59
TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU- PULAU KECIL Policy Paper © 2013 © Andie Wibianto/MPAG

TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

  • Upload
    others

  • View
    9

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-

PULAU KECIL

Policy Paper

© 2013

© Andie Wibianto/MPAG

Page 2: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

1

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang 2

1.2. Tujuan dan Sasaran 6

1.3. Ruang Lingkup 7

1.4. Keluaran 7

1.5. Pendekatan dan Lokasi Pembelajaran 8

II. TINJAUAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI DI WILAYAH

PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

2.1. Rekapitulasi Status Pelaksanaan Peraturan Perundangan Dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil 9

2.2. Proses Pengelolaan KKWP3K 10

2.3. Mekanisme Pengelolaan KKWP3K 13

III. KEMITRAAN DALAM PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

3.1. Konsepsi dan Kelembagaan Kemitraan Dalam Pengelolaan Kawasan

Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil 15 3.2. Pembelajaran Kemitraan Dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi di

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil 20 3.3. Permasalahan/Isu Dalam Kemitraan Pengelolaan KKWP3K

Berdasarkan Analisis Kesenjangan (Gap Analysis) 47

IV. REKOMENDASI KEMITRAAN DALAM PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

BATASAN PERISTILAHAN

DAFTAR PUSTAKA

Page 3: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

2

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan beragam ekosistem yang

kaya akan sumberdaya alam dan sangat produktif, merupakan wilayah yang

rawan terhadap kemungkinan pemanfaatan yang berlebihan, karena pada

wilayah ini berlaku regim open access sehingga sumberdaya yang

terkandung di dalamnya dianggap milik bersama. Sejak dahulu hingga saat

ini telah banyak contoh-contoh yang menunjukkan adanya kerusakan dan

kehancuran ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil yang disebabkan oleh

aktivitas manusia yang tidak terkontrol terhadap wilayah pesisir dan pulau-

pulau kecil yang dianggap milik bersama. Secara lebih spesifik, pantai

sebagai bagian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sering menjadi suatu

wilayah, dimana berbagai aktivitas yang saling bertentangan bersaing untuk

memperebutkan ruang dan sumberdaya alam yang terbatas. Bahkan yang

lebih buruk lagi adalah bahwa manfaat dan keuntungan dari berbagai

aktivitas tersebut pada akhirnya jatuh pada sekelompok kecil masyarakat,

sedangkan biaya yang harus dikeluarkan terpaksa ditanggung oleh sebagian

besar masyarakat dan lingkungan setempat.

Terdapat empat fungsi utama ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil

bagi kehidupan manusia, yaitu sebagai penyedia sumberdaya alam,

penyedia jasa pendukung kehidupan, penyedia jasa kenyamanan, dan

pelindung dari berbagai kemungkinan bencana alam. Sebagai penyedia

sumberdaya alam, ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil mengandung

berbagai sumberdaya alam yang menjadi sumber penghidupan manusia;

sebagai penyedia jasa pendukung kehidupan, ekosistem pesisir dan pulau-

pulau kecil menyediakan ruang yang bersih untuk mendukung kehidupan

manusia; sebagai penyedia jasa kehidupan, ekosistem pesisir dan pulau-

pulau kecil menyediakan objek wisata dan rekreasi yang sangat indah dan

mempesona; dan sebagai pelindung dari bencana alam, ekosistem pesisir

Page 4: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

3

dan pulau-pulau kecil mampu melindungi manusia dari berbagai bencana

alam yang terjadi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Dengan ke empat fungsi utama ekosistem tersebut di atas, maka

wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi wilayah yang sangat menarik

dan menjanjikan bagi kiprah pembangunan manusia. Wilayah pesisir dan

pulau-pulau kecil tidak hanya menjadi wilayah yang dieksploitasi (diambil)

sumberdaya alamnya, tetapi juga menjadi wilayah pengembangan berbagai

kegiatan pemanfaatan, seperti transportasi dan pelabuhan, industri dan

pemukiman. Kenyataan menunjukkan bahwa sekitar 85 % biota laut tropis

tergantung pada ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, serta sekitar 90 %

hasil perikanan berasal dari ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil

(Bengen, 2012).

