48
56 BAB III PERJAMUAN KUDUS A. PENDAHULUAN C.J den Heyer mengatakan bahwa Perjamuan Kudus bertolak dari Firman Tuhan dan tradisi. Kata-kata yang Yesus ucapkan pada perjamuan terakhir bersama dengan para murid yang disertai dengan tindakan yang memadai hanya dapat dipahami bertolak dari tradisi Yahudi Kuno berdasarkan Perjanjian Lama tentang perayaan Paskah dan jamuan makan bersama. 1 Ucapan-ucapan Yesus yang singkat pada waktu Ia mengadakan perjamuan terakhir bersama para muridNya (Mrk 14:22-25, Mat 26:26-29, Luk 22-14-20) yang dikenal sebagai “Amanat Penetapan Perjamuan Malam,” juga surat Paulus di Korintus (1 Korintus 10;14-22 dan 11:17-34) tentang “Perjamuan Tuhan” merupakan dua petunjuk dan alasan yang kuat bagi gereja menetapkan dan memberi makna atas Perjamuan Kudus. Pemahaman Gereja yang berbeda-beda tentang Perjamuan Kudus, kadangkala menjadi salah satu alasan terjadinya konflik dalam Gereja yang berakhir dengan skisma. 2 Perbeda itu tidak hanya di antara Gereja Protestan dan Katolik, akan tetapi di antara gereja-gereja Protestan juga terjadi hal yang sama. Tanpa mempersoalkan pemahaman yang berbeda itu, di bagian ini penulis akan mengelaborasi latar belakang sosio-teologis dan makna Perjamuan Kudus dalam pengajaran Gereja. 1 C.D den Heyer, Perjamuan Tuhaan: Study Mengenai Paskah dan Perjamuan Kudus Bertolak dari Penafsiran dan Teologi Alkitabiah, (Jakarta: BPK-GM, 1997), xi 2 Ibid

BAB III PERJAMUAN KUDUS A. PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10539/4/T2_752014026_BAB... · Untuk mengenang peristiwa ini, ... saat bulan purnama atau berselang 1-2

Embed Size (px)

Citation preview

56

BAB III

PERJAMUAN KUDUS

A. PENDAHULUAN

C.J den Heyer mengatakan bahwa Perjamuan Kudus bertolak dari Firman

Tuhan dan tradisi. Kata-kata yang Yesus ucapkan pada perjamuan terakhir bersama

dengan para murid yang disertai dengan tindakan yang memadai hanya dapat dipahami

bertolak dari tradisi Yahudi Kuno berdasarkan Perjanjian Lama tentang perayaan Paskah

dan jamuan makan bersama.1

Ucapan-ucapan Yesus yang singkat pada waktu Ia mengadakan perjamuan

terakhir bersama para muridNya (Mrk 14:22-25, Mat 26:26-29, Luk 22-14-20) yang

dikenal sebagai “Amanat Penetapan Perjamuan Malam,” juga surat Paulus di Korintus (1

Korintus 10;14-22 dan 11:17-34) tentang “Perjamuan Tuhan” merupakan dua petunjuk

dan alasan yang kuat bagi gereja menetapkan dan memberi makna atas Perjamuan Kudus.

Pemahaman Gereja yang berbeda-beda tentang Perjamuan Kudus,

kadangkala menjadi salah satu alasan terjadinya konflik dalam Gereja yang berakhir

dengan skisma.2 Perbeda itu tidak hanya di antara Gereja Protestan dan Katolik, akan

tetapi di antara gereja-gereja Protestan juga terjadi hal yang sama.

Tanpa mempersoalkan pemahaman yang berbeda itu, di bagian ini penulis

akan mengelaborasi latar belakang sosio-teologis dan makna Perjamuan Kudus dalam

pengajaran Gereja.

1 C.D den Heyer, Perjamuan Tuhaan: Study Mengenai Paskah dan Perjamuan Kudus

Bertolak dari Penafsiran dan Teologi Alkitabiah, (Jakarta: BPK-GM, 1997), xi 2 Ibid

57

B. LANDASAN SOSIO-TEOLOGIS PERJAMUAN KUDUS

1. Perjamuan Kudus dalam Tradisi Perayaan Paskah Yahudi

Paskah (Pessakh) sesungguhnya berasal dari tadisi suku Keni di Mesir.

Tradisi ini adalah semacam pesta keluarga yang dilakukan oleh para peternak di musim

semi.3 Di musim semi biasanya domba dan kambing beranak, sehingga untuk menjaga

keselamatan dan menjamin kesuburan kawanan kambing dan domba diadakanlah ritual

penyembahan kepada dewa. Kepala keluarga memilih salah satu anak domba yang

terbaik, menyembelihnya dan memercik darahnya di tiang tenda, untuk menolak bala.4

Demikian juga saat musim menuai, suku Keni melakukan ritual pemujaan terhadap dewi

kesuburan dengan membawa hasil-hasil terbaik dari pertanian mereka. Kedua ritual ini

biasanya dilakukan di kuil atau juga di rumah.

Israel memberi makna baru terhadap perayaan Paskah. Paskah dipahami

sebagai peristiwa perbuatan Allah yang telah membebaskaan bangsa Israel dari

perbudakan di Mesir. Paskah (Ibr: Pesakh) dan (Yunani: Paskha) berarti melewatkan,

yakni kisah Allah membunuh (Pesakh) anak-anak sulung Mesir.5 Menjelang Israel keluar

dari Mesir, Allah memberi perintah kepada Musa supaya tiap-tiap keluarga menyembelih

anak domba jantan dan memercikan darahnya di setiap pintu, agar ketika Allah melalui

rumah-rumah Israel, mereka terhindar dari kematian anak sulung.

Peristiwa keluaran memberi inspirasi dan lambang pengharapan bagi banga

Israel. Untuk mengenang peristiwa ini, setiap tahunnya bangsa Israel melaksanakan pesta

Paskah. Allah telah membebaskan Israel dari Mesir dan mengaruniakan kepada mereka

“suatu negeri yang baik dan luas, negeri yang berlimpah susu dan madunya.”6 Setiap

3C. Groenen, Pengantar Ke dalam Perjanjian Baru, (Yogyakarta: Kanisius, 1980), 61

4 H.H Rowley, Ibadat Israel Kuna, (Jakarta: BPK-GM, 1983), 36

5Ibid., 11

6E. Martasudjito,Ekaristi: Tinjauan Teologis, Liturgi dan Pastoral, (Yogyakarta: Kanisius,

2005), 28

58

tahun Exodus dari Mesir tetap terkenang; suatu kenangan yang membangkitkan kembali

keberanian dan kekuatan yang membawa pengharapan dan kerinduan akan pembebasan

yang datang dari Allah sendiri. Itulah makna pesta Paskah yang tetap hidup bagi orang

Yahudi di antara masa lampau dan masa depan.7 Paskah dirayakan dengan motivasi

membarui sikap dan pengucapan syukur dengan sukacita. Pembaruan sikap yang

dimaksud adalah perubahan dari hidup lama sebagai bangsa tanpa identitas menjadi umat

Allah.8

Perayaan pesta Paskah Yahudi (Hag ha-pesakh) biasanya jatuh pada musim

semi bulan Maret- April, masa ketika bunga bermekaran, yakni pada tanggal 14 Nisan di

saat bulan purnama atau berselang 1-2 hari sesudah bulan purnama. Biasanya setelah

perayaan Paskah disusul dengan perayaan Roti tidak beragi. Tradisi Paskah ditandai

dengan masing-masing kepala keluarga membunuh seekor domba jantan yang berumur

setahun pada hari ke sepuluh bulan Abib dan disembelih pada hari ke empatbelas.9 Darah

domba dipercik di pintu sebagai tanda pembebasan dan penebusan. Bulan Abib dikenal

kemudian dengan nama bulan Nisan artinya “awal bulan” atau “permulaan dari tahun

keagamaan.” Kitab Keluaran mencatat bahwa “Paskah bagi Tuhan” adalah sebuah

seremonial yang sangat penting dilaksanakan dan biasanya diikuti dengan perayaan “roti

tidak beragi” (matsot).10

7 Martasudjita, Ekaristi,…, 50

8Rasid Rahman, Hari Raya: Hari Raya Liturgi, (Jakarta: BPK-GM, 2015, 13

9 Samuel J. Schutz, The Old Testament Speaks, (San Fransisco: Haper and Row Publisher,

1990), 65 10

Paskah dilakukan di rumah masing-masing (berupa perjamuan keluarga) yang dimulai

setelah senja. Domba disembelih (pesakh) di Bait Allah dan darahnya dipercik di atas altar, dagingnya

dipanggang lengkap dengan kepala sampai beserta perut menjadi hidangan utama di atas meja. Sehabis

perjamuan, sisa daging yang tinggal sampai pagi, dibakar habis dengan api. Tata cara perayaan (seder) itu

adalah sebagai berikut: Setelah matahari terbenam tanda dimulainya hari Paskah Pertama, anggota keluarga

(sepuluh sampai limabelas orang) berkumpul di ruang keluarga. Sebelum memulai anak-anak mencari sisa

ragi dan membuangnya (bedicat chametz), kemudian nyonya rumah menyalakan lilin-lilin paskah

(handlakat he-nerot). Pemberkatan lilin dan cawan anggur pertama (kaddesh,) dan mencuci tangan

(urchatz). Makanan yang disiapkan dalam jamuan ini adalah domba paskah, sayur pahit, roti dan cawan

59

Pada Perjamuan Paskah, domba Paskah adalah sesuatu yang sagat penting.

Bahkan perjamuan Paskah tanpa domba Paskah benar-benar tidak lengkap. Mengapa?

Karena menurut kisah Exodus, domba Paskah memegang peranan penting dalam lingkup

kesepuluh tulah yang dijatuhkan Allah kepada Mesir. Kematian seluruh anak sulung laki-

laki Mesir menyebabkan bangsa Israel harus menyembelih anak domba dan menyekakan

darahnya di ambang pintu rumah mereka. Darah domba itulah yang telah menyelamatkan

(Passover) bangsa Israel dan anak-anak sulung mereka dari wabah kematian. Peristiwa

itu sekaligus menjadi “kunci kendaraan” bagi Israel pada saat meninggalkan Mesir.

Selain unsur di atas, ada empat cawan yang tersedia di atas meja, yaitu:11

cawan pertama merupakan cawan pembuka disertai beberapa ucapan untuk memberkati

hari raya tersebut. Cawan kedua diberikan setelah penjelasan mengapa hari raya itu

dirayakan, cawan ketiga diberikan setelah menyantap domba paskah, roti tidak beragi dan

sayur pahit, sementara cawan keempat diberi terakhir bersamaan mazmur pujian. Meja

perjamuan Paskah yang penuh dengan berbagai macam hidangan dan piala membuktikan

anggur. Sebagai pembuka ialah pemecahan roti tak beragi dan memakannya (yachhatz) serta mencari

afikomen. Hidangan pembuka adalah salad yang dicelupkan cuka dan air garam (karpas) dan diselingi

dengan minum dari cawan anggur. Kemudian para tamu makan sayur pahit, dan haroset yaitu percampuran

kenari, buah dan anggur. Banyak makanan yang dimakan pada perjamuan ini yang tidak dimakan pada

perjamuan lainnya. Oleh karena itu biasanya anak-anak akan bertanya kepada orangtuanya (bapak atau

kakeknya). Untuk menjawab pertanyaan itu orang tua harus menjelaskan dengan Haggadah. Artinya

menceritakan hal-hal penting bagi generasi penerus berupa kisah perbudakan di Mesir dan pembebasan yang

dilakukan oleh Allah. Biasanya orangtua akan memulai dengan “ dulu bapaku seorang Aram, pengembara.

Ia pergi ke Mesir dengan sedikit orang saja dan tinggal di sana…”( dst seperti tertulis dalam ulangan 26:5-

6). Setelah cerita selesai hadirin minum anggur yang ke dua (maggid) dan mencuci tangan kedua (rachtzah).

Kemudian pemberkatan dan memaka roti tidak beragi (motzi atau matsah), makan sayur pahit (maror) dan

makanan penutupnya (korech). Tahap berikut adalah perjamuan festival (schulchan orech) dan memakan

afikomen (tzafun). Setelah makan, hadirin minum anggur ketiga dan undangan bagi Nabi Elia (barech), di

antarasetiap minuman dan hidangan selalu dibarengi dengan nyanyian Mazmur (hallel), yakni pasal 113,

114 pada bagian pertama dan pasal 115-118 pada bagian penutup sebagai Mazmur Paskah. Hidangan

terakhir adalah domba Paskah yang berumur sekitar setahun sehingga hanya cukup untuk sepuluh sampai

limabelas orang saja. Terakhir adalah nyanyian mazmur-mazmur dan minuman anggur keempat (nirtzah).

Lihat Rasid Rahman, Hari Raya,…, 12-14

11

Eko Riyadi, Lukas: Sungguh orang Ini adalah Orang Benar, (Yogyakarta: Kanisius,

2011), 247

60

bahwa pesta itu dirayakan dalam pengharapan bahwa pembebasan akan segera datang.

Anggur yang menandakan sukacita dan gembira, benar-benar menjiwai citra Mesianik.12

Berhubung Paskah adalah puncak peringatan pembebasan, kesadaran

nasionalisme Yahudi dibangkitkan dan harapan akan kedatangan Mesias yang

menyelamatkan Yahudi diperteguh kembali. Maka pada saat itu ribuan peziarah kembali

ke Yerusalem dan tersebar di seluruh kota merayakan pesta. Dimana-mana orang

merayakan pesta dengan makan dan minum sepuasnya. Perayaan ini dimulai sejak senja

dan berakhir hingga larut malam. Pesta ini penuh dengan sukacita dan kehangatan. Kota

Yerusalem menjadi milik bersama, setiap peziarah berhak masuk ke dalam rumah

siapapun untuk merayakan paskah dan biasanya setiap keluarga menyediakan beberapa

ruangan khusus yang diberi dengan cuma-cuma bagi setiap tamu yang datang.13

Dari penjelasan di atas, ada tiga hal yang dapat disimpulkan. Pertama, Pesta

Paskah merupakan simbol kemerdekaan dan keselamatan yang dikerjakan Allah bagi

umat Israel. Pesta ini selalu ditandai dengan ritual berdarah, penyembelihan binatang

kurban (domba paskah) dan pemercikan darah untuk mengenang peristiwa penyelamatan

(pass over) Israel dari kematian di Mesir. Kedua, Peristiwa ini menjadi simbol yang

memberi identitas baru bagi Israel. Bangsa yang merdeka dan umat pilihan Allah.

