan
Bun, Kalimantan Tengah............................................... 113
Gambar 6‐23. Ilustrasi Grafis Instrumen Terpasang STA 0+200 .......... 114
Gambar 6‐24. Skema Instrumen Settlement Sensor Vibrating Wire
(Geokon. 2009) ............................................................. 115
xvi Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Gambar 6‐25. Grafik Settlement Plate Sta 0+200................................ 116
Gambar 6‐26. Grafik Settlement Plate Sta 0+350................................ 116
Gambar 6‐27. Grafik Settlement Plate Sta 0+450................................ 117
Gambar 6‐28. Grafik Piezometer Vibrating Wire Sta 0+200 Kedalaman 2m 118
Gambar 6‐29. Grafik Piezometer Vibrating Wire Sta 0+200 Kedalaman 6m 118
Gambar 6‐30. Grafik Piezometer Vibrating Wire Sta 0+450 Kedalaman 6m 119
Gambar 6‐31. Hasil Pembacaan Inclinometer Horizontal STA 0+200.. 120
Gambar 6‐32. Hasil Pembacaan Inclinometer Horizontal STA 0+450.. 121
Gambar 6‐33. Grafik Extensometer Sta 0+200 .................................... 122
Gambar 6‐34. Pemantauan Bench Mark dengan GPS Geodetic
(dokumentasi pemantauan di lapangan)...................... 125
Gambar 6‐35. Penurunan Longitudinal dan Stratifikasi Tanah............ 126
Gambar 6‐36. Retakan melintang pada permukaan aspal (dokumentasi
foto pematauan di lapangan) ....................................... 127
Gambar 6‐37. Retakan pada Permukaan Aspal Setelah Ditandai Cat
(dokumentasi foto pematauan di lapangan) ................ 127
Gambar 6‐38. Retakan Horizontal pada Sisi Timbunan Ringan yang
Menyambung dengan Retakan pada Permukaan Aspal 128
Gambar 6‐39. Ploting Segmen Pengecoran Per Lapisan STA 0+000 s.d.
0+030 ........................................................................... 128
Gambar 6‐40. Ploting Segmen Pengecoran Per Lapisan dan Retakan
STA 0+030 s/d 0+075 .................................................... 129
Gambar 6‐41. Ploting Segmen Pengecoran Per Lapisan dan Retakan
STA 0+075 S/D 0+110.................................................... 129
Gambar 6‐42. Ploting Segmen Pengecoran Per Lapisan dan Retakan
STA 0+110 S/D 0+150.................................................... 130
Gambar 6‐43. Ploting Segmen Pengecoran Per Lapisan dan Retakan
STA 0+150 S/D 0+180.................................................... 130
Gambar 6‐44. Ploting Segmen Pengecoran Per Lapisan dan Retakan
STA 0+180 S/D 0+225.................................................... 131
Gambar 6‐45. Ploting Segmen Pengecoran Per Lapisan dan Retakan
STA 0+225 S/D 0+275.................................................... 131
Gambar 6‐46. Ploting Segmen Pengecoran Per Lapisan dan Retakan
Daftar Gambar xvii
STA 0+275 S/D 0+300.................................................... 132
Gambar 6‐47. Ploting Segmen Pengecoran Per Lapisan dan Retakan
STA 0+300 S/D 0+340.................................................... 132
Gambar 6‐48. Ploting Segmen Pengecoran Per Lapisan dan Retakan
STA 0+340 S/D 0+380.................................................... 133
Gambar 6‐49 Ploting Segmen Pengecoran Per Lapisan dan Retakan
STA 380 S/D 0+425........................................................ 133
Gambar 6‐50. Ploting Segmen Pengecoran Per Lapisan STA 0+425 s.d.
0+450 ........................................................................... 134
Gambar 6‐51. Model Geometri STA 0+200.......................................... 136
Gambar 6‐52. Vertical Displacements STA 0+200................................ 137
Gambar 6‐53. Perbandingan Waktu dan Tekanan Air Pori Ekses (kPa) 139
Gambar 6‐54. Deformasi Vertikal, Waktu dan Pergerakan Instrumentasi
STA 0+200. .................................................................... 138
xviii Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Jenis tanah yang sering menimbulkan masalah selama pembangunan suatu
struktur maupun menimbulkan kerusakan pada konstruksi jalan existing
digolongkan pada tanah problematik. Secara umum, tanah problematik
ditemukan pada jenis tanah ekspansif, tanah lunak, dan gambut.
Masalah utama yang banyak ditemukan pada tanah lunak adalah masalah
kestabilan konstruksi dan penurunan (settlement). Masalah lain yang sering
timbul adalah masa konstruksi yang lama, biaya konstruksi dan
pemeliharaan yang mahal. Pembangunan infrastruktur di atas jenis tanah
ini, jika tidak direncanakan dengan baik melalui pengenalan karakteristik
yang akurat dapat berpotensi mengakibatkan kegagalan bangunan.
Dalam kurun tahun 2006 sampai dengan 2010 beberapa teknologi
penanganan tanah problematik telah diteliti dan dikembangkan di Balai
Geoteknik Jalan, Pusat Litbang Jalan dan Jembatan. Teknologi‐teknologi
tersebut telah diuji coba dalam skala penuh di lapangan. Salah satu
Bab 1 – Pendahuluan 1
teknologi tersebut adalah penggunaan material timbunan jalan mortar
busa (foamed mortar) sebagai material timbunan. Pada tahun 2009
dibangun timbunan pada oprit jembatan dengan mortar busa lokasi Oprit
Jembatan Kedaton, Ruas Jalan Cirebon‐Karang Ampel, Jawa Barat dan tahun
2010 dibangun timbunan jalan dengan mortar busa pada badan jalan lokasi
Ruas Jalan Pangkalan Lima‐Kumai, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah.
Untuk mengevaluasi kinerja kedua uji coba timbunan jalan dengan mortar
busa tersebut telah dilakukan monitoring secara menerus. Naskah ilmiah ini
menyajikan hasil evaluasi kinerja kedua uji coba tersebut.
1.2 Rumusan Masalah Perumusan masalah pada kegiatan ini adalah kinerja teknologi timbunan
ringan dengan mortar busa perlu dievaluasi dari segi besarnya penurunan,
stabilitas maupun daya layan (serviceability).
1.3 Tujuan dan Sasaran Tujuan penyusunan naskah ilmiah ini adalah menyiapkan naskah ilmiah
sebagai input dalam mengkinikan pedoman perencanaan, pedoman
pelaksanaan, dan spesifikasi teknologi penanganan tanah lunak dengan
menggunakan timbunan jalan dengan mortar busa.
Sasaran dari kegiatan TA 2012 adalah tersedianya bukti teknis kinerja
timbunan ringan dengan mortar busa dalam jangka panjang.
1.4 Metodologi Metodologi pekerjaan pembuatan naskah ilmiah Kajian Penanganan Tanah
Lunak Dengan Timbunan Jalan Mortar Busa, adalah:
2 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
1. Kajian pustaka yang mencakup gambaran umum penggunaan mortar
busa di luar negeri, kriteria mortar busa dan pelaksanaan mortar busa.
2. Analisis dan evaluasi kinerja timbunan yang mencakup:
• Kaji ulang terhadap data monitoring.
• Pemodelan numerik timbunan jalan mortar busa sebagai timbunan
oprit Jembatan (Jembatan Kedaton, Cirebon, Jawa Barat) dan
sebagai timbunan badan jalan (Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah).
Pemodelan numerik juga mencakup analisis paramater pengaruh
variasi muka air, berat isi dan kuat tekan bebas terhadap kinerja
timbunan.
• Evaluasi kinerja timbunan dengan membandingkan hasil
monitoring, hasil analisis numerik dengan kritera timbunan
(persyaratan besarnya penurunan dan stabilitas timbunan)
1.5 Sistematika Bab Buku naskah ilmiah ini terbagi menjadi 7 Bab sebagai berikut:
- Bab 1: Pendahuluan
Bab 1 berisi latar belakang kegiatan penelitian, rumusan masalah yang
menyampaikan uraian masalah yang akan dipecahkan, tujuan, dan
sasaran dibuatnya naskah ilmiah serta metodologi penelitian yang
dilakukan.
- Bab 2: Timbunan Jalan Dengan Mortar Busa
Bab 2 adalah gambaran umum timbunan jalan dengan mortar busa,
menjelaskan kriteria mengenai stabilitas timbunan, kriteria deformasi
pada timbunan jalan, kriteria deformasi pada oprit jembatan, dan jenis‐
jenis kerusakan pada perkerasan.
- Bab 3: Pembuatan Rencana Campuran (Design Mix Formula)
Bab 3 membahas mengenai spesifikasi bahan untuk timbunan jalan
dengan mortar busa, dan prosedur percobaan pencampuran mortar
busa yang dilaksanakan.
- Bab 4: Metode Konstruksi Timbunan Ringan Mortar Busa
Bab 1 – Pendahuluan 3
Bab 4 berisi mengenai persyaratan peralatan dan tahapan pelaksanaan
konstruksi mortar busa serta pengendalian mutu terhadap pelaksanaan
pekerjaan timbunan ringan dengan mortar busa.
- Bab 5: Kinerja Timbunan Ringan Mortar Busa Lokasi Oprit Jembatan
Kedaton, Cirebon, Jawa Barar
Bab 5 membahas secara lebih rinci pelaksanaan dan kondisi sebenarnya
timbunan jalan dengan mortar busa pada oprit jembatan, serta analisis
berdasarkan pemantauan instrumen yang terpasang dan evaluasi
kinerja yang dibandingkan dengan kriteria terhadap stablitas dan
deformasi pada oprit jembatan.
- Bab 6: Kinerja Timbunan Ringan Pada Ruas Jalan Lokasi Pangkalan Bun,
Kalimantan Tengah
Bab 6 membahas mengenai pelaksaan timbunan jalan dengan mortar
busa pada badan jalan, melakukan analisis serta pemantauan
berdasarkan instrumen yang terpasang dan evaluasi kinerja yang
dibandingkan dengan kriteria stabilitas dan deformasi terhadap
timbunan ringan mortar busa.
- Bab 7 : Penutup
Bab 7 berisi kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan serta saran
untuk penelitian lanjutan
4 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Bab 2 – Timbunan Jalan dengan Mortar Busa 5
2
TIMBUNAN JALAN DENGAN MORTAR BUSA
2.1 Gambaran Umum Bahan timbunan ringan yang dimaksud adalah "foamed embankment
mortar" disebut juga sebagai 'high grade soil' karena mempunyai beberapa
keunggulan dan kegunaan secara optimal, sebagai berikut (Febrijanto,
2008):
1. Beratnya ringan dan kekuatan cukup tinggi untuk subgrade dan pondasi
perkerasan jalan, berat isi dan kuat tekan tanah campuran ini dapat
direncanakan sesuai keinginan sehingga dapat mengurangi tekanan
lateral tanah pada suatu struktur bangunan abutment pondasi
jembatan atau mengurangi berat timbunan.
2. Karena berupa campuran "foamed embankment", maka memiliki
perilaku tahan terhadap perubahan karakteristik propertis akibat
phisical atau chemical procees selama masa konstruksi pelaksanaannya
dan memiliki daya dukung kekuatan selama masa konstruksi
6 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
pelaksanaannya dan memiliki daya dukung kekuatan yang cukup
memadai sebagai pondasi perkerasan jalan.
Beberapa pemanfaatan bahan mortar busa digunakan untuk mengatasi
berbagai masalah geoteknik lainnya seperti untuk mengurangi tekanan
tanah akibat beban (vertical earth pressure) antara lain (Febrijanto, 2008):
1. Pada timbunan dibelakang konstruksi abutment jembatan (backfilling
material for bridge abutment)
2. Pada konstruksi stabilitas lereng dimana diperlukan lereng tegak (for
steel slope).
3. Pada timbunan diatas tanah sehingga diperoleh timbunan yang
beratnya relatif ringan dan tidak menimbulkan dampak tekanan tanah
akibat beban itu sendiri.
2.2 Penggunaan Mortar Busa yang Telah Digunakan di Jepang
Menurut Handayani (2007) disebutkan bahwa tanah yang dicampur dengan
foam telah banyak digunakan di Jepang sebagai pelebaran dan proyek
timbunan (back-filling). Dalam studi kasusnya, tanah kohesi dapat
diaplikasikan sebagai material campuran dengan foam, material tersebut
merupakan material setempat yang apabila dicampur dengan foam akan
mengembang hingga 4 (empat) kali volume awal sehingga kebutuhan
material tidak banyak dan pengadaan material timbunan tidak perlu
didatangkan dari lokasi lain. Keuntungan lain dari metode ini adalah nilai
berat isi dan kekuatan dapat direncanakan sesuai kebutuhan.
Berdasarkan kajian literatur JICA expert perihal pemanfaatan foam untuk
membentuk bahan timbunan jalan dengan mortar busa diperoleh kriteria-
kriteria sebagai berikut (Handayani, 2007):
Bab 2 – Timbunan Jalan dengan Mortar Busa 7
1. Mempunyai berat yang ringan sehingga nilai berat isi (density) dari
material campuran atau mortar tersebut mempunyai berat isi 5-12
kN/m³.
2. Mempunyai nilai flow (flowability), yang diindikasikan untuk
memudahkan pelaksanaan dilapangan bila menggunakan alat
penyemprot sehingga mencapai jarak yang ideal, nilai flow pada
umumnya berkisar 180±20 mm.
3. Mempunyai kemudahan pelaksanaan, yaitu mudah disemprotkan bila
menggunakan alat mesin penyemprot dan dapat memadat sendiri
karena berperilaku seperti mortar beton dimana material campuran
tersebut mengeras sesuai dengan waktu pemeraman (curring) yang
ditetapkan.
4. Mempunyai kuat tekan yang cukup tinggi sesuai untuk jenis konstruksi
penggunaannya, misalnya kuat tekannya dalam umur 14 hari mencapai
1000 kN.
Berikut pekerjaan mortar busa yang telah dilaksanakan di Jepang
(Handayani, 2007) :
1. Tomei Express Highway Construction Project (Shizuoka Pref.Japan),
Application Purpose. Lightweight Embanking For Steep Slope, Wet
Density 6 kn/M³, UCS Qu28 = 1,000 Kn/m³, Volume 4,000 m³.
2. Road Restoration Project After Noto Peninsula Earthquake Disaster
(Ishikawa Pref.Japan), Application Purpose. Rapid Embanking For Steep
Slope, Stable Embanking Against Disaster, Wet Density 5.3 & 5.8 Kn/m³,
UCS Qu28 = 500 & 800 Kn/m³, Volume 3,000m³.
3. Tohoku Central Highway Construction Project (Yamagata Pref.Japan),
Application Purpose Reduction Of The Earth Pressure Behind Bridge
Abutment, Wet Density 6 Kn/M³, UCS Qu28 = 1,000 Kn/M³, Volume
15,534 m³.
4. Project Name Haneda Tokyo Internasional Airport, New International
Terminal Area Preparation Project-Protection Of Underground Train
Tunnel Due To Embanking Work, Application Purpose. Reduction Of
8 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Increment Load By Filling Works, Wet Density = 11 Kn/m³, UCS Qu = 200
Kn/m³, Volume 32,220 m³.
2.3 Kriteria Kinerja Timbunan 2.3.1 Kriteria Stabilitas Timbunan Kriteria stabilitas mengikuti pedoman-pedoman perencanaan yang
menyebutkan bahwa untuk analisis stabilitas lereng timbunan digunakan
faktor keamanan (FK) ≥ 1,30. Kimpraswil (2002b) memberikan faktor
keamanan minimum untuk analisis stabilitas sebesar 1,40 untuk jalan kelas I
dan kelas II, dan faktor keamanan minimum sebesar 1,30 untuk jalan kelas
III.
Penentuan kriteria stabilitas timbunan ini terkait dengan pemilihan jenis
pengujian untuk mendapatkan parameter perencanaan serta pemilihan
metode analisisnya. DPU (2006) menyarankan, analisis tegangan total
dilakukan, apabila:
• Timbunan dengan tinggi ≤ 5 m dari tanah kohesif dengan koefisien
permeabilitas rendah, parameter kekuatan geser tanah
timbunannya ditentukan dengan cara uji triaksial UU.
Meningkatnya kekuatan akibat konsolidasi tidak diharapkan untuk
timbunan dengan tinggi hingga 5 m. dan analisis stabilitas dengan
metoda tegangan total.
• Timbunan dengan tinggi > 5 m dari tanah kohesif dengan koefisien
permeabilitas rendah, parameter kekuatan geser tanah
timbunannya ditentukan dengan cara uji triaksial CU.
• Timbunan dengan koefisien permeabilitas tinggi, parameter
kekuatan geser tanah timbunannya ditentukan dengan cara uji
triaksial CD.
Konstruksi-konstruksi timbunan di jalan tol Cipularang (2005) menggunakan
faktor keamanan minimum tanpa beban gempa untuk timbunan di Kelas
Bab 2 – Timbunan Jalan dengan Mortar Busa 9
Jalan I dan II, FK ≥ 1,30, dan Kelas Jalan III FK ≥ 1,25 (tidak ada hunian
sekitar). Analisis stabilitas jangka pendek tanah dasar lunak menggunakan
parameter kuat geser tanah tak teralirkan (undrained shear strength) dari
hasil pengujian triaksial UU atau CU. Analisis stabilitas jangka panjang tanah
dasar keras menggunakan parameter kuat geser tanah efektif dari hasil
pengujian triaksial CU atau CD. Besarnya beban lalu lintas yang diizinkan
untuk analisis timbunan di pada Tabel 2-1.
Tabel 2-1. Beban Lalu Lintas untuk Analisis Stabilitas (Kimpraswil, 2002b).
Kelas Jalan Beban Lalu lintas
(kPa)
I 15
II 12
III 12
2.3.2 Kriteria Deformasi pada Timbunan Jalan Kriteria deformasi (penurunan) selama masa konstruksi serta kecepatan
penurunan yang disyaratkan oleh Kimpraswil (2002b) dapat dilihat pada
Tabel 2-2.
Tabel 2-2. Kriteria Penurunan Timbunan (Kimpraswil, 2002b)
Kelas Jalan Penurunan Yang Disyaratkan Selama Masa Konstruksi, s/stot
Kecepatan Penurunan setelah Konstruksi (mm/tahun)
I > 90% < 20
II >85% < 25
III >80% < 30
IV >75% < 30
Kimpraswil (2002a) menjelaskan klasifikasi perencanaan jalan Kelas I sampai
IV dan besar volume Lalu-lintas Harian Rata-rata (LHR) di dalam Tabel 2-3.
10 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Klasifikasi Jalan Tipe II yang dimaksud adalah klasifikasi sebagian atau tanpa
pengaturan jalan masuk.
Tabel 2-3. Klasifikasi Perencanaan Jalan Tipe II (Kimpraswil, 2002a)
Fungsi LHR Kelas
Primer Arteri I
I
Kolektor ≥ 10.000≤ 10.000 II
Sekunder I
Arteri ≥ 20.000≤ 20.000 II
II
Kolektor ≥ 6.000≤ 6.000 III
III
Lokal ≥ 500 ≤ 500 IV
Kriteria penurunan tanah timbunan lainnya yang pernah diterapkan di
Indonesia adalah kriteria penurunan untuk jalan tol Cipularang (Djajaputra
dkk, 2005). Kritera tersebut mensyaratkan penurunan maksimum timbunan
jalan sebesar 10 cm untuk timbunan jalan dan 4 cm untuk timbunan oprit.
Berbeda dengan kriteria di Indonesia, SCDOT (2008) memberikan kriteria
penurunan total, penurunan diferensial dan laju penurunan pada kondisi
batas layan (serviceability Limit State, SLS) dan kondisi batas ekstrim
(extreme event limit state, EE) untuk kasus timbunan, pelebaran dan transisi
antara jembatan dan timbunan. Pada naskah ilmiah ini yang dibahas adalah
hanya untuk kasus timbunan. Kriteria SLS diperlihatkan pada Tabel 2-4
sedangkan kriteria EE disajikan pada Tabel 2-5 dan Tabel 2-6. Gambar 2-1
dan Gambar 2-2 merupakan ilustrasi penurunan timbunan pada arah
vertikal dan arah memanjang jalan untuk digunakan bersama dengan Tabel
2-4.
Kriteria penurunan dalam SCDOT (2008) dibuat berdasarkan kelas jalan
dengan memperhitungkan umur rencana minimum, penurunan vertikal
selama umur rencana, laju penurunan per tahun, serta penurunan
Bab 2 – Timbunan Jalan dengan Mortar Busa 11
diferensial vertikal maksimum. Kelas jalan tersebut dibagi menjadi tiga
klasifikasi yang disebut sebagai Roadway structure Operational
Classification (ROC). ROC dikembangkan khususnya untuk perencanaan
timbunan jalan dan struktur di sepanjang jalan bebas hambatan (highways).
Klasifikasi tersebut berhubungan langsung dengan klasifikasi operasional
jembatan atau Bridge Operational Classification (OC) dengan
menghubungkan jarak timbunan dan struktur terhadap jembatan.
Pembagiannya adalah sebagai berikut:
1. ROC I adalah timbunan jalan atau struktur (dinding penahan tanah, dll)
yang berlokasi 45,72 m dari jembatan dengan Kategori I (OC I), dinding
kaku dengan tinggi > 4,57 m dan dinding fleksibel dengan tinggi > 15,24
m.
2. ROC II adalah timbunan jalan atau struktur (dinding penahan tanah, dll)
yang berlokasi 45,72 m dari jembatan dengan Kategori II (OC = II).
3. ROC III adalah timbunan jalan atau struktur (dinding penahan, dll.) yang
berlokasi 45,72 m dari jembatan kategori III (OC = III) atau berlokasi
lebih jauh dari 45,72 m dari jembatan dengan mengabaikan klasifikasi
jembatannya.
SCDOT (2008) menjelaskan ketiga kategori yang disebutkan di atas sebagai
berikut:
1. Kategori I (OC I), adalah jembatan-jembatan standar antar wilayah
termasuk jembatan yang memenuhi kriteria sebagai:
- Struktur yang tidak memiliki akses putar balik (detour)
- Struktur dengan akses putar balik lebih panjang dari 40 km
- Struktur dengan umur rencana > 75 tahun
2. Kategori II (OC II), adalah jembatan-jembatan yang tidak termasuk ke
dalam Kategori I dan memenuhi kriteria:
- Lalu lintas Harian Rata-rata (LHR) diproyeksikan ≥ 500
- LHR diproyeksikan < 500, dengan panjang jembatan ≥ 55 m, atau
panjang bentang individual ≥ 18,3 m
3. Kategori III (OC III) adalah semua jembatan yang tidak termasuk ke
dalam Kategori I dan II.
