Upload
idrisas-syafii
View
26
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
RMK forensik bab 4
Citation preview
AKUNTANSI FORENSIK DAN AUDIT INVESTIGATIF STAR BPKP
AKUNTANSI FORENSIK DAN AUDIT INVESTIGATIF
FRAUDULENT FINANCIAL REPORTING, FRAUD, DAN
KORUPSI
Disusun Oleh Kelompok 3 :
Ahmad Badrus Salam (F1314005)
Dony Pratomo (F1314033)
Mochammad Riza Hari (F1314060)
Yusuf Bastian Wija Martono (F1314094)
S-1 JURUSAN AKUNTANSI NON-REGULER
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2015
0 | P a g e
AKUNTANSI FORENSIK DAN AUDIT INVESTIGATIF STAR BPKP
FRAUDULENT FINANCIAL REPORTING, FRAUD, DAN KORUPSI
I. FRAUDULENT FINANCIAL REPORTING
Arens (2005:310) dalam buku yang berjudul “Auditing and Assurance Services: An
Integrated Approach” edisi ke-10 Bab 11 perihal Fraud Auditing, menyebutkan:
“Fraudulent financial reporting is an intentional misstatement or omission of amounts or
disclosure with the intent to deceive users. Most cases of fraudulent financial reporting
involve the intentional misstatement of amounts not disclosures. For example, worldcom
is reported to have capitalized as fixed asset, billions dollars that should have been
expensed. Omission of amounts are less common, but a company can overstate income by
omitting account payable and other liabilities. Although less frequent, several notable
cases of fraudulent financial reporting involved adequate disclosure. For example, a
central issue in the enron case was whether the company had adequately disclosed
obligations to affiliates known as specialm purpose entities.”
(Kecurangan pelaporan keuangan adalah sebuah salah saji yang disengaja atau kelalaian
atas jumlah atau pengungkapan dengan maksud untuk menipu para pengguna.
Kebanyakan kasus kecurangan pelaporan keuangan melibatkan salah saji yang disengaja
atas jumlah yang tidak diungkapkan. Sebagai contoh, Worldcom dilaporkan telah
mengkapitalisasi aset tetap, senilai milyaran dollar Amerika yang seharusnya dibebankan.
Kelalaian atas jumlah kurang begitu umum, akan tetapi sebuah perusahaan dapat melebih-
lebihkan penghasilan/ income dengan cara menghilangkan utang dan kewajiban-
kewajiban lainnya. Meskipun kurang begitu familiar, beberapa kasus penting atas
kecurangan pelaporan keuangan telah melibatkan pengungkapan yang memadai.
Misalnya, isu sentral dalam kasus Enron yakni apakah perusahaan telah mengungkapkan
secara memadai kewajiban untuk afiliasi yang dikenal sebagai entitas dengan tujuan
tertentu.)
Kecurangan pelaporan keuangan/ Fraudulent Financial Reporting dapat membawa
konsekuensi yang signifikan untuk organisasi dan para pihak yang berkepentingan, serta
kepercayaan public di pasar modal. Bahkan tidak jarang, Fraudulent Financial Reporting
mampu meningkatkan kekhawatiran tentang kredibilitas proses pelaporan keuangan di
suatu negara dan akan dipertanyakan peran manajamen, para auditor, para pembuat
kebijakan/ peraturan, dan para analis.
1 | P a g e
AKUNTANSI FORENSIK DAN AUDIT INVESTIGATIF STAR BPKP
Fraudulent financial reporting juga dapat disebabkan adanya kolusi antara manajemen
dengan auditor independen. Salah satu upaya untuk mencegah adanya kolusi tersbut,
maka perlu dilakukan rotasi auditor independen dalam melakukan audit suatu perusahaan.
Berdasarkan penelitian COSO (1999) yang berjudul “Fraudulent Financial Reporting :
1987 – 1997, An Analysis of U.S. Public Company”, bahwa dari hasil analisa perusahaan
yang listing di Securities Exchange Commission (SEC) selama periode Januari 1987 s.d.
Desember 1997 ( 11 tahun) dapat disimpulkan telah:
Teridentifikasi sejumlah 300 perusahaan yang terdapat fraudulent financial reporting
yang memiliki karakteristik yaitu memiliki permasalahan bidang keuangan (experiencing
financial distress), lax oversight dan terdapat fraud dengan jumlah uang yang besar
(Ongoing, large-dollar frauds). Contoh kasus Fraudulent Financial Reporting antara lain
Enron, Tyco, Adelphia dan WorldCom.
A. Tanggung Jawab dan Fungsi Auditor Independen
1. Statement Auditing Standar
Auditing Standards Board (ASB) di Amerika Serikat telah mengeluarkan 10
(sepuluh) standar auditing baru pada bulan April 1988, beberapa di antaranya
yang cukup penting antara lain:
a. SAS Nomor 53 tentang “The Auditor's Responsibility to Detect and Report Errors
and Irregularities," (Tanggung Jawab Auditor untuk Mendeteksi dan Melaporan
Kesalahan-kesalahan dan Ketidakberesan);
b. SAS Nomor 55 yang kemudian diperbaharui dengan diterbitkan SAS No. 78 pada
tahun 1997 tentang "Consideration of Internal Control in a Financial Statement
Audit," (Pertimbangan Pengendalian Internal dalam sebuah Audit Laporan
Keuangan)
c. SAS Nomor 61 tentang pengaturan komunikasi antara auditor dengan komite
audit perusahaan; dan
d. SAS Nomor 82 yang akhirnya diperbaharui melalui SAS No. 99 tentang
“Consideration of Fraud in a Financial Statement Audit” (Pertimbangan
Kecurangan dalam Audit Laporan Keuangan).
