TEORI MOTIVASI (SOAL 2)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

bahan ujian

Citation preview

  • BAB II

    LANDASAN TEORI

    A. MOTIVASI KERJA

    1. Definisi Motivasi Kerja

    Robbins dan Judge (2008) mendefinisikan motivasi (motivation) sebagai

    proses yang menjelaskan intensitas, arah dan ketekunan seorang individu untuk

    mencapai tujuannya. Motivasi adalah suatu proses dimana kebutuhan-kebutuhan

    mendorong seseorang untuk melakukan serangkaian kegiatan yang mengarah kepada

    tercapainya tujuan tersebut (Munandar, 2001). Kebutuhan yang dimaksudkan adalah

    suatu keadaan dalam diri (internal state) yang menyebabkan hasil-hasil atau keluaran-

    keluaran tertentu yang menarik. Menurut kamus psikologi Chaplin (2005), motivasi

    didefinisikan sebagai suatu variabel penyelang (yang ikut campur tangan) yang

    digunakan untuk menimbulkan faktor-faktor tertentu di dalam organisme, yang

    membangkitkan, mengelola, mempertahankan, dan menyalurkan tingkah laku,

    menuju satu sasaran.

    Menurut As'ad (2003), motivasi seringkali diartikan dengan istilah dorongan.

    Dorongan atau tenaga tersebut merupakan gerak jiwa dan jasmani untuk berbuat

    sehingga motivasi tersebut merupakan kekuatan yang menggerakkan manusia untuk

    bertingkah laku dan di dalam perbuatannya itu mempunyai tujuan tertentu. Sama

    halnya dengan Munandar (2001) yang menyatakan bahwa motivasi adalah suatu

    proses dimana kebutuhan-kebutuhan mendorong seseorang untuk melakukan

    serangkaian kegiatan yang mengarah kepada tercapainya tujuan tertentu.

    Motivasi mewakili proses-proses psikologikal yang menyebabkan timbulnya,

    diarahkannya, dan terjadinya persistensi kegiatan-kegiatan sukarela (volunter) yang

    Universitas Sumatera Utara

  • diarahkan ke arah tujuan tertentu (Mitchell dalam Winardi, 2001). Motivasi

    merupakan hasil sejumlah proses, yang bersifat internal atau eksternal bagi seorang

    individu, yang menyebabkan timbulnya sikap antusiasme dan persistensi, dalam hal

    melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu (Gray et al, dalam Winardi, 2001).

    Hariandja (2002) menyatakan bahwa motivasi diartikan sebagai faktor-faktor

    yang mengarahkan dan mendorong perilaku atau keinginan seseorang untuk

    melakukan suatu kegiatan yang dinyatakan dalam bentuk usaha yang keras atau

    lemah. Selain itu, motivasi juga merupakan keinginan, tujuan, kebutuhan, dan

    dorongan. Motivasi merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam

    menentukan perilaku seseorang, termasuk perilaku kerja.

    Motivasi kerja secara umum didefinisikan sebagai suatu dorongan energi yang

    mengatur antara keinginan dan kebutuhan individu untuk berperilaku sesuai dengan

    tuntutan pekerjaan sehingga ia mampu untuk menentukan bagaimana bentuk, arah,

    intensitas, dan durasi dalam bekerja (Shani dan Lau, 2005).

    Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa motivasi kerja

    adalah sekelompok pendorong yang berasal baik dari dalam maupun dari luar

    individu untuk melakukan pekerjaan yang mengarah pada pemenuhan kebutuhan-

    kebutuhannya.

    2. Teori-teori Motivasi Kerja

    a. Teori Isi

    Universitas Sumatera Utara

  • a.1. Teori Hierarki Kebutuhan Maslow (Maslows Need-Hierarchy Theory)

    Abraham Maslow menyatakan bahwa manusia mempunyai sejumlah

    kebutuhan yang diklasifikasikannya menjadi lima tingkat kebutuhan (Robbins, 2003),

    yaitu :

    a. Fisiologis, antara lain rasa lapar, haus, perlindungan (pakaian dan perumahan),

    seks, dan kebutuhan jasmani lain.

    b. Keamanan, antara lain keselamatan dan perlindungan terhadap kerugian fisik dan

    emosional.

    c. Sosial, mencakup kasih sayang, rasa memiliki, menerima dengan baik, da

    persahabatan.

    d. Penghargaan, mencakup faktor internal, seperti harga diri, otonomi, dan prestasi,

    serta faktor eksternal, seperti status, pengakuan, dan perhatian.

    e. Aktualisasi diri, dorongan yang ada dalam diri seorang individu untuk menjadi

    individu yang sesuai kemampuannya.

    Maslow membagi kelima kebutuhan tersebut menjadi dua kelompok, yaitu :

    tingkat tinggi dan tingkat rendah (Robbins, 2003). Kebutuhan fisiologis dan

    kebutuhan keamanan termasuk dalam golongan tingkat rendah, sedangkan kebutuhan

    sosial, penghargaan dan aktualisasi diri termasuk dalam golongan tingkat tinggi.

    Pembagian ke dalam dua kelompok tersebut berdasarkan alasan bahwa kebutuhan

    tingkat tinggi dipenuhi secara intenal (dalam diri individu itu), sedangkan kebutuhan

    tingkat rendah terutama dipenuhi secara eksternal (misalnya dengan upah, kontrak

    serikat buruh, dan masa kerja).