Identitas ini memberikan suatu kondisi yang baru bagi Israel (Yahudi) untuk memulai

babak baru dalam sejarah keselamatan mereka. Dan ketiga, merupakan simbol yang

memperkuat ikatan kekerabatan dan nasionalisme di antara orang-orang Yahudi.

12

C.D den Heyer, Perjamuan Tuhan,…, 40 13

JT Nielson, Kitab Injil Matius, (Jakarta: BPK-G, 2012), 93

61

2. Legitimasi Penetapan Perjamuan Kudus

2.1. Injil Sinoptik

Perjamuan Malam Paskah yang dilakukan oleh Yesus bersama dengan para

murid dalam catatan Matius dan Markus memiliki makna pada kematian Yesus yang

dapat diraba dan didengar dalam penjelasan yang diberikanNya kepada murid-muridNya

pada malam itu (Matius 26:6-29, Mark 14:22-25). Menurut Matius dan Markus kematian

Yesus adalah kuban tebusan bagi dosa manusia. Yesus mempersembahkan diriNya

melalui kematian di kayu salib agar manusia mendapatkan keselamatan.14

. Melalui kata-

kataNya kepada para murid malam itu, Yesus memahami bahwa diriNya adalah Ebed

Yahwe dalam Deutro Yesaya yang akan mengalami penderitan dengan menuangkan

darahNya dan menyerahan nyawaNya ke dalam maut (Yesaya 53:12). KematianNya

menjadi Perjanjian Baru yang telah dinubuatkan Yeremia (Yer 31:33-34).

Tepat pada waktu orang banyak sibuk mempersiapkan anak-anak domba

yang dijadikan pada domba Paskah pada tanggal 14 Nisan (sehari menjelang Perayaan

Paskah), Yesus mempersiapkan dan mempersembahkan diriNya sebagai kurban Paskah

yang sesungguhnya. Ia adalah domba Paskah yang akan “disembelih” di puncak

perayaan Paskah malam itu. Darah domba Paskah yang biasa ditumpahkan oleh satu

keluarga untuk keluarganya sendiri, kini darah Yesus yang berharga itu dicurahkan untuk

menyelamatkan semua orang. Perjamuan Paskah Yesus itu menjadi anamnesis akan

penderitaan dan kematian Yesus yang membawa perdamaian.15

Tindakan Yesus memecah roti melambangkan penyerahanNya dan

pengorbanan diriNya. Yesus menyerahkan tubuh dan darahNya sendiri kepada para

muridNya secara simbolis melalui roti dan anggur. Sukacita Paskah yang dirayakan oleh

14

Eko Riyadi, Matius: Sungguh Ia ini adalah Anak Allah, (Yogyakarta: Kanisius, 2011),

208 15

JT Nielson, Kitab Injil Matius,…, 100

62

Yesus bersama murid-muridNya adalah masa dukacita yang tidak bisa dihindari oleh

Yesus. Yesus menjadi anak domba yang darahNya menggantikan darah domba biasa,

untuk keselamatan semua orang.16

Darah Yesus yang ditumpahkan menjadi tanda

Perjanjian Baru, antara manusia dan Allah.17

Pemahaman Lukas tidak jauh berbeda dengan Matius dan Markus. Ia

mencatat roti yang diberi Yesus kepada para murid adalah tubuh Yesus yang diserahkan

sebagai kurban keselamatan murid-muridNya. Yesus memberi arti baru bagi roti yang

dibagikanNya itu kepada murid-muridNya sebagai simbol dari Paskah itu sendiri.18

Satu

catatan Lukas yang berbeda dari Matius dan Markus adalah perbincangan Yesus kepada

para murid “sejenak seusai mereka makan.” Perbincangan ini menjadi penting bagi

Lukas untuk memberi salah satu makna dalam Perjamuan Kudus. Tindakan Yesus yang

menjadi “pelayan meja” bagi para murid adalah sebuah keteladanan di antara para murid

yang berlomba ingin menjadi yang terbesar di antara yang lainnya. Yesus membawa

sebuah revolusi dengan menanggalkan dominasi dan membaktikan dirinya untuk

melayani. Inilah signifikansi yang dinyatakan oleh Lukas tentang perjamuan Malam

Yesus. Ajaran ini harus dimengerti oleh orang Kristen ketika mereka berkumpul dan

memecahkan roti.19

2.2. Injil Yohanes

Membaca sepintas Injil Yohanes hampir tidak ditemukan teks yang secara

langsung menyinggung “penetapan” Perjamuan Kudus. Namun dalam catatan yang

berkembang mengatakan, “sesungguhnya Yohanes dan Pauluslah yang menjadi landasan

16

Jacob Van Bruger, Markus: Injil Menurut Petrus, (Jakarta:BPK-GM, 2011), 520 17

David Imam Santoso, Teologi Matius, (Malang: SAAT, 2009), 210 18

Eko Riyadi, Lukas,…,248 19

Josep A Grasi, Broken Bread and Broken Bodies, (New York: Orbis Books, 1985), 66

63

kuat bagi gereja untuk menetapkan Perjamuan Kudus sebagai sakramen penting dalam

Gereja.”20

Ada beberapa pokok pikiran Yohanes yang kemudian dipakai oleh Gereja

untuk memaknai Perjamuan Kudus. Pertama, Pidato Yesus tentang “Roti

Hidup”(Yohanes 6). Yohanes menyebut Yesus adalah Roti kehidupan (Yoh 6:35). Dia

adalah Roti kebenaran yang diberikan Bapa yang turun dari surga dan memberi

kehidupan kepada dunia. Kedua, Yohanes mencatat bahwa kematian Yesus tepat pada

“Hari Persiapan Paskah” (Yoh 19:14,31). Kematian Yesus yang terjadi tepat pada waktu

Perayaan Paskah Yahudi ditempatkan oleh Yohanes sebagai kematian Anak Domba

Paskah yang sesungguhnya. Yesuslah Anak Domba yang akan menghapus dosa manusia

(Yoh 1:29) yang dimaksud oleh Yohanes di awal pemberitaannya.

Yohanes menghubungkan kematian Yesus di kayu salib dengan

penyembelihan anak domba Paskah di Bait Suci Yerusalem. Dengan menemukan

identifkasi ini, sesungguhnya Yohanes lebih maju jauh dari tradisi Kristen mula-mula,

sehingga amanat Yesus pada saat memecah-mecahkan roti dan memberikan anggur

kepada para murid sesungguhya menyatakan kesengsaraan dan kematian Yesus sendiri.

Jadi bukan roti tidak beragi dan anggur yang menandakan sukacita, melainkan darah

domba Paskah yang berabad-abad dikenang yang pernah melindungi umat Israel dari

kematian yang keji di Mesir. Sama seperti domba Paskah di masa lalu (saat keluar dari

Mesir) yang telah menyelamatkan Israel dari kematian, demikian darah Yesus (Anak

domba Paskah yang baru) dicurahkan pada kehidupan setiap orang yang percaya

kepadaNya.

20

Martasudjita, Ekaristi,…, 235

64

2.3. Surat Paulus

Teks Paulus mengenai Ekaristi terdapat dalam suratnya yang pertama di

Korintus. Surat ini bertujuan untuk menanggapi berbagai persoalan dan ketegangan yang

terjadi di dalam jemaat Korintus. Salah satu persoalan itu adalah ketimpangan yang

sangat “memalukan dan menghinakan” jemaat Allah pada saat orang-orang kaya

melakukan perjamuan makan.21

Jemaat cenderung mengelompokan orang lain

berdasarkan status sosialnya. Orang kaya seringkali menghina dan mempermalukan orang

miskin yang tidak punya apa-apa.

Permasalahan ini sangat serius dan berpotensi menjadi alasan terjadinya

perpecahan di dalam jemaat.22

Oleh karena itu Paulus menentang kecenderungan gaya

hidup komunitas yang demikian. Bagi Paulus, kesatuan di dalam sebuah jemaat adalah

menjadi dasar utama perayaan dan pelaksanaan perjamuan. Komunitas yang menyatu,

komunitas tanpa pembedaan status sosial adalah dasar yang dibutuhkan untuk Ekaristi.

Komunitas yang terpecah belah menyelewengkan realitas ekaristi yang sesungguhnya.23

Perintah Yesus yang disampaikan oleh Paulus di Korintus terkait Perjamuan

Tuhan, dijelaskan oleh Yosep Fitzmyer dengan mengatakan:

Bagi Paulus, Ekaristi adalah Perjamuan Tuhan, perjamuan makan dimana

umat Allah yang baru menyantap “makanan rohani” dan meneguk

21

Martasudjita, Ekaristi,..., 236 22

Dalam penelitian arkaelog yang dilakukan oleh Murphy-O‟Cornor sebagaiman dikutip

oleh KenanB. Osborne mengatakan bahwa umumnya ruang makan orang kaya di Korintus diseting

sedemikian rupa, sehingga tamu-tamu yang datang dan ikut dalam perjamuan makan akan terlihat jelas

berdasarkan tempat duduknya dan makanan apa yang ia peroleh dalam perjamuan tersebut. Tuan rumah dan

tamu istimewa mendapat tempat duduk di bagian dalam ruang makan di dalam rumah dan biasanya hanya

menampung 6-9 orang saja. Sedangkan tamu yang lain hanya bisa duduk di serambi rumah (ruangan

terbuka). Dengan keadaan seperti itu dapat dibayangkan bahwa hanya tuan rumah dan tamu-tamunya yang

kaya saja yang mendapat makanan dan minuman yang lebih banyak, sedangkan yang bukan tamu istimewa

yang berada di luar hanya mendapat sedikit makanan bahkan seringkali tidak mendapat apa-apa. Mereka

yang menyediakan makanan banyak tidak bersedia membagikan kepada yang berkekurangan. Jelas bahwa

di Jemaat Korintus tidak ada persaudaraan, tetapi yang sangat diutamakan adalah kepentingan diri sendiri

dan kelompok. “tiap-tiap orang makan makanannya sendiri, sehingga yang seorang lapar dan yang lainnya

mabuk” (1 Kor 11:21). Lihat. Kenan O Osborne, Komunitas, Ekaristi dan Spiritualitas, (Yogyakarta:

Kanisius, 2008), 27-30 23

Ibid., 39

65

“minuman rohani-nya”. Dengan tindakan ini, umat Allah yang baru

menyatakan dirinya sebagai komunitas “perjanjian baru,” karena mereka

berbagi pada “meja perjamuanTuhan.” Persekutuan jemaat tidak hanya

menunjukan kesatuannya dengan Kristus dan jemaat yang lain, tetapi juga

sebuah penyataan tentang peristiwa Kristus dan sifat eskatologisnya.24

Oleh karena itu dalam suratnya Paulus mengingatkan dua hal. Pertama,

Perjamuan Kudus adalah tidak hanya sebatas mengingat kembali makna dari kesengsaraan

dan kematian Yesusdalam menebus manusia dari hukuman dosa, akan tetapi juga

memberitakan kematianNya hingga Ia datang kembali.25

Untuk mengenang dan

memperingati itu, setiap orang seharusnya mengucap syukur dengan penuh sukacita

karena bebas dari hutang dan dosa. Sukacita itu terpenuhi di dalam kebersamaan dan

kesatuan di antara sesama komunitas (jemaaat). Karena kebersamaan-kesatuan itu

melambangkan kebersamaan-kesatuan dengan Kristus.

Kedua, Perjamuan Tuhan adalah perjamuan Eskatologis. Itulah sebabnya

Paulus berkata,“sebab setiap kali kamu makan roti ini dan minum anggur dari piala ini

kamu memberitakan kematian Tuhan sampai ia datang” (1 Kor 11:26). Melalui

Perjamuan Tuhan, kesatuan jemaat dengan Kristus dan sesama sudah terbentuk, namun di

pihak lain kesatuan tersebut belum berakhir. Dalam Perjamuan Tuhan ada tanda harapan

dan gambar yang mendahului pemenuhan di akhir zaman, yakni ketika Yesus datang

untuk kedua kalinya. Oleh karena itu perayaan Perjamuan Kudus merupakan kesatuan-

kebersamaan dengan Tuhan dan sesama yang menantikan kepenuhannya secara final dan

kekal pada saat kedatangan Yesus yang kedua kalinya.

24

Kenan B Osborne, Komunitas,..., 34 25

Ebenhaizer I. Nuban Timo, Allah menahan Diri,..., 371

66

C. INTERPRETASI DOGMATIS TERHADAP MAKNA PERJAMUAN KUDUS

Dari penelusuran sosio-teologis di atas, ditemukan tiga fakta. Pertama,

pemahaman terhadap makna “Perjamuan Kudus” tidak terlepas dari makna sosial dan

religius perjamuan makan Paskah dan ritus kurban dalam masyarakat Yahudi. Kedua,

Istilah “Perjamuan Kudus” tidak terdapat di dalam Alkitab. Istilah ini merupakan

rekonstruksi kemudian yang dibuat oleh gereja. Ketiga, perkataan Yesus di Perjamuan

Paaskah malam itu yang dipertegas kembali oleh Paulus menjadi legitimasi bagi gereja

untuk menetapkan Perjamuan Kudus sebagai salah satu sakramen Gereja.

Secara umum Perjamuan Kudus menyimpan tiga makna. Pertama, makna

kesatuan (unity) antara manusia dengan Allah. Kedua, makna keselamatan melalui

pengurbanan Yesus (Jesus sacrifice). Ketiga, makna pengharapan akan kehidupan pada

kedatangan Yesus yang kedua kalinya.

1. Perjamuan Kudus adalah Jamuan Makan Bersama Yesus

Persitiwa jatuhnya manusia ke dalam dosa di Taman Eden disebabkan oleh

makan/makanan. Adam dan Hawa menjadi berdosa karena tiga hal,26

mereka makan

sendiri-sendiri, mereka makan sembunyi-sembunyi dan mereka makan membelakangi

Tuhan.27

Semua perbuatan ini adalah perbuatan yang telah dipengaruhi oleh Iblis.