2. Standar Profesional Akuntan Publik
Pada dasarnya tanggung jawab akuntan public dalam melaksanakan pekerjaannya
dapat dibagi menjadi 3 (tiga) macam, antara lain:
2 | P a g e
AKUNTANSI FORENSIK DAN AUDIT INVESTIGATIF STAR BPKP
a. Tanggung Jawab Moral (Moral Responsibility), yaitu tanggungjawab moral
untuk: (1) Memberikan informasi secara lengkap dan jujur mengenai auditee
kepada pihak yang berwenang dan (2) Mengambil keputusan yang obyektif,
bijaksana, sesuai dengan kemahiran professional.
b. Tanggung Jawab Profesional (Proffesional Resposibility), yaitu
tanggungjawab professional terhadap asosiasi profesi yang mewadahi.
c. Tanggung Jawab Hukum (Legal Responsibility), yaitu tanggungjawab di luar
batas standar profesinya atau tanggungjawab terkait dengan hukum yang
berlaku.
B. Penelitian COSO: Kasus-kasus Kecurangan Tahun 1998-2007
Merujuk pada penelitian yang terlah dilakukan oleh the Committee of Sponsoring
Organization of the Treadway Commission (COSO), fraud dalam pelaporan keuangan
oleh perusahaan-perusahaan public di Amerika Serikat telah memberikan konsekuensi
negative yang signifikan terhadap para investor dan eksekutif.
Penelitian COSO dilakukan oleh 4 (empat) orang profesor akuntansi: Mark S. Beasley
dari North Carolina State University, Joseph V. Carcello dari University of
Tennessee, Dana R. Hermanson dari Kennesaw State University, dan Terry L. Neal
dari University of Tennessee. Penelitian ini menelaah sebanyak 347 kasus dugaan
kecurangan pelaporan keuangan yang diselidiki oleh SEC. Penelitian ini memperbarui
penelitian COSO sejenis periode sebelumnya yang telah diterbitkan pada tahun 1999
(untuk kasus-kasus kecurangan pelaporan keuangan dekade 1987-1997).
Penelitian COSO dilakukan dengan cara menelaah tuduhan kecurangan yang
diselidiki oleh Securities and Exchange Commission (SEC) dalam kurun waktu
sepuluh tahun antara tahun 1998-2007. Dari penelitian tersebut COSO menemukan
fakta bahwa berita dugaan kecurangan telah mengakibatkan penurunan secara
abnormal harga saham rata-rata 16,7% hanya dalam dua hari setelah diumumkan.
Perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam kecurangan seringkali mengalami
kebangkrutan, delisting dari bursa efek, atau harus menjual aset, dan sembilan dari
sepuluh kasus tersebut menyebutkan CEO dan/ atau CFO perusahaan yang
bersangkutan diduga ikut terlibat dalam kecurangan.
Chairman COSO, David Landsittel, mengatakan bahwa analisis mendalam dalam
penelitian tersebut terkait tentang sifat, jangkauan, dan karakteristik dari kecurangan
pelaporan keuangan memberikan pemahaman yang sangat membantu tentang isu-isu
3 | P a g e
AKUNTANSI FORENSIK DAN AUDIT INVESTIGATIF STAR BPKP
baru dan berkelanjutan yang perlu segera ditangani, “Semua pihak yang terlibat dalam
proses pelaporan keuangan harus terus berfokus pada cara-cara untuk mencegah,
menghalangi, dan mendeteksi kecurangan pelaporan keuangan,” kata Landsittel.
“COSO berencana untuk mensponsori penelitian lanjutan mengenai kecurangan
pelaporan keuangan, serta pengembangan lebih lanjut pedoman pengendalian internal,
untuk membantu pihak-pihak yang terlibat dalam proses pelaporan keuangan.”