    Universitas Sumatera Utara

  • a.2. Teori ERG Alderfer (Alderfers ERG theory)

    Clayton Alderfer berpendapat bahwa manusia mempunyai tiga kelompok

    kebutuhan inti, yaitu : eksistensi (existence), hubungan (relatedness), dan

    perkembangan (growth), yang disebut dengan teori ERG (Robbins, 2003). Kebutuhan

    eksistensi mencakup kebutuhan fisiologis dan kebutuhan perlindungan, keamanan,

    serta keselamatan fisik. Kebutuhan hubungan mencakup kbutuhan sosial atau

    hubungan antar pribadi. Kebutuhan perkembangan mencakup kebutuhan

    pengembangan diri (aktualisasi diri) (Berry dan Houston, 1993).

    Teori EGR menyatakan bahwa kebutuhan-kebutuhan eksistensi, hubungan,

    dan perkembangan terletak pada satu kesinambungan kekonkritan, dengan kebutuhan

    eksistensi sebagai kebutuhan yang paling konkrit dan kebutuhan perkembangan

    sebagai kebutuhan yang abstrak (Munandar, 2001). Beberapa dasar pikiran dari teori

    ini adalah bahwa : (1) semakin lengkap satu kebutuhan yang lebih konkrit terpuaskan,

    semakin besar keinginan atau dorongan untuk memuaskan kebutuhan abstrk, dan (2)

    semakin kurang lengkap satu kebutuhan semakin besar keinginanya untk memuaskan

    (Munandar, 2001)

    Sesuai dengan teori Maslow, teori Alderfer ini menganggap bahwa

    fulfillment-progression (maju ke pemenuhan kebutuhan yang lebih tingi tingkatannya

    sesudah kebutuhan pada tingkat yang lebih rendah terpuaskan) juga penting

    (Munandar, 2001). Menurut Alderfer, jika kebutuhan tingkat yang lebih tinggi tidak

    dapat terpuaskan, maka individu me-regress, kembali ke usaha untuk memuaskan

    kebutuhan pada tingkat yang lebih rendah. Gejala itu disebut dengan frustration-

    regression (Munandar, 2001).

    Universitas Sumatera Utara

  • a.3. Teori Dua Faktor Herzberg (Herzbergs Two-Faktor Theory)

    Berry dan Houston (1993) menyatakan bahwa teori dua faktor Herzberg

    menekankan pada akibat dari perilaku yang termotivasi. Kebutuhan dipandang

    sebagai suatu hal yang mendorong perilaku. Teori dua faktor sebenarnya merupakan

    teori mengenai kepuasan kerja, tetapi dapat pula digunakan dalam motivasi kerja.

    Teori dua faktor Herzberg menyatakan bahwa manusia mempunyai dua

    kebutuhan yang harus dipuaskan, dan dua kebutuhan itu berkaitan dengan dua akibat.

    Kebutuhan-kebutuhan itu adalah :

    a. Lingkungan kerja yang sehat dan aman. Kebutuhan ini berkaitan dengan faktor

    hasil yang disebut hygiene disebut juga faktor pemeliharaan (maintenance)

    (Herzberg; dalam Newstrom dan Davis, 1993), karena berperan dalam

    memelihara tingkat motivasi karyawan. Faktor hygiene merupakan hasil kerja

    ekstrinsik yang meliputi kebijakan dan administrasi perusahaan, pengawasan, gaji,

    hubungan dengan atasan, dan kondisi kerja secara fisik. Herzberg juga

    mengatakan bahwa faktor pemeliharaan lebih menitikberatkan pada job context

    (suasana atau keadaan kerja), karena lebih terkait dengan lingkungan disekitar

    pekerjaan.

    b. Perkembangan dan pertumbuhan diri, yang berkaitan dengan faktor hasil yang

    disebut faktor motivasi (motivasional). Faktor motivasi merupakan hasil kerja

    instrinsik yang meliputi prestasi, penghargaan, tanggung jawab, dan promosi. Hal-

    hal tersebut dianggap sebagai instrinsic motivator, karena merupakan bagian

    integral dari pekerjaan. Herzberg juga mengatakan bahwa faktor motivasi

    (motivasional factor) menitikberatkan pada job content (isi atau muatan kerja)

    (Newstrom dan Davis, 1993).

    Universitas Sumatera Utara

  • Herzberg (dalam Newstrom dan Davis, 1993) menyatakan bahwa untuk

    membedakan antara job context dan job content, serupa dengan membedakan antara

    motivasi ekstrinsik dan instrinsik. Motivasi ekstrinsik merupakan penghargaan dari

    luar individu yang terlepas dari sifat pekerjaan, dan tidak memberikan kepuasan

    langsung ketika melakukan suatu pekerjaan, contohnya adalah rencana pengundurn

    diri, asuransi kesehatan, dan liburan. Motivasi instrinsik merupakan penghargaan dari

    dalam individu yang dirasakan individu ketika melakukan pekerjaan, dan memiliki

    hubungan langsung antara pekerjaan dengan penghargaan tersebut.

    a.4. Teori Kebutuhan McClelland (McClellands Acquired Neds Theory)

    Teori kebutuhan McClelland dikemukakan oleh David McClelland dan

    kawan-kawannya (Dubrin dkk., 1996). Mclelland (dalam Dubrin dkk., 1996) engatkan

    bahwa ketika kedudukan kebutuhan kuat, maka akan mendorong individu untuk

    melakukan kegiatan guna memuaskan kebutuhan tersebut. Teori ini berfokus pada tia

    kebutuhan (Robbins, 2003), yaitu :

    a. Kebutuhan akan prestasi (nAch); dorongan untuk mengungguli, berprestasi yang

    berkaitan dengan standar tertentu, dan berusaha untuk sukses.

    b. Kebutuhan akan kekuasaan (nPow); kebutuhan untuk mengendalikan,

    mempengaruhi tingkah laku, tanggung jawab terhadap orang lain.

    c. Kebutuhan akan afiliasi (nAff); keinginan untuk berhubungan antar pribadi

    dengan ramah dan akrab.