12 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Jika dihubungkan dengan kriteria dari Kimpraswil (2002b) dan Dit. Bina
Marga (1992), maka jalan dengan SCDOT (2008) Kategori II adalah jalan
lokal dengan kelas jalan III dan IV dengan LHR ≥ 500 dan < 500. Dengan
demikian, jalan Kelas I dan II diasumsikan masuk ke dalam jalan Kategori I
berdasarkan SCDOT (2008).
Kriteria yang kedua yaitu penurunan minimum dan maksimum dalam arah
lateral dan vertikal badan jalan yang disyaratkan pada kondisi batas
ekstrimnya atau disebut juga sebagai Extreme Event I Limit State (EE- I)
seperti diperlihatkan pada Tabel 2-5 dan Tabel 2-6. Ilustrasi dari penjelasan
pada tabel-tabel tersebut dapat dilihat pada Gambar 2-1, Gambar 2-2, dan
Gambar 2-3.
Tabel 2-4. Kriteria Kinerja Timbunan Selama Masa Layan/Kondisi SLS (diadopsi dari
SCDOT, 2008)
ROC Deskripsi batasan kinerja Kondisi Batas Layan (Service Limit
State, SLS)
I (Jalan Kelas I dan Kelas II)
II (Jalan Kelas III dan Kelas IV)
III Arah penurunan
Umur Rencana Minimum (Tahun)
100 100 100
Penurunan vertikal (total) maksimum di sepanjang profil kelas jalan selama umur rencana timbunan, ΔV
(mm)
203.2 203.2 406.4
Laju penurunan per tahun setelah konstruksi perkerasan selesai (mm/tahun)
2.54 2.54 5.08
Longitudinal (memanjang)
Penurunan diferensial vertikal maksimum yang terjadi di sepanjang profil jalan setelah konstruksi perkerasan selesai. (milimeter per 15 m panjang longitudinal timbunan)
25.4
38.1 50.8
Bab 2 – Timbunan Jalan dengan Mortar Busa 13
Profil Grade (PG) untuk jalan tanpa median umumnya terletak di bagian
tengah jalan, sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 2-1. Gambar 2-1
merupakan potongan yang diambil dari Gambar 2-2 dalam arah melintang
jalan (potongan A-A). Penurunan yang dievaluasi adalah penurunan di
bagian tengah timbunan, dimana penurunan maksimum dan diferensial
maksimum umumnya terjadi.
Keterangan gambar: Δv adalah penurunan vertikal tanah asli
ΔVp adalah penurunan vertikal di satu profil jalan (roadway profile grade) pada arah melintang
timbunan
Gambar 2-1. Ilustrasi Penurunan (Potongan A-A) (SCDOT, 2008)
Keterangan gambar: Δv adalah penurunan vertikal tanah asli ΔVp adalah penurunan vertikal di profile grade timbunan pada penampang melintang tertentu L adalah jarak yang menunjukkan batas-batas untuk perhitungan penurunan diferensial, dalam hal ini yaitu sejarak L1 dan L2
Gambar 2-2. Profil Penurunan Timbunan (SCDOT, 2008)
14 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Kriteria kinerja berikutnya dari SCDOT (2008) adalah kriteria kinerja
timbunan pada kondisi terekstrim I atau Extreme Event I (EE I). Objektif dari
kriteria kinerja ini adalah hanya berdasarkan pada timbunan yang
mendukung perkerasan serta mempertahankan lalu-lintas kendaraan di jalan.
Tabel 2-5 memperlihatkan kriteria kinerja ketidakstabilan global timbunan
pada kondisi terekstrim I dan Gambar 2-3 adalah ilustrasi penurunan pada
arah vertikal dan lateral akibat ketidakstabilan global timbunan.
Tabel 2-5. Kriteria Kinerja Ketidakstabilan Timbunan pada Kondisi Terekstrim (EE I)
(diadopsi dari SCDOT, 2008)
ROC
Arah penurunan
Kinerja Kondisi Batas Ekstrim I (EE I
Limit State) Gempa Rencana
I (Jalan Kelas I
dan Kelas II)
II (Jalan
Kelas III dan
Kelas IV)
III
Untuk mempertahankan fungsi jalan
25.4 50.8 101.6 Deformasi vertikal maksimum pada bagian atas bidang keruntuhan lereng, ΔVTS (mm)
Untuk keselamatan pengguna jalan
50.8 101.6 203.2
Untuk mempertahankan fungsi jalan
25.4 50.8 101.6
Vertikal
Deformasi vertikal maksimum pada bagian bawah bidang keruntuhan lereng, ΔVBS (mm)
Untuk keselamatan pengguna jalan
50.8 101.6 203.2
Untuk mempertahankan fungsi jalan
76.2 152.4 609.6 Deformasi lateral maksimum pada bagian atas bidang keruntuhan lereng, ΔLTS (mm)
Untuk keselamatan pengguna jalan
101.6 304.8 1524
Untuk mempertahankan fungsi jalan
76.2 152.4 609.6
Lateral*
Deformasi lateral maksimum pada bagian bawah bidang keruntuhan, ΔLBS lereng (mm)
Untuk keselamatan pengguna jalan
101.6 304.8 1524
Ket: *) penurunan pada arah ketidakstabilan global timbunan
Bab 2 – Timbunan Jalan dengan Mortar Busa 15
Keterangan gambar: ΔVTS adalah pergerakan vertikal maksimum pada bagian atas bidang runtuh ΔVBS adalah pergerakan vertikal maksimum pada bagian bawah bidang runtuh ΔLTS adalah pergerakan lateral maksimum pada bagian atas bidang runtuh ΔLBS adalah pergerakan lateral maksimum pada bagian bawah bidang runtuh
Gambar 2-3. Ilustrasi Penurunan Vertikal dan Lateral Akibat Ketidakstabilan Global Timbunan
Tabel 2-6 memperlihatkan kriteria kinerja penurunan timbunan pada
kondisi terekstrim atau EE I.
Tabel 2-6. Kriteria Kinerja Penurunan Timbunan pada Kondisi Terekstrim (EE I) (diadopsi
dari SCDOT, 2008)
ROC
Arah penurunan
Kinerja Kondisi Batas Ekstrim I (EE I
Limit State) Gempa desain
I
(Jalan Kelas I
dan Kelas
II)
II
(Jalan Kelas III dan Kelas
IV)
III
Untuk mempertahankan fungsi jalan
25.4 38.1 50.8 Longitudinal (memanjang)
Penurunan diferensial vertikal maksimum pada arah memanjang badan jalan setelah konstruksi jalan selesai (mm per 15 m panjang longitudinal timbunan)
Untuk keselamatan pengguna jalan
50.8 76.2 101.6
16 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
2.3.3 Kriteria Deformasi pada Oprit Jembatan Penurunan yang disyaratkan untuk perencanaan lokasi transisi antara
jembatan dan timbunan yaitu penurunan diferensial vertikal antara ujung
abutment dengan ujung timbunan oprit jembatan. Kriteria penurunan yang
diberikan adalah dalam arah memanjang (longitudinal) pada kondisi batas
layan jalan (Serviceability Limit State, SLS) seperti yang diperlihatkan di
dalam Tabel 2-7.
Tabel 2-7. Kriteria Penurunan Dalam Arah Memanjang (Longitudinal) untuk Transisi
Badan Jalan/Jembatan Selama Masa Layan (diadopsi dari SCDOT, 2008)
Kelas Jalan
Arah penurunan Deskripsi batasan kinerja Kondisi Batas Layan (Service Limit State) I II III
Longitudinal (memanjang)
Penurunan diferensial vertikal antara ujung abutment dengan ujung oprit jembatan (mm).
*Ket:
Panjang slab terdekat oprit jembatan (Lslab) diukur dalam meter.
1.905 x Lslab
2.54 x Lslab
3.175 x Lslab
End Bent VAApporach Slab
Pavement
Gambar 2-4. Ilustrasi Penurunan pada Arah Memanjang Oprit Jembatan dan Timbunan (SCDOT, 2008)
Bab 2 – Timbunan Jalan dengan Mortar Busa 17
Tabel 2-8. Kriteria Penurunan pada Arah Memanjang pada Kondisi Terekstrim untuk Transisi Jembatan/Timbunan (SCDOT, 2008)
Kelas Jalan Arah penurunan
Kinerja Kondisi Batas Ekstrim I (EE I Limit
State) Gempa desain
I II III
Untuk mempertahankan fungsi jalan
0.075 Lslab
0.100 Lslab
0.125 Lslab
Longitudinal (memanjang)
Penurunan diferensial vertikal maksimum antara end bent dengan ujung oprit jembatan (mm). *Ket: Panjang slab terdekat oprit jembatan (Lslab) dalam satuan meter
Untuk keselamatan pengguna jalan
0.100 Lslab
0.200 Lslab
0.400
Lslab
Kriteria yang kedua yaitu penurunan minimum dan maksimum dalam arah
lateral dan vertikal memanjang jalan yang disyaratkan pada kondisi batas
ekstrimnya atau disebut juga sebagai Extreme Event I Limit State (EE- I)
seperti diperlihatkan pada Tabel 2-8.
2.3.4 Retakan pada Perkerasan Karena timbunan mortar busa menyerupai konstruksi perkerasan kaku
(rigid pevment), maka dalam kajian ini diulas mengenai jenis- jenis
kerusakan pada konstruksi perkerasan kaku.
Pada konstruksi perkerasan kaku, perkerasan tidak dibuat menerus
sepanjang jalan seperti halnya yang dilakukan pada perkerasan lentur. Hal
ini dilakukan untuk mencegah terjadinya pemuaian yang besar pada
permukaan perkerasan sehingga dapat menyebabkan retaknya perkerasan,
selain itu konstruksi seperti ini juga dilakukan untuk mencegah terjadinya
retak menerus pada perkerasan jika terjadi keretakan.
Kerusakan pada konstruksi permukaan jalan dapat disebabkan oleh
beberapa hal (BM,1983):
1. Lalu-lintas, yang dapat berupa peningkatan beban, dan repetisi beban.
18 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
2. Air, yang dapat berasal dari air hujan, sistem drainase jalan yang tidak
baik, naiknya air akibat sifat kapiler.
3. Material konstruksi perkerasan, dalam hal ini dapat disebabkan oleh
sifat material itu sendiri atau dapat pula disebabkan oleh sistem
pengolahan bahan yang tidak baik.
4. Iklim, suhu udara dan curah hujan yang tinggi dapat merusak
perkerasan jalan.
5. Kondisi tanah dasar yang tidak stabil, karena sifatnya memang jelek
atau karena sistem pelaksanaannya yang kurang baik.
6. Proses pemadatan lapisan-lapisan selain tanah dasar kurang baik.
7. Umumnya kerusakan-kerusakan yang timbul tidak disebabkan oleh
satu faktor saja, tetapi dapat berupa gabungan dari beberapa faktor
yang saling berhubungan.
Jenis kerusakan serta sifat dan tingkat kerusakan perkiraan berdasarkan
penyebab kerusakannya, dapat dilihat pada Tabel 2-9.
Tabel 2-9.Jenis Kerusakan pada Perkerasan Jalan dan Penyebabnya (BM,1983)
No Jenis Kerusakan
Bentuk
Sifat Tingkat Kerusakan Perkiraan Penyebab
Kerusakan 1 Retak halus • Lebar celah < 3 mm
• Penyebaran setempat dan meluas • Meresapkan air • Akan berkembang menjadi retak
buaya
• Bahan perkerasan kurang baik
• Pelapukan permukaan • Air/drainase kurang
baik • Tanah dasar/bagian
perkerasan di bawah lapis permukaan kurang stabil
2 Retak kulit buaya
• Lebar celah > 3mm • Saling berangkai membentuk
serangkaian kotak-kotak kecil yang menyerupai kulit buaya
• Meresapkan air • Akan berkembang menjadi lubang
akibat pelepasan butiran
• Bahan perkerasan kurang baik
• Pelapukan permukaan • Air / drainase kurang
baik • Tanah dasar/bagian
perkerasan dibawah lapisan permukaan kurang stabil
Bab 2 – Timbunan Jalan dengan Mortar Busa 19
No Jenis Kerusakan
Bentuk
Sifat Tingkat Kerusakan Perkiraan Penyebab
Kerusakan 3 Retak refleksi • Memanjang/diagonal/melintang
/kotak • Meresapkan air • Diikuti lepasnya butir pada tepi
retak sehingga kerusakan akan bertambah parah
• Pergerakan vertikal/horizontal di bawah lapis perkerasan sebagai akibat perubahan kadar air pada tanah dasar yang ekspansif
4 Alur • Berbentuk alur/parit yang sejajar as jalan dan terjadi pada lintasan roda
• Menampung dan meresapkan air • Mengurangi kenyamanan • Akan diikuti retak-retak
• Lapis perkerasan yang kurang padat
• Stabilitas perkerasan rendah sehingga terjadi deformasi plastis
5 Amblas • Setempat, dengan atau tanpa retak
• Kedalaman umumnya lebih 2 cm • Menampung dan meresapkan air • Berkembang menjadi lubang
• Beban/berat kendaraan yang berlebihan
• Pelaksanaan kurang baik
• Penurunan bagian perkerasan dikarenakan tanah dasar
Berdasarkan penyebab terjadinya kerusakan retak, dibagi menjadi 3 bagian
(Mamlouk, 2006):
1. Retak struktural (structural cracking)
Retak struktural yang disebut juga sebagai retak lelah (fatigue cracking)
adalah serangkaian retak memanjang dan saling berhubungan pada
permukaan jalan yang disebabkan oleh pembebanan yang berulang
dari roda kendaraan. Jenis retak ini umumnya dimulai sebagai retak
longitudinal pendek di jalan dan berkembang menjadi retak berpola
kulit buaya (retak saling berhubungan). Jenis retak ini terjadi karena
aksi lentur yang berulang pada perkerasan saat beban diberikan. Hal
ini menghasilkan tegangan tarik yang akhirnya membuat retak pada
bagian bawah lapisan aspal. Retak secara bertahap merambat ke bagian
atas lapisan dan kemudian berkembang dan saling berhubungan. Jenis
kerusakan ini akhirnya akan menyebabkan hilangnya integritas
struktural dari sistem perkerasan. Jenis retak struktural dapat dilihat
pada Gambar 2-5.
20 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Gambar 2-5. Retak Struktural
2. Retak melintang akibat suhu ( transverse thermal cracking)
Retak ini terjadi karena perubahan suhu pada material perkerasan
jalan. Karena material ini digerus berulang akibat gaya gesekan dengan
material lain, tegangan tarik berkembang dalam material perkerasan.
Jika tegangan tarik melebihi kekuatan tegangan tarik material, maka
retak thermal akan berkembang seperti Gambar 2-6. Retak thermal
biasanya terjadi dalam arah melintang dan tegak lurus dari arah arus
lalu lintas. Jenis retak ini biasanya memiliki jarak yang sama. Retak ini
adalah jenis retak yang tidak berhubungan dengan beban lalu lintas dan
retak ini dimulai saat musim dingin. Lebar retak thermal biasanya
mengalami perubahan dari musim panas ke musim dingin. Dalam
beberapa kasus, retak yang kecil dapat tertutup selama musim panas.
Dalam kasus lain, lebarnya retak meningkat dari tahun ke tahun. Jenis
retak melintang akibat suhu dapat dilihat pada Gambar 2-6.
Gambar 2-6. Retak Melintang Akibat Suhu
Bab 2 – Timbunan Jalan dengan Mortar Busa 21
3. Retak refleksi (reflection cracking)
Retak refleksi merupakan retak di bawah lapisan yang bisa terjadi
overlay. Retak refleksi sering terjadi di aspal overlay pada perkerasan
beton dan cement treated basis, biasanya terjadi ketika retak pada
lapisan aspal yang lama tidak benar diperbaiki sebelum di-overlay.
Retak refleksi memiliki beberapa bentuk tergantung pada pola retak di
lapisan bawahnya. Jenis retak refleksi dapat dilihat pada Gambar 2-7.
Gambar 2-7. Retak Refleksi (Reflection Craking)
Berdasarkan tingkat keparahan (MTC,1986),dibagi menjadi tiga bagian,
yaitu:
• Ringan (low), kerusakan yang ditandai dengan serangkaian retak halus
yang saling terhubung tanpa ada retakan yang pecah, terlihat pada
Gambar 2-8.
Gambar 2-8. Retak dengan Tingkat Keparahan Rendah
22 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
• Sedang (medium), kerusakan yang ditandai dengan serangkaian retak
yang terhubung membentuk kotak-kotak kecil dan pola retak sudah
cukup kelihatan jelas karena sudah terdapat retak yang mulai pecah,
dapat dilihat pada Gambar 2-9.
Gambar 2-9. Retak dengan Tingkat Keparahan Sedang
• Berat (high), kerusakan yang ditandai dengan serangkaian retak
menyerupai kulit buaya yang keseluruhan retaknya sudah pecah
sehingga jika dibiarkan dapat menyebabkan terjadinya alur bahkan
lubang pada jalan, dapat dilihat pada Gambar 2-10.
Gambar 2-10. Retak dengan Tingkat Keparahan Berat
Berdasarkan lokasi retak, NDLI (1995) membagi retak menjadi dua bagian,
yaitu:
• Retak pada tepi
Retak pada tepi ini sama halnya dengan edge break, retak ini terjadi
pada pertemuan tepi permukaan perkerasan dengan bahu jalan tanah
Bab 2 – Timbunan Jalan dengan Mortar Busa 23
(bahu tidak beraspal) atau juga pada tepi bahu jalan beraspal dengan
tanah sekitarnya.
• Retak pada lintasan roda (wheel path)
Retak yang terjadi pada lintasan roda (wheel path), yang umumnya
retak akibat pembebanan berulang dari kendaraan yang melintasi jalan
tersebut.
Berdasarkan cara berkembangnya, menurut Kuenne (2009) membagi
menjadi dua bagian, yaitu:
• Retak dari atas ke bawah (top-down cracking)
Top-down cracks (TDC) adalah retak memanjang dan atau melintang
yang dimulai pada permukaan perkerasan aspal dan berkembang ke
bawah. Menurut Kuenne (2009), retak ini biasanya terjadi akibat
segregasi campuran aspal dan sifat viscoelastic aspal sebagai pengikat
yang rentan terhadap perubahan suhu yang ekstrim.
• Retak dari bawah ke atas (bottom-up cracking)
Kuennen (2009) menyebutkan bahwa bottom-up cracking atau fatigue
cracking adalah hasil dari perkembangan tegangan pada lapis pondasi
perkerasan aspal yang menyebabkan lapis pondasi retak dan
merambat ke atas. Retak ini diakibatkan repetisi beban lalu lintas dan
bisa berupa kumpulan retak kecil yang saling berhubungan.
Menurut laporan akhir Handayani (2007), mengenai terjadinya retakan dan
sifat susut, pengamatan visual sifat fisik mortar busa:
• Material (mortar + foam) mengembang hanya pada saat proses
pencampuran
• Sifat susut:
Dimulai pada saat awal curing
Semua campuran menunjukan sifat susut
Campuran yang menggunakan material tanah cenderung memiliki
penyusutan yang lebih besar dibanding material pasir.
Terjadinya retak akan berkurang jika pada saat curing material
campuran ditutup (plastik) atau terlindungi dari pengaruh udara
24 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
secara langsung. Campuran yang menggunakan material pasir
walaupun tidak ditutup cenderung resisten akan terjadinya retak
dibanding material tanah.
Perlindungan dan perawatan pada perkerasan kaku menurut, Kimpraswil
(2004) sebagai berikut:
Setelah beton dicor dan dipadatkan, hingga berumur beberapa hari, beton
harus dilindungi terhadap kerusakan yang disebabkan oleh faktor
lingkungan.
a. Pencegahan retak susut plastis;
Retak susut plastis adalah retak yang terjadi pada permukaan beton
basah dan pada saat masih plastis. Penyebab utama dari retak tipe ini
adalah pengeringan permukaan beton yang terlalu cepat yang
dipengaruhi oleh kelembaban relatif, temperatur beton dan udara serta
kecepatan angin. Tingkat penguapan akan sangat tinggi bila
kelembaban relatif kecil, temperatur beton lebih tinggi dari temperatur
udara, dan bila angin bertiup pada permukaan beton. Bilamana terjadi
kombinasi panas, cuaca kering dan angin yang kencang akan
mengakibatkan hilangnya kelembaban yang lebih cepat dibandingkan
dengan pengisian kembali rongga oleh proses aliran air. Pengeringan
yang cepat juga terjadi pada cuaca dingin, jika temperatur beton pada
saat pengecoran adalah lebih tinggi dari pada temperatur udara.
Jika laju penguapan air lebih dari 1,0 kg/m2 per jam, pencegahan harus
dilakukan untuk menghindari terjadinya retak susut plastis.
Prosedur untuk meminimalkan retak akibat susut plastis :
- Buat pelindung angin untuk mengurangi pengaruh angin dan atau
sinar matahari terhadap permukaan beton semen
- Kendalikan perbedaan temperatur yang berlebihan antara beton
dan udara baik cuaca panas maupun dingin.
- Hindari keterlambatan penyelesaian akhir setelah pengecoran
beton.
Bab 2 – Timbunan Jalan dengan Mortar Busa 25
- Rencanakan waktu antara pengecoran dan permulaan perawatan
dengan memperhatikan prosedur pelaksanaan, apabila terjadi
keterlambatan, lindungi perkerasan kaku dengan penutup
sementara
- Lindungi perkerasan kaku selama beberapa jam pertama setelah
pengecoran dan pembuatan tekstur permukaan untuk
meminimalkan penguapan.
b. Perlindungan terhadap hujan;
Untuk melindungi perkerasan kaku belum berusia 12 jam, harus ditutup
dengan bahan seperti plastik, terpal atau bahan lain yang sesuai.
c. Perlindungan terhadap kerusakan permukaan.
Perkerasan harus dilindungi terhadap lalu-lintas umum dan proyek,
dengan pemasangan rambu lalu-lintas, penerangan lampu, penghalang,
dan lain sebagainya.
26 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
3
PEMBUATAN RENCANA CAMPURAN
(DESIGN MIX FORMULA) MORTAR BUSA
3.1 Umum Teknologi timbunan mortar busa yang dibahas adalah menggunakan
metode campuran rasio tertentu antara semen, foam dengan bahan
tanah/pasir. Material yang digunakan dapat merupakan material setempat
atau material yang diperoleh dari lokasi lain seperti pasir. Dengan
penambahan foam pada campuran mortar, maka material campuran akan
mengembang hingga sampai dengan 4 (empat) kali volume awal sehingga
kebutuhan material dapat dikurangi bila dibandingkan dengan material
tanpa campuran foam. Metode ini dimaksudkan untuk mendapatkan nilai
berat isi dan kekuatan dapat direncanakan sesuai kebutuhan.