Hasil dari penelitian COSO menunjukkan bahwa:
1. Permasalahan kecurangan laporan keuangan masih ada dan perlu menjadi
perhatian terus-menerus. Besarnya kasus kecurangan individu dan ukuran
perusahaan-perusahaan yang melakukan kecurangan, keduanya telah mengalami
peningkatan secara nyata daripada laporan COSO tahun 1999;
2. SEC menyebutkan bahwa sepanjang tahun 1998-2007, sekitar hampir 90% CEO
dan/ atau CFO diduga terlibat dalam dugaan kasus kecurangan. Dalam kurun
waktu 2 (dua) tahun penyelesaian penyelidikan oleh SEC, sekitar 20% dari CEO
dan/ atau CFO tersebut berlanjut pada tahap dakwaan, serta 60% di antaranya
telah divonis bersalah;
3. Kecurangan pendapatan terus bermunculan sebagai jenis kecurangan paling
terkemuka tercatat mencapai lebih dari 60% dari kasus kecurangan yang diselidiki
oleh SEC;
4. Banyak karakteristik yang sering menjadi pengamatan umum dewan direktur dan
komite audit, seperti: ukuran, frekuensi rapat, komposisi, serta pengalaman, tidak
berbeda secara signifikan antara perusahaan yang terlibat kecurangan dengan yang
tidak. Upaya-upaya pengaturan tata kelola perusahaan terbaru tampaknya telah
mengurangi variasi dalam karakteristik terkait dewan direktur yang diamati;
5. Sebanyak 26% dari perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam dugaan kasus
kecurangan telah mengganti auditor selama periode yang diteliti dibandingkan
dengan hanya 12% dari perusahaan-perusahaan yang tidak terlibat; dan
6. Pada akhirnya, konsekuensi dari kecurangan adalah memperparah individu dan
perusahaan. Individu mungkin akan menghadapi sanksi denda sipil maupun
penuntuan perdata dan/ atau pidana. Seperti dijelaskan sebelumnya, perusahaan
yang terbukti melakukan kecurangan akan mengalami penurunan harga saham
abnormal yang signifikan, dan akan menghadapi kebangkrutan, desliting, serta
harus menjual aset material pada tingkat yang jauh lebih tinggi daripada
perusahaan yang tidak melakukan kecurangan.
4 | P a g e
AKUNTANSI FORENSIK DAN AUDIT INVESTIGATIF STAR BPKP
C. Pencegahan dan Pendeteksian Fraudulent Financial Reporting
Perusahaan harus mengambil langkah-langkah komprehensif untuk memproteksi
sistem informasinya. Metode yang paling efektif untuk memperoleh security system
yang mencukupi adalah terletak pada integritas (integrity) karyawan perusahaan.
Perusahaan dapat mengambil langkah untuk meningkatkan integritas karyawan dan
mengurangi kemungkinan karyawan melakukan fraud dengan memperhatikan:
1. Hiring and Firing Practices, yakni dalam hal perekrutan maupun pemberhentian
karyawan harus menerapkan kehati-hatian dan selektif.
2. Managing Disgruntled Employees, yaitu sebagian besar karyawan melakukan
fraud dengan alasan sebagai balasan atas kesalahan-kesalahan yang pernah
ditimpakan kepada mereka.
3. Employee Training, adanya rasa percaya bahwa keamanan merupakan
tanggungjawab bersama (manajemen maupun karyawan) akan membuat intensitas
tindakan fraud jauh lebih sedikit.
The National Commission On Fraudulent Financial Reporting (The Treadway
Commission) mengeluarkan 4 (empat) rekomendasi upaya untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya fraudulent financial reporting, antara lain:
1. Membentuk lingkungan organisasi yang memberikan kontribusi terhadap
integritas proses pelaporan keuangan (financial reporting).
2. Mengidentifikasi dan memahami faktor- faktor yang mengarah ke fraudulent
financial reporting.
3. Menilai resiko fraudulent financial reporting di dalam perusahaan.
4. Mendesain dan mengimplementasikan internal control yang memadai untuk
financial reporting.
II. FRAUD
A. Fraud Dalam Perundangan Kita
Fraud merupakan perbuatan yang dilakukan dengan sengaja memanfaatkan sesuatu
tidak pada tempatnya yang mengakibatkan kerugian dan untuk kepentingan diri
sendiri dan/ atau kelompok. Apabila ditinjau dari definisi tersebut, maka fraud itu
sendiri terdiri dari 3 (tiga) unsure yang harus terpenuhi, yaitu: (1) Perbuatan yang
dilakukan secara sadar dan disengaja; (2) Kecurangan; dan (3) Menimbulkan
keuntungan bagi diri sendiri dan/ atau kelompok dan kerugian bagi pihak lain.
5 | P a g e
AKUNTANSI FORENSIK DAN AUDIT INVESTIGATIF STAR BPKP
B. Fraud Dalam KUHP
Fraud memiliki jenis yang beragam. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) pengertian fraud (kecurangan) mencakup: (1) Pencurian – Pasal 362; (2)
Pemerasan dan Pengancaman – Pasal 368; (3) Penggelapan – Pasal 372; (4) Perbuatan
Curang – Pasal 378; (5) Merugikan pemberi piutang dalam keadaan pailit – Pasal 396;
(6) menghancurkan atau merusakkan barang – Pasal 406; dan (7) Perbuatan lain pada
pasal 209, 210, 387, 415, 417-420, 423, 425, dan 435 yang secara khusus diatur dalam
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 perihal Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Ketentuan peraturan perundangan lain yang mengatur perbuatan yang termasuk
kategori fraud meliputi: Undang-undang Pencucian Uang (UU RI Nomor 8 Tahun
2010), Undang-undang Perlindungan Konsumen (UU RI Nomor 8 Tahun 1999),
Undang-undang ITE (UU RI Nomor 11 Tahun 2008), dsb.
