25
TUGAS FARMAKOTERAPI II PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)” Disusun oleh: KELOMPOK: 1. Diah Nurmala Sari (122210101016) 2. Adhe Ayu K. S. (122210101018) 3. Nur Mentarie D. (122210101020) 4. Farichatul Izzah M. (122210101022) 5. Yayan Ika Rachmawati (122210101024) 6. Ninda Sukmaningrum (122210101026) 7. Elivia Rosa A. (122210101028)

Farter FIX

Embed Size (px)

DESCRIPTION

jhjnbk

Citation preview

TUGAS FARMAKOTERAPI IIPENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)

Disusun oleh:

KELOMPOK:1. Diah Nurmala Sari(122210101016)2. Adhe Ayu K. S.(122210101018)3. Nur Mentarie D.(122210101020)4. Farichatul Izzah M.(122210101022)5. Yayan Ika Rachmawati(122210101024)6. Ninda Sukmaningrum(122210101026)7. Elivia Rosa A.(122210101028)

FAKULTAS FARMASIUNIVERSITAS JEMBER2015BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar BelakangPenyakit Paru Obstruktif Kronik (CPOD) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai dengan peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patologi utamanya. Ketiga penyakit ini yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan COPD adalah: Bronkitis Kronis, emfisema paru-paru dan asma bronkiale (S. Meltzer, 2001:595)PPOK merujuk pada sejumlah gangguan yang mempengaruhi pergerakan udara dari dan keluar paru. Gangguan yang penting adalah Bronkitis Obstruktif, Emfisema dan Asma Bronkiale (Black. J. M & Matassarin,. E. J. 1993).Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik dengan karakterisasinya adanya hambatan aliran udara di saluran nafas yang bersifat progresif nonreversible atau reversible parsial, serta adanya respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya (Gold, 2009).PPOM (Penyakit Paru Obstruktif Menahun) merupakan suatu penyumbatan menetap pada saluran pernafasan yang disebabkan oleh emfisema atau bronkitis kronis dan asma yang mengakibatkan obstruksi jalan napas yang bersifat ireversible dengan penyebab yang tidak diketahui dengan pasti.

1.2 Rumusan Masalah1.2.1 Apakah persamaan dan perbedaan klinik antara pasien asma dengan PPOK?1.2.2 Faktor apakah yang berkontribusi terhadap perkembangan PPOK pasien?1.2.3 Apakah yang dapat dijelaskan mengenai kondisi pasien dari hasil spirometri?1.2.4 Bagaimanakah tujuan terapi dan mekanisme kerja dari masing-masing obat yang diberikan? 1.2.5 Bagaimana pemberian obat jika dibandingkan dengan management terapi sehubungan dengan pergantian diagnosis dari asma menjadi PPOK?1.2.6 Bagaimana anda menilai bahwa terapi yang diberikan telah membantu/ memberikan hasil yang signifikan?1.2.7 Pasien menanyakan lebih baik mana penggunaan MDI dibandingkan nebulizer?1.2.8 Bagaimanakah pendapat anda mengenai antibiotika yang digunakan pasien?

1.3 Tujuan1.3.1 Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan klinik antara pasien asma dengan PPOK.1.3.2 Untuk mengetahui faktor apakah yang berkontribusi terhadap perkembangan PPOK pasien.1.3.3 Dapat menjelaskan mengenai kondisi pasien dari hasil spirometri.1.3.4 Untuk mengetahui tujuan terapi dan mekanisme kerja dari masing-masing obat yang diberikan.1.3.5 Mengetahui pemberian obat jika dibandingkan dengan management terapi sehubungan dengan pergantian diagnosis dari asma menjadi PPOK.1.3.6 Dapat menilai bahwa terapi yang diberikan telah membantu/ memberikan hasil yang signifikan.1.3.7 Dapat menjelaskan lebih baik mana penggunaan MDI dibandingkan nebulizer.1.3.8 Pendapat mengenai antibiotika yang digunakan pasien.