Bab 3 – Pembuatan Rencana Campuran (Design Mix Formula) Mortar Busa 27
Pembuatan rancangan campuran diperoleh berdasarkan perhitungan
rancangan dan percobaan di laboratorim untuk mendapatkan komposisi
material campuran timbunan jalan dengan mortar busa, sehingga diperoleh
mortar busa yang sesuai dengan target yang diinginkan. Langkah – langkah
pembuatan desain campuran adalah dengan cara coba‐coba komposisi mix
design hingga mencapai kriteria yang disyaratkan.
Komposisi campuran adukan mortar yang akan dipergunakan harus sudah
diajukan paling lambat 30 hari sebelum pekerjaan pengadukan mortar
dimulai, lengkap dengan laporan analisis dan hasil pengujian.
3.2 Spesifikasi Timbunan Ringan dengan Mortar Busa
3.2.1 Persyaratan Bahan Selambat‐lambatnya 14 hari sebelum pencampuran material mortar busa
dimulai, penyedia jasa harus sudah mengajukan lokasi sumber dari bahan‐
bahan yang akan dipergunakan untuk pekerjaan adukan/campuran material
mortar busa. Pembatasan tersebut sudah mencakup survey quarry,
penelitian bahan‐bahan, mix design sampai mendapatkan job‐mix formula
untuk adukan/pencampuran material mortar busa yang akan dipergunakan.
A. Pasir
Pasir yang dimaksud adalah pasir alam (natrual sand), seperti pasir sungai,
pasir galian atau disebut sebagai pasir mortar berkualitas baik dan
memenuhi persyaratan umum/teknis serta persyaratan gradasi.
Pasir yang digunakan adalah pasir yang berkualitas baik dan memenuhi
persyaratan umum/teknis serta persyaratan gradasi ASTM C 33‐97 (1997)
pada Tabel 3‐1. Pasir harus mempunyai butiran‐butiran yang keras dan
awet (durable). Pasir tidak boleh mengandung lumpur, tanah liat dan
material‐material gembur/mudah hancur (clay lumps and friable particles)
28 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
lebih dari 3% (SNI 03‐6819‐2002). Harus bebas dari arang, benda‐benda dari
kayu serta kotoran‐kotoran lainnya yang tidak dikehendaki. Tidak boleh
mengandung terlalu banyak butir‐butir yang pipih (flat pieces) atau
berbentuk panjang (enlongated pieces) serta pecahan‐pecahan kulit kerang.
Bahan pencampur tidak diizinkan menggunakan abu batu. Pasir yang
diijinkan yaitu pasir dengan ukuran maksimum 4,75 mm lolos saringan no.4,
dapat dilihat pada Tabel 3‐1 dan Gambar 3‐1.
Tabel 3-1.Persyaratan Pasir (ASTM C 33-97, 1997)
Ukuran Saringan (ASTM) % Berat Lolos Saringan No.
Inc / No mm Minimum Maksimum
1 1/2" 12.7 100 100 2 3/8" 9.51 98 100
3 1/4" 6.35 96 100
4 No. 4 4.76 95 100
5 No. 8 2.36 80 100
6 No. 16 1.19 50 85
7 No. 30 0.595 25 60
8 No. 50 0.297 11 33
9 No. 100 0.149 4 15
10 No. 200 0.075 0 3
Gambar 3-1. Grafik Gradasi Batasan Pasir untuk Mortar Busa
Bab 3 – Pembuatan Rencana Campuran (Design Mix Formula) Mortar Busa 29
Gambar 3-2. Pasir, Lokasi Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah (dokumentasi pelaksanaan lapangan)
B. Air
Air yang digunakan dalam pekerjaan haruslah air bersih, tawar (pH air >
5,5), dan bebas dari minyak, bahan‐bahan organik atau bahan‐bahan/zat‐
zat lainnya. Besar kandungan sulfat dan chloride dalam air tersebut tidak
boleh melebihi batas‐batas yang telah ditentukan sesuai dengan spesifikasi
yang bisa merusak mutu dan kekuatan material mortar busa seperti yang
sudah ditentukan dan harus memenuhi ketentuaan yang di syaratkan dalam
SNI 06‐1140‐1989. Air adukan pada timbunan jalan menggunakan material
mortar busa tidak boleh mengandung butir‐butir zat padat lebih dari 0.20%
dan tidak boleh mengandung larutan garam lebih dari 1.5%.
C. Semen
Penyedia jasa harus mendapatkan hasil uji laboratorium dari pabriknya
selama waktu 3 (tiga) bulan terakhir, baik untuk semen secara zak maupun
semen secara curah (silo). Semen harus memenuhi SNI 15‐2049‐1994.
Setiap laporan bulanan harus jelas mencantumkan deviasi rata‐rata dan
deviasi standar untuk semua hasil pengujian seperti yang telah ditetapkan
dalam ASTM C 150 – 07. (2007) mengenai spesifikasi untuk semen P.C. tipe I
dan V dan ASTM C 595 – 09. (2009) untuk semen P.C. tipe IP (Portlant
Pozzolan Cement) atau sesuai SNI 15 7064‐2004, termasuk analisis kimiawi
dan fisik. Ahli atau yang mewakili bilamana perlu mengambil contoh semen
P.C. yang masih segar untuk diuji apakah hasilnya sama dengan hasil dari
pabriknya.
30 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Semen P.C. yang akan dipergunakan harus memenuhi persyaratan yang
ditetapkan dalam ASTM C 150‐07 (2007) untuk semen tipe I (slab) dan
semen tipe V (Pipa Cakar Ayam) dan ASTM C 595‐09 (2009) untuk semen
tipe IP. Dalam hal ini Penyedia jasa harus mendapatkan laporan bulanan
mengenai hasil uji kimiawi dan fisik dari pabrik yang memproduksinya. Di
samping itu tiap minggu Penyedia jasa harus melaksanakan pengujian
terhadap semen P.C. yang akan dipergunakan di laboratorium lapangan
dengan jenis pengujian sebagai berikut:
- Specific Grafity dari semen PC.
- Kehalusan dari semen PC dengan mempergunakan air permeability
apparatus (ASTM C 204 ‐ 11. 2011).
- Lamanya waktu pengikatan dari semen PC dengan vicat needle (ASTM C
191‐04, 2004).
- Compressive strength dari mortar semen PC
Dalam hal dipergunakan semen curah dalam silo, maka pada saat akan
dipergunakan dalam adukan mortar, temperatur semen tersebut tidak
boleh lebih dari 700C. Penyedia jasa harus betul‐betul memperhatikan
temperatur semen yang dikirim dari pabriknya. Untuk ini Penyedia jasa
diminta melengkapi dengan metal thermometer pada silo‐silo penyimpanan
semen PC.
D. Material Agent
Cairan pembentuk foam untuk mendapatkan campuran mortar dengan
berat isi yang ringan dan dapat didesain sesuai rencana. Senyawa kimia
dominan yang teridentifikasi dalam cairan pembentuk foam, yaitu 1‐
Dodecanol, Methoxyacetic gcid tridecyl ester dan 1‐Tetradecanol. Cairan
foam atau dapat disebut cairan surfactant, memiliki karakteristik fisik dan
kimia yang hampir sama seperti air, dapat dilihat pada Gambar 3‐3.
Bab 3 – Pembuatan Rencana Campuran (Design Mix Formula) Mortar Busa 31
Gambar 3-3. Foam Agent (dokumentasi lapangan)
3.2.2 Persyaratan Kuat Tekan dan Berat Isi Mortar Busa
Spesifikasi fisik material ringan harus sesuai dengan Tabel 3‐2 dan Tabel 3‐
3. Tabel 3-2. Kekuatan Tekan Minimum Mortar Busa Lapis Pondasi Atas (Kemen.PU, 2011)
Umur Pemeraman
(hari)
Kekuatan Tekan Minimum (UCS) (kPa)
Maks. Berat Isi (Densitas) (t/m3)
3 7 14
1750 1900 2000
0.8
Tabel 3-3. Kekuatan Tekan Minimum Mortar Busa Lapis Pondasi Bawah (Kemen.PU, 2011)
Umur Pemeraman
(hari)
Kekuatan Tekan Minimum (UCS) (kPa)
Maks. Berat Isi (Densitas) (t/m3)
3 7 14
600 750 800
0.6
32 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
3.3 Prosedur Pembuatan Rencana Campuran Mortar Busa
Prosedur pembuatan rencana campuran mortar busa dapat dilihat pada
Gambar 3‐4. Setelah pembuatan rencana campuran mortar busa, maka
dilakukan penghamparan percobaan dilapangan sesuai dengan spesifikasi.
Jika percobaan tersebut gagal memenuhi spesifikasi pada salah satu
persyaratan maka dilakukan penyesuaian dan percobaan kembali hingga
memenuhi spesifikasi. Campuran yang sesuai spesifikasi dijadikan acuan
untuk pelaksanaan pekerjaan timbunan badan jalan dengan mortar busa.
Bab 3 – Pembuatan Rencana Campuran (Design Mix Formula) Mortar Busa 33
Persiapan foam (cairan foam+air)
Pembuatan foam(compressor : 0,6 Mpa
Mesin pembuat foam : 0,2 Mpa)
Periksa berat isi foam(compressor : 0,6 Mpa
(standar 0,04±0,005 (t/m3)
Persiapan material campuan(semen+tanah+air)
Pembuatan bahan uji(variasi komposisi material sesuai
dengan pertimbangan
Dicampur dengan mixer(pasir : air + semen + pasir)
(tanah : air + tanah + semen)
Periksa ada tidaknyagumpalan
Pencampuran materialdengan foam
Check quality(densitas, flow)
Pembentukan benda uji(mol : Ø 15 x 30 cm)
curing
Cek Uji Tekan Bebas
Standar : dalam kondisi 10 litermemerlukan adukan
selama 50 detik
Mulai
Persiapan Bahan
Selesai
Tidak
Ya
Gambar 3-4. Prosedur Pembuatan Rencana Campuran Mortar Busa
Berdasarkan percobaan pencampuran, menurut Handayani (2007), sebagai
berikut:
34 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
1. Semua jenis material atau bahan timbunan jalan pada prinsipnya dapat
dijadikan bahan campuran dengan foam dan direncanakan sesuai
kebutuhan. Penggunaan material setempat untuk timbunan mortar
busa sangatlah mungkin dan hal ini dapat mengurangi biaya pekerjaan
timbunan jika dibandingkan dengan mendatangkan tanah dari lokasi
quarry yang lokasinya relatif jauh.
2. Berdasarkan hasil percobaan pencampuran bahan timbunan mortar
busa, komposisi yang paling efisien dalam mencapai nilai target adalah
komposisi campuran pasir dan semen 1:1 dan komposisi campuran
tanah dan semen 1:2.
3.3.1 Pembuatan Busa (foam) Campuran Foam dengan Air
Bahan pembuat busa adalah cairan busa (foam agent) dengan air. Untuk
mengetahui komposisi senyawa kimia penyusun cairan busa maka terlebih
dahulu dilakukan pengujian GC‐MS, yaitu pengujian yang menggunakan alat
Gas Chromatograph untuk menganalisis komposisi unsur Karbon (C) dari
benda uji, baik yang berupa gas ataupun cairan (oil atau condensate). Dari
pengujian tersebut diketahui bahwa senyawa kimia dominan yang
teridentifikasi dalam cairan pembentuk busa adalah 1‐Dodecanol,
Methoxyacetic gcid tridecyl ester dan 1‐Tetradecanol. Untuk membuat busa
dilakukan pencampuran cairan busa dan air dengan menggunakan foam
generator dan compresor. Setelah busa terbentuk dilakukan pemeriksaan
berat isinya (standar 0,04 ± 0,005 t/m3) dan cukup dilakukan 1 kali dalam
tiap pencampuran.
• Untuk job mix awal, timbang agregat, semen dan air diambil
perbandingan agregat sebesar 1:1, air sebanyak 0,5 dari berat semen.
• Ukur foam dan air dengan perbandingan 1:25, pengukuran dilakukan
dengan menggunakan gelas ukur, dapat dilihat pada Gambar 3‐5.
Bab 3 – Pembuatan Rencana Campuran (Design Mix Formula) Mortar Busa 35
Gambar 3-5. Pengukuran Kebutuhan Foam dengan Gelas Ukur (dokumentasi pelaksanaan di
laboratorium)
• Hubungkan compressor dengan foam generator, dapat dilihat pada
Gambar 3‐6.
Gambar 3-6. Compressor yang Dihubungkan dengan Foam Generator (dokumentasi
pelaksanaan di laboratorium)
• Campurkan foam dan air di dalam ember, lalu masukkan ke foam
generator, dengan tekanan 10 bar, dapat dilihat pada Gambar 3‐7.
36 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Gambar 3-7. Pencampuran Foam dan Air dengan Tekanan 10 bar (dokumentasi pelaksanaan di
laboratorium)
Pastikan campuran foam dan air sudah tercampur sempurna, dapat dilihat
pada Gambar 3‐8 .
Gambar 3-8. Foam yang telah Dicampur dengan Air (dokumentasi pelaksanaan di laboratorium)
3.3.2 Pembuatan Material Campuran (Campuran Foam, Semen, dan Pasir)
Material campuran terdiri dari semen, pasir, dan air, semua material
dicampur menggunakan hand mixer dan dengan variasi komposisi material
sesuai dengan perhitungan. Hal ini dimaksudkan agar bisa diperoleh
Bab 3 – Pembuatan Rencana Campuran (Design Mix Formula) Mortar Busa 37
spesifikasi material ringan dengan mortar busa yang dikehendaki.
Campuran tersebut harus diperiksa dari adanya gumpalan.
• Untuk job mix awal campuran foam, semen dan pasir diambil
perbandingan berat: berat semen + agregat sebesar 1,2 : 1 timbang
hasil campuran foam sesuai dengan job mix yang direncanakan. dapat
dilihat pada Gambar 3‐9.
Gambar 3-9. Penimbangan Semen untuk Rencana Campuran Awal (dokumentasi pelaksanaan di laboratorium)
• Masukkan agregat dan semen ke dalam bejana mixer, lalu diaduk
dengan mixer selama ± 2 menit.
• Masukan campuran foam ke dalam bejana mixer yang telah terisi
campuran tersebut, lalu aduk lagi selama ± 2 menit, dan pastikan telah
tercampur sempurna, dapat dilihat pada Gambar 3‐10.
Gambar 3-10. Pencampuran Foam, Semen dan Pasir Kedalam Bejana (dokumentasi pelaksanaan
di laboratorium)
38 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
3.3.3 Pengujian Berat Isi (densitas) Mortar dan Flow
Pengujian berat isi material campuran yang telah dicampur dengan busa
dilakukan sesaat setelah proses pencampuran. Pengujian nilai flow material
mortar busa dilakukan dalam kondisi segar. Bahan tersebut dituangkan ke
dalam flow cone hingga batas atasnya, kemudian flow cone diangkat
perlahan hingga sampel mengalir dan menyebar, lalu hitung diameternya
setelah 1 menit kemudian, diamater hasil flow 180mm ± 2mm, Pengecekan
flow sebagai berikut :
• Masukkan hasil campuran tersebut ke dalam silinder di atas bidang
yang rata dan timbang beratnya untuk mengetahui berat isi mortar.
• Angkat silindernya dan ukur diameter alirannya untuk mengetahui nilai
flow‐nya.
• Harus memenuhi nilai flow 18 ± 2 cm, dapat dilihat pada Gambar 3‐11.
Gambar 3-11. Pengujian Flow untuk Mortar Busa (dokumentasi pelaksanaan di laboratorium)
3.3.4 Pembuatan dan Pengujian Benda Uji Persiapkan terlebih dahulu cetakan mould mortar (diameter 15cm x tinggi
30cm), setelah itu tuang material campuran dengan busa kedalam cetakan
tersebut sampai penuh. Beri tanda pada setiap benda uji agar mudah dalam
mengindentifikasinya. Buka cetakan setelah benda uji telah mengeras.
Bab 3 – Pembuatan Rencana Campuran (Design Mix Formula) Mortar Busa 39
• Masukkan mortar ke dalam mould silinder sesuai dengan kebutuhan
(dengan minimal benda uji 3 buah untuk setiap pengujian uji tekan 3
hari, 7 hari, 14 hari).
• Beri label pada setiap mould silinder dan setiap pengujian, dapat dilihat
pada Gambar 3‐12.
Gambar 3-12. Contoh Mortar Busa untuk Pengujian Uji Tekan Bebas (dokumentasi pelaksanaan
di laboratorium) • Buka benda uji di dalam mould silinder setelah 1 hari, dan dilakukan
proses perawatan (curing). Pada proses perawatan benda uji dibungkus
dengan menggunakan plastik, hal ini dimaksudkan agar benda uji dapat
terhindar dari kontaminasi udara bebas sehingga proses oksidasi dapat
dicegah.
• Timbang benda uji dan hitung densitasnya.
• Lakukan pengujian tekan bebas pada waktu yang telah ditentukan (3
hari, 7 hari, 14 hari).
• Lakukan uji kadar air dengan contoh benda uji yang telah diuji tekan
bebas.
• Periksa apakah nilai pengujiannya telah masuk ke dalam spesifikasi.
Untuk UCS 800, nilai kuat tekan minimum adalah 800 kPa dengan nilai
densitas maksimum 0,6 t/m3, sedangkan untuk UCS 2000, nilai kuat
tekan minimum adalah 2000 kPa dengan nilai densitas maksimum 0,8
t/m3. Apabila kuat tekannya lebih rendah, dapat diatasi dengan
menambah jumlah semen, dan bila densitasnya lebih tinggi dari
40 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
spesifikasi dapat kurangi dengan menambah jumlah foam atau
mengurangi volume agregat yang digunakan.
3.3.5 Perawatan Benda Uji (Curing) Setelah cetakan dibuka perlu dilakukan proses perawatan (curing) agar
benda uji tidak mengalami kerusakan. Pada proses perawatan benda uji
dibungkus dengan menggunakan plastik, hal ini dimaksudkan agar benda uji
dapat terhindar dari kontaminasi udara bebas sehingga proses oksidasi
dapat dicegah. Perawatan benda uji dilakukan sesuai SNI 03‐4810‐1998.
3.3.6 Pengujian Berat Isi dan Kuat Tekan Bebas, Unconfined Compressive Strength (UCS)
Pengujian berat isi mortar busa dilakukan sebelum melakukan pengujian uji
tekan bebas, dengan cara menimbang benda uji dan menghitung
densitasnya.
Pengujian uji tekan bebas harus sesuai SNI 03‐3838‐1994. Pengujian ini
dilakukan untuk mengetahui nilai UCS benda uji. Nilai UCS harus memenuhi
peryaratan mortar busa. Jika nilai UCS benda uji sudah sesuai dengan yang
dikehendaki maka komposisi material benda uji tersebut bisa digunakan
sebagai dasar untuk melakukan produksi yang lebih banyak. Apabila nilai
UCS‐nya tidak sesuai maka proses trial mix mortar busa yang dilakukan
harus diulang dari awal dan dilakukan dengan komposisi material yang
berbeda. Lakukan pengujian tekan bebas (UCS) pada waktu yang telah
ditentukan (3hari, 7hari, dan 14hari), dapat dilihat pada Gambar 3‐13.
Bab 3 – Pembuatan Rencana Campuran (Design Mix Formula) Mortar Busa 41
Gambar 3-13. Pengujian UCS di Laboratorium (dokumentasi pelaksanaan lapangan)
Lakukan uji kadar air dengan sampel
yang telah diuji tekan, dapat dilihat
pada Gambar 3‐14.
Gambar 3-14. Pengujian Uji Kadar Air (dokumentasi foto pelaksanaan di laboratorium)
Periksa apakah nilai pengujiannya telah masuk ke dalam spesifikasi sesuai
Tabel 3‐2 dan Tabel 3‐3. Apabila kuat tekannya lebih rendah, dapat diatasi
dengan menambah jumlah semen, dan bila berat isinya lebih tinggi dari
spesifikasi dapat kurangi dengan menambah jumlah foam atau mengurangi
volume agregat yang digunakan
Jika percobaan tidak memenuhi spesifikasi pada salah satu persyaratan
maka dilakukan penyesuaian dan percobaan kembali hingga memenuhi
spesifikasi. Campuran yang sesuai spesifikasi dijadikan acuan untuk
pelaksanaan pekerjaan timbunan konstruksi jalan dengan mortar busa.
42 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
4
METODE KONSTRUKSI TIMBUNAN RINGAN DENGAN
MORTAR BUSA
4.1 Persyaratan Peralatan Peralatan dan alat‐alat lainnya yang akan dipergunakan untuk menangani
bahan‐bahan dan melakukan semua bagian dari pekerjaan, terlebih dahulu
harus disetujui oleh Ahli, seperti: design, kapasitas, dan keadaan
mekaniknya. Peralatan harus ada di lokasi pekerjaan sebelum dimulainya
operasi konstruksi. Hal ini diperlukan untuk pemeriksaan dan persetujuan.
4.1.1 Mixers Pada prinsipnya pekerjaan pengadukan mortar yang akan dilaksanakan
harus diaduk di suatu central mixing plant (stationary mixer) type wet‐mix
yang dilengkapi alat penimbang, alat pengontrol kelembaban dan kadar air
Bab 4 – Metode Konstruksi Timbunan Ringan dengan Mortar Busa 43
agregat serta alat pengontrol lainnya yang memenuhi persyaratan sesuai
dengan spesifikasi ASTM C 94 – 94. (1994).
Sebelum dipesan/dipasang di central mixing plant baik merk maupun
kapasitasnya harus disetujui oleh Ahli terlebih dahulu. Bilamana penyedia
jasa akan mempergunakannya alat pengaduk jenis truck mixer atau transit
mixer, baik untuk keseluruhan adukan (truck mixed mortar), maka Penyedia
jasa harus mendapatkan izin tertulis terlebih dahulu dari Ahli.
Stationary mixer oleh pabrik pembuatnya harus sudah dicantumkan papan
logam yang memuat informasi tentang kapasitas drum pengaduk,
kecepatan rotasi drum pengaduk dan sirip‐sirip pengaduk, dapat dilihat
pada Gambar 4‐1.
Gambar 4-1. Box Mixer Kapasitas 1m³ (dokumentasi pelaksanaan lapangan)
4.1.2 Mortar Pump (Pompa Mortar) Yaitu mesin pompa untuk memompa adukan mortar basah ke titik
pengecoran apabila tidak bisa dijangkau oleh truck mixer tersebut. Merk,
tipe maupun kapasitasnya harus disetujui oleh Ahli terlebih dahulu, dapat
dilihat pada Gambar 4‐2.