C. Fraud Tree
Menurut Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), mencari atau
menemukan penyimpangan dalam suatu organisasi sangat sulit sebab penyimpangan
memiliki sifat dasar yang tertutup. Oleh karena itu, ACFE membuat suatu klasifikasi
mengenai kemungkinan kecurangan yang diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) macam
yang sering disebut dengan Fraud Tree:
1. Penyimpangan Aset/ Asset Missappropriation, yaitu penjarahan (baik pencurian
maupun penggunaan untuk kepentingan pribadi) atas dana-dana (kas maupun non-
kas) tanpa seijin perusahaan dan tidak masuk ke perusahaan baik secara fisik
maupun secara administrative. Asset Missappropriation dapat dikelompokkan
menjadi dua macam yaitu Cash Missappropriation dan Non-cash
Missappropriation, namun dalam prosesnya Asset Missappropriation dapat
dilakukan dalam 3 (tiga) bentuk meliputi: Skimming, Larceny, dan Fraudulent
Disbursement.
2. Pernyataan Palsu/ Fraudulent Statement, yaitu fraud yang berkenaan dengan
penyusunan dan penyajian laporan keuangan (lebih atau kurang saji) dan laporan
non-keuangan yang menyesatkan.
3. Korupsi/ Corruption (bagian ini akan dijelaskan lebih lanjut pada Sub Bab III.
Korupsi). Dalam Fraud Tree, korupsi terdiri dari 4 (empat) macam, meliputi:
a. Benturan Kepentingan/ Conflict of Interest;
6 | P a g e
AKUNTANSI FORENSIK DAN AUDIT INVESTIGATIF STAR BPKP
b. Penyuapan/ Bribery;
c. Gratifikasi Ilegal/ Illegal Gratuities; dan
d. Pemerasan Ekonomi/ Economic Extortion.
Fraud Tree sangat membantu akuntan forensic dalam memetakan, mengenali, dan
mendiagnosis fraud yang terjadi dalam lingkungan kerja. Dengan memahami gejala-
gejala “penyakit” fraud (red flags) dan menguasai teknik-teknik audit investigative,
akuntan forensic dapat mendeteksi jenis fraud tersebut.
Perbedaan kondisi antar negara terutama dari segi iklim bisnis dan birokrasi,
menuntut auditor untuk mengembangkan fraud tree atas tindak pidana yang sedang
diperiksa dengan model dan metodenya sendiri.
D. Akuntansi Forensik dan Jenis Fraud
Dari tiga cabang Fraud Tree yaitu Corruption, Missappropriation Asset, dan
Fraudulent Statement, akuntan forensic hanya memusatkan perhatiannya pada cabang
Corruption dan Missappropriation. Hal ini disebabkan cabang Fraudulent Statement
telah menjadi pusat perhatian dalam audit atas laporan keuangan (General Audit atau
Opinion Audit), dengan dua pengecualian, yaitu:
1. Ketika regulator memiliki dugaan terdapat kekeliruan yang serius dalam laporan
hasil audit suatu kantor akuntan publik; dan/ atau
2. Ketika Fraudulent Statements dilakukan dengan pengolahan data secara
elektronis, terintegrasi, dan besar-besaran atau penggunaan komputer yang
dominan dalam penyiapan laporan.
E. Fraud Triangle
Hipotesis yang telah dikembangkan oleh Donald R. Cressey dalam penelitiannya yang
bertajuk “Fraud Examiner Frauds” (edisi 2006) telah mengenalkan kepada kita
tentang Fraud Triangle yang merupakan 3 (tiga) elemen yang muncul bersamaan dan
mendorong terjadinya kecurangan (bagian ini sudah pernah dibahas pada pertemuan
sebelumnya), antara lain:
1. Tekanan yang dirasakan (Pressure). Konsep yang penting di sini adalah Perseived
non-shareable financial need yakni tekanan yang menghimpit hidupnya (berupa
kebutuhan akan uang), padahal ia tidak bisa berbagi dengan orang lain. Dari
penelitian yang dilakukan oleh Cressey juga menemukan bahwa non-shareable
problems yang dihadapi oleh para pelaku fraud timbul dari situasi yang dapat
dibagi menjadi 6 (enam) kelompok:
7 | P a g e
AKUNTANSI FORENSIK DAN AUDIT INVESTIGATIF STAR BPKP
- Pelanggaran dianggap berasal dari kewajiban/ Violation of Ascribed
Obligation;
- Masalah yang timbul berasal dari kegagalan personal/ Problems resulting from
personal failure;
- Pembalikan Bisnis/ Business reversals;
- Keterpurukan dalam kesendirian/ Physical isolation;
- Upaya mendapatkan status/ Status gaining; dan
- Hubungan majikan-karyawan/ Employer-employee relations.
2. Peluang yang dimiliki (Perceived Opportunity). Cerssey berpendapat bahwa
terdapat dua komponen dari persepsi tentang peluang ini, yaitu: (a) Informasi
Umum/ General Information yakni pengetahuan bahwa kedudukan yang
mengandung kepercayaan dapat dilanggar tanpa konsekuensi; dan (b) Keahlian
teknis/ Technical Skill yakni keahlian atau keterampilan yang dimiliki oleh pelaku
fraud sehingga ia mendapatkan kedudukan yang dimaksud.