Perjamuan makan yang dilakukan oleh Yesus dengan mengundang manusia

makan bersama menjadi tanda penyelesaian dosa tersebut. Perjamuan yang dilakukan

oleh Yesus adalah sebuah perjamuan yang menggambarkan Perjamuan Kerajaan Allah

yang di dalamnya manusia makan bersama-sama, manusia makan secara terbuka (setiap

orang mendapat jatah yang sama), dan makan di hadapan Allah. Tiga cara makan ini

berkaitan erat dengan tiga isi karya pendamaian, yakni berhubungan pembenaran,

26

Ibid., 359 27

Hal ini diperlihatkan dengan jelas oleh Yudas di malam Perjamuan Paskah yang dirayakan

oleh Yesus. Setelah Ia menerima roti, Ia pergi dan membelakangi Yesus ( Yoh 13:20-36)

67

pengudusan dan penugasan. Makan bersama-sama berhubungan dengan pembenaran

(justification), makan secara terbuka berhubungan dengan pengudusan (sanctification),

dan makan di hadapan Allah berhubungan dengan penugasan (vocation).28

Perjamuan makan di dalam Perjamuan Kudus adalah tanda dari karya

pendamaian antara manusia dengan Allah yang di dalamnya ketiga karya pendamaian

tersebut di atas ada. Pertama, pembenaran. Persekutuan orang-orang yang makan bersama

menerima roti dan anggur yang sama, mengelilingi satu meja yang sama adalah

representasi pembenaran yang dilakukan oleh Kristus melalui Roh Kudus bagi manusia.

Saat manusia masih terasing dari Allah, manusia makan sendiri-sendiri yang pada

akhirnya menimbulkan kecurigaan, saling mempermasalahkan, dan tidak ada kejujuran.

Kebenaran yang ada hanyalah kebenaran dari sudut pandang aku dan engkau.

Makan sendiri-sendiri, menimbulkan disharmonisasi dalam sebuah

komunitas. Akan tetapi makan bersama di meja Perjamuan Kudus, mengajarkan orang

untuk saling berbagi dan meninggalkan egoismenya. Park Jae Soon mengatakan bahwa,

”gerakan persekutuan di meja makan yang diprakarsai oleh Yesus adalah gerakan yang

membebaskan manusia dari egoisme kepada persekutuan sejati yang telah

diperdamaikan.”29

Makan bersama di meja Perjamuan Kudus menandakan bahwa tidak

ada kecurigaan dan sikap saling mempersalahkan. Karena setiap orang menerima roti dan

anggur dalam ukuran yang sama. Perjamuan itu adalah perjamuan transparan dimana

semua orang bisa melihat satu dengan yang lainnya. Kebenaran yang ada adalah

kebenaran bersama. Orang saling mengampuni, sehingga persekutuan semakin kuat dan

kokoh.

28

Nuban Timo, Allah Menahan Diri,…, 359 29

Park Jae Soon, Jesus: Table Community Movement and The Church” dalam Asia Journal

of Theology Vol 7, Number 1, April 1973, 74

68

Dalam pandangan Yesus makanan adalah simbol sentral kerajaan, yaitu

suatu keadaan dimana semua diterima pada meja perjamuan dan semua memiliki

secukupnya.30

Makan dan minum bersama menghadirkan suasana dunia ilahi dan

persekutuan dengan Allah. Oleh karena itu itu beberapa pendeta agama lokal menjelaskan

bahwa makan bersama dalam ritual-ritual tradisional mengandung pesan kesediaan dari

peserta ritus untuk menjadikan darah dan daging mereka pesan dan nilai-nilai yang

terkandung di dalam pelaksanaan ritus, pasca penyelenggaraan ritual-ritual dimaksud.31

Perjamuan makan dalam Perjamuan Kudus berhubungan dengan karya

kedua, yakni, pengudusan. Perjamuan makan dalam Perjamuan Kudus adalah representasi

jamuan makan di dalam terang dan di tempat yang terbuka dan melaluinya manusia telah

dikuduskan oleh karya Kristus melalui Roh Kudus. Tentu hal ini merupakan tindakan

terbalik dari sikap makan sendiri-sendiri dan di tempat yang tersembunyi. Orang yang

makan di tempat terbuka biasanya akan mengambil secukupnya karena melihat orang lain

yang belum makan. Itulah nilai yang membedakan orang yang suka makan sendiri dan

sembunyi-sembunyi.

Sebagai jamuan makan yang diundang oleh Yesus, Perjamuan Kudus

mengajarkan sebuah kesempatan bagi setiap orang untuk bersedia membagikan hasil

keringat sendiri kepada orang lain, terutama dengan mereka yang lapar dan

berkekurangan. Makan bersama dengan mereka yang lapar adalah simbol sentral dari

kerajaan Allah. Takenaka mengatakan, “kalau setiap mulut dalam dunia yang didiami

orang penuh dengan makanan sehari-hari maka kita akan memiliki damai di bumi.

Kedamaian di bumi adalah gambaran kedamaian di surga. Berbagi makanan dan makan di

30

Fransiskus Borgias, Teologia Makan: Menyimak Kitab Suci Sebagai Kritik Kebudayaan,

Forum Biblika No. 18 (Jakarta: LAI, 2005), 31 31

Ebenhaizer Nuban Timo, Allah menahan Diri,…, 237

69

tempat terbuka secara terang-terangan berarti berbagi surga. Menumpuk makanan bagi

diri sendiri dan makan sendiri-sendiri berarti berada dalam perjalanan ke neraka.”32

Perjamuan makan berkaitan dengan ciri penyelamatan yang ketiga,

penugasan manusia. Makan di hadapan Allah berhubungan dengan tugas khusus (misi)

yang harus dikerjakan oleh manusia. Pada saat Allah memerintahkan Musa agar Israel

makan domba Paskah dalam keadaan pinggang terikat, menggunkan kasut kaki,

memegang tongkat dan makan tergesa-gesa, bukan supaya mereka menetap di Israel.

Akan tetapi mereka makan karena mereka akan segera melakukan perjalanan yang jauh,

makan untuk keluar dari Mesir, keluar dari rumah perbudakan. Ada satu tugas dan

tanggungjawab yang harus dikerjakan sesaat setelah orang berpartisipasi di jamuan

makan Perjamuan Kudus di hadapan Allah. Tugas tersebut adalah memberitakan kematian

Kristus sampai Ia datang kedua kalinya.

Makan dengan menyelesaikan tugas memiliki hubungan yang sangat erat.

Dan inilah yang menjadi sentral dari Perjamuan Kudus yang dilakukan oleh Gereja.

Upacara ini dilaksanakan sebagaimana dipesan oleh Yesus dengan tugas yang harus

dilaksanakan. Paulus juga menegaskan hal yang sama, “sebab setiap kali kamu makan

roti ini dan minum cawan ini, kamu harus memberitakan kematian Tuhan sampai ia

datang” (1 Kor 11:26). Demikian juga saat Perjamuan Kudus selesai, Imam berkata

kepada seluruh jemaat, ”pulanglah kamu ke dalam hidup, rumah tanggamu, dan tugasmu.

Ingatlah menjadi saksi Kristus dalam seluruh laku hidupmu.” Makan untuk pergi menjadi

saksi Kristus, menunjukkan pembenaran dan pengudusan yang telah dilakukan Yesus

Kristus kepada dunia, untuk menjadi terang yang bercahaya di depan orang, supaya

32

Ebenhaizer Nuban Timo, Makanan adalah Surga, (Jakarta:BPK-GM, 2015), 39-46

70

mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu di surga (Matius

15:16).

2. Perjamuan Kudus adalah Ibadah Pendamaian Manusia dengan Allah

Salah satu makna yang terpenting dalam perjamauan Kudus adalah

pengorbanan Yesus (Jesus Sacrifice). Dalam uraian sebelumnya penulis telah

menjelaskan bahwa sistem dan hukum ritual kurban di dalam PL menjadi kuci utama

dalam memahami pengorbanan Yesus yang senantiasa diingat, dikenang dan dihayati di

dalam Perjamuan Kudus. Dalam perasaan, kenangan dan penghayatan orang Kristen,

Yesus adalah kurban tebusan, kurban pendamaian, darahnya menjadi simbol perjanjian

yang baru antara manusia dengan Allah.

Yesus adalah tebusan (ransom)

Penebusan berasal dari kata menebus yang berarti membeli kembali sesuatu

yang dulunya menjadi milik anda. Menebus juga berarti mendapatkan sesuatu dengan

membayar uang tebusan. Tebusan atau penebusan dalam tradisi Alkitab dikenal dengan

sebutan “ransom”. Istilah rasom berkembang dalam pelaksanaan ritual kurban bakaran di

Israel dalam rangka pendamaian antara manusia (Israel) dengan Allah.33

Dalam teks PL,

ransom (tebusan) adalah sesuatu hal yang harus dibayar oleh seseorang untuk terluputkaan

dari penderitaan ataupun kematian. Tebusan (ransom) dapat berupa uang ataupun berupa

penderitaan orang lain, atau binatang pengganti untuk manusia (Bilangan 8:10-12).

Nampaknya hal ini juga kelihatan dalam Imamat 17:11 bahwa nyawa binatang ada di

dalam darahnya, darah itu diberikan kepada Allah di atas mezbah untuk mendamaikan

manusia dengan Allah. Allah dalam kemurahanNya mengizinkan manusia yang penuh

33

Gordon J Wenham, The Book Of Leviticus,(Michigan: Grand Rapids, 1979), 59

71

dosa untuk mempersembahkan sebuah tebusan (ransom) untuk dosa-dosanya, sehingga

manusia dilepaskan dari kematian.34

Ada beberapa kasus dalam Alkitab yang seringkali dikaitkan dengan istilah

ransom. Pertama, kasus kelaparan yang dialami oleh orang Israel akibat dari perbuatan

Saul yang telah membunuh orang-orang Gibeon (2 Sam 21:3-6). Untuk mendamaikan hal

tersebut, Daud harus membayar tebusan. Kematian beberapa anggota keluarga Saul adalah

menjadi sebuah tebusan (ransom) untuk melindungi kelurga Saul yang lain dan bangsa

Israel juga. Kedua kasus perzinahan yang dilakukan oleh seseorang yang sudah beristri,

untuk mendamaikan masalah tersebut maka suami harus membayar kompensasi yang

disebut dengan tebusan (ransom). Hal ini sebenarnya adalah semacam izin untuk

menggantikan hukuman maksimal di Timur Dekat Kuno pada umumnya, akan tetapi

sebuah pengecualian dalam mempertimbangkan kasus-kasus pembunuhan di dalam PL.

Dalam penggunaan secara modern, istilah ransom cenderung diartikan

sebagai sejumlah pembayaran yang diberikan kepada teroris untuk membebaskan para

sandera. Acapkali hal ini melibatkan pembayaran atas sebuah tindakan dan perilaku yang

illegal. Akan tetapi dalam PL pembayaran tebusan merupakan suatu tindakan yang sangat

manusiawi. Ini adalah sebuah penghargaan yang diberikan kepada seseorang yang

seharusnya menerima hukuman mati.35

Jika seseorang memiliki domba jantan yang

mengamuk dan mengakibatkan kematian bagi orang lain, maka pemiliknya harus

bertanggungjawab dalam arti ia harus dihukum mati. Akan tetapi pengadilan memutuskan

untuk menyelamatkannya jika dia mau membayar tebusan (ransom).

Teologia penebusan atau uang tebusan (ransom) berkembang di abad

pertengahan yang digagas oleh Anselmus. Menurut Anselmus, “ manusia berutang

34

Ibid., 61 35

Ibid., 60

72

sesuatu kepada Allah, dan utang ini haruslah dibayar, akan tetapi tidak ada seorangpun

yang bisa menyelesaikan utang ini kecuali Allah sendiri, tetapi tidak ada seorangpun yang

melakukannya kecuali manusia. Jika tidak, maka manusia tidak dapat menyelesaikannya.

Karena itu perlu satu pribadi yang adalah Allah-manusia untuk melakukannya. Pribadi

yang sama untuk melakukan penebusan itu harus Allah dan manusia yang sempurna, tidak

ada seorangpun yang dapat melakukannya, kecuali Dia. Oleh karena inilah Allah

menjelma di dalam Kristus dan menyerahkan diriNya demi kehormatan Allah.” 36

Penebusan bukanlah hal sepele mengenai “membuat orang menjadi saleh,” akan tetapi

penebusan adalah bagian dari karya Allah yang sama pentingnya dengan penciptaan.

Seluruh kehidupan manusia telah diracuni oleh kejahatan, akan tetapi Allah memberikan

penawarnya kepada manusia yakni penebusan oleh Yesus Kristus.

Manusia membutuhkan seorang penebus karena ia selalu terbelenggu oleh

dosa-dosanya. Jean Jacques Rousseau mengatakan bahwa manusia dilahirkan dalam

keadaan bebas, akan tetapi ia akan terbelenggu setelah ia lepas dari kodrat alaminya.37

Manusia yang bebas adalah manusia patuh terhadap hukum, akan tetapi manusia

cenderung tidak patuh dan ingin menguasai yang lainnya secara berlebihan dan

mengakibatkan dirinya menjadi anarkis. Inilah hal-hal yang membelenggu manusia,

keinginan-keinginan hatinya yang melampaui kekuatan dirinya yang dapat merusak

dirinya sendiri maupun orang lain.38

Itulah dosa yang dimaksud oleh Alkitab. Dosa terjadi

karena pengaruh kekuatan si Jahat Iblis. Ia menggoda dan menguasai hati manusia,

36

John Stott, The Incomparable Christ, (Surabaya: Momentum, 2001), 87 37

Jean Jacques Rousseau, The Social Contract, translated and introduced by Maurice

Cranstone, (Midlesex-England: Penguin Book, 1968), 49 38

Ibid

73

sehingga ada sejuta keinginan daging yang kuat, kebiasaan dan kecanduan yang

menyebabkan manusia hidup di bawah penderitaan.39

Dalam Perjanjian Lama kisah “eksodus” adalah peristiwa penebusan

terbesar yang telah dilakukan oleh Allah kepada Israel diantara bangsa-bangsa yang lain.

Peristiwa itu dilakukan dengan bayaran yang sangat mahal yang harus ditanggung oleh

bangsa Mesir dengan kematian seluruh anak sulung (laki-laki) mereka. Sementara

bayaran yang harus ditangggung oleh Israel adalah dengan menyembelih kurban anak

domba dan darahnya dipercik di setiap pintu rumah mereka.

Dalam Perjanjian Baru ide tentang tebusan digunakan pada apa yang telah

dilakukan oleh Yesus kepada manusia melalui pengorbanan dirinya di atas kayu salib.

Markus memberi kesaksian bahwa kedatangan Yesus di dunia bukan untuk dilayani tetapi

untuk melayani dan memberikan nyawanya menjadi tebusan bagi orang banyak (Markus

10:45). Yesus telah menebus dan menyelamatkan manusia dari tempat perbudakan

dengan cara menempatkan diriNya di bawah perbudakan yang sama. Dia tidak saja hanya

mengangkat dosa manusia, tetapi ia telah datang bersama dengan manusia dalam batas

terakhir yakni kematian.40

Dia telah membuat dirinya sama seperti manusia mengalami

kematian, tetapi kematianNya tidak sekadar kematian biasa, melainkan menjadi tebusan

bagi manusia. Tidak ada Penebus dan Juruselamat yang seperti Yesus yang

kedatanganNya untuk menderita dan mati bagi manusia.