44 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Gambar 4-2.Mortar Pump (dokumentasi pelaksanaan lapangan)
4.1.3 Peralatan Lain Pembentuk Foam Peralatan pembuat foam terdiri dari compressor dan mesin pembuat
foamnya itu sendiri. Kapasitas dari kedua alat tersebut yaitu:
1. Compressor : 0,6 MPa
2. Mesin pembuat Foam : 0,2 MPa
4.2 Tahapan Konstruksi Tahapan pelaksanaan konstruksi timbunan ringan dengan mortar busa,
sebagai berikut:
4.2.1 Persiapan Kerja Penyiapan kondisi lapangan yaitu meliputi kebersihan lahan dan
pembuatan lantai kerja atau lean concrete, serta semua peralatan dan
operator sudah siap.
Bab 4 – Metode Konstruksi Timbunan Ringan dengan Mortar Busa 45
4.2.2 Pemasangan Anyaman Baja (Wire Mesh) Pada timbunan jalan menggunakan mortar busa yang menggunakan
anyaman baja, lebar dan panjang anyaman baja harus di atur sedemikian
rupa sehingga pada saat dipasang, anyaman baja tersebut tepat pada
posisinya dan tidak bergeser, ukuran anyaman baja,dapat dilihat pada
Gambar 4‐3.
10 cm
10 cm
Gambar 4-3. Ukuran Pemasangan Anyaman Baja
Apabila mortar busa dilakukan dengan dua kali pengecoran, maka
permukaan lapis pertama harus rata dan terletak pada kedalaman tidak
kurang dari 5 cm di bawah permukaan akhir mortar busa. Anyaman
ditempatkan di atas lapis pertama pengecoran. Penghamparan lapisan
pertama harus mencakup seluruh lebar pengecoran dengan panjang yang
cukup untuk memungkinkan agar anyaman dapat di gelar pada posisi akhir
tanpa kelebihan anyaman. Untuk mencegah anyaman bergeser maka
lembar anyaman yang berdampingan harus di ikat kuat. Pengecoran lapisan
selanjutnya, campuran dituang diatas anyaman baja. Untuk jangka waktu
tertentu permukaan lapisan pertama tidak boleh di biarkan terbuka lebih
dari 30 menit. Penghamparan anyaman baja dapat dilihat pada Gambar 4‐4.
46 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Gambar 4-4. Anyaman Baja yang Telah Terhampar (dokumentasi pelaksanaan lapangan)
4.2.3 Pemasangan Bekisting Papan‐papan cetakan atau bekisting dibentuk dengan baik harus dipasang
tegak dan lurus dalam arti tidak berbelok‐belok sesuai dengan dimensi yang
direncanakan, agar tegak lurus dilakukan pengukuran dengan bantuan alat
waterpass. Papan‐papan tersebut harus kokoh sehingga tidak mudah
berubah tempat, miring atau melengkung bila pengecoran telah di mulai.
Kebersihan dalam bekisting diperiksa sebelum penuangan mortar busa.
Papan cetakan harus dipasang secara rapi berdasarkan bentuk timbunan
ringan yang akan di cor. Bekisting dipasang sesuai persyaratan. Tinggi papan
cetakan dipasang melebihi tinggi mortar busa yang akan dituang.
Sambungan pada bekisting harus merupakan garis lurus serta sambungan
harus rapat sehingga tidak terjadi kebocoran. Untuk bekisting pada
abutment harus ditunjang dengan tiang yang kuat untuk menyangga papan
cetakan. Bekisting dibuat sesuai kemampuan mortar busa yang dihasilkan,
terlihat pada Gambar 4‐5 untuk kebutuhan 1m³.
Bab 4 – Metode Konstruksi Timbunan Ringan dengan Mortar Busa 47
Gambar 4-5. Pemasangan Bekisting (dokumentasi pelaksanaan lapangan)
4.2.4 Penuangan (Pengecoran) Campuran mortar busa harus dicor dengan menuangkan mortar busa dari
alat pengangkut sesuai dengan batas bekisting. Tata cara pencampuran
sesuai dengan tata cara pengadukan dan pengecoran beton, sesuai SNI 03‐
3976‐1995.
Mortar busa harus dihampar dengan takaran yang cukup untuk mengecor
seluruh lebar mortar busa yang bekerjanya sedemikian rupa sehingga tidak
akan timbul segregasi atau pemisahan material‐material pembentuk mortar
busa sendiri. Level permukaan harus diawasi dari bekisting samping dan
harus diatur pada kemiringan yang betul sesuai dengan ketentuan yang
tertera dalam gambar rencana.
Pengecoran dapat juga dilakukan dengan mesin pompa (Mortar pump)
untuk memompa campuran mortar busa basah ke lokasi pengecoran,
apabila tidak bisa dijangkau oleh truck mixer dan harus dijaga untuk tidak
menimbulkan segregasi atau pemisahan material pembentuk mortar busa
sendiri.
Tinggi jatuh pelaksanaan pengecoran tidak boleh lebih dari 1,5 meter, jika
harus menggunakan pipa atau trimie, untuk menghindari hasil pelaksanaan
48 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
pengecoran terjadi buih yang terlalu besar, yang akan mengakibatkan
segresi atau penurunan hasil pengecoran sehingga keroposnya permukaan
atas hasil pengecoran. Pelaksanaan pengecoran ke dalam bekisting dapat
dilihat pada Gambar 4‐6.
Gambar 4-6. Tahapan Pengecoran (dokumentasi pelaksanaan lapangan)
4.2.5 Perataan Setelah material ringan dengan mortar busa dihamparkan, permukaan
material ringan harus diratakan dan dirapihkan dengan alat perata, seperti
dapat dilihat pada Gambar 4‐7.
Gambar 4-7. Perataan Mortar Busa (dokumentasi pelaksanaan lapangan)
Bab 4 – Metode Konstruksi Timbunan Ringan dengan Mortar Busa 49
4.2.6 Perawatan (Curing) Mortar busa yang telah selesai dicor segera ditutup dengan bahan penutup
(terpal, plastik tebal) agar tidak terjadi penguapan yang berlebihan untuk
menghindari retakan. Lahan yang akan dicor harus ditutup agar tidak
terkena sinar matahari secara langsung, hujan atau angin, dapat dilihat
pada Gambar 4‐8.
Gambar 4-8. Terpal Penutup Mortar Busa Terpasang (dokumentasi pelaksanaan lapangan)
4.2.7 Pembukaan Bekisting Cetakan tidak boleh dibuka dari saat mortar busa di cor sampai finial setting
time atau di hitung 24 jam. Bekisting harus dibuka secara hati‐hati untuk
menghindari kerusakan pada mortar busa.
4.2.8 Sambungan Pengecoran (Construction Joint) 1. Umum
Pada pembangunan jalan, runway, taxiway dan apron tidak
dipergunakan dummy‐joint lagi, sehingga yang ada hanya “construction
joint” (sambungan pengecoran) saja, baik sambungan pengecoran
antara konstruksi yang baru dengan dengan yang lama, baik sambungan
pengecoran ke arah melintang maupun memanjang.
50 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
2. Sistem Pengecoran
Apabila tersedia cukup waktu maka pengecoran dapat dilaksanakan
sebagai berikut :
Sistem pengecoran dilakukan dapat dilakukan secara bertahap dengan
ketebalan maksimum 1 meter dan lebar sesuai lebar jalan yang akan
digunakan konstruksi mortar busa, demikian selanjutnya sampai
mencapai ujung konstruksi perkerasan yang direncanakan.
3. Daerah‐daerah yang belum dicor ini akan dicor kemudian bilamana
slab‐slab di kanan dan kirinya atau di belakang dan di depannya yang
akan disambung telah mencapai umur rencana dengan maksud untuk
memberi kesempatan agar slab yang dicor itu telah selesai atau hampir
selesai mengalami penyusutan.
4. Rencana pengecoran dan penyiapan papan‐papan cetakan atau
pembatas. Paling tidak 7 hari sebelum pengecoran Penyedia jasa harus
sudah menyampaikan rencana pengecoran berikut gambar sketsa
mengenai letak bagian‐bagian yang akan dicor beserta urut‐urutan
pengecorannya. Bila rencana pengecoran ini telah disetujui Ahli, maka
Penyedia jasa bisa mulai menyiapkan tempat yang akan dicor sesuai
urut‐urutannya yang meliputi:
‐ Kesiapan lantai kerja
‐ Pembesian sesuai dengan gambar kerja.
Papan‐papan cetakan yang merupakan pembatas daerah pengecoran,
dimana papan‐papan cetakan ini harus dipasang tegak dan lurus dalam
arti kata tidak berbelok‐belok serta kokoh, sehingga tidak mudah
berubah tempat, miring atau melengkung bila pengecoran telah dimulai
atau terinjak.
5. Pengecoran tahap selanjutnya
Yang dimaksud dengan pengecoran tahap selanjutnya disini adalah
pengecoran bagian‐bagian yang belum dicor akibat diloncati atau dapat
dikatakan pengecoran sambungan antara dua mortar yang telah dicor
terlebih dahulu pada pengecoran tahap sebelumnya.
Bab 4 – Metode Konstruksi Timbunan Ringan dengan Mortar Busa 51
6. Seperti telah diterangkan di atas bahwa pengecoran sambungan‐
sambungan ini baru bisa dimulai bilamana mortar yang akan disambung
telah berumur lebih dari umur rencana atau mencapai nilai kuat tekan
optimum 14 hari. Sebelum pengecoran tahap selanjutnya ini dimulai,
maka tempat‐tempat yang akan dicor harus telah diperiksa terlebih
dahulu atas kesiapannya, terutama mengenai:
a. Permukaan sisi tegak dari ujung mortar pengecoran tahap
sebelumnya yang akan disambung. Permukaan sisi tegak ini harus
merupakan bidang tegak yang rapi dan lurus. Bila ada sisa‐sisa
pengecoran tahap sebelumnya harus dibongkar (dibeitel) sehingga
memperoleh bidang tegak rapi.
b. Kebersihan tempat yang akan dicor. Tempat ini harus bebas atau
bersih dari sisa‐sisa pembongkaran atau puing‐puing mortar,
barang‐barang yang tidak dikehendaki serta kotoran‐kotoran
lainnya.
c. Pembesian anyaman baja (wire mesh) harus sudah sesuai dengan
gambar desain, terpasang kokoh dengan ganjal‐ganjal (spacer) yang
kuat sehingga tidak mudah melengkung bila terinjak orang dan
tidak mudah tergeser pada waktu proses pengecoran.
4.2.9 Pembukaan untuk Lalu Lintas 1. Pembukaan timbunan jalan menggunakan mortar busa untuk lalu lintas
umum harus ditentukan terlebih dahulu oleh Ahli. Lalu lintas umum
dapat dibuka kurang lebih 14 hari setelah timbunan jalan menggunakan
mortar busa terpasang. Bila kekuatan timbunan jalan menggunakan
mortar busa tersebut telah mencapai kekuatan tekan minimum 2000
kPa untuk Lapis Pondasi Atas (lapisan dengan tebal 30 cm di bawah
lapisan aspal) dan kekuatan tekan minimum 800 kPa untuk Lapis
Pondasi Bawah (lapisan di bawah Lapis Pondasi Atas), sebelum 14 hari
maka jalan/daerah tersebut bisa dibuka untuk lalu lintas umum.
52 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
2. Sebelum dibuka untuk lalu‐lintas umum, maka daerah/jalur tersebut
harus dibersihkan lebih dahulu dari kotoran‐kotoran yang menempel
(tanah, dsb.) kotoran‐kotoran lepas dan debu.
3. Bilamana timbunan jalan menggunakan mortar busa belum mencapai
umur/kekuatan tersebut diatas, kendaraan proyek yang berhubungan
dengan tugasnya harus melewati timbunan jalan menggunakan mortar
busa tersebut, maka terlebih dahulu harus ada izin khusus dari Ahli.
4.3 Pengendalian Mutu Pengendalian mutu adalah salah satu faktor kunci keberhasilan hasil
pelaksanaan pekerjaan yaitu pengendalian mutu yang baik, maka akan
diperoleh hasil pekerjaan yang memberikan kinerja yang baik. Frekuensi
pengujian minimum untuk pengendalian selama proses pelaksanaan yang
diperlukan harus seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 4‐2. Mutu dari
pekerjaan konstruksi timbunan ringan dengan mortar busa dipengaruhi
oleh bahan material yang digunakan, untuk itu pengendalian mutu
terhadap bahan harus lebih diperhatikan.
Pengujian mutu terhadap bahan material semen dapat dilihat pada Tabel 4‐
1. Tabel 4-1. Jenis Pengujian Semen
Spesifikasi Jenis Pengujian Tipe I Tipe II Tipe III Tipe IV Tipe V
Kadar udara, volume, Max % 12 12 12 12 12
Kehalusan, luas permukaan spesifik, m2/kg
‐ Pengujian Turbidimeter, Min 160 160 ‐ 160 160 ‐ Pengujian permiabilitas udara, Min 280 280 280 280
Pengembangan autociave, max % 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8
Kuat tekan, min, Mpa ‐ 1 hari 12.4 ‐ 3 hari 24.1
‐ 7 hari 12.4 10.3 24.1 8.3 ‐ 28 hari 27.6 27.6 17.2 20.7
Bab 4 – Metode Konstruksi Timbunan Ringan dengan Mortar Busa 53
Spesifikasi Jenis Pengujian Tipe I Tipe II Tipe III Tipe IV Tipe V
Waktu pengikat, menit
*Alat vicat (menit) ‐ Pengikatan awal, Min 45 45 45 45 45 ‐ Pengikatan akhir, Max 50‐375 50‐375 50‐375 50‐375 50‐375 * Alat gillmore (menit) ‐ Pengikatan awal, Min 60 60 60 60 60
‐ Pengikatan akhir, Max 600 600 600 600 600 Konsistensi normal semen
4.3.1 Pengujian Timbunan Ringan dengan Mortar Busa
Pengujian permukaan timbunan ringan dengan mortar busa sebagai
berikut:
1) Permukaan timbunan jalan menggunakan mortar busa harus diperiksa
dengan mistar lurus sepanjang 3 meter, harus dilaksanakan tegak lurus
dan sejajar.
2) Pengujian untuk pemeriksaan toleransi kerataan yang disyaratkan harus
mulai dilaksanakan segera setelah penghamparan dan perataan,
penyimpangan yang terjadi harus diperbaiki dengan membuang atau
menambahkan bahan sebagaimana diperlukan.
a) Ketentuan Berat Isi, UCS dan Flow
Berat isi dan kekuatan tekan bebas timbunan jalan menggunakan
mortar busa (compressive strength) dan flow harus sesuai dengan
persyaratan timbunan jalan menggunakan mortar busa.
54 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Gambar 4-9. Pengujian Berat Isi (dokumentasi pelaksanaan lapangan)
b) Jumlah Pengambilan Benda Uji
Pengambilan benda uji umumnya dilakukan di unit produksi mortar
busa dengan frekuensi pengujian setiap pengecoran 10m3 adukan
harus diambil benda uji silinder/kubus secara uji petik (random
sampling) untuk setiap minimum 3 kali pengujian dan setidak‐
tidaknya setiap 1 (satu) hari sekali yang cukup mewakili
(representative) untuk pengecoran hari itu, juga sebanyak untuk
minimum 3 (tiga) kali pengujian.
3) Untuk menguji kekuatan tekan timbunan jalan menggunakan mortar
busa (compressive strength) mengikuti SNI 03‐3638‐1994. Pada saat
awal‐awal pengecoran, harus mengambil minimum sebanyak 20 (dua
puluh) buah benda uji silinder yang masing‐masing di tes pada umur 7
hari dan 14 hari.
4) Dari hasil pengetesan benda uji tersebut diatas, maka harus dipakai
sebagai dasar untuk mempertimbangkan apakah perlu diadakan
perubahan dalam campuran (mix design) dan cara pelaksanaan.
5) Benda‐benda uji tersebut harus dibuat/disiapkan menurut cara standar
tentang pembuatan dan perawatan benda uji di laboratorium seperti
tercantum dalam SNI 3419‐2008.
Bab 4 – Metode Konstruksi Timbunan Ringan dengan Mortar Busa 55
6) Pengetesan/pengujian dilaksanakan setelah benda uji mencapai umur
tertentu dan setiap pengujian harus terdiri dari 3 (tiga) buah benda uji.
Jadi setiap rangkaian pengujian @3 benda uji.
4.3.2 Pengamatan Mutu Khusus setelah Campuran Mortar Busa Selesai di Hampar
Pengamatan mutu khusus setelah campuran mortar busa selesai di hampar,
adalah sebagai berikut:
1) Khusus pada timbunan jalan menggunakan mortar busa yang sudah
selesai dikerjakan, harus dilakukan pengamatan mutu terhadap
timbunan jalan menggunakan mortar busa dan terhadap tebal dari
timbunan jalan menggunakan mortar busa tersebut.
2) Untuk ini Penyedia Jasa diwajibkan untuk melaksanakan core drill dan
dengan kedalaman setebal timbunan jalan menggunakan mortar busa
menurut gambar rencana serta diwajibkan untuk membuat laporan.
3) Jumlah dan ulangan core drill harus dilaksanakan sebagai berikut :
a) Pada timbunan jalan menggunakan mortar busa percobaan yang
seluas ± 300m2 harus diadakan 15 buah core drill.
b) Pada timbunan jalan menggunakan mortar busa dengan luas
1000m2 hasil pengecoran pertama harus diadakan 20 core drill.
c) Bila pengujian pada butir b. diatas telah menunjukkan hasil yang
baik, maka pada sisa mortar busa yang akan dicor selanjutnya
cukup diadakan 1 (satu) core drill pada luas 2500m2 untuk
pengecoran mortar busa yang dilaksanakan secara mekanis,
sedangkan bagian‐bagian mortar busa yang dilaksanakan secara
manual diadakan 1 (satu) core drill untuk setiap 500m2.
4) Dalam hal hasil core drill diatas menunjukkan hal‐hal yang perlu
diperhatikan secara sungguh‐sungguh guna mengambil suatu
keputusan.
5) Tempat‐tempat yang akan dilakukan core drill akan ditentukan secara
acak/uji petik (random).
56 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Tabel 4-2. Pengendalian Mutu
Pengujian Frekuensi pengujian
Bahan
Semen Diperiksa setiap dilakukan pencampuran
Pasir :
- kadar carbon organik Diperiksa setiap dilakukan pencampuran
- kadar air Diperiksa setiap dilakukan pencampuran
- wet density test Diperiksa setiap dilakukan pencampuran
- ignition loss Diperiksa setiap dilakukan pencampuran
Air :
- PH test Diperiksa setiap dilakukan pencampuran (spesifikasi 4,5‐8,5), sesuai PB‐0301‐76
‐ Bahan padat Spesifikasi Max.2000ppm, sesuai PB‐0302‐76 (Binkot, 1990a)
‐ Bahan tersuspensi Spesifikasi Max.2000ppm, sesuai PB‐0303‐76 (Binkot, 1990b)
‐ Bahan organik Spesifikasi Max.2000ppm, sesuai PB‐0304‐76 (Binkot, 1990c)
‐ Minyak mineral Spesifikasi Max.2% berat semen, sesuai PB‐0305‐76 (Binkot, 1990d)
‐ Ion sulfat (Na2SO4) Spesifikasi Max.10000ppm, sesuai PB‐0306‐76 (Binkot, 1990e)
‐ Ion klorida (NaCL) Spesifikasi Max.20000ppm, sesuai PB‐0307‐76 (Binkot, 1990f)
Kadar air sebelum produksi :
- Kadar air busa Diperiksa setiap dilakukan pencampuran
- Kadar air campuran Diperiksa setiap dilakukan pencampuran
Campuran :
- Gradasi 200 ton (min, 2 pengujian per hari)
- Kadar Busa Diperiksa setiap dilakukan pencampuran
- Campuran Rancangan (Mix Design) Setiap perubahan rancangan
- Density Diperiksa setiap dilakukan pencampuran di lab
- Flow Diperiksa setiap dilakukan pencampuran di lab
- UCS Diperiksa setiap dilakukan pencampuran di lab
Bab 4 – Metode Konstruksi Timbunan Ringan dengan Mortar Busa 57
Pengujian Frekuensi pengujian
Lapisan yang dihampar :
- Uji kepadatan dapat dilakukan menggunakan UCS lapangan pada lokasi yang ditentukan oleh Direksi Teknis,tetapi tidak berselang lebih dari 50 m
50 meter panjang
- Uji ketebalan dapat dilakukan dengan menggali dan mengukur ketebalan lapisan hamparan padat pada lokasi yag ditentukan oleh Direksi Teknis, tetapi tidak boleh berselang lebih 50 m. Sebagai alternatif uji ketebalan dapat dilakukan dengan pengeboran (core drill) setelah hamparan berusia minimum 14 hari
50 meter panjang
58 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
5
KINERJA TIMBUNAN RINGAN MORTAR BUSA OPRIT
JEMBATAN DI KEDATON, CIREBON, JAWA BARAT
Lokasi pekerjaan skala penuh untuk timbunan mortar busa oprit jembatan
pada Jembatan Kedaton Ruas Jalan Cirebon‐Karang Ampel, Kecamatan
Kapetakan, Kota Cirebon, Provinsi Jawa Barat, seperti terlihat pada Gambar
5‐1.
Gambar 5-1. Lokasi Jembatan Kedaton, Cirebon, Jawa Barat
Bab 5 – Kinerja Timbunan Ringan Mortar Busa Oprit Jembatan di Kedaton, Crb, Jbr 59
5.1 Kondisi Geologi dan Geoteknik Timbunan uji di oprit Jembatan Kedaton terletak di atas tanah lunak yang
tersusun atas Aluvium endapan sungai yang umumnya tersusun oleh
bahan‐bahan berbutir halus (lempung, lanau dan selingan pasir),
diperlihatkan pada Gambar 5‐2, dengan tanah keras berada pada
kedalaman sekitar 30 m. Tanah lunak tersebut mempunyai kuat geser tak
terdrainse antara 20 – 40 kPa dan indeks kompresibilitas Cc antara 0.7 – 1,
angka pori e0 antara 1.9 – 2.2, kadar air 365 – 176%. Dari hasil uji indeks,
tanah dasar merupakan Fat Clay berwarna abu‐abu dan masuk kedalam
klasifikasi CH (lempung plastisitas tinggi).
Gambar 5-2. Kondisi Geologi Kedaton, Cirebon, Jawa Barat
Interpretasi startifikasi tanah diperlihatkan pada Gambar 5‐3
memperlihatkan instrumentasi terpasang berdasarkan kedalaman,
60 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
sedangkan hasil pengujian sondir dan uji lab diperlihatkan pada Gambar 5‐
4. EXT.2
Vw - Pz.3
0.00
INC.2
-4.118
-6.115
-8.105
-10.409
-12.478
-14.085
- 19.103
- 24.077
- 27.00
SP.7
-4.04
0.000.00
-4.00
0.00
-10,03
SP.9
-4.04
0.00
- 27.00
INC.1 SP.8
-4.04
0.00
Tanah Asli
Timbunan Mortar Busa
Gambar 5-3. Grafis Potongan Stratifikasi
Bab 5 – Kinerja Timbunan Ringan Mortar Busa Oprit Jembatan di Kedaton, Crb, Jbr 61
Gambar 5-4. Sondir dan Hasil Uji Laboratorium
5.2 Konstruksi Timbunan dan Instrumentasi pada Oprit Jembatan Kedaton
Mortar busa pada oprit Jembatan Kedaton, Cirebon, Provinsi Jawa Barat
terpasang sepanjang 70 meter dengan tinggi timbunan 4,35 meter, arah
Kota Indramayu, seperti terlihat tampak atas pada Gambar 5‐5 dan letak
titik‐titik instrumentasi pada Gambar 5‐6 dan potongan memanjang pada
Gambar 5‐7.