BAB IIISI

2.1 Definisia. ASMAPenyakit asma merupakan proses inflamasi kronik saluran pernapasan yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Proses inflamasi kronik ini menyebabkan saluran pernapasan menjadi hiperesponsif, sehingga memudahkan terjadinya bronkokonstriksi, edema dan hipersekresi kelenjar, yang menghasilkan pembatasan aliran udara di saluran pernapasan dengan manifestasi klinik yang bersifat periodik berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, batuk-batuk terutama malam hari atau dini hari/subuh. Gejala ini berhubungan dengan luasnya inflamasi, yang derajatnya bervariasi dan bersifat reversibel secara spontan maupun dengan atau tanpa pengobatan (GINA, 2011). Adapun definisi asma menurut Alsagaff tahun 2010 berbeda dengan definisi GINA yaitu asma adalah suatu penyakit dengan adanya penyempitan saluran pernapasan yang berhubungan dengan tanggap reaksi yang meningkat dari trakea dan bronkus berupa hiperaktivitas otot polos dan inflamasi, hipersekresi mukus, edema dinding saluran pernapasan, deskuamasi epitel dan infiltrasi sel inflamasi yang disebabkan berbagai macam rangsangan. Gejala klinis penyakit ini berupa kesukaran bernapas yang disebabkan oleh penyempitan saluran. Penyempitan saluran napas bersifat dinamis, derajat penyempitan dapat berubah, baik secara spontan maupun karena pemberian obat, dan kelainan dasarnya berupa gangguan imunologi.b. Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK/COPD Chronic Obstructive Pulmonary Disease) merupakan suatu kelompok gangguan pulmoner yang ditandai dengan adanya obstruksi permanent (irreversible) terhadap aliran ekspirasi udara. Peradangan kronis. Sebagai respon dari asap rokok yang dihisap, gas beracun, dan debu, merusak saluran napas dan parenkim paru. PPOK dahulunya diklasifikasikan menjadi subtype bronchitis kronik dan emfisema, walaupun kebanyakan pasien memiliki keduanya. Bronkitis kronis didefinisikan sebagai batuk produktif kronis selama lebih dari 2 tahun dan emfisema ditandai oleh adanya kerusakan pada dinding alveola yang menyebabkan peningkatan ukuran ruang udara distal yang abnormal.c. Perbedaan Asma dan PPOKMembedakan antara PPOK dengan asma sangat penting karena asma merupakan sumbatan saluran napas yang intermitten dan penanganan asma berbeda dengan PPOK. Hiperresponsif bronchial (didefinisikan sebagai perubahan periodic padaforced expiratory volumedalam waktu 1 detik [FEV1]), dapat ditemukan pula pada PPOK walaupun biasanya dengan magnitude yang lebih rendah dibanding pada asma. Perbedaan utama adalah asma merupakan obstruksi saluran napas reversible, dimana PPOK merupakan obstruksi saluran napas yang permanent. Selain itu terdapat perbedaan manifestasi lainnya antara asma dengan PPOK yang ditunjukkan pada tabel 1. Namun demikian, penelitian telah mengindikasikan pengendalian asma kronis yang buruk pada akhirnya menyebabkan perubahan struktur dan obstruksi saluran napas yang persisten, sehingga dalam kasus seperti ini asma telah berevolusi menjadi PPOK tanpa adanya riwayat merokok.Perbandingan gejala antara PPOK dan asma Riwayat Klinik PPOKAsmaOnset biasanya pada usia tua.Onset biasanya pada umur yang lebih muda

Riwayat paparan rokok.Paparan allergen.

Tidak ada riwayat atopik pada keluarga.Riwayat atopi atau asma pada keluarga

Variasi diurnal tidak begitu jelasBerkaitan dengan pola nocturnal dan memberat pada pagi hari.