3. Rasionalisasi (Rationalization), yaitu mencari pembenaran sebelum melakukan
kejahatan dan bukan sesudahnya.
III.KORUPSI
Kasus korupsi di Indonesia selalu menjadi bahan pemberitaan yang hangat dan ramai di
berbagai media, bahkan tidak jarang menjadi bahan obrolan di warung kopi, mulai dari
kasus Bank Century, Wisma Atlet Hambalang, Simulator SIM, Impor Daging Sapi, Dana
Bansos, Dana Talangan Haji, hingga skandal kasus suap di tubuh FIFA. Ini berarti bahwa
korupsi telah terjadi tidak hanya di ranah politik namun juga telah menyentuh berbagai
sektor, seperti olahraga, perdagangan, perizinan, perbankan, dsb. Tidak jarang, dari
sekian banyak kasus yang terungkap telah menyeret orang-orang yang notabene berkerah
putih atau para mantan pejabat tinggi mulai dari mantan menteri, mantan gubernur,
mantan bupati, dll (ya.. boleh dibilang, fenomena para pejabat yang ditunggu untuk
diciduk lembaga anti-korupsi ke hotel rodeo setelah masa jabatannya berakhir). Karena
itu, korupsi lebih dikenal oleh khalayak umum dengan istilah “kejahatan kerah putih”.
Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana kondisi korupsi di Indonesia sekarang?
Mengutip dari pernyataan salah satu Plt. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) Indriyanto Seno Adji:
“Bila Indonesia sudah bersih dan sama sekali sudah tidak ada korupsi, baik dengan
metode prosedural maupun substansial, maka memang tidak diperlukan KPK.”
8 | P a g e
AKUNTANSI FORENSIK DAN AUDIT INVESTIGATIF STAR BPKP
(http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150818141522-12-72878/pimpinan-kpk-jika-
indonesia-bebas-korupsi-baru-kpk-bubar/)
Kemudian, mengutip pada sebagian pidato dari mantan Presiden RI ke-6 Susilo Bambang
Yudhoyono:
“Di tengah realitas betapa tidak mudahnya untuk memberantas korupsi di negeri ini,
karena terbukti kasus-kasus korupsi masih sering terjadi, yang harus kita lakukan justru
meningkatkan intensitas, ekstensitas, dan efektivitas upaya pemberantasan korupsi dan
bukan malah mengendorkannya.”
(http://nasional.kompas.com/read/2012/10/09/16035782/
Ini.Pidato.Lengkap.Presiden.soal.KPKPolri)
Pernyataan mantan anggota Komisi Hukum DPR RI Bambang Soesatyo di tengah seleksi
calon ketua KPK Tahun 2010:
“Ini mengingat arus serangan balik dari komunitas koruptor terus menguat dari hari ke
hari.”
(http://www.tribunnews.com/nasional/2010/08/02/bambang-pakar-anti-korupsi-cocok-
pimpin-kpk)
Baik pernyataan maupun pidato tersebut cukup mewakili setidaknya gambaran umum
bahwa tingkat korupsi di Indonesia sudah berada pada taraf yang sangat memprihatinkan.
Korupsi telah terjadi di segala lini, dari level individual sampai dengan level nasional,
dari level personal hingga pada tingkat berjamaah atau konspirasi. Hal tersebut didukung
dengan laporan yang telah dirilis oleh lembaga Transparency International yang
menyebutkan bahwa pada Tahun 2014 Indonesia berada di peringkat 107 dari 175 negara
di dunia untuk kategori negara yang bersih dari korupsi dengan nilai Corruption
Perceptions Index (CPI) sebesar 34 dari 100 (nilai 0 menunjukkan tingkat korupsi yang
tinggi/ negara paling korup dan nilai 100 menunjukkan tingkat korupsi yang terendah/
negara paling bersih dari korupsi).
Sedangkan dari survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tentang Indeks
Perilaku Anti-Korupsi (IPAK) di Indonesia dengan mengambil sampel sebanyak 10.000
rumah tangga di 170 kabupaten/ kota pada 33 provinsi menunjukkan adanya penurunan
IPAK dari angka 3,63 di tahun 2013 menjadi 3,61 di tahun 2014, yang berarti bahwa telah
terjadi penurunan sikap masyarakat terhadap budaya anti korupsi.
Ironisnya, akhir-akhir ini kita malah disuguhkan aksi adu jotos dan adu gengsi antar
lembaga anti-korupsi, masih ingat dengan kisah pilu “Cicak vs Buaya” atau drama
kolosal “Pelemahan KPK”?!
9 | P a g e
AKUNTANSI FORENSIK DAN AUDIT INVESTIGATIF STAR BPKP
Salah satu lembaga negara yang paling gencar dan agresif dalam upaya melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi di sektor publik adalah Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) yang didirikan pada tahun 2002 dengan berlandaskan pada Undang-
undang RI Nomor 30 Tahun 2002 perihal Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selain itu, masih ada lembaga anti-korupsi yang lain seperti Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK RI), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP RI), Kepolisian RI,
Kejaksaan Agung, dan Aparat Pengawasan Internal Pemerintah lainnya.
Pada kesempatan kali ini, tim akan lebih focus pada pembahasan Korupsi sebagai salah
satu tindakan fraud.