62 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
CIR
EB
ON
IND
RA
MA
YU
Med
ian
Bad
an J
alan
Jalu
r Cep
at
Jalu
r Lam
bat
Bah
u Ja
lan
Sun
gai
Trot
oar
Bad
an J
alan
Jalu
r Cep
at
Jalu
r Lam
bat
Bah
u Ja
lan
Sung
ai
ABUTMENTABUTMENT
Gam
bar 5
-5. S
kets
a Mor
tar B
usa J
emba
tan
Keda
ton,
Cire
bon
Jawa
Bar
at
Mor
tar B
usa
Bab 5 – Kinerja Timbunan Ringan Mortar Busa Oprit Jembatan di Kedaton, Crb, Jbr 63
SG -
Kn
SG -
Kr
Vw-P
c.1 d
an 4
Vw-P
c.2
Vw-P
c.3
INDR
AMAY
UVw
- PZ
.1Vw
- PZ
.2
INC.
1
INC.
2
Vw -
PZ.3
INC.
4
INC.
3
EXT.
1
Vw -
PZ.4
EXT.
2
2m
1.8m
2m
2m BM. P
IPA
PDAM
Medi
an
BM.B
Sung
ai
Bada
n Ja
lanJa
lur C
epat
Jalur
Lam
bat
Trot
oar
SP.4
SP.5
SP.6
SP.1
SP.2
SP.3
SP.7
SP.8
SP.9
Gam
bar 5
-6. S
kets
a Tam
pak A
tas d
an L
etak
Titi
k-Ti
tik In
stru
men
tasi
Bahu
Jalan
64 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Bab 5 – Kinerja Timbunan Ringan Mortar Busa Oprit Jembatan di Kedaton, Crb, Jbr 65
Ket
:: I
nclin
omet
er: E
xten
zom
eter
: Set
tlem
ent P
late
: Pie
zom
eter
: Pre
ssur
e C
ell
: Stra
in G
auge
Vw
- P
z.3
0.00
- 4,6
4
0.00
-1,6
4
0.00
-2.0
6
- 6.0
6
-4.0
0
-10,
03
0.00
-4.2
0
-12.
20
EX
T.2
EX
T.1
0.00
INC
.1 /
2
- 7.0
7
- 4.2
4
- 4.8
8
- 9.9
0
- 11.
20
- 13.
20
- 18.
92
- 22.
40
-4.1
18
-6.1
15
-8.1
05
-10.
409
-12.
478
-14.
085
- 19.
103
- 24.
077
-27.
00
- 27.
00
0.00
SP
:7,8
,9S
P:1,
2,3
SP
:4,5
,6
-2.1
0-1
,66
-4.0
4
Tana
h A
sli
Vw
- P
c.1
(-3,3
5)
- 4,3
5
Vw
- P
c.2-
3 (-
1,55
)
Vw
- P
c.4
(-0,3
5)
(0,0
0)
0.00
Vw
- P
z.2
INC
.3 /4
Vw
- Pz
.1
Vw
- P
z.4
0.00
0.00
0.00
0.00
Inc
Ext SP
Pz
Pc SG
VW.1
VW.2
W.1
W.2
VW
.3
VW
.4
Foam
Mor
tar
2000
kP
a
Foam
Mor
tar
800
kPa
SK
ETS
A L
ETA
K T
ITIK
INS
TRU
ME
N
AB
UTM
EN
T JE
MB
ATA
N K
ED
ATO
N B
AR
U
AR
AH
IND
RA
MA
YU
KM
.21+
177
CR
B.
U
S
T
B
12
34
56
m'
12
34
56
m'
Ska
la :
Gam
bar 5
-7. S
kets
a Pot
onga
n Me
man
jang
dan
Leta
k Titi
k Ins
trum
en
Instrumen yang terpasang pada Oprit Jembatan Kedaton dengan simbol
sebagai keterangan pada Gambar 5‐6 dan Gambar 5‐7 dapat dilihat pada
Tabel 5‐1. Tabel 5-1. Instrumen dan Simbol
No Instrumen Simbol
1 Vibrating Wire Piezometer PZ
2 Vibrating Wire Pressure Cell PC
3 Inclinometer INC
4 Settlement Plate SP
5 Surface Marker SM
5 Extensometer Magnetic EXT
6 Strain Gauge SG
7 Piezometer Pipe Cassagrande PZC
5.2.1 Tahapan Pelaksanaan Konstruksi Timbunan Oprit Mortar Busa
Berikut tahapan pelaksanaan konstruksi timbunan oprit mortar busa pada
lokasi Oprit Jembatan Kedaton, Cirebon, Jawa Barat dapat dilihat pada
Gambar 5‐9 sampai dengan Gambar 5‐26.
Kondisi ekisting Oprit Jembatan Kedaton, sebelum dilakukan penggantian
timbunan dengan menggunakan timbunan ringan dengan mortar busa
dapat dilihat pada Gambar 5‐8 dan Gambar 5‐9.
66 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Gambar 5-8. Kondisi Existing Oprit Jembatan Kedaton (dokumentasi pelaksanaan lapangan)
Gambar 5-9. Ilustrasi Kondisi Existing Jembatan Kedaton
Pekerjaan awal penggantian timbunan tanah dengan dengan timbunan
ringan mortar busa adalah melakukan pengerukan tanah asli dengan tinggi
4,35 m dan panjang 70 m dengan menggunakan alat berat dapat dilihat
pada Gambar 5‐10 dan Gambar 5‐11.
Bab 5 – Kinerja Timbunan Ringan Mortar Busa Oprit Jembatan di Kedaton, Crb, Jbr 67
Gambar 5-10. Ilustrasi Pekerjaan Pengerukan tanah
Gambar 5-11. Pelaksanaan Pengerukan Tanah (dokumentasi pelaksanaan lapangan)
Kondisi setelah dilakukan pengerukan tanah asli dapat dilihat pada Gambar
5‐12.
68 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Gambar 5-12. Kondisi Setelah Pengerukan Tanah Asli (dokumentasi pelaksanaan lapangan)
Tahapan pelaksanaan pengecoran material dengan mortar busa
berdasarkan waktu dan lapisan tinggi timbunan, dan pemasangan anyaman
baja (wire mesh) dapat dilihat pada Gambar 5‐13.
Bab 5 – Kinerja Timbunan Ringan Mortar Busa Oprit Jembatan di Kedaton, Crb, Jbr 69
Gam
bar 5
-13.
Wak
tu P
enge
cora
n Mo
rtar B
usa
70 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Pelaksanaan pemasangan instrumen dilakukan berbarengan dengan
penghamparan mortar busa, setelah melakukan pekerjaan pengerukan
tanah asli, melakukan pemasangan instrumen seperti terlihat pada Gambar
5‐14 dan Gambar 5‐15, warna merah menunjukan pemasangan
instrumentasi piezometer dan warna hijau pemasangan instrumentasi
extensometer.
Gambar 5-14. Ilustrasi Tahap Pekerjaan Pemasangan Instrumen
Gambar 5--15. Pelaksanaan Pemasangan Instrumen (dokumentasi pelaksanaan lapangan)
Bab 5 – Kinerja Timbunan Ringan Mortar Busa Oprit Jembatan di Kedaton, Crb, Jbr 71
Awal penghamparan mortar busa dilakukan pada tahap pertama di STA
0+080 dengan spesifikasi kuat tekan bebas 800 kPa dan berat isi 0,6 t/m³,
terlihat pada Gambar 5‐16.
Gambar 5-16 .TahapPekerjaan Mortar Busa Lapis Pondasi Bawah
Mortar busa yang telah dihampar ditutup dengan terpal menghindari
pengaruh cuaca terik matahari ataupun hujan, seperti terlihat pada Gambar
5‐17.
Gambar 5-17. Perawatan Mortar Busa yang Telah Dihampar (dokumentasi pelaksanaan lapangan)
72 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Pelaksanaan pengecoran dilakukan dengan metode papan catur, yaitu
penghamparan mortar busa dilewatkan/dilangkahi satu kotak bekisting
menunggu bekisting yang telah terpasang dapat dibuka untuk dipergunakan
pada tempat penghamparan mortar busa yang lain, seperti terlihat pada
Gambar 5‐18 dan Gambar 5‐19.
Gambar 5-18.Tahap Timbunan Mortar Busa Lapis Pondasi Bawah
Gambar 5-19.Tahap Penimbunan Mortar Busa di Atas Lapisan Mortar Busa yang Telah
Terhampar
Bab 5 – Kinerja Timbunan Ringan Mortar Busa Oprit Jembatan di Kedaton, Crb, Jbr 73
Penghamparan mortar busa pada tahap selanjutnya dilakukan secara
menerus hingga mencapai tinggi timbunan yang direncanakan.
Pemasangan anyaman baja dilakukan setiap 1 m dari lapisan dasar, dan
antara Lapis Pondasi Bawah 800 kPa dan Lapis Pondasi Atas 2000 kPa,
seperti terlihat pada Gambar 5‐20 sampai dengan Gambar 5‐23.
Gambar 5-20. Ilustrasi Pemasangan Anyaman Baja pada Lapis Pondasi Bawah
.
Gambar 5-21. Ilustrasi Pemasangan Anyaman Baja Antara Lapis Pondasi Atas dan Lapis
Pondasi Bawah
74 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Gambar 5-22. Ilustrasi Pekerjaan Timbunan Mortar Busa Lapis Pondasi Atas
Pekerjaan perkerasan tebal lapisan jalan dengan aspal di atas timbunan
mortar busa Lapis Pondasi Atas dengan kuat tekan bebas 2000 kPa dan
berat isi 0,8 t/m³, dengan tinggi lapisan aspal 30 cm sebagai pengganti soil
cement, dapat dilihat pada Gambar 5‐24 dan Gambar 5‐25.
Gambar 5-23. Ilustrasi Pekerjaan Pemasangan Anyaman Baja
Bab 5 – Kinerja Timbunan Ringan Mortar Busa Oprit Jembatan di Kedaton, Crb, Jbr 75
Gambar 5-24. Pekerjaan Perkerasan Jalan (dokumentasi pelaksanaan lapangan)
Gambar 5-25. Ilustrasi Kondisi Setelah Pelaksanaan Pekerjaan
Kondisi timbunan jalan dengan mortar busa yang telah selesai dikerjakan
dapat dilihat pada Gambar 5‐26.
76 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Gambar 5-26. Kondisi Setelah Pelaksanaan Pekerjaan
(dokumentasi foto pemantauan di lapangan)
5.2.2 Kondisi Instrumen Terpasang Pada lokasi Oprit Jembatan Kedaton, Cirebon, Jawa Barat terpasang
instrumen yang dilakukan pemantauan setelah pelaksanaan konstruksi.
Kegiatan pemantauan dengan melakukan identifikasi kondisi instrumen
terpasang secara visual dan dengan mengecek alat dengan data logger.
A. Instrumen Vibrating Wire Piezometer
Vibrating wire pieziemeter adalah unit pisometer yang menggunakan kawat
bervibrasi. Kawat bervibrasi ini akan bergetar jika terjadi defleksi diafragma
yang dipengaruhi oleh tekanan air pori. Kawat bevibrasi ini akan
mempengaruhi frekuensi resonan dan perubahan regangan pada kawat
bervibrasi dan akan terbaca oleh alat.
Kondisi instrumen vibrating wire piezometer,serial number, serta serial
number, gage faktor, thermal factor,dan lokasi instrumen dapat dilihat pada
Tabel 5‐2
Bab 5 – Kinerja Timbunan Ringan Mortar Busa Oprit Jembatan di Kedaton, Crb, Jbr 77
Tabel 5-2 Instrumen Vibrating Wire Piezometer
No Jenis Instrumen SimbolSerial
Number
Gage Factor (G) (kPa/digit)
Thermal Factor (K) (kPa/°C)
Lokasi Instrumen
Kondisi Instrumen
1 Vibrating Wire Piezometer
PZ.1 921001 0.1048 ‐0.0477
0+043 Tidak dapat dipantau
2 Vibrating Wire Piezometer
PZ.2 921002 0.1110 0.0288
0+027 Dapat
dipantau
3 Vibrating Wire Piezometer
PZ.3 921003 0.1152 ‐0.0754
0+012 Dapat
dipantau
4 Vibrating Wire Piezometer
PZ.4 921004 0.1135 ‐0.1204
0+005 Dapat
dipantau
Display Mode yang digunakan untuk pemantuan piezometer adalah A‐F
yang disesuaikan dengan tipe strain gages yang terpasang dilapangan
diperlihatkan pada Tabel 5‐3.
Tabel 5-3. Tipe Strain Gages
No Sensor Model Strain gages
Display Mode
Satuan Alat (Manual)
1 Piezometer (PZ) 4500 B Digits Geokon GK‐403
Pada saat monitoring, teridentifikasi pada tahun 2010 dan tahun 2011 tidak
dilakukan pembacaan initial reading yang menjadi acuan bagi pembacaan
selanjutnya. Hal ini terlihat dari nilai pembacaan tekanan air pori tanah
yang berbeda jauh dengan nilai tekanan air hidrostatik. Oleh karena itu,
walaupun kurang akurat, pada setiap kegiatan monitoring selanjutnya
digunakan pembacaan initial reading dari factory setting yang tertera dalam
Calibration Sheet. Data tahun 2009 dan tahun 2011 juga telah dikoreksi
dengan initial reading factory setting dari Calibration Sheet. Setelah
dilakukan koreksi tersebut, nilai tekanan air pori mendekati tekanan air
hidrostatik.
Monitoring piezometer vibrating wire dilakukan dengan menggunakan Read
Out unit Geokon GK‐4500.
P = { (R0 – R1) x G } + { (T1 – T0) x K }
78 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Di mana:
P = Pressure
R0 = Initial reading
R1 = Current reading
G = Calibration factor
T0 = Initial Temperature
T1 = Current Temperature
K = Thermal factor
Hasil pengamatan tekanan muka air menggunakan piezometer pneumatic
vibrating wire ditampilkan pada Gambar 5‐27 sampai dengan Gambar 5‐30.
Gambar 5-27. Grafik Ekses Air Pori dari Instrumen Piezometer Vw-PZ1
Gambar 5-28. Grafik Ekses Air Pori dari Instrumen Piezometer Vw-PZ2
Bab 5 – Kinerja Timbunan Ringan Mortar Busa Oprit Jembatan di Kedaton, Crb, Jbr 79
Gambar 5-29. Grafik Ekses Air Pori dari Instrumen Piezometer Vw-PZ3
Gambar 5-30. Grafik Ekses Air Pori dari Instrumen Piezometer Vw-PZ4
Pada Gambar 5‐27 terlihat hanya dapat dipantau hingga bulan april 2011,
kemungkinan terjadi putusnya kabel, sedangkan pada Gambar 5‐28 dan
Gambar 5‐29 terlihat adanya kenaikan perubahan kenaikan tekanan air dan
pada Gambar 5‐30 terlihat adanya penurunan tekanan air. Perubahan yang
terjadi terjadi akibat pengaruh pasang surut air sungai.
B. Instrumen Vibrating Wire Pressure Cell
Pemantauan instrumen pressure cell dimaksudkan untuk mengetahui
tekanan lateral timbunan mortar busa terhadap dinding abutment
jembatan. Posisi instrumentasi pressure cell dapat dilihat pada Gambar 5‐
31.
80 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
0.00
-4 .20
E X T .1
0.00
- 4 .24
- 4 .88
V w - P c .1 (-3 ,35)
- 4 ,35
V w - P c .2 -3 (-1 ,55)
V w - P c .4 (-0 ,35)
(0 ,00)
V w - P z.4
Gambar 5-31. Posisi Instrumentasi Pressure Cell
Kondisi instrumen pressure cell, serial number, gage faktor, thermal faktor,
dan lokasi instrumen dapat dilihat pada Tabel 5‐4.
Tabel 5-4. Instrumen Vibrating Wire Pressure Cell
No Jenis Instrumen SimbolSerial
Number
Gage Factor (G) (kPa/digit)
Thermal Factor (K) (kPa/°C)
Lokasi Instrumen
Kondisi Instrumen
1 Vibrating Wire Pressure Cell
PC.1 921005 0.1159 ‐0.0522
0+003 Dapat
dipantau
2 Vibrating Wire Pressure Cell
PC.2 921006 0.1113 ‐0.0843
0+001 Dapat
dipantau
3 Vibrating Wire Pressure Cell
PC.3 921007 0.1095 ‐0.0941
0+004 Dapat
dipantau
4 Vibrating Wire Pressure Cell
PC.4 921008 0.1092 ‐0.0717
0+003 Dapat
dipantau Analisis yang dipergunakan dalam menganalisis besarnya tekanan lateral
timbunan ringan yang menekan dinding abutmen jembatan menggunakan
persamaan:
P= { (R0 – R1) x G } + { (T1 – T0) x K }
Di mana:
P=Pressure (kPa)
R0=Initial reading
Bab 5 – Kinerja Timbunan Ringan Mortar Busa Oprit Jembatan di Kedaton, Crb, Jbr 81
R1=Current reading
G=Calibration factor
T0=Initial Temperature
T1=Current Temperature
K=Thermal factor
‐0.40‐0.200.000.200.400.600.80
02/05/10 10/08/10 18/11/10 26/02/11 06/06/11 14/09/11 23/12/11 01/04/12 10/07/12 18/10/12 26/01/13
Tekanan (kPa)
Tanggal Pembacaan
VW PC1VW PC1
Gambar 5-32. Tekanan Lateral Terhadap Dinding Abutment Instrumen Vw-PC 1
Gambar 5-33. Tekanan Lateral Terhadap Dinding Abutment Instrumen Vw-PC 2
Gambar 5-34. Tekanan Lateral Terhadap Dinding Abutment Instrumen Vw-Pc 3
Terlihat adanya perubahan tekanan yang terjadi pada instrumentasi
Pressure Cell hal ini bisa terjadi akibat tekanan yang diakibatkan susut
82 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
muainya beton terhadap suhu pada instrument pressure cell dan pengaruh
tekanan hidrostatis akibat tinggi muka air sungai yang menekan dinding
abutment jembatan Kedaton.
C. Instrumen Inclinometer
Terdapat empat buah inklinometer yang terpasang pada oprit jembatan
Kedaton, tetapi hanya dua buah yang dapat dibaca, yaitu Inklinometer2
(INC.2), dan Inklinometer3 (INC.3). Inklinometer 1 dan 4 mengalami
kerusakan berupa putusnya pipa yang tertanam. Kondisi instrumen
inklinometer dapat dilihat pada Tabel 5‐5.
Tabel 5-5. Instrumen Inclinometer
No Jenis Instrumen Simbol Kondisi Instrumen
1 Inklinometer INC.1 Tidak Dapat Dipantau
2 Inklinometer INC.2 Dapat dipantau
3 Inklinometer INC.3 Dapat dipantau
4 Inklinometer INC.4 Tidak Dapat Dipantau
Pemantauan instrumen inclinometer hanya dilakukan hingga kegiatan
monitoring 2011, hasil pemantuan dapat dilihat pada Dari Gambar 5‐35 dan
Gambar 5‐36, terlihat bahwa tanah tidak mengalami pergerakan lateral.
Bab 5 – Kinerja Timbunan Ringan Mortar Busa Oprit Jembatan di Kedaton, Crb, Jbr 83
Gambar 5-35. Grafik Pergerakan Inclinometer 2
84 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Gambar 5-36. Grafik Pergerakan Inclinometer 3
Bab 5 – Kinerja Timbunan Ringan Mortar Busa Oprit Jembatan di Kedaton, Crb, Jbr 85
D. Surface Marker
Pada Lokasi oprit jembatan Kedaton, Cirebon terpasang juga instrumen
settlement plate, dikarenakan tidak dapat dipantau, sehingga untuk
pemantuan settlement plate di gantikan dengan pemasangan surface
marker dengan jarak per 5 meter.
Pada monitoring bulan Mei 2012, telah terpasang surface marker dipasang
di sisi kiri, tengah dan kanan jalan dengan interval 5 meter baik di jalan arah
Indramayu maupun jalan ke arah Cirebon, ruas jalan yang tidak
menggunakan timbunan ringan mortar busa. Surface marker terbuat dari
paku payung yang ditancapkan di aspal atau pada struktur dan diberi tanda
dan nomer dengan cat semprot. Surface Marker ini diberi kode LS xx A, LS
xx B dan LS xx C untuk jalan dengan timbunan ringan arah ke Indramayu
dan kode LS xx D, LS xx E dan LS xx F untuk jalan dengan timbunan biasa
arah ke Cirebon dengan nomer urut dari 1 sampai 18. Pada monitoring ke
bulan September, dilakukan pemantauan untuk mengetahui kondisi
penurunan arah memanjang longitudinal.
Pada lokasi yang terjadi lendetun dilakukan pemantauan sebanyak 2 titik.
Surface Marker ini diberi nama D1 dan D2.
Hasil pemantauan pada lokasi timbunan ringan dengan mortar busa
menggunakan Water Pass tipe orion+, didapat adanya penurunan 1,4 cm
selama 6 bulan pemantuan arah Indramayu. Sedangkan oprit dengan
timbunan tanah arah Cirebon dengan overlay beberapa kali, adanya
penurunan sebesar 1,8 cm.
E. Instrumen Extensometer
Kondisi instrumen extensometer berdasarkan kedalaman, dapat dilihat
pada Tabel 5‐6.
86 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Tabel 5-6. Instrumen Extensometer
No Jenis Instrumen Simbol
Kedalam Datum Dari Dasar Galian
(m)
Kedalam Datum Setelah AC‐WC Dari permukaan
Jalan (m)
Lokasi Kondisi
Instrumen
1 Extensometer Magnetic
EXT.1 18.16 24.08 0+005 Tidak dapat dipantau
2 Extensometer Magnetic
EXT.2 19.98 22.4 0+0012 Dapat dipantau
Untuk menghitung pergerakan lapisan tanah arah vertikal terpasang
magnetic extensometer. Untuk titik Extensometer – 1 Posisi Datum (titik
ikat) berada pada kedalaman 18.16 m dari dasar galian. Posisi Datum
setelah lapisan AC‐WC selesai (28 Desember 2009) berada pada kedalaman
24.08 m dari permukaan jalan. Extensometer 1 pada monitoring 2012, tidak
dapat dipantau dikarenakan terbukanya penutup extensometer, sehingga
masuknya kotoran‐kotoran.