Tes Diagnostik

SpirometriKapasitasRadiologyObstruksi tidak reversible sepenuhnyaBerkurang (dengan emphysema)Hiperinflasi cenderung lebih persisten. Penyakit bullous dapat ditemukanObstruction dapat reversible sepenuhnyaBiasanya normalHiperinflasi hanya pada eksaserbasi, namun normal di luar serangan

PathologyMetaplasia kelenjar mucusKerusakan jaringan alveolar (emphysema)Hyperplasia kelenjar mucusStruktur alveolar utuh

InflamasiMakrofag dan neutrofil mendominasiLimfosit CD8+Sel Mast dan eosinophils mendominasiLimfosit CD4+

Penatalaksanaan

Kortikosteroid Inhalasi

Leukotriene modifierAnticholinergic inhalasiUntuk kasus sedang hingga berat

Tidak direkomendasikanDigunakan untuk maintenance dan selama eksaserbasiUntuk kasus ringan hingga berat persisten

Digunakan sebagai medikasi pengontrolHanya digunakan pada eksaserbasi. Tidak diindikasikan untuk maintenance

2.2 Faktor-Faktor yang Berkontribusi Terhadap Perkembangan PPOK Terdapat 2 faktor yang berkontribusi terhadap perkembangan PPOK, yaitu :a. Faktor exposur, seperti asap tembakau, polusi udara, lingkungan kerja yang berdebu dan bahan kimia, asap rokok (baik perokok aktif maupun perokok pasif), serta daerah atau lingkungan tempat tinggal.b. Faktor host, seperti adanya kelainan genetik (-1 antitrypsin), hipereaktivitas saluran nafas, mengalami gangguan pada pertumbuhan paru-paru, usia, dan jenis kelamin, infeksi bronkopulmoner rekuren dan lain-lain.Pada kasus yang terjadi pada Bapak LT, faktor yang berkontribusi terhadap perkembangan PPOK yang diderita yaitu kebiasaan merokok dan karena faktor usia. Bapak LT memiliki kebiasaan merokok sampai 20 sigaret sejak sejak usia 14 tahun dan termasuk perokok aktif, dimana perokok aktif memiliki prevalensi lebih tinggi untuk mengalami gejala respiratorik, abnormalitas fungsi paru, dan mortalitas yang lebih tinggi dari pada orang yang tidak merokok. Resiko untuk menderita PPOK bergantung pada dosis merokoknya, seperti usia orang tersebut mulai merokok, jumlah rokok yang dihisap per hari dan berapa lama orang tersebut merokok. Selain itu derajat merokok pasien juga menentukan seberapa parah resiko PPOK yang diderita.Menurut PDPI (2000), derajat merokok seseorang dapat diukur dengan Indeks Brinkman, dimana perkalian antara jumlah batang rokok yang dihisap dalam sehari dikalikan dengan lama merokok dalam satu tahun, akan menghasilkan pengelompokan sebagai berikut : (6) Perokok ringan: 0-200 batang per tahun Perokok sedang: 200-600 batang per tahun Perokok berat: lebih dari 600 batang per tahun