Dalam catatan Petrus, manusia ditebus bukan dengan emas dan perak,

tetapi ditebus dengan darah yang tidak tercemar, tanpa noda, dan darah itu adalah darah

Yesus (1 Petrus 1:18-19). Petrus menekankan bahwa kematian Yesus adalah kematian

39

Reinhard Bonnke, The Romance of Redeeming, (Yogyakarta: E-R Production and Andi,

2011), 14 40

Lesslie Newbigin, Sin and Salvation, (London: Northumberland Press Limited, 1956),

66,80-83

74

anak domba yang dikurbankan di Bait Suci di Yerusalem sesuai dengan hukum Yahudi.

Dia memberi hidupNya bukan saja hanya untuk manusia, akan tetapi menggantikan

manusia di tempat dimana seharusnya mereka ada.

Paulus juga mencatat hal yang sama. Menurut Paulus, Yesus telah menebus

dan mendamaikan manusia dan Allah dengan darahNya sendiri. Kristus telah

menyerahkandiriNya sebagai persembahan dan korban harum bagi Allah (Efesus 5:2).

Yesus perlu menebus manusia, karena manusia telah melawan Allah dan telah kehillangan

kemuliannya. Harga tebusan yang bisa menyelamatkan manusia dari hukuman tersebut

adalah nyawa Yesus sendiri. DarahNya memberi pengampunan, dalam darahNya manusia

memperoleh penebusan. “Demikianlah kiranya mereka yang ada di dalam Kristus, pada

akhirnya diselamatkan dari hukuman Allah (Roma 8:1)”. Di masa Perjanjian Lama

setiap hari imam-imam besar harus mempersembahkan korban untuk dosanya sendiri dan

umat, akan tetapi Krisus mempersembahkan diriNya sekali untuk semua dan selamanya.

Kristus telah mempersembahkan diriNya kepada Allah sebagai persembahan yang tidak

bercacat (Ibr 9:14).

Penebusan Yesus adalah sempurna. UcapanNya “sudah selesai” di atas

kayu salib, bukan saja hanya bukti secara teologis, akan tetapi merupakan bukti secara

antropologis. “Sudah selesai” dalam bahasa Yunani disebut “Tetelestai”. Kata ini berasal

dari kata “teleό” artinya mengakhiri dengan sempurna. Berdasarkan hasil penemuan

arkaelog, kata ini biasanya tertulis dalam dokumen/ surat perjanjian utang-piutang. Jika

kata ini sudah tertera dalam sebuah nota atau surat utang, itu artinya hutang tersebut telah

dibayar dengan lunas dan tidak ada penambahan utang lagi. Kata ini juga seringkali

diucapkan oleh seorang pelukis ataupun pengukir. Jika ukiran ataupun lukisannya sudah

selesai dan tidak ada yang perlu ditambahkan lagi, maka ia akan mengatakan “tetelestai-

75

sudah selesai”, perfecto!- sempurna! Dengan demikian saat Yesus mengucapkan kata

“Sudah selesai” itu sama artinya bahwa hutang manusia telah lunas, telah ditebus dengan

harga yang sangat mahal. Ditebus dengan kehidupan Yesus sendiri. Penebusan itu telah

diselesaikan pada masa lalu dengan hasil yang tetap berlanjut sampai sekarang.

Penebusannya sempurna! Tidak akan ada lagi tebusan atau penebusan yang lainnya.

Sudah selesai! Ya, Rencana sepanjang sejarah untuk menebus manusia

sudah selesai dikerjakan oleh Yesus.41

Pekerjan yang dilakukan oleh Yesus di dunia sudah

rampung. Tugas menyeleksi dan melatih para duta sudah selesai. Pekerjaan sudah selesai.

Lagu telah dinyanyikan. Darah sudah mengalir. Pengorbanan telah terjadi. Sengat

kematian sudah dicabut. Habislah sudah. Apakah itu teriakan karena kekalahan? Bukan!

Kalau tangannya tidak diikat, pasti kemenangan diacungkan ke langit gelap itu. Ini adalah

teriakan pekerjan sudah selesai. Teriakan kemenangan. Teriakan pemenuhan dan teriakan

kelegaan. Yesus lega, karena kematian-Nya adalah kematian yang tidak sia-sia, menebus

manusia dari hukuman dosa.

Yesus adalah Kurban Pendamaian

Umumnya para teolog Kristen memberi dua perspektif yang berbeda

tentang kematian Yesus sebagai kurban untuk menyelamatkan manusia. Kedua

persepektif itu adalah kurban sebagai sacrifice dan kurban sebagai victim. Yesus sebagai

kurban (sacrifice) adalah sebuah gagasan yang mengatakan bahwa Yesus dengan sukarela

mengurbankan dirinya. Sedangkan Yesus sebagai korban (victim) adalah sebuah gagasan

yang menegaskan bahwa sesugguhnya Yesus tidak mau mati, namun menjadi korban

paksa dari tatanan sosial politis yang amat demonis.42

Leonardo Boff salah seorang teolog

pembebasan dari Brazil mengatakan bahwa kematian Yesus itu adalah kerelaan Yesus

41

Max Lucado, No Wonder They Call Him The Savior, (Bandung: Visi Press, 2011), 67 42

Joas Adiprasetya, Berdamai dengan Salib, (Jakarta: Grafika Kreasindo dan UPI STT

Jakarta, 2010), 51

76

sendiri untuk mati. Yesus sebagai kurban tidak ditentukan dari fakta kekerasan dan darah

yang tercurah sebenarnya hanyalah ekspresi luar atau korban (victim) dari kesediaan

berkurban yang interior (sacrifice). Akan tetapi kurban Kristus memberi keselamatan yang

dipahami sebagai kemanusiaan yang utuh. Penyaliban Yesus bermakna soteriologis justru

karena ia menunjuk kepada Allah yang merengkuh salib itu demi solidaritas dengan

semua orang yang mederita dalam sejarah. Allah menerima salib di dalam Yesus bukan

untuk mengekalkannya dan menyingkirkan pengharapan kita namun demi mengakhiri

semua salib di dalam sejarah.43

Tanpa mengabaikan sistem pengorbanan yang dipahami oleh orang Israel,

kedua pembedaan yang dibuat oleh para teolog di atas akan menolong kita memahami

peristiwa pengorbanan Yesus di kayu salib. Di dalam Perjanjian Baru, Yesus adalah

kurban yang sejati. Dalam diriNya sendiri, persembahan yang sempurna dengan cinta dan

ketaatan telah Ia lakukan kepada Bapa. Yesus adalah Domba Allah yang telah disembelih

sebagai kurban yang tidak bercacat di malam perayaan Paskah. Ia sendirilah yang telah

memikul dosa-dosa dunia. Hal inilah yang diperkenalkan oleh Yohanes kepada murid-

muridnya. Yohanes pembaptis menyebut Yesus sebagai anak domba Allah. Perhatian ini

ditekankan oleh Yohanes untuk menunjukan bahwa Yesus adalah penggenapan ibadah

kurban dalam PL.44

Sehingga di dalam Ijilnya, Yohanes konsisten menunjukan bahwa

kematian Yesus tepat pada waktu penyembelihan anak domba pada perayaan paskah di

Bait Suci di Yerusalem.

Menurut penulis surat Ibrani, pengurbanan menurut hukum Yahudi telah

berkurang kekuatannya untuk memperbaiki hubungan manusia dengan Allah. Kurban

yang sempurna itu hanya ada di dalam ketaatan Yesus oleh karena itu pengurbananNya

43

Ibid., 52 44

Ebenhaizer I Nuban Timo, Allah Menahan Diri,…, 295

77

yang sempurna layak untuk menghapus dosa-dosa manusia. Dengan dengan darahNya

setiap orang dapat memasuki ruang yang Maha Kudus dimana Allah berada. Di dalam

ritual kurban yang lama, manusia mendekati Allah dengan mempersembahkan

kehidupan mereka secara simbolis melalui hewan kurban yang dipersembahkan dengan

perantaraan seorang Imam. Kini Yesus adalah Imam yang sejati. Jikalau dalam PL, salah

satu fungsi imam adalah menjadi perantara umat dengan Allah untuk mempersembahkan

kurban jemaat setelah terlebih dahulu mempersembahkan kurbannya sendiri, kini Yesus

adalah kurban itu sendiri. Yesus tidak hanya menggenapi kurban PL, tetapi

mengakhirinya. Kurban dalam PL yang dilakukan setiap hari dan setiap tahun kini telah

berakhir. Yesus sendiri telah mengurbankan diriNya bagi Allah agar manusia dapat

menghadap dan bersekutu dengan Allah. DarahNya melebihi darah domba dan sapi jantan

yang hanya menebus dan mendamaikan sementara. Darahnya sekali saja tercurah untuk

selamanya.

Kematian Yesus mengubah dan membalikan seluruh ritual kurban dalam

PL. Manusia tidak lagi membawa persembahan pendamaian dengan Allah. Akan tetapi

Allah yang menyediakan persembahan itu kepada manusia atas nama manusia.45

Persembahan itu bukan lagi binatang kurban, tetapi Allah sendiri. Allah yang

mempersembahkan diriNya melalui Yesus. Oleh karena itu sekarang manusia dapat

mendekati Allah melalui Kristus sebagai satu-satunya kurban yang sempurna. Manusia

tidak lagi mempersembahkan diri mereka sekalipun dalam sebuah simbol, akan tetapi

telah bersatu dengan Dia dan mempersembahkan hidup mereka kepada Bapa di dalam Dia

dan melalui Dia. Dosa manusia menjadikan manusia tidak dapat mempersembahkan

kurban yang layak kepada Tuhan. Hanya dengan dan oleh Yesus sendiri yang bisa

45

Ibid., 299

78

melakukannya. Dia telah melakukanNya dengan sempurna yakni sebagai manusia dan

karena Dia rela menyatukan manusia dengan Dirinya sendiri di dalam kemanusiaanNya.

Kristus di dalam kematiannya menjadi korban (sacrifice) telah menebus

dosa-dosa dunia. Dengan kematian Kristus, binatang kurban yang biasa dipersembahkan

tidak dipakai lagi. Kematian Kristus menjadi kurban sekali untuk semua. Orang-orang

Kristen tidak perlu mempersembahkan kurban (bakaran) untuk menebus dosa-dosanya.

Darah Kristus yang telah tumpah di atas kayu salib adalah pembayaran yang sempurna

untuk harga dari penebusan itu sendiri. PengorbananNya telah memikul murka Allah

kepada manusia, sebagaimana yang terjadi pada sapi-sapi jantan dan domba-domba di

dalam PL, sehingga manusia yang berdosa sekalipun dapat mengalami kehadiran Allah

dan doa-doa mereka juga terjawab.

Kematian Yesus adalah sebuah pengorbanan yang real yang telah

disimbolkan di dalam Perjanjian Lama. Kehidupan manusia yang menjadi persembahan

kepada Allah, telah disempurnakan oleh Yesus melalui kematianNya. KematianNya

adalah ketertundukan yang sempurna atas hukuman Allah terhadap keberdosaan manusia

dan persembahan yang sempurna karena dukacita akan dosa. Di dalam dan melalui

Kristus, Allah mampu melakukan apa yang tidak menjadi bagian dari Kristus dengan

mempersembahkan tubuh dan darahNya kepada Bapa. Inilah Yesus sang Domba Allah

yang tidak hanya sekadar simbol, tetapi real, memikul dosa dunia.

Yesus bukan hanya sebagai kurban (sacrifice), tetapi juga kurban (victim).

Teori dari para sosiolog-antropolog-teolog berikut (Jon D Levenson, Evan Pitchard, dan

Rene Geard) tentang kurban dan makna pengurbanan dalam masyarakat primitif dan

Israel dapat menolong kita memahami pengurbanan (victim) Yesus.

79

Menurut Jon D Levenson pengorbanan seorang anak (child sacrifice)

dewa/Tuhan adalah sesuatu hal yang benar-benar terjadi dalam masyarakat Israel kuno.

Ini merupakan sesuatu yang kelihatannya seperti perbuatan orang bar-bar, akan tetapi

sesungguhnya nilai dari pengurbanan seorang anak (manusia) jauh melebihi pengurbanan

binatang. Anak laki-laki pertama adalah kurban persembahan yang paling berharga/agung

untuk mendamaikan manusia dengan Allah. Binatang pengganti yang biasa diberikan

sebagai kurban pendamaian sesungguhnya tidak diwajibkan, ini hanyalah diizinkan

dengan pemahaman bahwa tuntutan Allah terhadap anak-anak itu hendaknya selalu

diingat.46

Dengan “theological Ideal” menurut Levenson ritual pengurbanan anak (child

sacrifice) akan menciptakan sebuah ikatan yang kuat antara manusia dengan Allah.47

Apa yang diberikan oleh manusia kepada Allah dalam pengorbanan, pada akirnya akan

dikembalikan, dibangkitkan dan bahkan sesuatu hal yang lebih besar akan diterima oleh

generasi berikutnya.

Oleh karena ritual child sacrifice dalam masyarakat Israel kuno, mendapat

banyak kecaman dari para nabi, akhirnya ritual ini ditransformasi dan disublimsikan ke

dalam praktek dan narasi yang baru. Proses transformasi dan sublimasi tersebut kelihatan

benar adanya. Penyaliban Yesus yang terjadi tepat pada perayaan Paskah tahunan di

Yerusalem di malam itu telah ditransformasi dan disublimasikan oleh para penulis awal

kekristenan dalam narasi yang baru. Peristiwa naas itu ditransformasi dan

disublimasiskan menjadi peristiwa yang menyelamatkan manusia.