    Beberapa individu mempunyai dorongan yang kuat sekali untuk berhasil.

    Mereka lebih mengejar prestasi pribadi dibandingkan dengan adanya imbalan

    terhadap keberhasilan. Mereka mempunyai dorongan untuk melakukan sesuatu

    dengan lebih baik atau lebih efisien daripada yang telah dilakukan sebelumnya.

    Universitas Sumatera Utara

  • Dorongan ini yang disebut dengan kebutuhan akan prestasi (need for achievement-

    nAch) (Robbins, 2003). Dari penelitian mengenai kebutuhan akan prestasi,

    McClelland (dalam Robins, 2003) menemukan bahwa individu-individu yang

    mempunyai dorongan prestasi tinggi berbeda dengan individu-individu yang

    mempunyai keinginan kuat untuk melakukan hal-hal dengan lebih baik. Mereka

    mencari kesempatan pada saat mereka mempunyai tanggung jawab pribadi untuk

    memecahkan permasalahan, mereka dapat segera menerima umpan-balik atas

    kinerjanya sehingga mereka dapat mengetahui dengan mudah apakah mereka menjadi

    lebih baik atau tidak, dan mereka dapat menentukan langkah-langkah yang

    menantang. Individu-individu yang mempnyai dorongan prestasi yang tinggi lebih

    menyukai tantangan dalam menyelesaikan suatu masalah dan menerima dengan

    lapang dada kesuksesan atau kegagalan, bukannya mengandalkan peluang atau

    bantuan individu lain (McClelland; dalam Robbins, 2003).

    Kebutuhanakan kekuasaan (need for power-nPow) adalah keinginan untuk

    mempunyai dampak terhadap individu lain, berpengaruh terhadap individu lain, dan

    mengendalikan individu lain (Robbins, 2003). Individu-individu dengan nPow yang

    tingg lebih menyukai pekerjaan yang bersituasi kompetitif, berorientasi status, dan

    cenderung lebih peduli akan prestige, misalnya menjadi pimpinan yang berusaha

    mempengauhi individu lain (Muanndar, 2001).

    Kebutuhan akan afiliasi (need for affiliation-nAff) mendapat perhatian paling

    kecil dari para peneliti. Afiliasi berkaitan dengan tujuan-tujuan Dale Carnegie, yaitu

    keinginan untuk disuki dan diterima baik oleh individu lain (Robbins, 2003).

    b. Teori Proses

    Universitas Sumatera Utara

  • b.1. Teori Harapan Vroom (Vrooms Expectancy Theory)

    Berry dan Houston mengatakan bahwa teori harapan,yang dikemukakan oleh

    Victor Vroom, merupakan sutu teori kognitif motivasi kerja. Teori harapan

    menekankan pada pikira, harapan, dan perasaan individu pada saat ia melakukan suat

    tindakan dan akibat yang ditimbulkannya. Teori harapan disebut juga EIV Theory,

    karena terdiri atas unsur expectancy (harapan), instrumentally (sarana), valence

    (valensi) (Berry dan Houston, 1993).

    Teori harapan memfokuskan analisisnya pada tiga jenis hubungan (Robbins,

    2003), yaitu :

    a. Hubungan usaha dan kinerja; individu mempunyai persepsi bahwa sejumlah usaha

    yang dikeluarkan akan meningkatkan kinerja.

    b. Hubungan kinerja dengan imbalan; individu meyakini bahwa berkinerja pada

    suatu tingkat tertentu akan mendorong tercapainya suatu hasil yang diinginkan.

    c. Hubungan imbalan dengan tujuan pribadi; sejauhmana imbalan dari organisasi

    memuaskan tujuan atau kebutuhan pribadi seorang individu dan seberapa besar

    daya tarik imbalan tersbut bagi yang bersangkutan.

    b.2. Teori Penguatan (Reinforcement Theory)

    Munandar (2001) mengatakan bahwa teori penguatan berhubungan dengan

    teori belajar operant conditioning dari Skinner. Teori ini mempunyai dua aturan

    pokok, yaitu aturan pokok yang berhubungan dengan perolehan jawaban-jawaban

    yang benar, dan aturan pokok lainnya yang berhubungan dengan penghilangn jawaba-

    jawaban yang salah (Munandar, 2001).

    Perolehan dari suatu perilaku menuntut adanya suatu penguatan sebelumnya.

    Penguatan dapat bersifat positif (pemberian imbalanuntuk satu jawaban yang

    Universitas Sumatera Utara

  • diinginkkan), atau negatif (menghilangkan satu rangsang aversif jika jawaban yang

    diinginkan telh diberikan), tetapi individu harus menciptakan suatu kaitan antara aksi

    atau tindakan denan akibat-akibatnya (Muandar, 2001).