Dalam kasus PPOK, merokok merupakan faktor yang paling berkontribusi. Separuh dari semua orang yang merokok berpeluang terjadi kerusakan atau obstruksi saluran nafas dan 10-20 persen nya berkembang secara signifikan menjadi PPOK (Devereux, 2006). Sumber lain menambahkan bahwa seseorang yang merokok dalam kurun waktu 20-25 tahun berpeluang terkena PPOK (Teramoto, 2007).Dengan demikian, kasus PPOK akut yang terjadi pada Bapak LT salah satunya disebabkan karena kebiasaan merokok yang berlebihan (perokok berat) yang telah dilakukan selama kurang lebih 54 tahun. Gambaran secara umum bagaimana rokok dapat menyebabkan kerusakan saluran pernafasan adalah bahwa di dalam asap rokok terdapat ribuan radikal bebas dan bahan-bahan iritan yang merugikan kesehatan. Bahan iritan tersebut masuk saluran pernafasan selanjutnya menempel pada silia (rambut getar) yang selalu berlendir. Di samping itu bahan iritan tersebut mampu membakar silia sehingga lambat laun terjadi penumpukan bahan iritan yang dapat mengakibatkan infeksi. Sementara itu produksi mucus makin bertambah banyak dan kondisi ini Sangat kondusif untuk tumbuh kuman. Apabila kondisi tersebut berlanjut maka akan terjadi radang dan penyempitan saluran nafas serta berkurangnya elastisitas.Besar kecilnya intensitas dan waktu paparan bahan-bahan iritan dalam asap rokok akan berpengaru terhadap kondisi saluran pernafasan. Semakin besar intensitas, dosis, serta waktu paparan, akan mempercepat terjadinya kerusakan atau ketidaknormalan pada saluran pernafasan. Dengan kata lain bahwa kebiasaan merokok dapat meningkatkan risiko terjadinya kelainan pada saluran nafas, antara lain berupa penyempitan yang dalam hal ini dikaitkan dengan kejadian PPOK.Faktor lain yang berkontribusi pada PPOK yaitu faktor usia, dimana berdasarkan studi yang dilakukan di 28 negara antara tahun 1990 dan 2004, dan sebuah studi tambahan dari Jepang, memberikan bukti bahwaprevalensi PPOK paling tinggi padausiaindividu lebih dari 40 tahun daripada mereka yang di bawah 40.Latin American Project for the Investigation of Obstructive Lung Disease(PLATINO) meneliti prevalensi keterbatasan aliran udara setelah pemberian bronkodilator di antara individu di atas usia 40 di lima kota penting Amerika Latin, masing-masing di negara yang berbeda (Brazil, Chili, Meksiko, Uruguay, dan Venezuela). Pada masing-masing negara tersebut di atas, prevalensi PPOK meningkat secara tajam dengan bertambahnya usia, dengan prevalensi tertinggi di antara mereka di atas usia 60, mulai dari total populasi dari yang rendah 7,8% di kota Meksiko, Meksiko sampai yang tertinggi 19,7% di Montevideo, Uruguay. Kelompok usia sangat penting karena prevalensi PPOK pada individu di bawah usia 45 tahun rendah, sedangkan prevalensi tertinggi pada individu di atas usia 65 tahun. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada usia lebih dari 40 tahun, seseorang lebih rentang beresiko mengalami PPOK, dan yang paling beresiko terjadi pada usia lebih dari 65 tahun.

2.3 Klasifikasi PPOKBerikut tabel klasifikasi dari PPOK :

Penjelasan hasil spirometri Diagnosis PPOK dikonfirmasi melalui hasil pengukuran spirometri. Hasil post bronkodilator dengan nilai FEV1 < 80% yang dikombinasi dengan nilai FEV1/FVC < 70% menunjukkan adanya keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhya reversible. Berdasarkan tingkat keparahan secara sederhana COPD dibagi menjadi 4 tingkatan yakni : Tingkat I (PPOK ringan) Ditandai dengan adanya keterbatasan liran udara yang ringan. Pada tingkatan ini nilai FEV1/FVC < 70% tapi nilai FEV1 80% prediksi) dan biasanya tidak selalu disertai batuk kronik dan adanya produksi dahak. Pada tingkatan ini seseorang mungkin tidak menyadari bahwa fungsi paru-parunya tidak normal. Tingkat II (PPOK sedang) Ditandai dengan keterbataan aliran udara yang memburuk. Nilai spirometri menunjukkan (50%FEV180% dan FEV1/FVC < 70%) pada tingkat ini biasanya sudah menunjukkan beberapa gejala seperti batuk dan produksi dahak dan disertai pemendekan nafas saat beraktivitas. Tingkat III (PPOK parah) Hasil pengkuran spirometri akan menunjukkan (30%FEV150%) dan (FEV1/FVC < 70%), pernafasan yang semakin pendek dan pasien sering mengalami kelelahan sehingga mengurangi kualitas hidup pasien. Tingkat IV (Sangat parah) Ditandai dengan aliran udara yang sangat terbatas (FEV130%) disertai gangguan pernafasan kronis Dari data hasil spirometri bapak LT menunjukkan nilai FEV1 adalah 0,95 L sedangan nilai FEV1 prediksi adalah 2,7 L maka nilai FEV1 ( (0,95 L)/(2,7 L) x 100% ) adalah 35%. Hasil (FEV1/FVC) x 100% adalah 62%. Maka berdasarkan hasil spirometri tersebut dapat dinyatakan bahwa bapak LT terdiagnosa PPOK pada stadium yang parah.