Sayangnya, eksploitasi sumberdaya alam pesisir dan pulau-pulau kecil

yang dilakukan selama ini telah mengindikasikan fenomena kerusakan yang

tidak hanya mengancam kemampuan ekosistem pesisir dan pulau-pulau

kecil dalam menyediakan sumberdaya alam, tetapi juga telah mereduksi

kemampuannya dalam mitigasi bencana alam di wilayah pesisir dan pulau-

pulau kecil. Dampak dari kerusakan yang muncul, antara lain hilangnya

daerah pemijahan, pengasuhan dan mencari makanan bagi beragam biota

laut, dan berkurangnya sumberdaya ikan. Dampak lain dari fenomena di

atas adalah hilangnya fungsi-fungsi fisik dari ekosistem pesisir dan pulau-

pulau kecil, seperti penahan erosi, peredam dan pemecah gelombang,

pencegah intrusi air laut, dan penyerap bahan pencemar. Fenomena ini

terjadi akibat praktek-praktek pemanfaatan sumberdaya alam yang

destruktif dan pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan, seperti

pembabatan dan konversi besar-besaran hutan mangrove, penggalian

karang, pengeboman ikan karang dan sebagainya. Selain itu kerusakan ini

dapat lebih diperparah akibat adanya fenomena perubahan iklim.

Untuk mengembalikan dan mempertahankan fungsi-fungsi ekosistem

pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana diuraikan di atas, maka perlu

upaya-upaya untuk menjamin keberlanjutan pemanfaatan dan kelestarian

Page 5: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

4

ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil. Upaya-upaya ini mendapat

dukungan kuat dari Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mengamanatkan untuk:

1) Melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan dan

memperkaya sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil secara

berkelanjutan;

2) Mengharmonisasikan dan menyinergikan pengelolaan wilayah pesisir

dan pulau-pulau kecil;

3) Memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah dalam

pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

4) Meningkatkan nilai sosial, ekonomi dan budaya dalam pemanfaatan

sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil.

Sebagai tindak lanjut untuk menjaga, memulihkan dan melestarikan

ekosistem dan sumberdaya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah

dengan menetapkan Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau

Kecil sebagaimana dimandatkan dalam UU No. 27 Tahun 2007. Tujuan

dibentuknya Kawasan konservasi ini diantaranya adalah untuk

mengupayakan perlindungan ekosistem pesisir dan laut, memulihkan fungsi

dan integritas ekosistem, mencegah penurunan keanekaragaman hayati,

mencegah penurunan kualitas lingkungan dan menjamin keberlanjutan

pendayagunaan sumberdaya dan ekosistem secara lestari.

Salah satu bentuk kawasan konservasi berdasarkan PERMEN No. 17/2008

tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil adalah

Kawasan Konservasi Perairan (KKP). Kawasan Konservasi Perairan

didefinisikan sebagai kawasan perairan yang dilindungi dan dikelola dengan

sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan

lingkungannya secara berkelanjutan; sedangkan pengertian KKP menurut

UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan beserta perubahannya (UU No. 45

Tahun 2009) dan PP 60/2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan, paling

tidak memuat dua hal penting dalam pengelolaan konservasi. Pertama,

pengelolaan KKP diatur dengan sistem zonasi; Kedua, dalam hal

kewenangan, Pemerintah Daerah diberi kewenangan dalam pengelolaan

Page 6: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

5

kawasan konservasi di wilayahnya. Selama ini pengelolaan KKP menjadi

kewenangan Pemerintah (BKSDA, Balai TN).

Dengan adanya perubahan paradigma dalam pengelolaan KKP tersebut,

maka fungsi Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan

hanya mendorong daerah untuk mengembangkan potensi daerahnya sesuai

dengan peraturan perundangan yang ada. Dalam konteks pengelolaan

kawasan konservasi laut daerah (KKLD), Pemerintah hanya memfasilitasi

dan menetapkan kawasan konservasi. Proses identifikasi, pencadangan

maupun pengelolaannya secara keseluruhan dilakukan oleh Pemerintah

Daerah.

Kawasan Konservasi Perairan (KKP) sebagai daerah pencadangan

membutuhkan keseriusan di dalam upaya pengelolaannya. Untuk

mewujudkan pengelolaan KKP yang berkelanjutan diperlukan suatu

pengelolaan yang terpadu dengan mengintegrasikan seluruh potensi

sumberdaya yang ada. Salah satu bentuk pengelolaan yang berpeluang

meningkatkan unjuk kerja KKP adalah pengelolaan berbasis kemitraan (co-

management) sebagaimana yang dimandatkan dalam pasal 18 Peraturan

Pemerintah (PP) No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan.