    Dalam teori penguatan, apabila jawaban yang diinginkan belum dimiliki oleh

    individu, maka jawaban tersebut perlu dibentuk. Pembentukan berlangsung apabila

    jawaban-jawaban yang mendekati jawaban-jawaban yang benar pada awalnya

    dikuatkan. Secara bertahap pengukuran positif hanya diberikan apabila perilaku yang

    mendekati jawaban yang benar semakin dekat, sehingga akhirnya jawaban khusus

    yang diinginkan saja yang dikuatkan (Munandar, 2001).

    b.3. Teori Penetapan Tujuan Locke (Lockes Goal-Setting Theory)

    Edwin Locke mengatakan bahwa teori penetapan tujuan berkaitan erat dengan

    psikologi kognitif (Berry dan Houston, 1993). Locke menyatakan bahwa maksud-

    maksud untuk bekerja ke arah suatu tujuan merupakan sumber utama dari motivasi

    kerja (Robbins, 2003). Teori ini memiliki komponen muatan dan proses, dengan lebih

    menekankan pada proses motivasi (Berry dan Houston, 1993).

    Muatan struktur motivasi adalah tujuan, sedangkan proses motivasi

    melibatkan pencapaian tujuan, pengetahuan hasil, penghargaan keuangan, dan

    komitmen dalam pencapaian tujuan sebagai mekanisme utama. Tujuan dalam

    hubungannya dengan motivasi digambarkan Locke (dalam Berry dan Houston, 1993)

    sebagai penyedia usaha dan petunjuk awal, serta keteguhan dalam perilaku. Tujuan

    juga berperan sebagai pembimbing dan penghasil energi untuk bertindak.

    Locke (dalam Dubrin dkk., 1996) mengatakan bahwa teori penetapan tujuan

    didasarka atas pemikiran, yaitu tujuan yang ada dalam diri individu akan mengatur

    tindakan individu tersebut. Individu yang mempunyai tujuan akan berusaha untuk

    Universitas Sumatera Utara

  • mencapai tujuannya itu. Tujuan tidak hanya mempengaruhi usaha yang dilakukan,

    tetapi juga perilaku individu. Pilihan terhadap waktu dan metode yang dilakukan

    individu dalam usahanya mencapai tujuan merupakan contoh dari perilaku.

    b.4. Teori Keadilan Adam (Adams Equity Theory)

    Berry dan Houston (1993) mengatakan bahwa teori keadilan yang

    dikemukakan leh J. Stacy Adam pada tahun 1965 merupakan teori kognitif motivasi

    kerja. Teori keadilan menyatakan bahwa manusia mempunyai pikiran, perasaan, dan

    pandangan yang mempengaruhi pekerjaan mereka. Teori ini diciptakan secara khusus

    untuk memprediksi pengaruh imbalan terhadap perilaku manusia. Adam

    mengemukakan bahwa individu-individu kan membuat perbandingan-perbandingan

    tertentu terhadap suatu pekerjaan. Perbandingan-perbandingan tersebut sangat

    mempengaruhi kemantapan pikiran dan perasaan mereka mengenai imbalan, serta

    menghasilkan perubahan motivasi dan perilaku.

    Teori keadilan mempunyai emat asumsi dasar (Munandar, 2001), yaitu :

    a. Individu berusaha untuk menciptakan dan mempertahankan satu kondisi keadilan.

    b. Apabila dirasakan ada kondisi ketidakadilan, kodisi ini menimbulkan ketegangan

    yang memotivasi individu untuk menguranginya atau menghilangkannya.

    c. Semakin besar persepsi ketidakadilannya, semakin besar motivasinya untuk

    bertindak engurangi kondisi ketegangan itu.

    d. Individu akan mempersepsikan ketidakadilan yang tidak menyenangkan

    (misalnya, menerima gaji terlalu sedikit) lebih cepat daripada ketidakadilan yang

    menyenangkan (misalnya, mendapatkan gaji terlalu besar).

    Universitas Sumatera Utara

  • 3. Ciri-ciri Orang yang Memiliki Motivasi Kerja

    Menurut Arep & Tanjung (20003), ciri-ciri rang yang bekeja dengan

    termotivasi adalah :

    a. Bekerja sesuai standar

    Pekerjaan dapat diselesaikan dengan tepat waktu dan dalam waktu yang sudah

    ditentukan.

    b. Senang dalam bekerja

    Sesuatu yang dikerjakan karena adanya motivasi yang mendorongnya akan

    membuat seseorang merasa senang melakukan pekerjaannya.

    c. Merasa berharga

    Seseorang akan merasa berharga ketika mengerjakan suatu pekerjaan yang

    didorong oleh motivasi dari dala dirinya

    d. Bekerja keras

    Seseorang akan bekerja keras karena dorongan yang begitu tinggi untuk

    menghasilkan hasil pekerjaan yang telah ditetapkan.

    e. Sedikit pengawasan

    Kinerjanya akan dipantau dirinya sendiri dan tidak membutuhkan terlalu

    banyak pengawasan.