A. PENGERTIAN KORUPSI DAN PENYEBABNYA
Pengertian korupsi secara global berbeda-beda, namun secara umum makna dari
korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan atau kepercayaan yang telah diberikan oleh
pihak lain untuk keuntungan pribadi dan/ atau orang lain.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Korupsi artinya: “penyelewengan atau
penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, dsb) untuk keuntungan pribadi
atau orang lain”.
Karyono (2013:2) menyebutkan bahwa korupsi merupakan perbuatan yang dapat
merugikan kepentingan umum/ public atau masyarakat luas untuk kepentingan pribadi
atau kelompok tertentu.
Tuanakota mendefinisikan korupsi berdasarkan pendekatan psikologis (2010: 224)
yaitu penyalahgunaan wewenang jabatan untuk keuntungan pribadi.
Di dalam peraturan Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang RI
Nomor 20 Tahun 2001 pasal 2 menyebutkan bahwa Korupsi adalah tindakan orang
yang melawan hukum dengan melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara yang dari segi materiil perbuatan itu dipandang sebagai
perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan masyarakat.
Apabila mengacu pada ACFE (Association of Certified Fraud Examiners), korupsi
terdiri dari 4 (empat) bagian pokok, yaitu: (1) Benturan Kepentingan/ Conflict of
Interest; (2) Penyuapan / Bribery; (3) Pemberian Ilegal/ Illegal Gratuities; dan (4)
Perluasan Ekonomi/ Economic Extortion.
Menurut Transparency International, korupsi dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga)
macam:
10 | P a g e
AKUNTANSI FORENSIK DAN AUDIT INVESTIGATIF STAR BPKP
1. Grand Corruption (Korupsi pada Kedudukan Tinggi), yang terdiri dari tindakan
yang dilakukan pada jajaran tingkat tinggi pemerintah yang mendistorsi kebijakan
atau fungsi sentral negara, memungkinkan para pejabat negara untuk memperoleh
keuntungan dengan cara mengorbankan kepentingan public. Misalnya, kasus dana
talangan haji Indonesia yang menyeret mantan menteri agama RI, kasus suap
daging impor sapi tahun 2013 yang menyeret mantan Menteri Pertanian RI, dan
kasus korupsi distribusi minyak goring tahun 2007 yang menyeret Mantan Ketua
PSSI.
2. Petty Corruption (Korupsi Skala Kecil), mengacu pada penyalahgunaan
kewenangan harian yang dipercayakan kepada pejabat public tingkat menengah
dan kecil dalam berinteraksi dengan masyarakat, yang sering mencoba untuk
mengakses barang primer (bahan-bahan pokok) dan jasa-jasa di tempat-tempat
seperti sekolah, kepolisan, rumah sakit, dan instansi lainnya. Misalnya: Untuk
mengurus urusan administrative (contoh: Akte kelahiran anak, e-KTP, SIM, Izin
Buka Usaha, dsb) akan dipermudah apabila ada uang tambahan atau istilahnya
uang pelicin untuk petugas pengurus.
3. Political Corruption (Korupsi Politik) adalah manipulasi kebijakan, institusi, dan
aturan prosedur dalam alokasi sumber daya dan pembiayaan oleh pengambil
keputusan politik, yang menyalahgunakan posisi mereka untuk mempertahankan
kekuasaan, status, dan kekayaan mereka. Misalnya: Kasus korupsi perihal suap
perkara hasil pemilihan kepala daerah Lebak, Banten Tahun 2013, yang
melibatkan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, mantan Gubernur Banten, dan
mantan calon kepala daerah Lebak, Banten. Juga kasus dugaan suap dan
penerimaan gratifikasi terkait pembahasan APBN Perubahan Tahun 2013 yang
menyeret Mantan Ketua Komisi VII DPR RI.
Berdasarkan Gone Theory yang dikemukan oleh Jack Bologne, terdapat beberapa
faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi, antara lain:
- Expossure (Tekanan);
- Opportunities (Peluang/ kesempatan);
- Greeds (Keserakahan); dan
- Needs (Kebutuhan).
Namun, masih terdapat faktor rasionalisasi (rationalization) yang juga menjadi faktor
penyebab fraud. Hal tersebut senada dengan John Cassidy dalam artikelnya yang
berjudul “Rational Irrationality”, yang mana menjelaskan krisis keuangan dengan
11 | P a g e
AKUNTANSI FORENSIK DAN AUDIT INVESTIGATIF STAR BPKP
teori permainan/ game theory dimana pada posisi ini korupsi dapat teraplikasikan
dengan sangat baik.
Sedangkan para peneliti korupsi telah mengelompokkan teori-teori yang akan
mencoba untuk menjelaskan sebab-sebab korupsi endemic di negara-negara
berkembang ke dalam 3 (tiga) macam: (1) Teori Utama Ekonomi; (2) Patrimonalisme;
dan (3) Teori Bangsa Kleptokratis. Kita dapat menemukan bukti-bukti yang
mendukung ketiga teori tersebut di Indonesia.