2.4 Tujuan dan Mekanisme Kerja ObatTujuan dan Mekanisme Kerja Obat yang diberikan kepadan pasien adalah sebagai berikut:1. Montelukast 10 mg 1x1Tujuan Terapi: anti leukotriene (LTRA yang selektif menghambat CysLT1)Mekanisme Kerja: menghambat aksi LTD4 pada reseptor CysLT1 tanpa aktivitas agonis. Merupakan bronkokonstriktor yang poten menghambat pembentukan leukotriene melalui penghambatan enzim 5-lipooksigenase yang berfungsi mengkatalis asam arakidonat menjadi leukotriene. Mencapai Cmax setelah 3 sampai 4 jam pemberian oral 10 mg. Metabolisme terjadi pada P450 (CYP) mikrosom 3A4 dan 2CP dan ampuh menghambat P450 2C8. Ekskresi terjadi melalui empedu dengan waktu paruh 2,7 sampai 5,5 jam pada orang dewasa sehat.

1. Co-amilofruse (furosemide) 5 mg/ 40 mg 2x1Tujuan Terapi: sebagai diuretik yang kuatMekanisme Kerja: co-amilofruse atau furosemide sebagai diuretik kuat menurunkan reabsorbsi sodium dan klorida di ascending loop Henle dan tubulus distal ginjal. Meningkatkan ekskresi sodium, air, klorida, kalsium, dan magnesium.Diuretik kuat diindikasikan untuk edema, hiperkalsemia akut, hyperkalemia, gagal ginjal akut, dan hipertensi. Diuretik kuat terabsorbsi cepat, tereliminasi melalui ginjal dengan filtrasi glomerular dan sekresi tubular. Diuretic kuat selektif menghambat reabsorpsi NaCl di thick ascending limb (TAL) dan menginduksi sintesis prostaglandin renal sehingga terjadi vasodilatasi pada arteriola aferen (pembuluh darah yang masuk ke glomerulus). Penggunaan obat golongan NSAID dapat mengurangi mekanisme diuretic karena obat golongan ini menghambat sintesis prostaglandin.

1. Beclometason (inhalasi) 2 semprotx 2Tujuan Terapi: sebagai steroid adrenokortikal steroid sintetik.Mekanisme Kerja: cara kerja dan efek nya sama dengan glukokortikoid. Glukokortikoid dapat menurunkan jumlah dan aktivitas dari sel yang terinflamasi dan meningkatkan efek obat beta andrenergik dengan memproduksi AMP siklik, inhibisi mekanisme bronkokonstriktor, atau merelaksasi otot polos secara langsung. Penggunaan inhaler akan menghasilkan efek lokal steroid secara efektif dengan efek sistemik minimal. Selain itu sebagai kortikosteroid, efeknya yang menguntungkan pada PPOK meliputi penurunan permeabilitas kapiler untuk mengurangi mucus, inhibisi pelepasan enzim proteolitik dari leukosit, dan inhibisi prostaglandin.

1. Salbutamol (inhalasi) 2 semprot saat sesak nafasTujuan Terapi: sebagai simpatomimetik selektif 2Mekanisme Kerja: menyebabkan relaksasi otot polos bronkial dan bronkodilatasi dengan menstimulasi enzim adenil siklase untuk meningkatkan pembentukan adenosine monofosfat siklik (cAMP) serta meningkatkan klirens mukosiliar. Salbutamol lebih disukai karena mempunyai agen selektifitas 2 yang lebih besar dan durasi aksi lebih panjang dibandingkan agen aksi pendek lainnya (isoproterenol, metaproterenol, dan isoetarin). Durasi aksi agonis 2 aksi pendek adalah 4 sampai 6 jam.