Untuk titik Extensometer – 2 Posisi Datum (titik ikat) berada pada
kedalaman 19.98 m dari dasar galian. Posisi Datum setelah lapisan AC‐WC
selesai (28 Desember 2009) berada pada kedalaman 22.40 m dari
permukaan jalan. Kedalaman tiap Magnetic pada Extensometer Magnetic
ditampilkan pada Tabel 5‐7.
Tabel 5-7. Kedalaman Magnetic pada Instrumentasi Extensometer Magnetic setelah
Lapisan AC-WC selesai Kedalaman Magnetic
No Magnetic EXT.1 EXT.2
1 Plate Magnetic 4.11 4.24
2 Spider Magnetic 6.11 4.88
3 Spider Magnetic 8.10 7.07
4 Spider Magnetic 10.41 9.90
5 Spider Magnetic 12.48 11.20
6 Spider Magnetic 14.09 13.20 7 Spider Magnetic 19.10 18.92
8 Spider Magnetic 24.08 22.40
Bab 5 – Kinerja Timbunan Ringan Mortar Busa Oprit Jembatan di Kedaton, Crb, Jbr 87
Pengukuran Extensometer Magnetic didasarkan pada selisih jarak tiap‐tiap
magnetik terhadap datum (titik ikat) setiap pengukurannya.
F. Instrumen Strain Gauge
Pada oprit Jembatan Kedaton, terpasang juga instrumen strain gauge untuk
mengetahui besarnya kontribusi kuat geser yang disumbangkan oleh beton
melalui bacaan regangan strain gauge.
Pada kegiatan monitoring setelah pelaksanaan konstruksi tidak dilakukan
pemantuan instrumen strain gauge, kemungkinan terjadinya putus kabel
pembacaan.
G. Instrumen Open Stand Pipe Piezometer (Cassagrande)
Dalam kegiatan monitoring bulan Mei 2012 terpasang instrumen
piezometer cassagrande (open stand pipe) di tanah asli di sisi oprit
jembatan Kedaton,Cirebon, Jawa Barat, arah ke Indramayu (kedalaman 2,25
m dan 7 m). Pemantauan, piezometer cassagrande dipantau dengan
menggunakan alat dipmeter. Kondisi Instrumen Piezometer Cassagrande
dapat dilihat pada Tabel 5‐8.
Tabel 5-8.Instrumen Piezoemeter Cassagrande
No Jenis Instrumen Simbol Lokasi Kondisi Instrumen
1 Piezometer Pipe Cassagrande
PZC.1 0+005 (di tanah asli, sisi timbunan mortar busa, kedalaman H = 7
meter) Dapat dipantau
2 Piezometer Pipe Cassagrande
PZ.2 0+005 (di tanah asli, sisi timbunan mortar busa, kedalaman H = 2.25
meter) Dapat dipantau
Berdasarkan pemantuan dengan menggunakan piezometer open pipe
(cassagarande) untuk kedalaman 2.25 meter adanya perubahan naiknya
tinggi muka air sebesar 0.92 meter, dan pada kedalaman 7 meter
perubahan penurunan tinggi muka selama 7 bulan sebesar 2.35 meter.
88 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
5.3 Pemodelan Numerik Karena kompleksitas geometri, maka evaluasi kinerja timbunan uji mortar
busa dilakukan dengan pemodelan elemen hingga dengan bantuan piranti
lunak Plaxis versi 9.0 (Brinkgreve & Broere, 2008). Gambar 5‐37
memperlihatkan geomodel dari timbunan uji yang memodelkan potongan
melintang mortar busa. Mesh yang digunakan dalam analisis mempunyai
kerapatan medium dan dengan mesh yang lebih rapat pada cluster di
elevasi galian bagian bawah, Gambar 5‐38 Pemodelan dilakukan mulai dari
timbunan eksisting, penggalian dan kemudian pengecoran mortar busa.
Oleh karena itu, tegangan vertikal efektif tanah dasar di‐generate dengan
metode gravity loading.
Model tanah yang digunakan dalam analisis adalah model soft soil dan
model hardening soil. Model Soft Soil merupakan model Cam‐Clay yang
digunakan untuk memodelkan perilaku tanah lunak seperti lempung
terkonsolidasi normal dan gambut. Model Hardening Soil merupakan model
hiperbolik yang bersifat elastoplastis yang diformulasikan dalam lingkup
plastisitas dari pengerasan akibat friksi (friction hardening plasticity). Model
ini telah mengikut sertakan komperesi hardening untuk memodelkan
pemampatan tanah yang tidak dapat kembali seperti semula (irreversible)
saat menerima pembebanan yang bersifat kompresif.
19
0 1 2 3
4 5
6 7
8 910 11 12 1314
15 16 17 18 19 20 21 22 23 2425
26 27 2829 30 31 3233 34
35 36
37 38 3940 41 4243 444546474849 5051
52 535455 5657 5859606162636465 66676869707172
73
Gambar 5-37. Geomodel Timbunan Material Ringan Mortar Busa
Bab 5 – Kinerja Timbunan Ringan Mortar Busa Oprit Jembatan di Kedaton, Crb, Jbr 89
Gambar 5-38. Mesh Timbunan Material Ringan Mortar Busa
5.3.1 Paramater Desain Parameter kompresibilitas untuk model soft soil dan hardening soil
ditentukan dengan persamaan 1, persamaan 2 dan persamaan 3
(Brinkgreve& Broere, 2008) :
)1(31.22
;)1(3.2 0 o
sc
eC
eC
−=κ
−=λ
(1) )1(
; **
o
refrefoed e
pE
−λ
=λλ
=
(2) )1(
;2 *
*o
refrefur e
pE
+κ
κκ
≈
(3) di mana:
Eoed = Tegangan plastis kompresi primer
Eur = Tegangan elastic unloading / reloading
Cc = Koefisien kompresibilitas
Cs = Koefisien kompresi sekunder
e0 = Angka pori awal
pref = Tekanan aktual
λ* = Indeks kompresi modifikasi (modified compression index)
κ* = modified swelling index
Tabel 5‐9 dan Tabel 5‐10 memperlihatkan parameter desain untuk tanah
dasar, timbunan awal dan mortar busa. Mortar busa dimodelkan sebagai
material dengan model Mohr‐Coulomb non‐porous. Perlu diketahui bahwa
parameter kuat geser timbunan yang dipilih dinaikkan dari parameter
90 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
awalnya untuk mencegah terjadinya keruntuhan timbunan saat penggalian
yang akan menyebabkan terhentinya perhitungan. Parameter dari
timbunan dan timbunan mortar busa diperlihatkan pada Tabel 5‐11.
Untuk parameter Modulus Elastisitas, Ec, untuk timbunan mortar busa
diestimasi dengan menggunakan persamaan untuk beton ringan
(ligthweigth concrete) dari AASHTO (2010):
cc fwKEc 5,1133000=
Di mana:
K1 : faktor koreksi untuk jenis beton. Dapat diambil nilai 1 terkecuali telah
ditentukan secara uji fisik.
wc : berat isi beton (kcf)
f’c : kuat tekan agregat (ksi) dalam hal ini dapat dipakai nilai UCS hasil dari
uji mortar busa
Tabel 5-9. Parameter Desain Model Soft Soil Type g_unsat g_sat k_x k_y lambda* kappa* K0nc c_ref phi
[kN/m^3] [kN/m^3] [m/day] [m/day] [ ‐ ] [ ‐ ] [ ‐ ] [kN/m^2] [ ° ]8 KEDATON Soft clay UnDrained 15.7 16.7 0.001274 0.001274 0.140536 0.02635 0.577382 10 25
10 KEDATON Very Soft Clay UnDrained 15 16 0.001274 0.001274 0.141747 0.027259 0.609269 6 23
ID Name
Tabel 5-10. Parameter Desain Model Hardening Soil Type g_unsat g_sat k_x k_y E50ref Eoedref Eurref c_ref phi
[kN/m^3] [kN/m^3] [m/day] [m/day] [kN/m^2] [kN/m^2] [kN/m^2] [kN/m^2] [ ° ]8 KEDATON Soft clay UnDrained 15.7 16.7 0.001274 0.001274 889.4531 578.8275 8316 10 25
10 KEDATON Very Soft Clay UnDrained 15 16 0.001274 0.001274 881.851 597.5669 8038.8 6 23
ID Name
Tabel 5-11. Parameter Timbunan Tanah dan Timbunan Ringan dengan Mortar Busa ID Name Type g_unsat g_sat k_x k_y nu E_ref c_ref phi R_inter
[kN/m^3] [kN/m^3] [m/day] [m/day] [ ‐ ] [kN/m^2] [kN/m^2] [ ° ] [ ‐ ]1 Selected Fill Drained 19.6 20.6 0.86 0.86 0.33 10000 5 25 12 Timb. Ringan 2000kPa Non‐porous 8 8 0 0 0.2 1411379 60 45 13 Timb. Ringan 800kPa Non‐porous 6 6 0 0 0.2 892634.5 60 40 1
5.3.2 Analisis Numerik Analisis pertama adalah mendapatkan hasil perhitungan sensitifitas antara
model soft soil dan model hardening soil. Tahapan perhitungan dalam
program Plaxis diperlihatkan pada Tabel 5‐12. Dalam tabel tersebut terlihat
Bab 5 – Kinerja Timbunan Ringan Mortar Busa Oprit Jembatan di Kedaton, Crb, Jbr 91
bahwa penggalian dimulai dari hari pertama hingga hari ke 99, dan
pengecoran timbunan ringan dimulai dari hari ke 115.
Tabel 5-12. Tahapan Perhitungan dalam Program Plaxis
Identifikasi Perhitungan Input Pembebanan Hari Jumlah Hari
Initial phase N/A N/A 0 hari 0
Gravity Loading Plastic Staged construction 1 hari 1
Kupas Aspal Consolidation Staged Construction 7 hari 8
Kupas Lap pondasi Consolidation Staged construction 14 hari 22
Gali Timb. 1 Consolidation Staged construction 7 hari 29
Gali Timb. 2 Consolidation Staged construction 7 hari 36
Gali Timb. 3 Consolidation Staged construction 7 hari 43
Gali Timb. 4 Consolidation Staged construction 7 hari 50
Gali Timb. 5 Consolidation Staged construction 7 hari 57
Gali Timb. 6 Consolidation Staged construction 7 hari 64
Gali Timb. 7 Consolidation Staged construction 7 hari 71
Gali Timb. 8 Consolidation Staged construction 7 hari 78
Gali Timb. 9 Consolidation Staged construction 7 hari 85
Gali Timb. 10 Consolidation Staged construction 7 hari 92
Idle Consolidation Staged construction 7 hari 99
FM. 800kPa 30cm Consolidation Staged construction 6 hari 115
FM. 800kPa 30cm Consolidation Staged construction 6 hari 121
FM. 800kPa 40cm Consolidation Staged construction 6 hari 127
FM. 800kPa 50cm Consolidation Staged construction 6 hari 133
FM. 800kPa 50cm Consolidation Staged construction 5 hari 138
FM. 800kPa 60cm Consolidation Staged construction 4 hari 142
FM. 800kPa 40cm Consolidation Staged construction 3 hari 145
FM. 800kPa 40cm Consolidation Staged construction 2 hari 147
FM. 800kPa 40cm Consolidation Staged construction 3 hari 150
FM. 2000kPa 40cm Consolidation Staged construction 7 hari 157
Lap. Pondasi Consolidation Staged construction 7 hari 164
Lap. Aspal Consolidation Staged construction 7 hari 171
Konsol Ultimate Consolidation Minimum pore pressure
Hasil analisis perbandingan antaran timbunan dengan mortar busa dan
timbunan tanah tanpa mortar busa diperlihatkan pada Gambar 5‐39,
memperlihatkan deformasi vertikal terhadap waktu untuk timbunan tanah
dengan overlay beberapa kali, diprediksi deformasi vertikal sebesar ‐0.14
92 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
cm selama 1000 hari, sedangkan timbunan oprit dengan mortar busa dari
tahapan pengupasan tanah asli yang diganti dengan mortar busa deformasi
vertikal yang terjadi ‐0.03 cm pada hari ke 100, untuk itu mortar busa dapat
mereduksi besarnya penurunan dibandingkan timbunan dengan
menggunakan tanah urugan biasa, baik pada oprit jembatan.
Gambar 5-39. Deformasi Vertikal (cm) Terhadap Waktu dengan Timbunan Tanpa Mortar Busa
dan Timbunan dengan Mortar Busa
5.3.3 Analisis Sensitifitas Analisis lain yang dilakukan adalah melakukan analisis sensitifitas berat isi
timbunan ringan terhadap besarnya penurunan yang terjadi. Berat isi
timbunan ringan dimodifikasi dengan rentang seperti yang diperlihatkan
pada Tabel 5‐13.
Bab 5 – Kinerja Timbunan Ringan Mortar Busa Oprit Jembatan di Kedaton, Crb, Jbr 93
Tabel 5-13. Kombinasi Rentang Nilai Berat Isi Timbunan Ringan
χUCS 800 kPa χUCS 2000kPaKombinasi Perhitungan (kN/m3) (kN/m3)
Kombinasi 1 6 6 Kombinasi 2 8 6 Kombinasi 3 10 6 Kombinasi 4 12 6 Kombinasi 5 6 8 Kombinasi 6 8 8 Kombinasi 7 10 8 Kombinasi 8 12 8 Kombinasi 9 6 10 Kombinasi 10 8 10 Kombinasi 11 10 10 Kombinasi 12 12 10 Kombinasi 13 6 12 Kombinasi 14 8 12 Kombinasi 15 10 12 Kombinasi 16 12 12
Gambar 5-40. Analisis Sensitifitas Berat Isi Timbunan Ringan Terhadap Penurunan
Kombinasi perhitungan analisis sensitifitas berat isi timbunan ringan
ternyata tidak banyak memberikan kontribusi yang besar terhadap
penurunan yang terjadi, deviasi ekstrim yang terjadi (kombinasi 1 dan
kombinasi 16) hanya sebesar 4 cm. Terlihat pula bahwa dengan
meningkatkan berat isi dua kali lipat, maka penurunan yang terjadi juga
94 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
sebesar dua kali lipat. Dari hasil analisis sensitifitas berat isi material ringan
dengan mortar busa, peningkatan berat isi sampai menjadi sebesar 12
kN/m3 menyebabkan terjadinya penurunan yang masih lebih kecil
dibandingkan heaving yang terjadi.
5.4 Evaluasi Kinerja Lokasi Oprit Jembatan Kedaton, Cirebon, Jawa Barat
Dari hasil evaluasi, kinerja timbunan ringan dengan mortar busa di Kedaton
memenuhi kriteria kinerja berdasarkan persyaratan Kimpraswil (2002b).
Dari hasil analisis numerik pada Gambar 5‐39, didapatkan faktor keamanan
sebesar 2.47, sedangkan Kimpraswil (2002b) mensyaratkan faktor
keamanan minimum sebesar 1,40.
Berdasarkan kriteria deformasi menurut Kimpraswil (2002b) dan SCDOT
(2008) timbunan ringan dengan mortar busa pada oprit jembatan,
memenuhi syarat kinerja. Menurut Kimpraswil (2002b) selama masa
konstruksi besarnya penurunan terhadap penurunan total selama masa
konstruksi (S/stot) harus lebih besar dari 90% dan kecepatan penurunan
setelah konstruksi harus lebih kecil 20 mm/tahun (lihat Tabel 2‐2).
Sedangkan berdasarkan analisis numerik, besarnya penurunan pada masa
konstruksi diprediksi lebih dari 90% dan kecepatan penurunan setelah masa
konstruksi diprediksi 10 mm/tahun.
Dari segi kriteria deformasi, kinerja timbunan ringan dengan mortar busa
memenuhi syarat penurunan diferensial vertikal antara ujung abutment
dengan slab terdekat oprit jembatan menurut SCDOT (2008). SCDOT
mensyaratkan penurunan diferensial tersebut sebesar 1.905 x Lslab,
dimana Lslab adalah panjang slab terdekat oprit jembatan (Lslab) diukur
dalam meter (lihat Tabel 2‐7). Untuk oprit timbunan ringan dengan mortar
busa di Kedaton, panjang slab terdekat oprit jembatan kedaton adalah
sebesar 2 m, sehingga besarnya penurunan diferensial maksimum menurut
Bab 5 – Kinerja Timbunan Ringan Mortar Busa Oprit Jembatan di Kedaton, Crb, Jbr 95
SCDOT (2008) adalah sebesar 3.81 cm. Berdasarkan analisis numerik
(Gambar 5‐39), deformasi vertikal diprediksi sebesar 0,03 cm. Selain itu,
pemantuan instrumen surface marker menunjukkan terjadi penurunan
diferensial sebesar 0.3 cm dalam kurun 7 bulan, dimana lokasi titik surface
marker berada pada jarak 5 meter dari abutmen jembatan. Oleh karena itu,
dapat disimpulkan bahwa timbunan ringan dengan mortar busa di Kedaton
memenuhi kriteria kinerja menurut SCDOT (2008).
96 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
6
KINERJA TIMBUNAN RINGAN DENGAN MORTAR BUSA,
LOKASI DI PANGKALAN BUN, KALIMANTAN TENGAH
Lokasi pekerjaan skala penuh untuk timbunan mortar busa pada badan
jalan di Ruas Jalan Pangkalan Lima‐Kumai, Pangkalan Bun, Kalimantan
Tengah, dapat dilihat pada Gambar 6‐1.
Gambar 6-1. Lokasi Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah
Bab 6 – Kinerja Timbunan Ringan dengan Mortar Busa, Lokasi di Pangkalan Bun, Kalteng 97
6.1 Kondisi Geologi dan Geoteknik Pangkalan Bun terletak di atas satuan Qs (endapan rawa). Satuan ini
tersusun atas gambut, lempung kaolinan, lanau sisipan pasir, dan sisa
tumbuhan. Berdasarkan penyelidikan tanah yang telah dilakukan pada ruas
jalan Pangkalan Lima‐Kumai, batuan dasar yang menyusun daerah ini
adalah endapan tanah lunak yang cukup tebal, dapat dilihat pada Gambar
6‐2
Gambar 6-2. Kondisi Geologi Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah
Dari hasil penyelidikan lapangan, lapisan tanah teratas adalah gambut
berserat menurut Kimpraswil (2002a) karena mempunyai kadar serat lebih
dari 75%. Kadar organik berdasarkan SNI 13‐6793‐2002 pada contoh
gambut yang diambil di Pangkalan Bun adalah antara 86.7% sampai 99.65%.
Gambut tersebut berada di atas lempung sangat lunak sampai lunak dengan
98 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
ketebalan antara 1 m sampai 7 m dengan nilai konus sondir (qc) kurang dari
6 kg/cm2. Hal ini konsisten dengan nilai batas‐batas Atterberg yang
menunjukkan bahwa kadar air lempung mendekati batas cair (LL) dan nilai
indeks konsistensi di bawah mendekati 1. Plot batas‐batas Atterberg dan
indeks konsistensi terhadap kedalaman diperlihatkan pada Gambar 6‐3.
Lapisan terbawah yang teridentifikasi dari hasil pemboran adalah lapisan
lempung pasiran dengan konsistensi teguh sampai kenyal dengan nilai SPT
antara 4 sampai 10.
Kriteria yang dipakai untuk menentukan suatu deposit tanah tergolong
tanah lunak adalah apabila memiliki kuat geser undrained (cu) dari 0 sampai
dengan 40 kPa (British Standard 5930:1981, 1981) atau nilai konus sondir
(qc) kurang dari 6 kg/cm2. Di bawah ini pembagian konsistensi tanah
berdasarkan tahanan konus sondir Tabel 6‐1.
Tabel 6-1.Klasifikasi Konsistensi Tanah Berdasarkan Nilai Tahanan Konus
Konsistensi Tahanan Konus, qc
(kg/cm2)
Sangat lunak (very soft) 0‐3
Lunak (soft) 3‐6
Teguh (firm) 6‐12
Kenyal (stiff) 12‐24
Sangat kenyal (very stiff) >24
Deskripsi pemboran menunjukkan adanya deposit tanah lunak pada
kedalaman 0 sampai 16 m, tanah lempung pasiran dengan konsistensi
teguh sampai keras berada di bawah tanah lunak tersebut.
Hasil pengujian SPT pada lapisan lempung pasiran memberikan nilai NSPT 4‐
10. Hal ini menunjukan bahwa lapisan lempung pasiran tersebut memiliki
konsistensi teguh sampai kenyal.
Bab 6 – Kinerja Timbunan Ringan dengan Mortar Busa, Lokasi di Pangkalan Bun, Kalteng 99
6.1.1 Index Properties Berdasarkan batas‐batas Atterberg, terlihat bahwa konsistensi tanah
lempung mempunyai konsistensi sangat lunak. Hal ini ditunjukkan dengan
plot kadar air mendekati batas cair (LL) dan nilai indeks konsistensi di
bawah mendekati 1. Plot batas‐batas Atterberg dan indeks konsistensi
terhadap kedalaman diperlihatkan pada Gambar 6‐3.
0
2
4
6
8
10
12
14
16
0 1
Dep
th (m
)
Consistency Index
2
Gambar 6-3.Batas-batas Atterberg dan Konsistensi Indeks
6.1.2 Sifat Kuat Geser Plot indeks plastisitas dan batas cair pada grafik plastisitas sistem USCS
(ASTM D 2487‐93, 1993) dapat dlihat Gambar 6‐4. Dari klasifikasi USCS,
lempung sangat lunak termasuk klasifikasi CH (lempung tak organik dengan
plastisitas tinggi, lempung gemuk), sedangkan lempung pasiran termasuk
klasifikasi CL (lempung tak organik, dengan plastisitas rendah sampai
sedang, lempung berkerikil, lempung kurus).
100 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Gambar 6-4. Grafik Plastisitas (Sistem USCS)
Berdasarkan nilai sondir, kuat geser undrained diperoleh dengan
pendekatan sebagai berikut:
Cu = 20qc
(kPa) . ………………………………………... (1)
Dengan persamaan tersebut, dapat diklasifikasikan sebagai tanah sangat
lunak dan tanah lunak karena mempunyai kuat geser undrained lebih kecil
dari 20 kPa. Plot kuat geser undrained berdasarkan korelasi dari sondir dan
hasil uji geser baling disajikan pada Gambar 6‐5.