Transformasi dan sublimasi ini dapat dipahami sebagai usaha kekristenan

mula-mula untuk mempertahankan eksistensinya di tengah-tengah persaingan politik-

religius dunia Romawi-Yunani pada waktu itu. Dalam bukunya “Memandang Wajah

46

Jon D Levenson, From The Death,…, dalam Jeffrey Carter, Understanding,…, 422 47

Ibid., 423

80

Yesus,” Ioanes Rahmat mengatakan, “di dalam dunia kekristenan mula-mula ada banyak

allah dan ada banyak tuhan yang disembah dan tidak sedikit dari para allah ini adalah

orang-orang besar yang dideifikasi (dalam dunia Yunani Romawi). Ini menjadi tantangan

besar bagi gereja mula-mula. Gereja harus berjuang dalam persaingan ideologi religio-

politis untuk menentukan tuhannya sendiri yang sebisa mungkin lebih baik dari tuhan

Yunani-Romawi. Gereja harus bertarung memperebutkan anggota-anggota baru di tengah

kultus-kultus keagamaan lain dalam masyarakat Yunani-Romawi”.48

Konsep tentang anak yang dikurbankan dalam gagasan Jon D Levenson

terlihat jelas dalam pemaknaan atas peristiwa kematian Yesus. Dalam ajaran gereja

terkesan peristiwa salib itu dipahami sebagai berikut. Pertama, peristiwa penyaliban

Yesus adalah peristiwa yang terjadi atas inisitif Allah sendiri. Allah berinisiatif

mendamaikan manusia dengan diriNya sendiri, melalui pengurbanan Yesus. Allah

mengurbankan Yesus sebagai bukti cinta kasih-Nya bagi dunia ini. Kedua, Yesus adalah

Putra Allah, Anak satu-satunya yang sangat dikasihi yang kepadaNya Allah berkenan. Ia

adalah anak pertama yang lahir tanpa noda dan dosa. Oleh karena itu Allah mengutusnya

ke dalam dunia dan harus kembali duduk di sebelah kanan Bapa di sorga. Allah

menginginkan Yesus sebagai kurban yang sejati karena Ia memiliki nilai dan harga jauh

lebih tinggi dari kurban-kurban (binatang) yang biasa diberikan manusia kepada Allah.

Pelaksanan pendamaian dengan membawa kurban berdarah yang diizinkan Allah dan

48

Ada dua kultus besar yang menjadi tantangan besar dalam sejarah awal Kekristenan.

Pertama kultus Serapim. Dalam kultus ini Dewa Serapis adalah dewa yang paling ditakuti. Dewa ini

merupakan perpaduan antara Dewa Osiris dan Apis (perpaduan Dewa Mesir dan Yunani). Dewa Serapis

adalah dewa yang sejajar dengan Dewa Matahari (Zeus), dewa kesuburan (Dionsyus) dan dewa dunia orang

mati dan kehidupan yang kekal (Hades). Dewa Serapis dengan perantaraan manusia mengundang para

penyembahnya untuk datang mengikuti perjamuan Suci. “ Sang Dewa mengundang anda ke perjamuannya

yang akan diselenggarakan di kuil Thoeris besok pada jam ke-9.” Kultus yang kedua adalah, Kultus Isis di

abad ke 5. Dewi Isis adalah istri Osiris yang bertahan di dunia Yunani dan Romawi. Ia disembah sebagai Ibu

atas segala sesuatu, ditinggikan sebagai Ratu Surga, dewi penyembuh yang memiliki obat untuk hidup yang

kekal, penguasa daratan yang memisahkan bumi dari sorga, Juruslamat yang kekal dan paling kudus untuk

umat manusia. Lih. Ioanes Rahmat, Memandang Wajah Yesus, (Jakarta: Pustaka Surya Daun, 2012), 112-

116

81

dijalani Yesus bukan sebuah skandal karena bukan Allah yang menuntut darah. Akta

berdarah itu diizinkan Allah berlaku atas anak-Nya dan dijalani Yesus Kristus, betapapun

Allah tidak berkenan kepada kurban sembelihan karena iblislah yang menuntut darah dari

pelaku dosa. Supaya tuntutan hukum itu dibayar tuntas dan Allah memperoleh kembali

manusia miliknya, Allah menjalani tuntutan itu. Darah Yesus Kistus mengalir dari

Golgota sebagai tebusan bagi manusia.49

Ketiga, manusia juga turut mengorbankan

Yesus. Yesus pantas untuk dikurbankan karena ia manusia yang terlahir tanpa cela dan

tanpa dosa. Orang-orang Yahudi mengorbankan Yesus dengan memakai tangan penguasa

Romawi, karena hukum Yahudi melarang keras pembunuhan. Yesus dikurbankan dengan

cara tidak wajar, dengan kekerasan, penghinaan dan kutukan. Salib dengan jelas

menunjukan pengurbanan itu.

Pemahaman ini tentu menimbulkan pertanyaan, bagaimana Yesus yang

dikurbankan menjadi alat keselamatan bagi semua orang? Dalam proses “transformasi”

dan “sublimasi” itu teori Rene Girard menolong kita untuk memahaminya. Menurut

Girard kekerasan berupa pembunuhan (terhadap kurban) adalah sesuatu hal yang kudus

dan menjadi penyelamat di kemudian hari. Memberi kurban adalah salah satu bentuk

kekerasan yang paling buruk (bad violence) akan tetapi bisa berubah menjadi kekerasan

yang baik (good violence) manakala tatanan sosial masyarakat menjadi baik/harmonis.

Siapapun yang berjasa untuk pertama kalinya dalam hal ini, di kemudian hari akan selalu

dikenang/diingat sebagai seorang yang baik hati yang telah menolong masyarakat

mengatasi krisis yang berbahaya, dengan kematiannya. Dalam keberadaannya sebagai

bentuk kekerasan yang buruk maupun kekerasan yang baik, korban menjadi sesuatu yang

misteri, mempunyai kekuatan, secara potensial berbahaya namun bermurah hati,

49

Ebenhaizer Nuban Timo, Allah Menahan Diri,…, 309

82

transenden-ilahi (a divine being), tetapi juga dekat bagi masyarakat, memiliki kekuatan

untuk disembah/dipuji, memiliki kekuatan yang bisa melindungi, memberkati dan juga

mengutuk.

Gagasan ini dimulai oleh Rene Girard dengan melihat bahwa di dalam

masyarakat kekerasan adalah sesuatu hal yang tidak bisa dihindari. Kekerasan itu

diakibatkan oleh hasrat setiap orang untuk meniru (mimetic desire) . Hasrat meniru ini

menyebabkan setiap anggota masyarakat menjadi rival bagi sesamanya dan karena hal itu

terjadi pada setiap orang, maka terjadilah kekerasan secara kolekif, semua melawan semua

(all-against-all). Sementara itu tetapi di pihak lain masyarakat menyadari bahwa setiap

orang tidak akan bisa hidup dalam suasana yang kacau seperti itu, sehingga dirasa perlu

ada korban yang harus dikorbankan (sacrificed victim). Kurban yang dikurbankan itu

disebut Girard dengan “kambing hitam (scapegoat). Dengan mengurbankan scapegoat,

kekerasan kolektif (all-against-all) berubah/dialihkan menjadi semua melawan satu (all-

against-one). Istilah pengalihan ini disebut dengan “mekanisme kambing hitam”. Dengan

kematian kambing hitam, harmoni sosial akan tercipta. Yang menarik adalah pada

akhirnya orang akan memahami bahwa kambing hitam tersebut menjadi penyelamat atas

kekacauan yang telah terjadi. Ia yang tadinya bisa-biasa saja tetapi berubah menjadi yang

lebih tinggi, Ia adalah obat bagi kejahatan yang terjadi, racun dan obat, penjahat dan

pahlawan.50

Sejak awal pemberitaan Yesus telah menimbulkan berbagai pro dan kontra

bahkan konflik yang hebat di antara orang-orang penting di Yahudi, tidak saja hanya

pimpinan pemerintahan, pemuka agama bahkan rakyat biasa sekalipun. Sikap Yesus

terhadap orang-orang kecil dan pendosa telah membawa pertentangan di antara kaum

50

Joas Adiprasetia, Berdamai dengan Salib, …, 54

83

Farisi dan Ahli-ahli Taurat. Konflik semakin kuat setelah Yesus membongkar dan

menelanjangi para ahli Taurat dan kaum Farisi yang hendak membunuh Yesus. Rivalitas

dan agresi masyarakat Yahudi terhadap Yesus semakin meningkat setelah adanya

pengakuan bahwa Yesus adalah Putra Allah, hingga pada akhirnya dalam hati orang

banyak timbul kebencian dan bersepakat untuk menyingkirkan Yesus. Masalah-masalah

sosial politik yang tadinya mengancam tatanan harmonisasi sosial politik Yahudi kini di

alihkan kepada Yesus. Kekacauan di dalam tatanan sosial Yahudi karena rivalitas semua

melawan semua (all aginst all) kini telah beralih kepada Yesus dan menjadi semua

melawan satu (all against one). Akhirnya Yesus yang tidak berdosa dikorbankan.

Yesus adalah korban “kambing hitam” tetapi Ia bukan kambing hitam

sembarangan. Ia adalah Hamba yang Kudus yang harus menderita dan dibunuh untuk

menenangkan tatanan sosial politik pada zamanNya.51

Dia adalah korban kekerasan dari

ketidakadilan dan kekacauan tatanan sosial masyarakat Yahudi. Kesalahan dilimpahkan

padaNya, dan direndahkan hingga di titik nol. Tetapi apa yang terjadi, justru kematian-

Nya membuat Dia menjadi besar. Di kemudian hari orang banyak baru menyadari bahwa

Ia layak disembah, Ia berkuasa, Dia adalah Allah sang Penyelamat.

Segala masalah, kebencian dan kekerasan yang terjadi dalam tatanan sosial

politik Yahudi dialihkan kepada Yesus sebagai “kambing hitam.” Ketertiban sosial-

politik, ekonomi dan religious masyarakat Yahudi ditukar dengan kehidupan Yesus. Dia

yang tidak mengenal dosa, menjadi berdosa karena manusia, supaya manusia dapat

dibenarkan. Pertanyaannya adalah bagaimana kematian Yesus menjadi keselamatan bagi

dunia? Jawabnnya adalah Keselamatan muncul dari kesengsaraan Yesus, keselamatan itu

Dia bawa karena Ia berhasil keluar dari cengkraman kekerasan di dalam masyarakat dan

51

J.B. Banawiratma,Kristologi dan Allah Tritunggal,…, 53

84

budaya Yahudi. Penderitaan salibNya menelanjangi mekanisme kambing hitam dan

kekerasan yang menyertainya. Bagi Yesus, kematian adalah klimaks dari kehidupan dan

pelayananNya. KeinginanNya untuk menghadapi kematian adalah sebuah proklamasi bagi

dunia bahwa semua ajarannya tentang kerajaan Allah adalah lebih penting dari apapun

juga, kendati dengan hidupNya sendiri.52

Penangkapan, penderitan dan kematianNya

menyaksikan kepada dunia bahwa prioritas kerajaan Allah adalah mengalahkan segala

bentuk kekerasan dan ketidakadilan.

Di balik kebencian orang banyak kepada Yesus, salib dan kematianNya

menjadi pendamai antara manusia dengan Allah. Dia adalah manusia sejati Putra Allah

yang dikurbankan oleh manusia yang dikemudian hari dikenal sebagai pendamai. Tidak

hanya pada kematianNya di atas kayu salib, akan tetapi seluruh rangkaian karya dan

pengajaran Yesus bermuara pada pendamaian manusia dengan Allah. Kematiannya pada

waktu itu mendatangkan pahala yang besar, yakni keselamatan bagi dunia dan generasi

berikutnya.

Melalui kebangkitan Yesus pembalikan radikal atas mekanisme kambing

hitam tampil sepenuhnya. Kebangkitan Yesus membuktikan diriNya sebagai Allah sejati

dan manusia sejati. Kristus adalah satu-satunya agen yang mampu keluar dari struktur-

struktur pengkambinghitaman, dengan demikian manusia terbebas dari kekuatan tersebut.

Penderitaan buruk dari seseorang korban yang tidak bersalah (Yesus) pada akhirnya

merupakan sesuatu yang baik (a good bad thing).53

Kematian Yesus sebagai korban

adalah sebuah kematian yang sangat berharga, kematian yang mendamaikan manusia

dengan Allah. Ia tidak hanya mempersembahkan kurban, tetapi ia sendiri adalah kurban

pendamaian itu.

52

Josep A Grassi, Broken Bread,…, 73 53

Mark S. Heim, Saved from Sacrifice: A Theology Cross, (Grand Rapids: William B

Eerdmans Pub.co, 2006), 108-112

85

Kebangkitan Yesus tidak hanya menunjukan adanya kehidupan setelah

kematian, tetapi karena Yesus dibangkitkan dari korban sebuah sistem penjajahan yang

menggunakan kekerasan, maka kebangkitan-Nya juga menjadikan kisah semua korban

kekerasan menjadi kisah yang terbuka.54

Kebangkitannya mengatakan tidak ada yang

selesai kalau korban masih tetap dibungkamkan, apabila dia belum diperbolehkan

berbicara. Kehidupan korban yang dibangkitkan adalah kehidupan korban selanjutnya.

Korban yang dihidupkan itulah yang mempunyai hak untuk mengadakan rekonsiliasi.55

Kebangkitan Yesus memberikan kesaksian atas ketidakadilan yang

ditimpakan pada-Nya dan Allah membiarkan korban itu terus menjadi saksi kekejaman

yang dideritanya. Kebangkitan Kristus akan menunjukkan secara jelas batas jangkauan

lengan kekerasan. Mengatakan adanya kehidupan di tengah kematian yang direncanakan,

mengungkapkan adanya harapan di tengah kebuntuan yang sengaja diciptakan, dan juga

menegaskan bahwa kekuasaan dan kekerasan tidak sanggup melaksanakan segala yang

dikehendakinya. Kebangkitan Kristus mematahkan segala bentuk kekerasan dan

menunjukan keadilan sebagai representasi Allah yang senantiasa ingin mendamaikan dan

menyelamatkan manusia.

Darah Perjanjian

Dalam diskursus dogmatis peristiwa penyaliban Yesus yang

“menyelamatkan” itu akan terus menuai berbagai pertanyaan kritis. Mengapa harus darah

yag dipakai untuk menebus? Apakah Allah pribadi yang menginginkan darah? Apakah

hubungan darah dengan penyelamatan yang dilakukan oleh Yesus? Lalu apa yang

dimaksud Yesus dengan darah perjanjian? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu ada

54

Paul Budi Kleden, Di Tebing Waktu: Dimensi Sosio Politis Perayaan Kristen,

(Maumere: Ladero, 2009), 171-173 55

Ibid

86

baiknya terlebih dahulu kita memahami makna darah atau darah kurban dalam

masyarakat (masyarakat primitif juga pemahaman bangsa Israel).