2.5. Pemberian Obat Dibandingkan Managemen Terapi karena Pergantian Diagnosis dari Asma menjadi PPOKPemberian terapi obat lebih baik. Pemberian terapi obat berupa montelukast, co-amilofruse, beclometason dan salbutamoll, di mana montelukast menghambat aksi LTD4 pada reseptor Cys LT1 sehingga tidak mediator inflamasi terhambat. Co-amilofruse (furosemide) sebagai diuretik yang kuat, obat ini juga dapat mensistesis prostaglandin yaitu sebagai mediator inflamasi. Beclometason secara inhalasi diajurkan dalam terapi obat COPD dan Salbutamol dimana dia merupakan kombinasi dari short-acting beta2-agonist ditambah dengan antikolinergic dalam satu inhaler.

2.6 Penilaian TerapiPemberian terapi dapat dinyatakan belum berhasil memberikan hasil yang signifikan. Jika dilihat dari awal riwayat terapi pasien dengan diagnosis awal sesak disebabkan karena asma menggunakan short acting 2 agonist yaitu salbutamol 100 g (MDI) dua semprot saat sesak nafas dapat menaikkan nilai FEV1 pada awalnya 0,95 L menjadi 0,99 L. Namun, tidak memperbaiki gejala pasien mengeluh mengalami sesak nafas setelah berjalan jarak dekat 500 m atau naik tangga, batuk kronik, mengeluarkan 1 sendok sputum setiap hari dan mengalami infeksi dada. Terapi tambahan untuk bronkodilator dengan montelukast merupakan antagonis reseptor leukotrien (LTRA) digunakan untuk pengobatan pemeliharaan asma dan meredakan gejala alergi musiman. Biasanya diberikan secara per oral sekali sehari. Montelukast merupakan antagonis CysLT1, memblok aksi leukotrien D4 pada sisi sisteinil reseptor leukotrien CysLT1 di paru-paru dan saluran bronkial. Mekanisme itu dapat mengurangi bronkokonstriksi yang disebabkan oleh leukotrien dan reaksi inflamasi. Termasuk dalam terapi komplementer pada orang dewasa di samping kortikosteroid inhalasi, kelebihan yang lain montelukast tidak berinteraksi dengan obat asma yang lain seperti teofilin.Maka perlu dievaluasi kemungkinan disebabkan penyakit lain seperti gagal jantung, obat bronkodilator tidak adekuat, kemungkinan cara menggunakan inhaler yang salah. Sehingga, perlu ditambahkan terapi tambahan dengan pemberian inhaler glukokortikosteroid yaitu beclamethason MDI 100 g dua semprot 2x1 hari. Selain itu juga digunakan Furosamid digunakan kemungkinan untuk mengatasi gagal jantung akut yang disertai dengan kelebihan cairan yang bermanifestasi sebagai kongesti paru atau edema perifer. Penggunaan diuretik dengan cepat menghilangkan sesak nafas dan meningkatkan kemampuan melakukan aktivitas fisik. Dengan demikian, edema perifer dan kongesti paru akan berkurang / hilang sedangkan curah jantung tidak berkurang. Untuk dosis awal biasanya diberikan 40 mg, kemudian dapat ditingkatkan sampai diperoleh hasil yang signifikan. Namun, jika terjadi penurunan curah jantung akibat deplesi cairan akan meningkatkan aktivitas neurohormonal yang akan memicu progresi gagal jantung maka diuretik tidak boleh diberikan pada gagal jantung yang asimtomimetik maupun yang tidak ada overload cairan. Rekomendasi : Perlu ditambahkan vaksin pneumococcus (tiap 5-10 th) dan vaksin influenza (tiap tahun).

2.7 Penggunaan MDI Dibandingkan NebulizerBerikut ini merupakan perbedaaan antara MDI dan Nebulizera. Metered Dose Inhaler (MDI) Propelan (zat pembawa) yang bertekanan tinggi menjadi penggerak, menggunakan tabung aluminium (kanister). Partikel yang dihasilkan oleh MDI adalah partikel berukuran