1. Teori Utama Ekonomi (Mainstream Economic Theory)
Para ekonom yang telah mengikuti perkembangan ekonomi Indonesia berpendapat
bahwa penyebab dari merajalelanya korupsi di Indonesia adalah pemerintah
Indonesia memainkan peran utama dalam menjalankan perekonomian negara.
Peraturan tentang pembatasan perdagangan, represi keuangan, dan lisensi
ekonomi sering menjadi penghambat yang signifikasn terhadap dunia bisnis di
Indonesia. Akan tetapi, bagi para pengusaha yang memiliki sumber daya untuk
untuk menghindari Undang-undang atau memiliki jaringan politik dengan partai
penguasa, akan mudah melenggang untuk melakukan perdagangan sekalipun
bisnis yang dijalankan adalah illegal menurut hukum. Ini terjadi sebelum dan
sesudah Indonesia meliberalisasi perekonomiannya.
2. Patrimonalisme (Patrimonalism)
Dukungan untuk teori ini dapat ditemukan dalam karya-karya oleh Anderson
(1972: 33-39) dan Liddle (1997: 87-88) yang menyatakan bahwa budaya Jawa,
yang mendominasi politik Indonesia adalah budaya patrimonial. Penguasa yang
memiliki klaim atas sumber daya negara, pada gilirannya akan mendistribusikan
sumber daya di antara keluarga, teman, bawahan, dan pendukung setianya. Orang
dari kalangan biasa hanya memiliki akses yang terbatas ke kekuasaan dan mereka
cenderung menerima apapun yang dilakukan oleh penguasa, meskipun hak-hak
mereka dilanggar (Robertson-Snape). Dalam sistem ini, praktek korupsi akan
dengan mudah merajalela. Hal tersebut sangat tampak dan terasa pada masa Orde
Baru, di bawah kepemimpinan mantan presiden RI Soeharto, dimana tidak ada
check and balance mekanisme untuk mengawasi kekuasaannya.
3. Teori Bangsa Kleptokratis (Kleptocratic State Theory)
Pada masa Orde Baru, di bawah kepemimpinan mantan presiden RI, negara
Indonesia dianggap sebagai negara yang menerapkan teori kleptokratis. Hal
12 | P a g e
AKUNTANSI FORENSIK DAN AUDIT INVESTIGATIF STAR BPKP
tersebut dapat dibuktikan terutama saat anak-anaknya aktif ikut berpartisipasi
dalam kegiatan sewa-menyewa kekuasaan atas sumber daya ekonomi secara
paksa, dengan menciptakan monopoli dalam negeri dan mewajibkan kepada para
investor yang ingin memanfaatkan sumber daya ekonomi Indonesia untuk menjadi
mitra bisnis anak-anak tersebut. Teori kleptokratis tergambar dimana para pejabat
dapat membuat kebijakan ekonomi friendly-market sementara korupsi tetap
berjalan (McLeod 2000a; Schwarz 2000).
Kita dapat membuktikan bahwa semua teori korupsi di atas telah sesuai dengan
gambaran di negara Indonesia.
Kami sependapat dengan apa yang menjadi pernyataan dari Theodorus M. Tuanakota
pada Buku Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif Edisi 2 Bab 7 perihal Korupsi
bahwa korupsi bukan masalah budaya. Namun, korupsi merupakan masalah yang
berkenanaan dengan sistem perekonomian dan kelembagaan. Sistem perekonomian
dan kelembagaan yang meningkatkan manfaat atau keuntungan korupsi cenderung
memiliki 4 (empat) cirri: (1) Individu pejabat mempunyai kekuasaan mutlak
(substantial monopoly power) atas pengambilan keputusan; (2) Pejabat yang
bersangkutan mempunyai kelonggaran yang wewenang yang besar; (3) Mereka tidak
perlu mempertanggungjawabkan (tidak akuntabel terhadap) tindakan mereka; dan (4)
Mereka beroperasi dalam lingkungan yang rendah tingkat keterbukaannya (an
environment of low transparency).
B. KORUPSI DARI TINJAUAN SOSIOLOGIS DAN SOSIOLOGIS
ADITJONDRO
1. Korupsi dari Tinjauan Sosiologis
Prof. Syed Hussein Alatas, guru besar pada Jurusan Kajian Melayu, Universitas
Nasional Singapura merupakan penulis perintis mengenai masalah korupsi di
kawasan tersebut. Dari kasus-kasus korupsi sekitar tahun 1970-1980-an yang
dilaporkan oleh Prof. Alatas, dapat disimpulkan sebagai berikut: (a) Tipologi
korupsinya tidak banyak berubah. Beberapa di antaranya merupakan penyakit
kekanak-kanakan alias mencuri terang-terangan; (b) Bahkan “pemain”-nya masih
yang itu-itu juga (meskipun sudah berganti nama); dan (c) Gebrakan membawa
sukses sesaat.