    Universitas Sumatera Utara

  • 4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Kerja

    a. Faktor Internal

    Jewell dan Siegell (1998) menyatakan faktor yang cenderung ke arah faktor

    internal yang mempengaruhi motivasi adalah faktor yang didasarkan pada Teori Dua

    Faktor dari Herzberg (Herzberg Two Factor Theory). Herzberg, (dalam Munandar,

    2001) menyebutkan bahwa Teori Dua Faktor didasarkan pada pembagian Hierarki

    Maslow menjadi kebutuhan atas dan kebutuhan bawah. Kondisi kerja yang

    memungkinkan individu memenuhi kebutuhan tingkat atas disebut se bagai faktor

    motivator yang diklasifikasikan kedalam faktor internal, antara lain :

    (1) Tanggung Jawab (Responsibiliy), merupakan besar kecilnya tanggung jawab

    yang dirasakan diberikan pada seorang individu.

    (2) Kemajuan (Advancement), merupakan besar kecilnya kemungkinan individu

    dapat maju dalam pekerjaannya.

    (3) Pekerjaan itu sendiri, merupakan besar kecilnya tantangan yang dirasakan

    individu dari pekerjaannya.

    (4) Pencapaian (Achievement), besar kecilnya kemungkinan individu mencapai

    prestasi kerja yang tinggi.

    (5) Pengakuan (Recognition), besar kecilnya pengakuan yang diberikan individu

    atas unjuk kerjanya.

    Robbins dan Judge (2008), menjelaskan pula bahwa Teori Kebutuhan

    McClelland (McClellands Theory of Needs) juga dapat mendukung faktor internal

    yang dapat mempengaruhi motivasi individu dalam bekerja. Teori tersebut berfokus

    pada tiga kebutuhan, kekuatan dan hubungan :

    (1) Kebutuhan Pencapaian (Need for Achievement), merupakan dorongan untuk

    melebihi, mencapai standar-standar, berusaha keras untuk berhasil.

    Universitas Sumatera Utara

  • (2) Kebutuhan Kekuatan (Need for Power), merupakan kebutuhan untuk

    membuat individu lain berperilaku sedemikian rupa sehingga akan

    berperilaku sebaliknya.

    (3) Kebutuhan Hubungan (Need for Affiliation), keiginan untuk menjalin suatu

    hubungan antarpersonal yang ramah dan akrab.

    b. Faktor Eksternal

    Kebutuhan dapat berkembang sebagai akibat dari interaksi individu

    dengan lingkungannya. Motivasi tidak semata-mata dituntut oleh kebutuhan

    yang bersifat internal, tetapi dipengaruhi oleh apa yang dipelajari (Hariandja,

    2002). Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi motivasi dapat dilihat

    melalui Teori Pengharapan (Expectancy Theory) dari Victor Vroom

    (Ivancevich & Donnelly dalam Gibson, 1997) yang menyatakan bahwa ada

    tiga faktor atau situasi pada hubungan antara performa kerja dengan outcomes

    yang dapat mempengaruhi motivasi :

    (1) Instrumental (Instrumentally), merupakan persepsi individu pada outcomes

    pada level pertama berhubungan dengan outcomes pada level kedua.

    Kemungkinan atau keyakinan seseorang akan mendapatkan ganjaran bilamana

    memenuhi tingkat performa tertentu dan mengindikasikan hal yang sama pada

    outcomes kedua.

    (2) Nilai (Value), merupakan nilai yang diberikan seseorang terhadap hadiah

    (reward) yang akan didapat dari suatu pekerjaannya.

    Universitas Sumatera Utara

  • (3) Harapan (Expectancy), merupakan keyakinan individu untuk dapat memenuhi

    tingkat performa yang diharuskan dalam suatu pekerjaan. Individu yakin

    bahwa suatu perilaku yang khusus akan dikuti oleh outcome yang tertentu.

    Jewell (2000), menyatakan bahwa faktor eksternal yang dapat mempengaruhi

    motivasi individu dalam bekerja dijelaskan pula oleh Teori Dua Faktor dari

    Herzberg (Herzberg Two Factor Theory). Herzberg (dalam Munandar, 2001)

    menyebutkan bahwa Teori Dua Faktor didasarkan pada pembagian Hierarki

    Maslow menjadi kebutuhan atas dan kebutuhan bawah. Faktor yang dapat

    memenuhi kebutuhan tingkat bawah dinamakan faktor higyene yang merupakan

    faktor eksternal yang dapat mempengaruhi motivasi individu dalam bekerja, yaitu:

    (1) Administrasi dan Kebijakan Perusahaan, merupakan derajat kesesuain yang

    dirasakan individu dari semua kebijakan dan peraturan yang berlaku dalam

    perusahaan.

    (2) Penyeliaan, merupakan derajat kewajaran penyeliaan yang dirasakan diterima

    individu.

    (3) Gaji, merupakan derajat kewajaran dari gaji yang diterima sebagai imbalan

    unjuk kerjanya.

    (4) Hubungan antar Pribadi, merupakan derajat kesesuaian yang dirasakan dalam

    berinteraksi dengan individu lain.

    (5) Kondisi Kerja, merupakan derajat kesesuaian kondisi kerja dengan proses

    pelaksanaan tugas pekerjaannya.

    Pendapat ini didukung oleh Teori Keseimbangan (Equity Theory) yang

    menyatakan bahwa setiap orang yang memasuki dunia kerja mengharapkan hasil

    (outcome) yang diterima sesuai dengan yang telah diberikannya untuk organisasi

    Universitas Sumatera Utara

  • (input) dan dengan yang diterima orang lain di lingkungan pekerjaannya atau

    organisasi lain (Hariandja, 2002).

    Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang

    mempengaruhi motivasi kerja adalah faktor internal dan faktor eksternal.

    5. Komponen Motivasi Kerja

    Steers & Porter (1987) menyatakan bahwa ada 3 komponen penting dalam

    motivasi kerja:

    a. Komponen Energi

    Komponen energi yaitu kekuatan atau usaha yang dimiliki karyawan yang

    menyebabkan terjadinya tingkah laku dalam pekerjaannya. Dengan kata lain,

    komponen energi menjelaskan seberapa mampu karyawan melaksanakan

    pekerjaannya sebaik mungkin. Misalnya seorang karyawan yang ingin

    meningkatkan prestasi kerjanya untuk mendapatkan peluang pengembangan

    karir, maka karyawan tersebut akan membuat rancangan kerja, memperbaiki

    cara kerja dan lain-lain.

    b. Komponen Arah

    Komponen arah yaitu tingkah laku yang timbul merupakan tingkah laku yang

    terarah atau mempunyai tujuan yang jelas. Misalnya seorang yang ingin

    memperoleh suatu kesempatan pengembangan karir, maka karyawan tersebut

    berusaha menghasilkan prestasi kerja, bersikap jujur, bertanggung jawab, dan

    lain-lain.

    c. Komponen Pemeliharaan

    Universitas Sumatera Utara

  • Komponen pemeliharaan yaitu adanya pemeliharaan atau usaha untuk

    mempertahankan tingkah laku yang telah terjadi sesuai dengan lingkungan

    kerja. Komponen ini merupakan ukuran mengenai seberapa lama seseorang

    mampu mempertahankan usahanya dalam bekerja. Individu-individu dengan

    motivasi kerja yang tinggi mampu bertahan melakukan tugas dalam waktu

    yang cukup lama demi memcapai tujuannya. Misalnya seorang karyawan yang

    ingin mempertahankan jabatannya, maka karyawan tersebut mempertahankan

    kinerja, mempertahankan prestasi kerjanya dan lain-lain

    A. Gaya Kepemipinan

    1. Definisi Gaya Kepemimpinan

    Bass (1998) mengemukakan kepemimpinan merupakan suatu proses

    mengarahkan, mempengaruhi dan mengendalikan aktivitas yang berhubungan dengan

    pekerjaan seperti halnya mempengaruhi motivasi karyawan untuk mencapai tujuan

    khusus organisasi. Menurut Rivai (2008) definisi kepemimpinan secara luas meliputi

    proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku

    bawahan untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan

    budayanya. Selain itu juga mempengaruhi interpretasi mengenai peristiwa-peristiwa

    para pengikutnya, pengorganisasian dan aktivitas-aktivitas untuk mencapai sasaran,

    memelihara hubungan kerjasama dan kelompok kerja, perolehan dukungan dan

    kerjasama dari orang-orang di luar kelompok atau organisasi.

    Gaya kepemimpinan adalah suatu pola tingkah laku yang dirancang untuk

    mengintegrasikan tujuan organisasi dengan tujuan individu untuk mencapai tujuan

    tertentu (Ranupandojo dan Husnan, 2002). Gaya kepemimpinan adalah suatu norma

    Universitas Sumatera Utara

  • perilaku yang digunakan seseorang pada saat orang tersebut mencoba untuk

    mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang ia lihat (Thoha, 2003).

    Berdasarkan definisi-definisi dari para ahli diatas, maka penulis dapat menarik

    kesimpulan bahwa gaya kepemimpinan adalah suatu pola tindakan yang

    dipersepsikan atau diacu oleh bawahan yang mengarahkan, mempengaruhi dan

    mengendalikan orang lain yang berhubungan dengan aktivitas pekerjaan guna untuk

    mencapai suatu tujuan tertentu.

    Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan teori gaya kepemimpinan

    transaksional oleh Bass (1985).

    2. Gaya Kepemimpinan Transaksional

    a. Pengertian Gaya kepemimpinan transaksional

    Gagasan awal mengenai gaya kepemimpinan transformasional dan

    transaksional ini dikembangkan oleh James MacFregor Burns yang menerapkannya

    dalam konteks politik. Burns (1978) mendefinisikan kepemimpinan transaksional

    sebagai bentuk hubungan yang mempertukarkan jabatan atau tugas tersebut. Jadi,

    kepemimpinan transaksional menekankan proses hubungan pertukaran yang bernilai

    ekonomis untuk memenuhi kebutuhan biologis dan psikologis sesuai dengan kontrak

    yang telah mereka setujui bersama. Gagasan ini selanjutnya disempurnakan serta

    diperkenalkan ke dalam kontes organisasional oleh Bernard Bass.

    Bass (1990) mengemukakan kepemimpinan ransaksional yang didefinisikan

    sebagai kepemimpinan yang melibatkan suatu proses pertukaran yang menyebabkan

    bawahan mendapat imbalan serta membantu bawahannya mengidentifikasikan apa

    yang harus dilakukan untuk memenuhi hasil yang diharapkan seperti kualitas

    pengeluaran yang lebih baik, penjualan atau pelayanan yang lebih dari karyawan,

    Universitas Sumatera Utara

  • serta mengurangi biaya produksi. Membantu bawahannya dalam mengidentifikasi

    yang harus dilakukan pemimpin membawa bawahannya kepada kesadaran tentang

    konsep diri serta harga diri dari bawahannya tersebut. Pendekatan transaksional

    menggunakan konsep mencapai tujuan sebagai kerangka kerja.