Umumnya orang memahami bahwa darah adalah kehidupan dari setiap

makhluk hidup. Dari semua bagian tubuh, darah memainkan peranan yang sangat penting

sebab konsentrasi terbesar dari daya hidup terdapat dalam darah. Dalam kepercayaan lokal

masyarakat tertentu, olesan darah pada tiang-tiang rumah yang baru ditahbiskan dapat

memberi daya pada rumah tersebut. Orang Makasar mengoles benda-benda keramat milik

mereka dengan darah untuk memberikan daya hidup baru pada benda-benda tersebut.

Orang Sakai di Siak membiarkan beberapa tetes darah mereka jatuh di atas jenazah

sebagai tindakan pars pro toto. Darah memiliki tempat dengan akumulasi terbesar dari

daya hidup. Itu sebabnya darah paling banyak dijadikan sesajen. Hampir di seluruh

wilayah, umumnya darah korban yang jatuh ke bumi diyakini memberikan kesuburan bagi

tanah sehingga hasil panen melimpah.56

Lain halnya dalam masyarakat Mediterania kuno. Darah adalah simbol dari

kehormatan.57

Kehormatan seseorang selalu dihubungkan dengan hubungan darah dalam

kekeluargaan yang dia miliki. Seseorang dapat dipercaya di dalam sebuah kelompok

masyarakatnya berdasarkan hubungan darah keluarganya. Akan ada jarak yang jauh di

antara keluarga yang berdarah “bangsawan” dengan yang tidak. Seseorang yang berada

diluar hubungan darah keluarga, tidak dihargai, patut dicurigai, dan bahkan pada akhirnya

bisa saja dianggap tidak berguna. Oleh karena itu, jika seseorang ingin mendapatkan

56

Kruijt, Alb.C. Het Animisme der Indonesiers. Rotterdam: Electrische Drukkerij D. van

Sijn & Zoon. (Tanpa tahun), dikutip oleh Ebenhaizer I Nuban Timo, Ditebus Dengan Darah Yang

Mahal:Soteriologi Salib Dari Perspektif Ritual Kurban Evans-Pritchard Dan Rene Girard, Materi Seminar

dan Symposiun Nasional Dalam Rangka Dies Natalis Ke-46 Fakultas Teologi Universits Kristen Satya

Wacana. Salatiga, 16 Maret 2016 57

Malina Bruce J, The New Testament: Insight From Cultural Antropology, (New York:

John Knox, 1987), 30

87

“darah kehormatan” dari keluarga-keluarga terhormat, mereka harus membuat ikatan

perjanjian misalnya melalui ikatan pernikahan.58

Dalam masyarakat Nuer di Afrika, darah berfungsi sebagai penebus dalam

ritual korban (piacular sacrifice). “The piacular sacrifices are performed in situations of

danger (sickness, barreness, other moments of misfortunes) arising from the intervention

of Spirit in human affairs, often thought of as being brought about by some fault”.59

Dalam situasi ini perlu diadakan pendamaian supaya intervensi dari roh-roh yang

menakutkan manusia (sebagai penyebab bencana) dapat diakihiri. “The sacrifice is

intended to rid the suffere of the spiritual influence whose activity is apparent in the

sickness.”60

Dalam teori-teori (seperti H. Hubert dan M. Mauss) ritual kurban (sacrifice)

merupakan momentum untuk membangun komunikasi antara yang kudus dan yang profan

dengan menjadikan korban (victim) sebagai mediator. Korban berperan untuk

mempertemukan Yang Ilahi dan manusia, “hidup si korban” mempersatukan Allah dan

manusia. Tanpa mengabaikan makna tersebut, dalam penelitiannya terhadap ritus kurban

masyarakat Nuer, Evans-Pritchard menemukan makna lain yang sifatnya memperkaya

makna kurban menurut Hubert dan Mauss. Apa yang terjadi dalam ritus penebusan Nuer,

kurban bukan hanya ditujukan kepada Allah, tetapi juga untuk melawan illah-illah (gods)

yang lain. Penyakit, kekeringan, kemandulan dan aneka bencana dianggap sebagai yang

disebabkan oleh ilah-ilah karena dosa dan kejahatan manusia. Ritual kurban diadakan

untuk membujuk ilah-ilah pergi dari manusia dan tidak lagi menyusahkan manusia,

58

Ibid 59

Evan Pitchard, The Meaning of Sacrifice among the Nuer. dalam: Jeffrey Carter (Ed).

Understanding,…, 192 60

Ibid., 196

88

mencegah penyakit (prophylactic) dan apotropaic (melindungi dari bahaya).61

Jadi ritual

kurban adalah untuk memisahkan illah-illah tersebut dari manusia. Sebelum pemisahan

dengan illah-illah, manusia terlebih dulu dipersatukan dengan Allah melalui ritual tadi.

Umumnya para teolog Kristen memahami bahwa soteriologi salib adalah

piacular sacrifice (korban tebusan). 62

Oleh karena itu makna ritual piacular sacrifice

dalam masyarakat Nuer akan sangat menolong kita untuk memahami makna pengorbanan

Yesus yang menyelamatkan manusia.

Dosa membuat hubungan manusia dengan Allah menjadi terputus. Putusnya

hubungan ini mengakibatkan berbagai persoalan bagi manusia sendiri secara pribadi,

dengan orang lain dan terlebih-lebih terhadap Tuhan. Secara umum orang Kristen

memahami bahwa dosa adalah hanya sebatas hubungan antara manusia dengan Tuhan.

Akan tetapi, Walter Wink menunjukkan bahwa dosa bukan melulu masalah Allah dan

manusia. Ada pihak ketiga yang ikut bermain. Dalam tulisannya Walter Wink

mengatakan:

Adam and Eve could not bear the weight of all human tragedy. The ancient

myth of the fall of the “sons of God” in Gen. 6:1-4 was enlisted to explain

the presence of an evil that emanates not from humanity alone but from

something higher as well: not divine, but transcendent, suprahuman, that

persist through time, is opposed to God and human faithfulness, and seeks

our destruction, damnation, illness, and death.63

Kejahatan bukan saja diciptakan oleh manusia saja. Akan tetapi masalah

dosa sesungguhnya juga disebabkan oleh makhluk-makhluk sipiritual. Makhluk-makhluk

spiritual juga ambil bagian dalam menciptakan kejahatan. Makhluk-makhluk ini bukan

hanya memberontak melawan Allah, mereka juga mempengaruhi manusia untuk ambil

61

Ibid 62

Luis Berkhof, Sistematic Thoelogy,…, 364 dan Ebenhaizer Nuban Timo, Allah

Menahan Diri,…, 297 63

Walter Wink, Naming the Power. The Language of Power in the New Testament.

(Philadelphia: Fortress Press, 1984), 23

89

bagian dalam pemberontakan itu.64

Wink menyebutkan bahwa makhluk-makhluk tersebut

adalah malaikat ciptaan Allah yang jatuh karena keinginan mereka berkuasa dan menjadi

ilahi sama seperti Allah (Yes.14:12-14).65

Catatan ini hendak menunjukkan bahwa dosa

merupakan masalah segitiga yang muncul di antara Allah – manusia - roh-roh. Hal

Lindsey menulis: “The keyto understanding man’s purpose and destiny is related to the

pre-history conflict that began with Lucifer’s revolt against God.”66

Manusia sejatinya adalah milik Allah. Tetapi kejatuhan dalam dosa

membuat hubungan dengan Allah terputus dan manusia tidak bisa terus bertahan hidup

tanpa membangun hubungan dengan dunia ilahi. Putusnya hubungan ini dimanfaatkan

dengan baik oleh Iblis. Melalui para bawahannya (demon) Iblis menawarkan diri sebagai

mediator yang menghubungkan kembali manusia dengan the most high, yang tidak lain

adalah Iblis, bukan Allah.67

Manusia yang pada dasarnya merindukan adanya hubungan

dengan dunia ilahi menerima tawaran ini karena cocok dengan kecenderungan hati

manusia pasca kejatuhan, yakni manusia bisa menggunakan daya-daya ilahi untuk meraih

tujuan-tujuannya yang sudah dilumuri dosa.68

Tujuan keberadaan manusia sebagaimana yang dikehendaki Allah dalam

karya penciptaan adalah menaklukkan kehendak, pikiran dan perbuatan-perbuatannya

pada kehendak Allah, tetapi karena dosa manusia menjadi makin terasing dari Allah,

putus hubungan dengan penciptanya dan hidup dalam cengkraman Iblis, diperalat Iblis

untuk terus memberontak dan memusuhi Allah.69

Pasca kejatuhan ke dalam dosa,

64

Hal Lindsey, Satan is Alive and Well on planet Earth. (GrandRapids-Michigan:

Zondervan Publishing House.1972), 65 65

Walter Wink , Engaging the Power. Discerment and Resistance in a World of

Domination. (Minneapolis: Fortress Press:1992), 68 66

Hal Lindsey, Satan is,…, 45 67

Ibid.,62 68

Rebecca Brown, He Came to Set the Captives Free. (USA: Chick Publications, 1986),

151 69

Ibid., 175

90

manusia juga berurusan dengan Iblis. Allah dan Iblis mengklaim diri sebagai pemilik

kehidupan manusia. Di sinilah terjadi peperangan rohani sebagaimana kata Paulus

(Ef.6:12). Inilah yang menjadi inti terdalam dari penderitaan manusia, yakni mengalami

disorientasi kehidupan.

Ritual sacrifice yang muncul dalam berbagai agama dan budaya adalah

untuk memberikan sesuatu kepada dunia roh untuk memulihkan keadaan disorientasi ini.

Darah yang melambangkan kehidupan dicurahkan sebagai pertukaran untuk kehidupan

manusia. Dalam darah kurban, menurut Evans-Pritchard terkandung ide pembelian,

penebusan, pertukaran, tawaran dan pembayaran.70

Binatang kurban yang darahnya

dicurahkan berperan sebagai pengganti manusia. Sebagaimana yang ditunjukkan Rebecca

Brown dan Elaine,71

yang terjadi dalam perayaan Black Sabbath.72

Elaine menegaskan

bahwa perayaan Black Sabbth dibuat bersamaan dengan peristiwa Jumat Agung karena

Iblis berharap bisa menodai masa-masa perayaan kemurahan Allah.73

Dua hal yang selalu

dilakukan dalam Black Sabbath: seorang manusia sebagai kurban yang dipilih dari para

perserta kultus atau orang yang diincar oleh para satanists dan salib dalam posisi terbalik

sebagai altarnya.74

Iblis selalu hadir secara personal dalam ritual itu di tengah-tengah para

penyembahnya. Elaine yang adalah high princess (bride) Iblis yang selalu menghadiri

70

Evan Pitchard, The Meaning of Sacrifice among the Nuer, dalam: Jefrey Carter (Ed).

Understanding,…, 198 71

Elaine seorang gadis muda yang terjerumus dalam kultus penyembahan terhadap Iblis

bahkan menjadi imam besar perempuan (bride) iblis mengaku bahwa berkali-kali ia ingin membebaskan diri

dari perbudakan pada kuasa-kuasa supra-natural yang penuh dengan kepalsuan. Keinginan ada tetapi daya

dan energi kebaikan tidak tersedia pada dirinya sendiri karena telah ditawan oleh Iblis. Elaine bersama

puluhan peserta kultus penyembahan Iblis di California mengaku bahwa hanya apabila Kristus diundang

memerintah di dalam hati melalui Roh Kudus energi kebaikan dalam hati bisa dipulihkan dan berwujud

dalam tindakan-tindakan kebaikan. Untuk lebih detil Lih. Rebecca Brown, He Come to Set, (USA: Chick

Publications, 1986) 72

Black Sabbath atau Black Mass adalah salah satu ritus penyembahan kepada Iblis yang

dilakukan secara tetap setiap tahun. Perayaan itu berlangsung pada bulan purnama dan pada akhir minggu

perayaan Paskah Kristen. 73

Rebecca Brown, He Came to Set,…, 69 74

Hal Lindsey, Satan IsAlive,…, 21

91

perayaan Black Sabbath dan wajib melayani birahi seksnya Iblis. Di akhir perayaan itu

Elaine mengatakan:

What a mockery the Black Sabbaths are. Satan knows that they are a

mockery! The ceremony itself is supposed to be simbolic of the death of

Christ. Satan proclaims that Jesus Christ was the ultimate sacrifice to him,

that he won over Christ by killing him on the cross. Satan is lying! He

knows that he was defeated at the cross, not Jesus, and so do all of the

demons. But the people don‟t. I am one of the fortunate ones, I found out

that it is all a lie.75

Iblis menuntut korban berdarah bukan dalam wujud binatang melainkan

manusia sebab dengan darah, Iblis memperoleh energi terbaru untuk terus men-desecrate

karya penebusan Allah.76

Hal yang paling digemari oleh Iblis dan para demon

bawahannya adalah minum darah. Dengan minum darah Iblis dan para bawahannya

mendapatkan energi segar untuk terus melakukan kampanye pemberontakan terhadap

Allah dan menarik sebanyak mungkin manusia sebagai pengikut.77

Apa yang terjadi

dalam perayaan tahunan Black Sabbath menunjukkan bahwa Iblis menghendaki kurban

darah terutama manusia.78

Orang yang terpilih untuk disalibkan dalam perayaan Black

Sabbath yang darahnya diminum oleh Iblis dan juga dibagi-bagikan di antara para demon

dan seluruh Satanists akan segera mati dalam beberapa hari setelah Black Sabbath karena

mana (daya hidupnya) sudah diambil.

Iblis menghendaki darah. Dalam karya penebusan manusia Allah mengikuti

tuntutan Iblis, karena Allah bukan pribadi yang sewenang-wenang (Maz. 7:12,9:5,dst). Ia

memberikan Yesus Kristus sebagai korban berdarah. Pemberian ini pun bukan keputusan

sepihak dari Bapa. Di dalam pengurbanan Yesus, dua aspek kembar yang ditemukan

Evans-Pritchard dalam ritus piacular masyarakat Nuer muncul ke permukaan. Pertama,

75

Rebecca Brown, He Come To Set,…,74 76

Ibid.,69 77

Ibid., 50, 70 78

Hal Lindsey, Satan Is Alive,…, 18

92

dalam kurban Yesus, Allah dan manusia serta Iblis yang hidup dalam permusuhan

bertemu. Inilah yang Evans-Pritchard namakan dimensi desakralization dari pelaksanaan

kurban penebusan, yakni momen di mana yang ilahi menjumpai yang insani.79

Kedua,

dalam kurban yang sama terjadi juga pemisahan antara manusia dan Iblis. Darah Yesus

tidak hanya memenangkan kembali manusia kepada Allah, tetapi serentak dengan itu

membebaskan manusia dari cengkraman Iblis. Ciri prophylactic (alat pencegah penyakit)

dan apotropaic (alat melindungi dari bahaya) serta eliminasi dosa dan regulasi daya yang

berfaedah yang disebutkan Evans-Pritchard,80

nampak dalam piacular sacrifice yang

dijalani Yesus.