2. Korupsi menurut tinjauan sosiologis Aditjondro
13 | P a g e
AKUNTANSI FORENSIK DAN AUDIT INVESTIGATIF STAR BPKP
George Junus Aditjondro adalah pengajar dan peneliti mengenai sosiologi korupsi
di Universitas New Castle, Jurusan Sosiologi dan Antropologi. Dalam bukunya
“Korupsi Kepresidenan” mengajak pembacanya mengkaji bersama dan menjawab
pertanyaan: Mengapa tuntutan untuk mengadili Soeharto karena dosa-dosa
politiknya sampai sekarang belum terlaksana? Kalaupun Soeharto dianggap terlalu
tua dan lemah untuk diadili, mengapa semua rezim pasca-Soeharto tidak berusaha
melakukan repatriasi harta rakyat yang dijarah oleh Soeharto beserta keluarga dan
konco-konco-nya, dibarengi dengan penyitaan harta jarahan yang berada di depan
mata kepala kita di dalam negeri?
Dari penelitian yang telah dilakukan, diperoleh beberapa kesimpulan mengenai
korupsi kepresidenan, antara lain:
a. Bentuk oligarki berkaki tiga (Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa) yang
melanggengkan dan mewariskan korupsi kepada pemerintahan penerus;
b. Oligarki yang dipimpin oleh istri maupun suami dari presiden atau spouse-led
oligarchi; dan
c. Oligarki dan jejaring bisnis dan politik yang membentengi kepentingan
mantan penguasa dengan segala cara “pemindahan kekayaan”.
Mengamati Pemilu Tahun 2009, George Aditjondro menganalisis rahasia di balik
kemenangan Partai Demokrat, yang suara pemilihnya naik tiga kali lipat dalam
suatu periode pemerintahan dari sekitar 7% menjadi sekitar 20%. Menurut
Aditjondro, penggalangan dana yang luarbiasa, serta besarnya pembelian suara
(vote buying) oleh para kadernya, memainkan peranan dalam melonjaknya angka
pemilu Partai Demokrat dan calon presidennya. Aditjondro mencatat resistensi
Partai Demokrat terhadap penggunaan hak angket DPR untuk mengungkapkan
skandal Bank Century, dan keinginan petinggi-petinggi partai itu untuk menutupi
hal-hal yang mencurigakan dalam pemberian dana talangan yang jauh melebihi
yang sudah disepakati oleh parlemen.
Aditjondro melihat kebutuhan akan dana kampanye yang semakin meningkat,
karena biaya “pencitraan” SBY melalui media dan meluasnya jangkauan
“kedermawanan” yayasan-yayasan yang berlindung di balik penguasa. Semuanya
menjadi pembuka jalan bagi korporasi-korporasi raksasa untuk mendapatkan
kemudahan dari pemerintah, seperti di masa Orde Baru.
14 | P a g e
AKUNTANSI FORENSIK DAN AUDIT INVESTIGATIF STAR BPKP
C. COST KORUPSI
Apa yang dimaksud dengan Cost Korupsi?
Korupsi membawa dampak yang buruk kepada masyarakat dalam berbagai hal.
Dalam kasus terburuk menyangkut biaya hidup. Menurut Transparency International,
cost korupsi dapat dibagi menjadi 4 (empat) kategori utama, antara lain: politik,
ekonomi, social, dan lingkungan.
1. Dalam hal politik, korupsi menjadi kendala utama untuk demokrasi dan supremasi
hukum. Dalam sistem demokrasi, kantor dan lembaga kehilangan legitimasi
mereka ketika mereka sedang disalahgunakan untuk kepentingan pribadi.
Tentunya, hal tersebut berbahaya dalam demokrasi yang sudah mapan, tetapi bisa
menjadi lebih buruk bagi negara yang sedang menerapkannya. Hal tersebut sangat
menantang untuk mengembangkan kepemimpinan politik yang akuntabel dalam
iklim yang korup.
2. Secara ekonomi, korupsi menjadi penyebab kebocoran sumber kekayaan negara.
Para politisi yang korup berinvestasi pada sumber daya yang vital pada proyek-
proyek yang akan mengisi pundi-pundi kantong mereka daripada mengutamakan
kepentingan masyarakat, serta akan memprioritaskan investasi mereka proyek-
proyek yang menyangkut kebutuhan hajat hidup orang banyak seperti bendungan,
pembangkit tenaga listrik, jaringan pipa dan kilang minyak, atau proyek
infrastruktur yang tidak begitu vital namun mendesak seperti sekolah, rumah sakit,
atau jalan. Korupsi juga menghambat perkembangan struktur pasar yang adil dan
mendistorsi persaingan, yang pada gilirannya akan menghalangi investasi.
3. Korupsi menggerus tatanan social masyarakat. Korupsi akan merusak
kepercayaan masyarakat dalam sistem politik, di dalam lembaga-lembaga maupun
kepemimpinan. Masyarakat yang tidak saling percaya dan bersikap apatis dapat
menjadi penghambat lain dalam upaya pemberantasan korupsi.
4. Degradasi lingkungan adalah konsekuensi lain dari sistem yang korup. Kurangnya
atau tidak adanya penegakan atas peraturan perundang-undangan lingkungan
berarti bahwa sumber daya alam yang berharga akan dieksploitasi secara
sembarangan dan seluruh sistem ekologi menjadi porak poranda. Dari
pertambangan, penebangan liar, dan perusahaan di dunia terus-menerus membayar
suap sebagai imbalan atas kerusakan yang tak terbatas.
15 | P a g e