    Seorang pemimpin yang menggunakan gaya kepemimpinan transaksional

    membantu karyawannya dalam meningkatkan motivasi untuk mencapai hasil yang

    diinginkan dengan dua cara, yang pertama yaitu seorang pemimpin mengenali apa

    yang harus dilakukan bawahan untuk mencapai hasil yang sudah direncanakan setelah

    itu pemimpin mengklarifikasikan peran bawahannya kemudian bawahan akan merasa

    percaya diri dalam melaksanakan pekerjaan yang membutuhkan perannya. Yang

    kedua adalah pemimpin mengklarifikasi bagaimana pemenuhan kebutuhan dari

    bawahan akan tertukar dengan penetapan peran untuk mencapai hasil yang sudah

    disepakati (Bass, 1985).

    Gaya kepemimpinan transaksonal juga dijelaskan oleh Thomas (2003) sebagai

    suatu gaya kepemimpinan yang mendapatkan motivasi para bawahannya dengan

    menyerukan ketertarikan mereka sendiri.perilaku kepemimpinan terfokus pada hasil

    dari tugas dan hubungan dari pekerja yang baik dalam pertukaran untuk penghargaan

    yang diinginkan. Kepemimpinan transaksional mendorong pemimpin untuk

    menyesuaikan gaya dan perilaku mereka untuk memahami harapan pengikut.

    Kepemimpinan transaksional menurut Bycio,dkk (1995) adalah gaya

    kepemimpinan yang memfokuskan perhatiannya pada transaksi interpersonal antara

    pemimpin dengan karyawan yang melibatkan hubungan pertukaran. Pertukaran

    tersebut didasarkan pada kesepakatan mengenai klasifikasi sasaran, standar kerja,

    penugasan kerja, dan penghargaan.

    Universitas Sumatera Utara

  • Berdasarkan pendapat para ahli dapat ditarik kesimpulan bawa kepemimpinan

    transaksional adalah kepemimpinan yang melibatkan atau menekankan pada imbalan

    untuk memotivasi bawahan, artinya gaya kepemimpinan transaksional ini memiliki

    karakteristik perilaku memotivasi bawahan dengan cara memberi penghargaan yang

    sesuai (contingen rewar) dan manajemen seperlunya (management by exception).

    b. Faktor-faktor Pembentuk Gaya Kepemimpinan Transaksional

    Faktor-faktor pembentuk gaya kepemimpinan transaksional menunjuk pada

    hal-hal yang dilakukan pemimpin dalam penerapannya. Menurut Burns (dalam Yulk,

    1994), suatu gaya kepemimpinan memiliki faktor-faktor yang menunjukkan gaya

    seorang pemimpin dalam memotivasi bawahannya. Upaya memotivasi bawahan agar

    menjadi efektif dilakukan dengan mempengaruhi bawahan agar bertindak sesuai

    dengan waktu dan saling kooperatif untuk mencapai tujuan.

    Gaya kepemimpinan transaksional menurut Bass et.al (2003) dibentuk oleh

    faktor-faktor yang berupa imbalan kontingen (contingent reward), manajemen eksepsi

    aktif (active management by exception), dan manajemen eksepsi pasif (passive

    management by exception). Faktor-faktor tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

    a. Imbalan Kontingen (Contingent Reward)

    Faktor ini dimaksudkan bahwa bawahan memperoleh pengarahan dari

    pemimpin mengenai prosedur pelaksanaan tugas dan target-target yang harus dicapai.

    Bawaan akan menerima imbalan dari pemimpin sesuai dengan kemampuannya dalam

    mematuhi prosedur tugas dan keberhasilannya mencapai target-target yang telah

    ditentukan.

    b. Manajemen eksepsi aktif (active management by exception).

    Universitas Sumatera Utara

  • Faktor ini menjelaskan tingkah laku pemimpin yang selalu melakukan

    pengawasan secara direktif terhadap bawahannya. Pengawasan direktif yang

    dimaksud adalah mengawasi proses pelaksanaan tugas bawahan secara langsung. Hal

    ni bertujuan untuk mengantisipasi dan meminimalkan tingkat kesalahan yang timbul

    selama proses kerja berlangsung. Seorang pemimpin transaksional tidak segan

    mengoreksi dan mengevaluasi langsung kinerja bawahan meskipunproses kerja belum

    selesai. Tindakan tersebut dimaksud agar bawahan mampu bekeja sesuai dengan

    standar dan prosedur kerja yang telah ditetapkan.

    c. Manajemen eksepsi pasif (passive management by exception)

    Seorang pemimpin transaksional akan memberikan peringatan dan sanksi

    kepada bawahannya apabila terjadi kesalahan dalam proses yang dilakukan oleh

    bawahan yang bersangkutan. Namun apabila proses kerja yang dilaksanaka masih

    berjalan sesuai standar dan prosedur, maka pemimpin transaksional tidak memberikan

    evaluasi apapun kepada bawahan.

    Faktor-faktor pembentuk gaya kepemimpinan transaksional tersebut

    digunakan pemimpin untuk memotivasi dan mengarahkan bawahan agar dapat

    mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Bawahan yang berhasil dalam

    meyelesaikan pekerjaannya dengan baik akan memperoleh imbalan yang sesuai.