Dari penjelasan di atas yang bisa disimpulkan adalah sebagai berikut. Darah

adalah tempat menyimpan daya hidup dalam jumlah terbanyak. Darah adalah nyawa (Ul.

12:23). Nyawa makhluk hidup adalah di dalam darahnya (Im. 17:11). Dalam karya

penyelamtan, tuntutan darah tidak dari Allah. Itu adalah rekayasa budaya dan konstruksi

sosial. Iblis memiliki andil dalam proses proses konstruksi itu. Walter Wink,81

Rebecca

Brown,82

dan Hal Lindsey sepakat mengatakan bahwa: “Satan invented the powerful of

suggestion, the ability to put thoughts into aour minds about thing we alredy desire.”83

Pertanyaan sebelumnya sudah mulai terjawab, akan tetapi muncul

pertanyaan yang baru lagi, apakah darah kurban binatang tidak cukup untuk mendamaikan

manusia? Apa khasiat istimewa dari darah Yesus? Darah dalam setiap ritual kurban yang

diadakan Iblis berfungsi memperkuat Iblis karena darah itu adalah nyawa makhluk

berdosa. Iblis tidak mampu menaklukan orang yang telah dibasuh oleh darah Yesus

melalui doa dan penyerahan diri karena ada unsur keilahian. Itu darah yang bebas dari

79

Evan Pitchard, The Meaning,…, dalam Jefrrey Carter, Undertsanding Religion,…, 190 80

Ibid., 198 81

Walter Wink, Engaging the Power,…, 67 82

Hal Lindsey, Satan is Alive,…, 208 83

Ibid, 59

93

dosa. Darah Yesus yang tidak tercemar dosa itu berkhasiat membersihkan dosa dan

melindungi pendosa.84

Yang menjadi pertanyaan adalah, mungkinkah kemanusiaan Yesus

bisa terbebas dari pencemaran dosa? Bukakah setiap manusia dikandung dalam dosa dan

diperanakan dalam kesalahan (Maz 51:7)? Bagaimana darah yang mengalir dalam dalam

darah Yesus tidak tercemar oleh dosa? Menurut Karl Barth, dosa asali diturunkan melalui

orangtua laki-laki.85

Kelahiran Yesus dari anak dara Maria mengandaikan bahwa Yesus

bebas dari dosa warisan, tetapi mau menaklukan diri di bawah kutuk dosa demi menebus

manusia. Dengan menerima Yesus sebagai kurban dalam peristiwa salib, Iblis

menunjukan diri sebagai yang bukan maha tahu.86

Ebenhaizer Nuban Timo mengatakan,

“Bagaikan ikan rakus yang menangkap umpan cacing, Iblis menangkap umpan

kemanusiaan Yesus tanpa tahu bahwa sebenarnya Yesus adalah Allah yang mengambil

wujud manusia berdosa. Akibat kecerobohan itu Iblis terperangkap dan tidak berdaya.”87

Jadi melalui salib yakni kurban berdarah dari Yesus Kristus, manusia

dipersatukan kembali dengan Allah, sementara Iblis dibuat tidak berdaya. Bersamaan

dengan itu tiga tujuan lain dari ritual piacular sacrifice dari Evans-Pritchard juga ikut

terdeteksi dalam penebusan yang dilakukan Yesus. Pertama, yakni memberi keyakinan

dan keberanian kepada manusia untuk hidup dan terus berjuang melawan Iblis, tidak kalah

gertak menurut istilah Rebeca Brown. Kedua, memperkuat ikatan sosial di antara orang-

orang percaya. Ketiga, manusia dikuatkan untuk menciptakan moralitas baru.88

84

Evans-Pritchard, The Meaning Sacrifice,…, dalam Jeffry Carter, Understanding,…,

202 85

Karl Barth, Church Dogmatics I/1. (Edinburgh: T & T Clark, 1970), 556 86

Rebecca Brown, He Came to Set,…, 175 87

Ebenhaizer I Nuban Timo, Ditebus Dengan Darah Yang Mahal:Soteriologi Salib Dari

Perspektif Ritual Kurban Evans-Pritchard Dan Rene Girard. Materi seminar dan symposium Nasional

dalam Rangka Dies Natalis ke-46 Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga, 16 Maret

2016 88

Evan Pitchard, The Meaning Sarifice,…, dalam Jeffrey Carter, Understanding,…,

94

Allah bukankah Tuhan yang menuntut dan haus akan darah tetapi Iblislah

yang menginginkan itu. Ia tidak menuntut adanya korban berdarah sebagai pra-syarat

perdamaian.89

Iblislah yang menuntut darah karena keberdosaan manusia yang menolak

Allah sebagai kepala atas kehidupannya dan menjadikan Iblis sebagai kepalanya. Karena

manusia yang lahir dari ciptaan kasih dan cinta Allah, maka Allah tidak membiarkan

manusia diperbudak oleh Iblis. Allah bertindak untuk menyelamatkan manusia dari

cengkraman Iblis yang harus dibayar dengan mahal yaitu dengan darah.

Alkitab menegaskan bahwa sesungguhnya Allah tidak berkenan kepada

kurban sembelihan dan kurban sajian dan tidak menuntut kurban bakaran dan kurban

penghapusan dosa. Sekalipun dalam akta pendamaian baik dalam ibadah Israel yang

kemudian digenapi oleh Yesus melalui pengorbananNya itu hanya jalan yang diizinkan

oleh Allah, semata-mata demi membebaskan manusia dari cengkraman maut. Iblislah

yang haus akan darah. Ia yang menuntut darah. Darah binatang-binatang kurban tidak

mampu menghapus dosa, sebab mereka hanyalah binatang pengganti saja, sedangkan Iblis

menuntut darah (sebagai simbol kehidupan) dari orang berdosa, maka Allahpun

membayar tuntutan itu dengan darah Anak-Nya sebagai pengganti manusia, supaya

manusia selamat. Dengan demikian keputusan Allah menjadikan diriNya sekutu manusia

dan manusia menjadi sekutu-Nya dapat terwujud.90

Allah mengerjakan keselamatan bukan dengan kekerasan. Itu merupakan

mekanisme yang didesain masyarakat sebagai alat untuk mengakhiri kekerasan. Menurut

penulis, teori Rene Girard dalam penjelasaaan sebelumnya telah memperlihatkan gagasan

itu dengan sangat menarik. Allah mengijinkan korban berdarah terjadi atas Yesus, Yesus

89

Luis Berkhof, Sistematic Theology,…, 363 90

Nuban Timo, Allah Menahan Diri,…, 307

95

setuju menjadi korban berdarah, bukan karena itu adalah hal yang pantas, tetapi adalah

keharusan cinta kasih demi menyelamatkan manusia.91

Darah sebagai simbol pengikat janji menandakan adanya daya yang

mengikat sekaligus mendamaikan terus hubangan di antara kedua belah pihak yang

berjanji. Besar kemungkinan inilah yang dimaksud oleh Matius dan Markus dengan

„darah perjanjian”. Darah Kristus yang tertumpah menjadi simbol yang mengikat

perjanjian yang baru antara manusia dengan Allah sehingga terciptalah tata relasi yang

baru dan tetap damai. Darah Kristus menjadi materai yang baru antara manusia dengan

Allah. Seperti halnya mereka yang berkeluarga terikat oleh darah, demikian pula Allah

dan manusia- secara simbolis dihubungkan satu kepada yang lain melalui ikatan darah.

Yesus pada perjamuan Paskah memberi cawan minuman dengan menyebut

“darah perjanjian” hendak mengatakan bahwa melalui penyerahanNya, manusia akan

menjadi mitra baginya dalam perjanjian itu. Perjanjian itu terlebih dahulu dimulai dengan

peyerahan totalitas kehidupan Yesus sebagai korban yang mendamaikan manusia dengan

Allah. DarahNya yang tercurah sebagaimana banyak dipahami di dalam pengorbanan

kuno terang-terangan untuk menebus dan menyucikan manusia agar layak menerima

perjanjian itu. Dengan menunjukan roti sebagai tubuh-Nya dan anggur sebagai darah-Nya,

Yesus mengisyaratkan sesuatu perbedaan yang sangat fundamental antara diri-Nya dengan

domba paskah yang disembelih pada Exodus atau pada perayaan festival tahunan Paskah

Yahudi.92

Perbedaan yang sangat fundamental itu adalah darah domba dalam sejarah

Exodus hanya sebuah tanda, sebuah tanda penting yang meyakinkan Allah untuk melalui

(pass over) rumah-rumah Israel dari kematian pada waktu itu. Tetapi tubuh Yesus yang

91

Ibid., 309 92

Choan Seng Song, Jesus The Crucified People, (New York: Crossroad, 1990), 21

96

dipecah-pecah dan darahNya yang dicurahkan lebih dari sebuah tanda biasa. Yesus yang

tergantung di atas kayu salib adalah Allah sendiri. Darah Yesus menyelamatkan bukan

hanya Israel, tetapi manusia secara keseluruhan. Sebagai ciptaan yang pertama dan ciptaan

yang baru, Yesus akan “melalui” (pass over) kematian menuju ke kehidupan yang kekal.

Yesus tidak hanya menuntun orang ke jalan itu, tetapi Ia sendirilah jalan keselamatan itu.

Makan daging dan meminum darahNya adalah simbol kesatuan dengan

Dia. Para murid yang menerima dan percaya pada perkataanNya akan melalui kematian

yang kekal dan masuk ke dalam kehidupan yang kekal sebagai ciptaan yang baru

sebagaimana yang telah Yesus lakukan. Inilah perjanjian yang baru itu yang Yesus

katakan kepada para murid, yakni sebuah janji yang dimateraikan dan dirayakan sekali

dan untuk semua dengan menumpahkan darahnya sendiri.93

Yesus mengubah sifat

perjamuan Paskah tersebut tidak hanya sebatas pemahaman lama yang dipahami oleh

orang Yahudi, menjadi Perjamuan Persembahan kurban. Perjamuan itu menjadi

anamnesis peringatan akan penderitaan dan kematian Yesus yang membawa

perdamaian.94

Darah Yesus adalah darah yang murni. Oleh karena itu dalam perjamuan

Tuhan darah Yesus memurnikan/menyucikan manusia dari dosa. (I Yoh 1:7). Melalui

darah itu, Allah menyatakan perjanjian baru kepada manusia. Hal inilah yang menarik dari

Perjanjian Baru itu tidak saja hanya pada darah Kristus sebagai material jasmani, tetapi

pada darahnya yang mengalir kehidupannya. Dengan memberi diriNya sendiri secara

simbolis menjadi roti dan anggur yang dimakan saat Paskah yang baru, Allah membuat

kematian manusiawinya (di dalam Yesus) menyelamatkan kematian manusia itu sendiri.

93

Jack Miles, Christ: A Crisis In The Life To God, (New York: A Division Of Random

House, INC, 2002), 211 94

JT Nielsen, Kitab Injil Matius,…, 100

97

Memakan daging dombah Paskah adalah hal yang lumrah dalam ritual

Paskah, tetapi meminum darah tidak pernah. Allah telah melarang Israel memakan

“daging dengan kehidupan” yakni darah. Orang Israel di Mesir tidak meminum darah

domba Paskah, tetapi memercikannya di ambang pintu rumah mereka. Akan tetapi dalam

perayaan Paskah yang kedua melalui Perjamuan Kudus, darah Domba Allah harus

diminum, karena di dalamnya ada sumber kehidupan. Kehidupan yang telah memilih

untuk menjelma dengan simbol hidup yang luar biasa. Meminum darahNya secara

simbolis menunjukan dua hal. Pertama, Yesus bermaksud membagikan hidupnya yang

kekal kepada umatnya.95

Dialah sumber kehidupan, darahNya membawa kehidupan dan

menjadi tanda perjanjianNya dengan manusia. Karena setelah pengorbanan yang sudah

dilakukan oleh Yesus itu, tidak akan ada lagi penyelenggaraan pengorbanan yang lebih

istimewa dari pada itu. Kedua, sebagaimana dalam pemahaman masyarakat Mediterania

kuno bahwa hubungan darah dalam keluarga menunjukan terhormat tidaknya

seseorang/keluarga tersebut. Keluarga yang tidak terhormat bisa menjadi keluarga

terhormat apabila tanda kehormatan itu diberikan padanya melalui ikatan perjanjian,

misalkan dengan pernikahan. Dengan demikian barang siapa yang menerima ataupun

meminum darah Yesus, secara simbolis jelas akan orang menjadi anggota keluarga Allah

dan berhak menerima kemuliaan Allah.

3. Perjamuan Kudus adalah Ibadah Pengharapan

Perjamuan makan dalam Perjamuan Kudus adalah antisipasi dari

perwujudan keselamatan akhir pada parousia.96

Dosa bermula dari soal makan dan

penyelesaian terhadap dosa dihubungkan dengan makan. Itu wujud dalam perjamuan

makan yang ditetapkan oleh Yesus dalam Perjamuan Kudus Dalam perayaan Perjamuan

95

Ibid., 219 96

Ebenhaizer I Nubantimo,Allah Menahan Diri,.., 367

98

Kudus tidak hanya mengenang Kristus yang telah mati untuk mendamaikan manusia

dengan Allah, akan tetapi aspek yang lain yang penting untuk dipahami bersama adalah

adanya sebuah pengharapan antisipasi akan kedatangan kembali Yesus Kristus yang

bangkit.97

Orang Kristen bersekutu untuk makan bersama dalam sakramen Perjamuan

Kudus, bukan saja hanya mengenang Yesus Kristus yang mati, akan tetapi juga karena

percaya akan kedatanganNya kembali sebagai yang hidup dan berharap mereka akan

diundang kembali ambil bagian dalam perjamuan kawin itu. Makan bersama Yesus saat

ini menegaskan bahwa sebagaimana mereka bersatu dengan Dia di dalam kematian-Nya,

demikian juga para murid akan bersatu dengan Dia di dalam kemulian-Nya kelak. 98

Sebelum berpisah dengan Yesus dan sesama dalam waktu yang lama, anggota perjamuan

Kudus menyebar ke dunianya sendiri-sendiri. Roti (Tubuh Yesus ) yang sudah dipecah-

pecahkan dimakan dan anggur (darah Yesus) yang diminum secara bersama-sama itu

memiliki arti yang sangat dalam bahwa tubuh dan darah Kristus itu dijadikan darah daging

mereka.99

Inilah yang membuat perjamuan Kudus berbeda dengan perjamuan makan

lainnya.