Tabel 6-2. Klasifikasi Kuat Geser Undrained Berdasarkan (Kimpraswil,2002a)
Konsistensi Kuat geser undrained (kPa) Very stiff to hard >150
Stiff 100‐150 Firm to stiff 75‐100
Firm 50‐75 Soft to firm 40‐50
Soft 20‐40 Very soft <20
Bab 6 – Kinerja Timbunan Ringan dengan Mortar Busa, Lokasi di Pangkalan Bun, Kalteng 101
0
2
4
6
8
10
12
14
0 10 20 30 40
Depth (m)
Cu (kPa)
S7
VS 3
S10
VS 4
S2
VS 2
Gambar 6-5. Kuat Geser Undrained berdasarkan Sondir dan Uji Geser Baling
Sudut geser dalam efektif (φ’) hasil laboratorium memberikan nilai 13°‐20° (Gambar 6‐5). Plot plasticity index dan sudut geser dalam efektif
menunjukan rata‐ rata berada pada peak mean value dan residual value.
Plot hasil pengujian triaksial pada kurva Anon (Kimpraswil, 2002a)
diperlihatkan pada Gambar 6‐7.
102 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Gambar 6-6. Sudut Geser dalam Efektif
Gambar 6-7. Plot Sudut Geser dalam pada Kurva Anon (Kimpraswil, 2002a)
6.1.3 Sifat Kompresibilitas Berdasarkan klasifikasi kompresibilitas tanah pada Gambar 6‐8 (Coduto,
2004) tanah lempung mempunyai nilai kompresibilitas antara 0,15 sampai
0.35. Hal ini menunjukan bahwa tanah lempung memiliki kompresibilitas
sedang sampai tinggi. Tanah lempung pasiran mempunyai kompresibilitas
Bab 6 – Kinerja Timbunan Ringan dengan Mortar Busa, Lokasi di Pangkalan Bun, Kalteng 103
sekitar 0,1 dan termasuk klasifikasi sedikit kompresibel. Plot antara nilai
kompresibilitas terhadap kedalaman dapat dilihat pada Gambar 6‐9.
Gambar 6-8. Klasifikasi Kompresibilitas Tanah (Coduto,2004)
Gambar 6-9. Kompresibilitas Tanah
Plot nilai indeks kompresibilitas primer (Cc) dengan kadar air menunjukkan
bahwa nilai‐nilai tersebut mendekati garis korelasi dari Azzouz, Hough dan
104 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Serajuddin (Kimpraswil, 2002a). Plot Cc dan kadar air tersebut diperlihatkan
pada Gambar 6‐10.
Gambar 6-10. Korelasi antara Cc dan Kadar Air
Dari hasil pengujian oedometer, indeks kompresi primer Cc berkisar antara
0,2 sampai dengan 1,3 (Gambar 6‐11). Dari grafik tersebut terlihat bahwa
nilai Cc pada kedalaman 6‐10 m rata‐rata sebesar 1 sampai dengan 1,3 dan
lempung pasiran pada kedalaman 12 m sampai dengan 15 m Cc rata‐rata
sebesar 0,2.
Gambar 6-11. Nilai Cc Hasil Laboratorium
Bab 6 – Kinerja Timbunan Ringan dengan Mortar Busa, Lokasi di Pangkalan Bun, Kalteng 105
6.2 Konstruksi Timbunan dan Instrumentasi pada Badan Jalan
Konstruksi mortar busa pada badan jalan ruas Kumai‐Pangkalan Lima
sepanjang 400 m dengan tinggi timbunan 1,10 m, Ruas Jalan Pangkalan
Lima‐Kumai, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah.
6.2.1 Tahapan Pelaksanaan Konstruksi Timbunan Oprit Mortar Busa pada Badan Jalan
Kondisi eksisting badan jalan Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah arah
Kumai, terlihat pada Gambar 6‐12.
Gambar 6-12. Kondisi Existing Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah (dokumentasi pelaksanaan lapangan)
Pada awal konstruksi terlebih dahulu dipasang gorong‐gorong untuk
mengalirkan aliran air pada sekitar badan jalan, seperti terlihat pada
Gambar 6‐13 dan dilakukan penimbunan dengan menggunakan alat berat
pada lokasi sekitar gorong‐gorong sebagai dasar lantai kerja, terlihat pada
Gambar 6‐14.
106 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Gambar 6-13. Gorong-Gorong Terpasang (dokumentasi pelaksanaan lapangan)
Gambar 6-14. Penimbunan pada Badan jalan (dokumentasi pelaksanaan lapangan)
Tahapan selanjutnya melakukan penimbunan pasir diatas tanah asli sebagai
lantai kerja, terlihat pada Gambar 6‐15.
Bab 6 – Kinerja Timbunan Ringan dengan Mortar Busa, Lokasi di Pangkalan Bun, Kalteng 107
Gambar 6-15. Penimbunan Pasir pada Badan Jalan (dokumentasi pelaksanaan lapangan)
Setelah dilakukan penimbunan pasir, dilakukan pembuatan bekisting pada
sisi kanan dan kiri badan jalan dengan perkuatan dolken kedalaman 0,5
meter, seperti terlihat pada gambar Gambar 6‐16.
Gambar 6-16. Pembuatan Bekisting pada Sisi Badan Jalan (dokumentasi pelaksanaan lapangan)
Pembuatan bekisting untuk konstruksi timbunan mortar busa pada badan
jalan dibuat untuk satu jalur kendaraan terlebih dahulu, agar truk molen
108 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
penghampar mortar busa dapat melintasi lokasi, seperti terlihat pada
Gambar 6‐17.
Gambar 6-17. Pembuatan Bekisting di Badan Jalan (dokumentasi pelaksanaan lapangan)
Kondisi pelaksanaan penghamparan mortar busa dengan menggunakan
truk molen, dapat dilihat pada Gambar 6‐18 dan Gambar 6‐19.
Gambar 6-18. Penghamparan Mortar Busa (dokumentasi pelaksanaan lapangan)
Bab 6 – Kinerja Timbunan Ringan dengan Mortar Busa, Lokasi di Pangkalan Bun, Kalteng 109
Gambar 6-19. Penghamparan Mortar Busa dengan Truk Molen (dokumentasi pelaksanaan lapangan)
Kondisi setelah penghamparan mortar busa dapar dilihat pada Gambar 6‐
20, pelaksanaan pengecoran dilakukan dengan metode papan catur, yaitu
penghamparan mortar busa diloncati atau di lewati satu kotak bekisting
menunggu bekisting yang telah terpasang dapat dibuka untuk dipergunakan
pada tempat penghamparan mortar busa yang lain.
Gambar 6-20. Mortar Busa yang telah Dihampar (dokumentasi pelaksanaan lapangan)
Mortar busa yang telah selesai dihamparkan segera ditutup dengan bahan
penutup (terpal, plastik tebal) agar tidak terjadi penguapan yang berlebihan
untuk menghindari keretakan. Lahan yang akan dicor harus ditutup agar
110 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
tidak terkena sinar matahari secara langsung, hujan atau angin, seperti
terlihat pada Gambar 6‐21.
Gambar 6-21. Pemasangan Tenda pada Mortar Busa Sebagai Masa Perawatan (dokumentasi
pelaksanaan lapangan)
6.2.2 Kondisi Instrumen Terpasang Pada lokasi timbunan jalan dengan mortar busa lokasi Pangkalan Bun,
Kalimantan Tengah terpasang instrumen, dapat dilihat pada tabel Tabel 6‐3
dan Gambar 6‐22.
Tabel 6-3 Kondisi Instrumen Terpasang
Jenis Instrumen Simbol Sta 0+200 Sta 0+350 Sta 0+425 Settlement Sensor Vibrating Wire, Read Out Unit: GK‐4500
VW SP • Kedalaman 2m
o Serial Number: 1026356
o Baik dan dapat dipantau
• Kedalaman 2m
o Serial Number: 1026357
o Baik dan dapat dipantau
• Kedalaman 2m
o Serial Number: 1026358
o Baik dan dapat dipantau
Settlement Plate SP TIDAK ADA • Dipasang di bawah timbunan
TIDAK ADA
Bab 6 – Kinerja Timbunan Ringan dengan Mortar Busa, Lokasi di Pangkalan Bun, Kalteng 111
Jenis Instrumen Simbol Sta 0+200 Sta 0+350 Sta 0+425 ringan (elevasi ‐1.1 m), kondisi baik dan dapat dipantau
Piezometer Vibrating Wire, Read Out Unit: GK‐4500
PZ • Kedalaman 2m
o Serial Number: 1025543
o Baik dan dapat dipantau
• Kedalaman 6m:
o Serial Number: 1025542
o Baik dan dapat dipantau
TIDAK ADA • Kedalaman 6m:
o Serial Number: 1025541
o Baik dan dapat dipantau
Inclinometer Vertikal
INC.V Tidak bisa dipantau, pipa sudah bengkok
Inclinometer Horizontal
INC.H Dipasang di bawah timbunan ringan (elevasi sekitar ‐1.1m), tidak bisa dipantau karena pipa sudah bengkok
Magnetic Extensometer,
Read Out Unit: Geokon 403
EXT • Spider magnet di kedalaman 2‐14 m dengan interval 2 m.
• Kondisi: baik dan bisa dipantau
TIDAK ADA TIDAK ADA
Piezometer keramik cassagrande
PZC Kedalaman 2 m & 6 m, dipasang di tanah asli, di sisi timbunan ringan
Kedalaman 2 m & 6 m, dipasang di tanah asli, di sisi timbunan ringan
TIDAK ADA
Surface Marker interval per 5 m ditandai dengan paku payung dan nomor
SM
112 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Gambar 6-22. Sketsa Pemasangan Instrumentasi Lokasi Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah
Pada lokasi STA 0+200, terpasang beberapa instrumen berdasarkan kondisi
stratifikasi tanah dapat dilihat pada Gambar 6‐23.
Bab 6 – Kinerja Timbunan Ringan dengan Mortar Busa, Lokasi di Pangkalan Bun, Kalteng 113
Gam
bar 6
-23
Ilust
rasi
Graf
is In
stru
men
Ter
pasa
ng S
TA 0+
200
Ti
mbu
nan
lam
a
Gam
but S
anga
t Lun
ak
Lem
pung
San
gat L
unak
1 2
3 5Le
mpu
ng P
asira
n Te
guh
Keterangan
:
114 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
A. Instrumen Settlement Sensor Vibrating Wire
Settlement sensor vibrating wire digunakan untuk memantau penurunan
timbunan ringan. Read out unit yang digunakan untuk memantau adalah
Geokon GK4500.
Pressure sensor berfungsi untuk menentukan besarnya penurunan, ketika
terjadi penurunan, akan terjadi perubahan tekanan fluida dalam twin tube
yang kemudian dibaca oleh pressure sensor. Oleh karena itu, jika pressure
sensor tidak ditempatkan di tanah keras, maka bacaan tekanan fluida akan
terpengaruh. Skema instrumen tersebut diperlihatkan pada Gambar 6‐24.
Gambar 6-24. Skema Instrumen Settlement Sensor Vibrating Wire (Geokon. 2009)
Hasil monitoring instrumen sensor vibrating wire dapat dilihat pada
Gambar 6‐25 s.d. Gambar 6‐27.
Bab 6 – Kinerja Timbunan Ringan dengan Mortar Busa, Lokasi di Pangkalan Bun, Kalteng 115
Gambar 6-25. Grafik Settlement Plate Sta 0+200
Gambar 6-26. Grafik Settlement Plate Sta 0+350
116 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Gambar 6-27. Grafik Settlement Plate Sta 0+450
Data settlement plate vibrating wire tahun 2010 menunjukkan inkonsistensi
di mana penurunan terbesar yang terbaca mencapai 30 cm. Jika terjadi
penurunan sebesar 30 cm maka seharusnya sisa tinggi timbunan ringan
adalah 80 cm. Akan tetapi di lapangan, timbunan ringan dengan mortar
busa tidak mengalami penurunan sebesar itu.
Inkonsistensi data tersebut diduga diakibatkan pressure sensor tidak
ditempatkan di tanah keras. Geokon Instruction Manual Model 4600
Vibrating Wire menyebutkan bahwa sensor harus ditempatkan di tanah
keras. Pressure sensor tersebut ditempatkan pada kedalaman 21 m yang
seharusnya ditempatkan di kedalaman lebih dari 30 m. Pressure sensor
berfungsi untuk menentukan besarnya penurunan, ketika terjadi
penurunan, akan terjadi perubahan tekanan fluida dalam twin tube yang
kemudian dibaca oleh pressure sensor. Oleh karena itu, jika pressure sensor
tidak ditempatkan di tanah keras, maka bacaan tekanan fluida akan
terpengaruh.
B. Instrumen Piezometer Vibrating Wire
Monitoring piezometer vibrating wire dilakukan dengan menggunakan Read
Out unit Geokon GK‐4500.
Bab 6 – Kinerja Timbunan Ringan dengan Mortar Busa, Lokasi di Pangkalan Bun, Kalteng 117
Pada saat monitoring ini, teridentifikasi bahwa pada tahun 2010 dan tahun
2011 tidak dilakukan pembacaan initial reading yang menjadi acuan bagi
pembacaan selanjutnya. Hal ini terlihat dari nilai pembacaan tekanan air
pori tanah yang berbeda jauh dengan nilai tekanan air hidrostatik. Oleh
karena itu, walaupun kurang akurat, pada monitoring ini digunakan
pembacaan initial reading dari factory setting yang tertera dalam
Calibration Sheet. Data tahun 2010 dan tahun 2011 juga telah dikoreksi
dengan initial reading factory setting dari Calibration Sheet. Setelah
dilakukan koreksi tersebut, nilai tekanan air pori mendekati tekanan air
hidrostatik. Hasil monitoring Gambar 6‐28, Gambar 6‐29, dan Gambar 6‐30.
Gambar 6-28. Grafik Piezometer Vibrating Wire Sta 0+200 Kedalaman 2m
Gambar 6-29. Grafik Piezometer Vibrating Wire Sta 0+200 Kedalaman 6m
118 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Gambar 6-30. Grafik Piezometer Vibrating Wire Sta 0+450 Kedalaman 6m
Terlihat pada grafik di atas bahwa tekanan air sudah tidak mengalami
banyak perubahan. Perubahan yang terjadi hanya terjadi akibat pengaruh
pasang surut air sungai.
C. Instrumen Inclinometer Horizontal dan Vertical
Inclinometer adalah salah satu unit instrumentasi geoteknik yang digunakan
untuk mengukur pergerakan horizontal/vertical lapisan tanah/batuan.
Inclinometer horizontal terpasang di STA 0+200 dan di STA 0+450. Pada saat
monitoring bulan mei 2011 kondisi Inclinometer horizontal di STA 0+200
dan STA 0+450 sudah tidak dapat dibaca dikarenakan kedua pipa bengkok
dan menyebabkan torpedo inclinometer tidak dapat masuk. Hasil
pembacaan inclinometer horizontal dapat dilihat pada Gambar 6‐31 dan
Gambar 6‐32.
Bab 6 – Kinerja Timbunan Ringan dengan Mortar Busa, Lokasi di Pangkalan Bun, Kalteng 119
Gambar 6-31. Hasil Pembacaan Inclinometer Horizontal STA 0+200
120 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Gambar 6-32. Hasil Pembacaan Inclinometer Horizontal STA 0+450
D. Instrumen Extensometer
Extensometer digunakan untuk mengetahui penurunan yang terjadi setiap
lapisan tanah pada timbunan jalan mortar busa. Alat baca magnetic
extensometer yang digunakan adalah Geokon 6000. Alat untuk memantau
elevasi penyambung adalah waterpass digital Orion.
Bab 6 – Kinerja Timbunan Ringan dengan Mortar Busa, Lokasi di Pangkalan Bun, Kalteng 121
Gambar 6-33. Grafik Extensometer Sta 0+200
Pipa extensometer yang dipasang tahun 2010 teridentifikasi mempunyai
panjang sekitar 14 m sedangkan tanah keras berada di 30 m. Hal ini
menyebabkan pembacaan penurunan spider magnet menjadi terpengaruh
dengan penurunan pipa extensometer. Terbukti dengan tidak konsistennya
data, beberapa spider magnet menunjukkan penurunan sedangkan spider
magnet lainnya terjadi kenaikan. Maka, data monitoring tahun 2010 tidak
bisa digunakan sebagai baseline reading, dan data tahun 2011 pun tidak
bisa digunakan karena terjadinya penurunan pada pipa extensometer.
Untuk itu pada kegiatan pemantuan 2012 disarankan setiap pemantauan
extensometer harus dilakukan pemantauan elevasi top pipa extensometer
dengan menggunakan Waterpass pada waktu yang bersamaan. Waterpass
yang disarankan adalah tipe waterpass digital agar menghilangkan
kemungkinan kesalahan pembacaan dan mendapatkan data yang lebih
akurat. Disarankan elevasi titik top magnetic extensometer dikontrol
dengan elevasi dari GPS Geodetic setiap kali monitoring.
E. Instrumen Open Stand Pipe Piezometer (Cassagrande)
Instrumen open stand pipe piezometer (cassagrande) untuk mengetahui
pengaruh tinggi muka air terhadap timbunan jalan dengan menggunakan
122 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
mortar busa, alat yang digunakan untuk melakukan pemantauan dengan
menggunakan dipmeter, seperti terlihat pada Tabel 6‐4.
Tabel 6-4. Kondisi Instrumen Piezometer Pipe Cassagrande
No Jenis Instrumen Simbol Lokasi Kondisi Instrumen
1 Piezometer Pipe Cassagrande
PZC.1 0+200 (di tanah asli, sisi timbunan mortar busa, kedalaman H = 2
meter) Dapat dipantau
2 Piezometer Pipe Cassagrande
PZC.2 0+200 (di tanah asli, sisi timbunan mortar busa, kedalaman H = 6
meter) Dapat dipantau
3 Piezometer Pipe Cassagrande
PZC.1 0+350 (di tanah asli, sisi timbunan mortar busa, kedalaman H = 2
meter) Dapat dipantau
4 Piezometer Pipe Cassagrande
PZC.2 0+3350 (di tanah asli, sisi timbunan mortar busa, kedalaman H = 6 meter)
Dapat dipantau
Hasil pemantauan selama 7 bulan pada tahun 2012 dapat dilihat pada
Error! Not a valid bookmark self‐reference..
Tabel 6-5 Hasil Pemantauan Piezometer Cassagrande
No Keterangan Kedalaman
(m) STA
Tinggi Muka Air Bulan April 2012
(m)
Tinggi Muka Air Bulan Juni 2012
(m) 1 PZC.1 2 0+200 2.100 1.655
2 PZC.2 6 0+200 5.435 5.471
3 PZC.3 2 0+350 2.130 1.847
4 PZC.4 7 0+350 4.082 6.14
F. Instrumen Surface Marker
Instrumentasi surface marker dipasang untuk mengetahui indikasi
perubahan yang terjadi pada badan jalan dengan timbunan mortar busa.
Pemasangan surface marker dengan menggunakan paku payung pada
setiap sisi timbunan mortar busa dengan jarak interval per 5 meter kanan,
kiri dan tengah pada timbunan mortar busa yang diberi tanda dengan cat
semprot dan penomoran.
Bab 6 – Kinerja Timbunan Ringan dengan Mortar Busa, Lokasi di Pangkalan Bun, Kalteng 123
Mengingat uji coba skala penuh ini mempunyai panjang 400 m dan pada
beberapa lokasi terdapat retakan yang perlu diteliti serta adanya instrumen
baru maka pada pemantuan 2012 dipasang surface marker baru yaitu:
a. Surface marker longitudinal dengan jarak antara marker sekitar 5m di
sisi kiri dan kanan jalan.
b. Surface marker pada daerah retakan yang perlu diteliti, yaitu pada
lokasi yang mempunyai 2 box culvert yang berjarak sekitar 1.5m.
Surface marker dipasang pada permukaan aspal di atas kedua box
culvert dan di timbunan ringan yang berada di antara kedua box culvert
tersebut. Lokasi ini adalah di Sta 0 + 150.
c. Surface marker pada lokasi instrumen baru, yaitu peizometer open pipe
(cassagrande) di Sta 0+200 dan Sta. 0+350.
Pemantuan kondisi instrumentasi surface merker selain menggunakan
waterpass orion+, melakukan pemantuan dengan georeferencing geodetic
trimble 4700.
Tujuan dilakukan georeferencing adalah untuk:
A. Mengetahui lokasi Bench Mark (BM) dan lokasi uji coba skala penuh
dengan sistem koordinat WGS (word geodetic system)
B. Mengecek apakah pada BM (bench mark) terjadi penurunan
C. Mengecek apakah terjadi deformasi horizontal dan vertikal pada
beberapa point yang diteliti.
Georeferncing dilakukan dengan menggunakan alat GPS RTK (real time
kineumatic) Geodetic Trimble 4800 lt II, Georeferencing dilakukan pada
tanggal 12 ‐15 April 2012 dibandingkan dengan pemantauan pada tanggal
27 September ‐ 3 Oktober 2012.
Sebelum melakukan pengecekan BM dan deformasi pada beberapa point,
satu antenna disimpan di base station dan satu antenna disimpan sebagai
rover, di lokasi uji coba skala penuh selama 12 jam untuk mengoreksi
124 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
pengaruh troposfir atau lapisan athmosfer. Base Station berada di Kantor
BPN, Kota Waringan Barat, Pangkalan Bun.
Penurunan longitudal pada Gambar 6‐35 menunjukan adanya penurunan
badan jalan sebesar 0,043m berdasarkan pemantauan dengan
menggunakan alat geodetik trimble, pemantauan dilakukan pada STA
0+200.
Gambar 6-34. Pemantauan Bench Mark dengan GPS Geodetic (dokumentasi pemantauan di lapangan)
Bab 6 – Kinerja Timbunan Ringan dengan Mortar Busa, Lokasi di Pangkalan Bun, Kalteng 125
Gam
bar 6
-35.
Penu
runa
n Lo
ngitu
dina
l dan
Stra
tifika
si Ta
nah
126 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
6.3 Kondisi Umum Jalan dan Retakan Melintang pada Permukaan Aspal
Dari hasil survey teridentifikasi adanya retakan melintang pada permukaan
aspal.Aspal dibangun di atas timbunan beton ringan dengan ketebalan
secara kasar sekitar 5‐10 cm. Retakan pada permukaan aspal diperlihatkan
pada Gambar 6‐36 dan Gambar 6‐37. Retakan melintang didominasi pada
sisi kanan jalan arah ke Pangkalan Lima.
Gambar 6-36. Retakan melintang pada permukaan aspal (dokumentasi foto pematauan di lapangan)
Gambar 6-37. Retakan pada Permukaan Aspal Setelah Ditandai Cat (dokumentasi foto
pematauan di lapangan)
Bab 6 – Kinerja Timbunan Ringan dengan Mortar Busa, Lokasi di Pangkalan Bun, Kalteng 127
Gambar 6-38. Retakan Horizontal pada Sisi Timbunan Ringan yang Menyambung dengan
Retakan pada Permukaan Aspal (dokumentasi foto pematauan di lapangan)
Ploting retakan pengecoran pada mortar busa dapat dilihat pada Gambar 6‐
39 s.d. Gambar 6‐50, retak yang terjadi dan pergerakan retakan di‐plot‐kan
dengan warna merah, hijau dan coklat selama pemantauan 8 bulan.