    Sebaliknya bawahan yang gagal dalam menyelesaikan tugasnya dengan baik akan

    memperoleh sanksi agar dapat bekerja lebih baik dan meningkatkan mutu kerjanya.

    Universitas Sumatera Utara

  • C. PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN TRANSAKSIONAL TERHADAP

    MOTIVASI KERJA BAWAHAN

    Kepemimpinan secara langsung maupun tidak langsung mempunyai pengaruh

    yang positif terhadap peningkatan motivasi kerja bawahannya. Hal ini didukung oleh

    Sinungan (1987) yang menyatakan bahwa kepemimpinan yang termasuk di dalam

    lingkungan organisasi merupakan faktor potensi dalam meningkatkan motivasi kerja.

    Bass (1998) mengemukakan kepemimpinan merupakan suatu proses mengarahkan,

    mempengaruhi dan mengendalikan aktivitas yang berhubungan dengan pekerjaan

    seperti halnya mempengaruhi motivasi karyawan untuk mencapai tujuan khusus

    organisasi.

    Seorang pemimpin memiliki cara tersendiri dalam memotivasi karyawannya

    yang disebut dengan gaya kepemimpinan. Gaya kepemimpinan mempunyai peran

    yang penting dalam mempengaruhi cara kerja bawahan. Karena kepemimpinan

    merupakan kekuatan aspirasional, kekuatan semangat, dan kekuatan moral yang

    kreatif, yang mampu mempengaruhi para anggota untuk mengubah sikap, sehingga

    mereka konform dengan keinginan pemimpin (Schaffer, 2008).

    Gaya kepemimpinan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan motivasi

    kerja. Karena keberhasilan seorang atasan dalam menggerakkan orang lain untuk

    mencapai suatu tujuan, tergantung pada bagaimana atasan tersebut menciptakan

    motivasi didalam diri setiap bawahannya (Rivai, 2004). Memotivasi ini sangat sulit,

    karena pimpinan sulit untuk mengetahui kebutuhan (needs) dan keinginan (wants)

    yang diperlukan bawahan dari hasil pekerjaan itu. Orang-orang mau bekerja untuk

    dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan (fisik dan mental), baik itu kebutuhan yang

    disadari (conscious needs) maupun kebutuhan yang tidak disadari (unconscious

    needs)-nya. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Arep dan Tanjung (2003) yang

    Universitas Sumatera Utara

  • menyatakan bahwa kepemimpinan sebagai sumber motivasi dalam bekerja sehingga

    seorang pemimpin diharapkan dapat menguasai atau mempengaruhi serta memotivasi

    karyawannya.

    Bass (1985) mengembangkan gaya kepemimpinan berdasarkan pendapat

    Maslow mengenai tingkatan kebutuhan manusia. Untuk memenuhi kebutuhan

    bawahan yang lebih tinggi seperti harga diri dan aktualisasi diri hanya dimungkinkan

    terpenuhi melalui praktik kepemimpinan transformasional. Sedangkan kebutuhan

    karyawan yang lebih rendah, seperti kebutuhan fisik, rasa aman, dan afiliasi dapat

    terpenuhi dengan baik melalui praktik kepemimpinan transaksional. Pemenuhan

    kebutuhan karyawan tersebut mampu meningkatkan motivasi kerja pada karyawan

    sehingga dapat mencapi tujuan perusahaan.

    Seorang pemimpin yang menggunakan gaya kepemimpinan transaksional

    membantu karyawannya dalam meningkatkan motivasi untuk mencapai hasil yang

    diinginkan dengan dua cara, yang pertama yaitu seorang pemimpin mengenali apa

    yang harus dilakukan bawahan untk mencapai hasil yang sudah direncanakan setelah

    itu pemimpin mengklarifikasikan peran bawahannya kemudian bawahan akan merasa

    percaya diri dalam melaksanakan pekerjaan ang membutuhkan perannya. Yang kedua

    adalah pemimpin mengklarifikasi bagaimana pemenuhan kebutuhan dari bawahan

    akan tertukar dengan penetapan peran untuk mencapai hasil yang sudah disepakati

    (Bass, 1985).

    Pengaruh gaya kepemimpinan transaksional terhadap motivasi juga dijelaskan

    oleh Thomas (2003) yang mengatakan bahwa gaya kepemimpinan transaksional

    sebagai suatu gaya kepemimpinan yang mendapatkan motivasi para bawahannya

    dengan menyerukan ketertarikan mereka sendiri perilaku kepemimpinan terfokus

    pada hasil dari tugas dan hubungan dari pekerja yang baik dalam pertukaran untuk

    Universitas Sumatera Utara

  • penghargaan yang diinginkan. Kepemimpinan transaksional mendorong pemimpin

    untuk menyesuaikan gaya dan perilaku mereka untuk memahami harapan bawahan.

    D. HIPOTESIS PENELITIAN

    Dalam penelitian ini diajukan sebuah hipotesis sebagai jawaban sementara

    terhadap permasalahan yang telah dikemukakan. Adapun hipotesis yang diajukan

    dalam penelitian ini adalah :

    Pengaruh gaya kepemimpian transaksional terhadap motivasi kerja

    bawahan

    Apabila penilaian terhadap gaya kepemimpinan transaksional tinggi maka

    motivasi kerja juga tinggi dan sebaliknya jika penilaian terhadap gaya kepemimpinan

    transaksional rendah maka motivasi kerja juga akan rendah.

    Universitas Sumatera Utara