Setiap orang pergi dengan membawa potongan tubuh Kristus di dalam

dirinya, menyatu dengan Kristus dalam hidup dan pekerjaan. Potongan tubuh Kristus yang

ada pada masing-masing orang kelak menjadi bukti yang bisa dijadikan tiket untuk ambil

bagian dalam perjamuan kawin dalam rumah Bapa. Dalam perjamuan kawin itu,

97

Ibid., 372 98 Pemahaman ini memiliki hubungan dengan hikmat yang dipraktekan oleh orang

bersaudara yang hendak terpisah satu dengan yang lain dalam jangka waktu yang cukup lama. Untuk

menghindari kelak saat mereka bertemu dan tidak saling kenal, maka mereka akan mengambil satu barang

yang paling berharga dipecahkan dan dibagi-bagi. Kelak ketika mereka ataupun generasi bertemu, pecahan-

pecahan tersebut disatukan untuk membuktikan bahwa mereka adalah satu keluarga dan orang-orang yang

bersaudara. Hikmat dan tradisi ini diperagakan oleh Gereja dalam Perjamuan Kudus. 99

Nuban Timo, Allah Menahan Diri,…, 367

99

pembenaran, pengudusan dan penugasan yang sudah diterima dari Perjamuan Kudus

dimateraikan selama-lamanya.100

D. PERJAMUAN KUDUS DALAM SEJARAH GEREJA

1. Perayaan Ekaristi dalam Jemaat Mula-Mula s/d Abad VI

Pada masa jemaat mula- mula, perayaan Ekaristi dirayakan menurut model

perjamuan paskah menurut Yahudi disertai pembacaan dari tulisan yang telah disiapkan

oleh para nabi atau Rasul.

Memasuki abad IV-VI, orang Kristen berada di zaman kejayaan dan

kebebasan.101

Ibadah dan perayaan gerejawi yang tadinya hanya dilakukan di tempat-

tempat tersembunyi, pada masa ini dilangsungkan di Basilica bangunan dan gedung raja

yang agung dan megah. Pakaian resmi uskup, imam dan diakon menjadi khusus dan

bagus, apalagi pada perayaan Ekaristi para pemimpin menggunakan busana liturgi yang

indah dan berseni, agung dan semarak.

Di sepanjang abad I-VI pemahaman tentang Perjamuan Kudus dalam Gereja

masih berpegang teguh pada pemahaman Alkitabiah. Ada tiga hal yang menjadi landasan

keyakinan. Pertama, Ekaristi dilakukan untuk mengenang seluruh rangkaian karya

keselamatan yang telah dilakukan oleh Yesus dalam rangka memberitakan kerajaan Allah

yang mencakup seluruh pengajaranNya, dan keberpihakannya terhadap orang-orang

miskin dan tertindas terlebih-lebih karya penebusan yang telah dilakukanNya melalui

kayu salib, dan kebangkitanN. Kedua, kebiasaan memecahkan roti dan perjamuan makan

bersama di dalam jemaat senantiasa dipahami untuk memperkuat kebersamaan-kesatuaan

100

Ibid., 368 101

Perjanjian Edict Milano yang dimaklumkan oleh Kaisar Kontatinus (pada tahun 313)

memberikan kebebasan yang besar bagi agama Kristen. Ditambah pada tahun 380M, agama Kristen menjadi

agama Negara. Dapat dibayangkan betapa jaya dan bebasnya agama Kristen dalam beribadah dan

melakukan praktek-praktek agamanya. Dengan pengakuan agama Kristen sebagai agama Negara, maka para

pemuka agama memperoleh penghargaan dan penghormatan sama seperti Kaisar atau para pangeran dan

pejabat petinggi Negara. Pengaruh perubahan itu, juga membawa dampak yang sangat signifikan.

100

antar sesama jemaat dan juga memperkuat kesatuan-kebersamaan dengan Kristus yang

adalah kepala Gereja. Ketiga, ajaran Bapa-Bapa Gereja yang menekankan Realis

Pracentia Christus dalam roti dan anggur.

2. Ekaristi dalam Gereja di Abad Pertengahan s/d Abad XX

Pada abad Pertengahan, perayaan Ekaristi mengalami pembaharuan dengan

mengikuti Buku Sakramentarium Adrianus, kumpulan-doa-doa Paus Adrianus di abad

VIII. Pembaharuan ini dikenal dengan. Demi kesatuan rakyat dan gereja di kekaisarannya,

maka Karolus Agung mendekritkan Misa Kudus Roma-Galikan di seluruh kekaisarannya.

Praktek perayaan pada abad ini sangat diwarnai oleh zaman Gotik yang menekankan

individual, subjektif dan etis. Liturgi hanya menjadi urusan klerus dan umat semakin

teralienasi dari perayaan liturgi. Umat menjadi penonton, karena bahasa yang dipakai

adalah bahasa Latin. Umat terkdang tidak tahu apa yang sedang dirayakan, karena doa-

doa yang diucapkan oleh sangat lembut dan bisik-bisik untuk menjaga kesucian dan

suasana agung, sakral dan misteri. Yang diketahui oleh umat adalah homili, menyembah

Tuhan saat hosti dan piala saat elevasi pada saat penyambutan komuni.

Pada masa Paus Gregorius VII abad XI, peraturan sentralisasi liturgi

Romawi ditegakkan. Semua uskup di wilayah gereja Barat harus menggunakan liturgi

Romawi. Gregorius VII mewajibkan semua teks liturgi harus mendapat pengesahan dari

kuria Roma. Dengan demikian kemurnian ajaran dan bentuk perayaan liturgi dimanapun

dapat dipelihara. Realis Pracentia masih sangat ditekankan di abad ini,102

terutama sejak

102

Ajaran realis pracentia di zaman ini mengalami puncaknya di tokoh Thomas Aquinas.

Thomas Aquinas memahami sakramen sebagai tanda dan sarana untuk kehidupan rohani manusia. Thomas

Aquinas memikirkan tiga segi sakramen Ekaristi, yakni, ekaristi sebagai signumcommeorativum yang

mengenangkan penderitaa wafat Yesus, Ekaristi sebagai signum communionis yang mengungkapkan

kesatuan gereja dan Ekaristi sebagai signum praefigurativum yang menunjuk makna esakatalogis Ekaristi.

Juga Thomas menegaskan ajaran transsubstantiatio yakni perubahan roti dan anggur yang menjadi tubuh

dan darah Kristus setelah konsekrasi. Lih. Martasudjita, Ekaristi,…, 52-53

101

kasus Berengarius,103

sementara gagasan mengenai anamneses hampir tidak dikenal

lagi.104

Abad XVI Gereja memasuki sejarah yang baru karena gerakan Reformasi

dari Martin Luther, Johanes Calvin, Zwingli dan yang lainnya. Intinya, para reformator

menolak dan memperotes teologi dan gereja yang dipandang jauh menyimpang dari

sumber-sumber hidup iman, yakni Kitab Suci. Tradisi Gereja juga Misa Kudus

sebagaimana yang telah dijalankan oleh gereja ditolak.105

Para Reformator abad XVI

menekankan sifat simbolis dari kehadiran Kristus dalam Ekaristi, sifat perjamuan dari

Ekaristi dan menolak sifat korban dari misa kudus.106

Gerakan Reformasi ini berkembang

sangat cepat dan pengaruhnya luas, hingga Raja Henry VIII menyatakan pemisahan diri

Gereja Anglikan Inggris dari Gereja Katolik Roma walaupun sebenarnya disebabkan oleh

alasan pribadi.107

Pada abad XVII-XVIII, zaman Aufklarung (Pencerahan) menghasilkan

kelompok rasionalisme yang sangat menekankan akal budi atau rasio. Reaksi atas zaman

ini ialah munculnya aliran romantisme yang amat menekankan perasaan.108

Selanjutnya di

103

Berengarius menolak realis prasentia Christi (kehadiran Kristus yang sungguh-sungguh

di dalam roti dan nggur perjamuan). Akibat penolakannya ini gereja menjadi heboh dan mendapat

tanggapan yang serius dari gereja. Gereja mengutuk Berengarius dan tetap memaksanya untuk mengakui

iman gereja akan Ekaristi kudus yakni sesudah konsekrasi, roti dan anggur benar-benar berubah menjadi

tubuh dan darah Kritus 104

Matasudjita, Ekaristi,…, 51 105 Menanggapi Reformasi, Gereja Katolik melaksanakan beberapa kali Konsili yang

dikenal dengan Konsili Trente (1545-1563). Trente menegaskan tiga hal. Pertama, Realis Pracentia,

kehadiran Kristus yang sungguh-sungguh real dan nyata dalam ekaristi. Kedua, ajaran transsubtantiatio.

Ketiga, kurban yang dirayakan dalam misa kudus adalah kurban salib Kristus. 106

Martasudjita, Sakramen-Sakramen,(Jogyakarta: Kanisius, 2003), 289 107

Sri Paus tidak menyetujui keinginannya menceraikan istrinya dan menikah dengan

perempuan lain. 108

Terhadap aneka perubahan zaman ini, liturgi Roma bertahan mantap tanpa dapat

dikutak-katik sedikitpun. Rahasia kuatnya liturgi Romawi ini tentu sangat terkait dengan suasana hasil

gereja pasca-Trente hingga awal abad XX yang sangat klerikalis, piramidal, yuridis dan sangat menekankan

kesatuan-keseragaman. Lih, Martasudjita, Sakramen-Sakramen,…, 236

102

abad XX pandangan Johannes Betz sangat mempengaruhi pemahaman Gereja tentang

Ekaristi.109

E. PERBEDAAN SUBSTANSI DOGMATIS PERJAMUAN KUDUS ROMA

KATOLIK DAN GEREJA PROTESTAN

Ada dua perbedaan yag sangat substansial antara Gereja Roma Katolik dan

Gereja Protestan dalam memahami Perjamuan Kudus. Pertama, doktrin Transub-

Stantiation (perubahan zat). Pada saat Imam (Pastor) mengangkat roti dan berkata, “Inilah

TubuhKu”, roti dan anggur berubah menjadi tubuh dan darah Kristus. Ini bukanlah sebuah

kasus yang sederhana dari penerapan pekerjaan Kristus, tetapi kehadiranNya secara

personal dalam keanggunan dan kekuasanNya dalam roti dan anggur.110

Kedua, dalam pelaksanaan Eucharisti, anggur tidak dibagikan kepada

jemaat, hanya roti saja. Pada Konsili Konstan (1414-1415) memutuskan bahwa anggur

tidak lagi dibagikan kepada jemaat, hanya untuk para Pastor saja. Keputusan ini

diteguhkan oleh Konsili Trente (1545-1563). 111

109

Menurut Betz, ada tiga macam kehadiran Kristus yang tidak pernah terpisahkan di

dalam Ekaristi yang mencakup dan saling meliputi satu dengan yang lain (drei ineinanderliegende

Gegewartsweisen). Pertama, kehadiran personalYesus Kristus. Pada perayaan Ekaristi seluruh diri-pribadi

Yesus Kristus hadir dalam Roh Kudus. Kedua, kehadiran aktual tindakan Yesus Kristus. Kristus tidak hanya

hadir sebgai pribadi tetapi dengan seluruh kaya dan tindakan penyelamatanNya, termasuk misteri kurban

salibNya. Kurban salib Kristus itu dihadirkan dalam Ekaristi secara sakramental. Dan ketiga, kehadiran real

Yesus Kristus dalam rupa roti dan anggur. Kehadiran pribadi Kristus dan karya penebusanNya dalam

kurban salib itu mengalami penampakannya yang objekif dalam kehadiran real Tubuh dan Darah-Nya dalam

rupa roti dan anggur. Lih. Martasudjita, Sakramen-Sakamen,…, 237 110

G. C Berkouwer, The Sakraments,…, 203 111 Keputusan ini dilandasi dengan dasar pemikiran bahwa dalam tubuh sudah ada darah.

Jadi saat jemaat menerima tubuh (roti) Ekaristi, sesungguhnya darah Yesus juga telah diterima.

103

F. PERJAMUAN KUDUS DALAM PANDANGAN EKUMENIS

Suatu pandangan ekummenis mengenai Perjamuan Kudus antara Gereja

Roma Katolik dan Gereja-Gereja Reformasi tampak baik dalam dua dokumen. Pertama,

Dokumen Hasil Sidang Raya di Geneva pada tahun 1975 yang mengatakan:

Ekaristi atau Perjamuan Kudus adalah korban pujian yang besar, yang

dengannya Gereja berbicara atas nama seluruh ciptaan. Karena dunia yang

dengannya Allah telah memperdamaikan diri-Nya sendiri hadir dalam

setiap Perjamuan malam: dalam roti dan anggur, dalam pribai orang-orang

dan dalam doa-doa yan mereka naikan bagi mereka sendiri dan orang lain.

Sementara orang-orang percaya dan doa-doa mereka dipersatukan dalam

Pribadi Tuhan kita dan dengan syafaat-Nya, mereka diubah dan diterima.

Dengan demikian Ekaristi atau Perjamuan Kudus mengungkapkan kepada

dunia bagaimana seharusnya dunia itu.112

Kedua, dokumen Lima hasil Sidang Dewan Gereja-Gereja Sedunia (World

Council Church) di Lima Ibu Kota Peru, Amerika Latin pada tahun 1982 yang berisi

pernyataan teologis bersama mengenai baptisan, ekaristi dan pelayanan (Baptism,

Eucharisti and Ministry atau sering disingkat BEM). Dalam dokumen ini secara maksimal

telah disusun rumusan dan pernyataan yang menjadi titik temu bersama di atara Gereja

Roma Katolik dan Gereja-Gereja Reformasi. Pertama, Ekaristi (Perjamuan Kudus)

adalah pengenangan akan wafat dan kebangkitan Kristus. Anamneses ini tidak hanya

berarti mengingat kembali apa yang sudah lewat serta artinya akan tetapi pemakluman

yang efektif tentang tindakan kebesaran Allah dan janji-janjinya. Kedua, ajaran tentang

realis prasentia menjadi ajaran yang disambut baik dan penuh kegembiraan dalam

dokumen tersebut. Ketiga, Dalam BEM disepakati bahwa Kristus yang mengundang dan

memimpin Perjamuan. Kehadiran Kristus ditandakan dan dihadirkan melalui seorang

pelayan tertahbis.

112

One Baptism, One Eucharisti, and a Mutually Recognize Ministry, Faith and Order

Paper 73 ( Geneva, 1975), 20