Gambar 6-39. Ploting Segmen Pengecoran Per Lapisan STA 0+000 s.d. 0+030
128 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Gambar 6-40. Ploting Segmen Pengecoran Per Lapisan dan Retakan STA 0+030 s.d. 0+075
Gambar 6-41. Ploting Segmen Pengecoran Per Lapisan dan RetakanSTA 0+075 s.d. 0+110
Bab 6 – Kinerja Timbunan Ringan dengan Mortar Busa, Lokasi di Pangkalan Bun, Kalteng 129
Gambar 6-42. Ploting Segmen Pengecoran Per Lapisan dan Retakan STA 0+110 s.d. 0+150
Gambar 6-43. Ploting Segmen Pengecoran Per Lapisan dan Retakan STA 0+150 s.d. 0+180
130 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Gambar 6-44. Ploting Segmen Pengecoran Per Lapisan dan Retakan STA 0+180 s.d. 0+225
Gambar 6-45. Ploting Segmen Pengecoran Per Lapisan dan Retakan STA 0+225 s.d. 0+275
Bab 6 – Kinerja Timbunan Ringan dengan Mortar Busa, Lokasi di Pangkalan Bun, Kalteng 131
Gambar 6-46. Ploting Segmen Pengecoran Per Lapisan dan RetakanSTA 0+275 s.d. 0+300
Gambar 6-47. Ploting Segmen Pengecoran Per Lapisan dan Retakan STA 0+300 s.d. 0+340
132 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Gambar 6-48. Ploting Segmen Pengecoran Per Lapisan dan Retakan STA 0+340 s.d. 0+380
Gambar 6-49. Ploting Segmen Pengecoran Per Lapisan dan Retakan STA 380 s.d. 0+425
Bab 6 – Kinerja Timbunan Ringan dengan Mortar Busa, Lokasi di Pangkalan Bun, Kalteng 133
Gambar 6-50. Ploting Segmen Pengecoran Per Lapisan STA 0+425 s.d. 0+450
Retakan yang terjadi kemungkinan karena susut, dikarenakan berdasarkan
Kimpraswil (2004), mengenai pelaksanaan perkerasan jalan‐beton semen,
jenis perkerasan jalan beton semen menerus, tanpa tulangan karena susut
diakibatkan perubahan temperatur dan kelembaban. Retak susut plastis
sendiri adalah retak yang terjadi pada permukaan beton basah dan pada
saat masih plastis, penyebab utamanya adalah pengeringan permukaan
beton yang terlalu cepat yang dipengaruhi oleh kelembaban relatif,
temperatur dan udara serta kecepatan angin. Tingkat penguapan akan
sangat tinggi bila kelembaban kecil temperatur lebih tinggi dari temperatur
udara, dan bila angin bertiup pada permukaan. Bilamana terjadi kombinasi
panas, cuaca kering dan angin yang kencang akan mengakibatkan hilangnya
kelembaban yang lebih cepat dibandingkan dengan pengisian kemballi
rongga oleh proses aliran air. Jika laju penguapan air lebih dari 1,0 kg/m²
per jam, pencegahan harus dilakukan untuk menghindari retak susut plastis
yang terjadi.
134 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
6.4 Pemodelan Numerik 6.4.1 Parameter Desain Parameter desain diperoleh dengan merata‐ratakan nilai‐nilai parameter
yang representatif pada suatu lapisan tanah yang sama. Nilai
kompresibilitas dan koefisien konsolidasi diperoleh dari uji oedometer.
Parameter desain c’ dan Ф’ merupakan rata‐rata dari uji triaksial CU.
Analisis numerik dilakukan dengan bantuan piranti lunak Plaxis 2D versi 9
(Brinkgreve dan Broere, 2008). Dalam analisis numerik, digunakan model
tanah soft soil dengan beberapa karakteristik sebagai berikut:
- Kekakuan yang tergantung pada tegangan (perilaku kompresi
logaritmik)
- Pembedaan antara pembeban primer dan pelepasan‐pengulangan
beban
- Terekamnya tegangan prakonsolidasi
- Perilaku keruntuhan menurut kriteria mohr‐coulomb.
Parameter‐parameter tanah yang diperlukan dalam model SS adalah
parameter‐parameter dasar:
c = kohesi
φ = sudut friksi
ψ = sudut dilatansi
κ* = modifikasi indeks kembang
λ* = modifikasi indeks kompresi
νur = rasio Poisson untuk pelepasan‐pengulangan beban
k0NC = rasio tegangan σ'xx/σ'yy pada kondisi konsolidasi normal
M = parameter yang berkaitan dengan k0NC
Parameter untuk soft soil model diberikan pada Tabel 6‐6. Untuk tanah
timbunan dan pasir lepas (loose sand), digunakan model Mohr Coulomb
seperti terlihat pada Tabel 6‐7.
Bab 6 – Kinerja Timbunan Ringan dengan Mortar Busa, Lokasi di Pangkalan Bun, Kalteng 135
Tabel 6-6.Parameter Desain untuk Soft Soil Model
Tabel 6-7. Parameter Desain untuk Mohr Coulomb Model
6.4.2 Pemodelan Penurunan Pada STA 0+200 Pada Sta 0+200 dilakukan analisis pada potongan melintang karena pada
terdapat intrumentasi untuk mengukur penurunan yang akan di bandingkan
dengan hasil analisis. Pada STA 0+200 terdapat lapisan gambut berserat.
Berdasarkan data sekunder yang ada (borlog pemasangan instrumentasi)
ketebalan timbunan eksisting adalah 3 m. Muka air tanah berada pada
elevasi 0 m. Adapun pemodelan seperti pada Gamber 6‐51
Gambar 6-51. Model Geometri STA 0+200
136 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Analisis menggunakan peranti lunak plaxis menunjukkan total penurunan
pada akhir konsolidasi (pada saat tekanan air pori ekses lebih kecil dari 1
kPa) sebesar 37 cm. Penyebabnya adalah karena tebal lapisan perata
berupa pasir yang cukup tebal. Penurunan terbesar terletak pada lokasi
dilakukannya timbunan ringan seperti terlihat pada Gambar 6‐52.
Gambar 6-52. Vertical Displacements STA 0+200
Tekanan air pori ekses hasil analisis dan hasil pemantauan menunjukkan
konsistensi. Tekanan air pori pada kedalaman 2 m dari hasil analisis adalah
sebesar 17,7 kPa sedangkan berdasarkan pemantauan instrumentasi
piezometer vibrating wire sebesar 18.5 kPa.
Bab 6 – Kinerja Timbunan Ringan dengan Mortar Busa, Lokasi di Pangkalan Bun, Kalteng 137
0.00
2.00
4.00
6.00
0.01
0.10
1.00
10.00
100.00
1,00
0.00
10,000
.00
100,00
0.00
1,00
0,00
0.00
Teka
Waktu (h
ari)
8.00
10.00
12.00
14.00
16.00
18.00
20.00
nan Air Pori Ekses (kPa)
Tekana
n Air Pori Ekses ( H = ‐2
m)
"FEM
"
Gam
bar 6
-53.
Perb
andi
ngan
Wak
tu d
an T
ekan
an A
ir Po
ri Ek
ses (
kPa)
138 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
Berdasarkan analisis dan monitoring instrumen yang dilakukan pada STA
0+200 diketahui adanya perbedaan penurunan. Dari hasil analisis
penurunan selama 635 hari diprediksi sebesar 15 cm sedangkan hasil
pembacaan extensometer (plate magnet h = 0) dan settlement plat
vibrating wire penurunan yang terjadi masing‐masing 5 cm. Pembacaan
pada settlement plat vibrating wire terjadi perbedaan yang cukup signifikan
yaitu + 40 cm. Kemungkinan anomali terjadi pada settlemenet plate
vibrating wire. Anomali tersebut bisa terjadi karena adanya kerusakan pada
instrument, bila dilihat dari Gambar 5‐4, berdasarkan pemantauan surface
marker yang terpasang pada tahun 2012 dan didukung pemantauan GPS
geodetic terdapat penurunan sebesar 4,3 cm, selama 8 bulan pemantaun
(Maret 2012 – Oktober 2012).
Inkonsistensi data tersebut diduga diakibatkan pressure sensor tidak
ditempatkan di tanah keras. Geokon Instruction Manual Model 4600
Vibrating Wire menyebutkan bahwa sensor harus ditempatkan di tanah
keras. Pressure sensor tersebut ditempatkan pada kedalaman 21 m yang
seharusnya ditempatkan di kedalaman lebih dari 30 m. Pressure sensor
berfungsi untuk menentukan besarnya penurunan, ketika terjadi
penurunan, akan terjadi perubahan tekanan fluida dalam twin tube yang
kemudian dibaca oleh pressure sensor. Oleh karena itu, jika pressure sensor
tidak ditempatkan di tanah keras, maka bacaan tekanan fluida akan
terpengaruh.
Bab 6 – Kinerja Timbunan Ringan dengan Mortar Busa, Lokasi di Pangkalan Bun, Kalteng 139
Gam
bar 6
-54.
Defo
rmas
i Ver
tikal,
Wak
tu d
an P
erge
raka
n In
stru
men
tasi
STA
0+20
0.
140 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
6.5 Evaluasi Kinerja Mortar Busa Lokasi Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah
Dari hasil evaluasi, kinerja timbunan ringan dengan mortar busa di
Pangkalan Bun memenuhi kriteria kinerja berdasarkan persyaratan
Kimpraswil (2002b). Dari hasil analisis numerik pada Gambar 6‐, didapatkan
faktor kemanan sebesar 1.88, sedangkan Kimpraswil (2002b) mensyaratkan
faktor keamanan minimum sebesar 1,40.
Berdasarkan kriteria deformasi menurut Kimpraswil (2002) timbunan ringan
dengan mortar busa pada badan jalan, tidak memenuhi syarat kinerja.
Menurut Kimpraswil (2002b) selama masa konstruksi besarnya penurunan
terhadap penurunan total selama masa konstruksi (S/stot) harus lebih besar
dari 90% dan kecepatan penurunan setelah konstruksi harus lebih kecil 20
mm/tahun (lihat Error! Reference source not found.). Akan tetapi
berdasarkan analisis numerik, besarnya penurunan pada masa konstruksi
diprediksi hanya mencapai 21% dan besarnya kecepatan penurunan setelah
masa konstruksi diprediksi 7 mm/tahun. Hal ini didukung dengan
pemantauan elevasi timbunan dengan surface marker dan GPS geodetic
yang menunjukkan penurunan sebesar 43 mm selama 8 bulan pemantauan.
Oleh karena itu, konstruksi uji coba skala penuh ini tidak memenuhi kriteria
kinerja berdasarkan Kimpraswil (2002b).
Selain itu, teridentifikasi adanya retak refleksi pada perkerasan lentur di
atas timbunan jalan dengan mortar busa, yang dapat mengganggu
kenyamanan pengemudi. Retakan yang terdapat pada lokasi Pangkalan
Bun, diduga merupakan retak susut, retak susut mempunyai ciri retakan
terjadi pada arah tegak lurus terhadap arah lalu lintas seperti yang telah
diuraikan pada Bab 2.
Bab 6 – Kinerja Timbunan Ringan dengan Mortar Busa, Lokasi di Pangkalan Bun, Kalteng 141
142 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
7
PENUTUP
Pada buku ini telah dibahas evaluasi kinerja timbunan ringan dengan
mortar busa pada uji coba skala penuh di Kedaton (Cirebon, Jawa Barat)
dan di Pangkalan Bun (Kalimantan Tengah). Evaluasi kinerja dilakukan
melalui pemodelan numerik yang diverifikasi dengan hasil monitoring dari
instrumen terpasang. Untuk menilai kinerja timbunan, hasil analisis numerik
dan monitoring dibandingkan dengan kriteria timbunan menurut
Kimpraswil (2002b) dan SCDOT (2008).
7.1 Evaluasi Kinerja Timbunan Ringan dengan Mortar Busa pada Oprit Jembatan Kedaton
Uji coba skala penuh timbunan ringan dengan mortar busa pada oprit
Jembatan Kedaton dilaksanakan pada tahun 2009. Lokasi uji coba skala
penuh berada pada deposit tanah lunak yang tersusun atas aluvium
endapan sungai yang umumnya tersusun oleh bahan‐bahan berbutir halus
Bab 7 – Penutup 143
(lempung, lanau dan selingan pasir). Tanah lunak tersebut mempunyai
konsistensi sangat lunak dan lunak dengan tanah keras berada pada
kedalaman sekitar 30m.
Berdasarkan analisis dan kriteria yang disyartakan Kimpraswil (2002b) dan
SCDOT (2008), disimpulkan bahwa timbunan ringan dengan mortar busa
pada oprit Jembatan Kedaton memenuhi kriteria stabilitas dan deformasi.
Faktor keamanan timbunan diprediksi sebesar 2.47, sedangkan menurut
persyaratan Kimpraswil (2002b) minimal sebesar 1.4. Penurunan yang
terjadi pada oprit dengan timbunan ringan tersebut memenuhi syarat
deformasi dari kedua pedoman tersebut baik dari segi penurunan
diferensial maupun kecepatan penurunan pasca konstruksi.
7.2 Evaluasi Kinerja Timbunan Ringan dengan Mortar Busa di Pengkalan Bun
Pada tahun 2010, uji coba skala penuh timbunan ringan dengan mortar
busa sebagai timbunan badan jalan dilaksanakan pada Ruas Jalan Pangkalan
Lima‐Kumai, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Timbunan ringan tersebut
mempunyai tinggi 1,1 m dan panjang 400 m. Timbunan material ringan
dengan mortar busa terdiri dari dua lapis, lapis bawah dengan berat isi 0,8
t/m3 dan kuat tekan bebas minimum 800 kPa, dan lapis atas dengan berat
isi 0,6 t/m3 dan kuat tekan bebas minimum 2000 kPa.
Berdasarkan karakterisasi geoteknik, lokasi uji coba skala penuh Pangkalan
Bun, berada di atas tanah gambut dengan kadar organik mendekati 100%.
Lapisan gambut tersebut berada di atas tanah lempung sangat lunak
dengan variasi 6‐18 m.
Dari hasil analisis, disimpulkan bahwa timbunan ringan dengan mortar busa
memberikan kinerja yang memenuhi kriteria stabilitas menurut Kimpraswil
144 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
(2002b). Faktor keamanan diprediksi sebesar 1.88 sedangkan persyaratan
minimum adalah 1.4.
Dari segi kriteria deformasi, konstruksi uji coba skala penuh ini tidak
memenuhi syarat dari Kimpraswil (2002b). Kimpraswil (2002b)
mensyaratkan kecepatan penurunan saat konstruksi minimal harus
mencapai 90% dan penurunan pasca konstruksi maksimal sebesar 20
mm/tahun. Akan tetapi, penurunan selama masa konstruksi diprediksi
hanya mencapai 21% dan berdasarkan data monitoring, penurunan pasca
konstruksi relatif besar yaitu 43 mm/tahun. Ditengarai adanya lapisan pasir
perata yang cukup tebal di bawah timbunan ringan menyebabkan
terjadinya penurunan yang besar.
Selain itu, retak susut dari mortar busa menyebabkan terjadinya retak
refleksi pada perkerasan lentur di atas timbunan ringan. Retak refleksi ini
dapat mengakibatkan terganggunya kenyamanan pengemudi.
Uji coba skala penuh yang telah dilakukan memberikan umpan balik yang
sangat berharga untuk penyempurnaan teknologi timbunan ringan dengan
mortar busa. Oleh karena itu, penanganan retak susut dengan manajemen
konstruksi yang ketat, penambahan lapis agregat atau lapis penahan retak
refleksi antara timbunan ringan dan perkerasan lentur disarankan. Selain
itu, diperlukan monitoring lanjutan karena penurunan timbunan ringan
masih relatif besar.
Bab 7 – Penutup 145
146 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
DAFTAR PUSTAKA
AASHTO. 2010. LRFD Bridge Design and Spesification, Fifth Edition.
Washington DC, United States of America.
ASTM C 150 – 07. 2007. Standard Specification for Portland Cement.
American Standard Testing Material. ASTM International, West
Conshohoken, PA, USA.
ASTM C 191 – 04. 2004. Time of Setting of Hydraulic Cement by Vicat
Needle. ASTM International, West Conshohoken, PA, USA..
ASTM C 204‐11. 2011. Standard Test Methods for Fineness of Hydraulic
Cement by Air Permeability Apparatus. ASTM International, West
Conshohoken, PA, USA.
ASTM C 33 – 97. 1997. Standard Specification for Concrete Aggregates.
ASTM International, West Conshohoken, PA, USA..
ASTM C 595 – 09. 2009. Standard Specification for Blended Hydraulic.
American Standard Testing Material. ASTM International, West
Conshohoken, PA, USA.
ASTM C 94 – 94. 1994. Standard Specification for Ready Mix‐Mixed
Concrete. American Standard Testing Material. ASTM International,
West Conshohoken, PA, USA.
Daftar Pustaka 147
ASTM D 2487 ‐ 93. 1993. Unified Soil Classification System. American
Standard Testing Material. ASTM International, West Conshohoken, PA,
USA.
Binkot. 1990. PB‐0302‐76a. Petunjuk Pelaksanaan Perkerasan Kaku (Beton
Semen). Direktorat Jenderal Bina Marga Direktorat Pembinaan Jalan
Kota (Binkot).
Binkot. 1990. PB‐0303‐76b. Petunjuk Pelaksanaan Perkerasan Kaku (Beton
Semen). Direktorat Jenderal Bina Marga Direktorat Pembinaan Jalan
Kota (Binkot).
Binkot. 1990. PB‐0304‐76c. Petunjuk Pelaksanaan Perkerasan Kaku (Beton
Semen). Direktorat Jenderal Bina Marga Direktorat Pembinaan Jalan
Kota (Binkot).
Binkot. 1990. PB‐0305‐76d. Petunjuk Pelaksanaan Perkerasan Kaku (Beton
Semen). Direktorat Jenderal Bina Marga Direktorat Pembinaan Jalan
Kota (Binkot).
Binkot. 1990. PB‐0306‐76e. Petunjuk Pelaksanaan Perkerasan Kaku (Beton
Semen). Direktorat Jenderal Bina Marga Direktorat Pembinaan Jalan
Kota (Binkot).
Binkot. 1990. PB‐0307‐76f. Petunjuk Pelaksanaan Perkerasan Kaku (Beton
Semen). Direktorat Jenderal Bina Marga Direktorat Pembinaan Jalan
Kota (Binkot).
BM. 1983. Manual Pemeliharaan Jalan, Jenis Kerusakan Retak (Cracking)
Jalan. BinaMarga No. 03/MN/B/1983.
Brinkgreve, R.B.J.& Broere. 2008. 2D – Version 9.0 Manual, Delft
university of Technology & PLAXIS b. v., The Netherlands.
British Standard 5930:1981. 1981. Code of Practice for Site Investigation.
British Standards Instituition. 1981
Coduto, Donald. 2004. Foundation Design, Principle and Practice.
Djajaputra, A., dkk. 2005. Laporan Akhir Review Geoteknik Terhadap
Pekerjaan Galian dan Timbunan Proyek Pembangunan Jalan Tol
Cipularang Tahap II. Team Geoteknik LPPM ITB.
148 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa
DPU. 2006. ISBN: 979‐95959‐1‐6. Panduan Geoteknik Jalan. Edisi II. Japan
International Cooperation Agency dan Departemen Pekerjaan Umum
(DPU).
Febrijanto, Rudi. 2008. Laporan Akhir Penyusunan DED Uji Coba SkalaPenuh
TImbunan Badan Jalan Dengan Material Ringan. Laporan Penelitian
Pusat Penelitian dan Pengembangan Jalan dan Jembatan.
DepartemenPekerjaanUmum.
Geokon. 2009. Instruction Manual Model 4600 Vibrating Wire Settlement
Sensor (Geokon).
Handayani, Fasma. 2007. Timbunan Badan Jalan Dengan Bahan Timbunan
Ringan. Laporan Penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Jalan
dan Jembatan. Indonesia.DepartemenPekerjaanUmum.
Kemen. PU, 2011. Konsensus R0 Pedoman Perencanaan Timbunan Jalan
dengan Menggunakan Material Ringan Beton Busa. Kementerian
Pekerjaan Umum. 2011.
Kimpraswil. 2002a. Pt T‐09‐2002‐B. Panduan Geoteknik 2: Penyelidikan
Tanah Lunak Desain dan Pekerjaan Lapangan. Departemen
Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil).
Kimpraswil. 2002b. Pt T‐10‐2002‐B. Panduan Geoteknik 4: Desain dan
Konstruksi. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah
(Kimpraswil).
Kimpraswil. 2004. Pd T‐05‐2004‐B. Pelaksanaan Perkerasan Jalan Beton
Semen. Pusat Penelitian dan Pengembangan Prasarana Transportasi,
Badan Penelitian dan Pengembangan. Departemen Permukiman dan
Prasarana Wilayah (Kimpraswil).
Kuennen, Tom. 2009. Taming Disruptive Cracks to Preserve Pavements.
Road Science Tutorial. United States.
Mamlouk, Michael. 2006. Chapter 8: Design of Flexible Pavement. Arizona
State University, United States.
MTC, 1986. Pavement Condition Distress Identification Manual for Jointed
Portland Cement Concrete Pavements. Severity, Metropolitan
Transportation Commission.
Daftar Pustaka 149
NDLI, 1995.Modelling Road Deterioration and Maintenance Effects in
HDM‐4, Final Report Asian Development Bank Project RETA 5549. ND
Lea International, Vancouver, United States
SCDOT, 2008. Chapter 10 Geotechnical Performance Limit. Final SCDOT
Geotechnical Design Manual.
SNI 03‐3638‐1994: Metode Pengujian Kuat Tekan Bebas Tanah Kohesif.
SNI 03‐3976‐1995: Tata Cara Pengadukan Dan Pengecoran Beton
SNI 03‐4810‐1998: Metode Pembuatan dan Perawatan Benda Uji Beton Di
Laboratorium.
SNI 03‐6819‐2002: Agregat Halus Untuk Campuran Perkerasan Beraspal
SNI 06‐1140‐1989: Cara uji pH air dengan elektrometer
SNI 15 7064‐2004: Semen Portland Komposit
SNI 15‐2049‐1994: Semen Portland.
SNI 3419‐2008: Cara Uji Abrasi Beton di Laboratorium.
150 Kajian Penanganan Tanah Lunak dengan Timbunan Jalan Mortar Busa