Dengan pengelolaan berbasis kemitraan tersebut, kebijakan yang muncul

akan lebih terbuka, lebih aspiratif dan dimulai dari bottom up. Dengan

demikian, Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya

dalam mengelola KKP dapat melibatkan masyarakat melalui kemitraan

antara unit organisasi pengelola dengan kelompok masyarakat, masyarakat

adat, lembaga swadaya masyarakat, korporasi, lembaga penelitian,

perguruan tinggi maupun antar instansi pemerintah lainnya. Pola kemitraan

(partnership) dalam pengelolaan KKP ini dimaksudkan agar pelaksanaan

konservasi ekosistem dan sumberdaya ikan dilakukan berdasarkan

kesepakatan kerjasama antar para pemangku kepentingan (stakeholders).

Dengan melihat pentingnya kemitraan dalam pengelolaan KKP, maka

tidak dapat dipungkiri bahwa pengelolaan berbasis kemitraan telah menjadi

trend tersendiri dalam pengelolaan sumberdaya termasuk di dalamnya

adalah KKP. Dalam pelaksanaannya, tujuan akhir pengelolaan berbasis

Page 7: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

6

kemitraan tidak berhenti pada target luasan kawasan konservasi, namun

secara konsisten berupaya mewujudkan pengelolaan KKP yang efektif bagi

keberlanjutan ekosistem dan sumberdaya hayati serta kesejahteraan

masyarakat melalui peningkatan kapasitas SDM, kelembagaan, dan

pendanaan yang berkelanjutan.

Dengan melihat pentingnya kemitraan dalam pengelolaan kawasan

konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, maka perlu dilakukan

suatu kajian mendalam untuk mendapatkan kemitraan pengelolaan yang

tepat, komprehensif, dan efisien serta dapat menjadi panduan bagi

Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat, maupun stakeholders lainnya

dalam mengelola kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau

kecil secara bersama-sama. Dengan demikian, pada waktu pelaksanaannya

tidak akan terjadi gesekan antar stakeholders, namun yang terjadi adalah

semangat kebersamaan. Di sisi lain landasan peraturan yang memayungi

kemitraan pengelolaan menjadi suatu hal yang sangat dibutuhkan dalam

keberlanjutan pengelolaan kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-

pulau kecil. Namun demikian perlu adanya suatu kajian yang diharapkan

dapat memberikan masukan tentang penerapan peraturan tersebut.

Karena itu, kajian kemitraan pengelolaan kawasan konservasi di wilayah

pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia mutlak diperlukan, sebagai landasan

penyusunan Peraturan Menteri tentang Kemitraan Pengelolaan Kawasan

Konservasi Perairan.

1.2. Tujuan dan Sasaran

Tujuan utama dari policy paper ini adalah melakukan tilik-kaji tentang

kemitraan pengelolaan kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-

pulau kecil sebagai landasan penyusunan Peraturan Menteri tentang

Kemitraan Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan; sedangkan tujuan

khususnya adalah:

1. Mengkaji konsep kemitraan dalam pengelolaan kawasan konservasi di

wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang meliputi: tataran proses,

mekanisme dan kelembagaannya.

Page 8: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

7

2. Merangkum pembelajaran pengelolaan kawasan konservasi di wilayah

pesisir dan pulau-pulau kecil berbasis kemitraan.

3. Merekomendasikan arah kebijakan yang berkaitan dengan kemitraan

pengelolaan kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau

kecil.

Sasaran yang hendak dicapai dalam penyusunan policy paper ini adalah:

1. Terumuskannya konsepsi kemitraan dalam pengelolaan kawasan

konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil;

2. Terekomendasikannya kelembagaan kemitraan dalam pengelolaan

kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

1.3 Ruang Lingkup

Ruang lingkup policy paper adalah:

- Perumusan tataran kemitraan dalam pengelolaan kawasan

konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang meliputi:

perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi;

- Perumusan mekanisme kolaborasi, koordinasi dan konsultasi dalam

pengelolaan kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau

kecil berbasis kemitraan;

- Penyusunan arahan kebijakan kemitraan dalam pengelolaan

kawasan konservasi di wilayah pesisir dan dan pulau-pulau kecil.

1.4 Keluaran (Output)

Tersusunnya policy paper Kemitraan Pengelolaan Kawasan Konservasi

di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

1.5 Pendekatan dan Lokasi Pembelajaran

Penyusunan policy paper ini mencakup desk study, dengan

menggunakan data sekunder di antaranya data potensi biogeofisik, sosial-

budaya dan ekonomi kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau

kecil dan informasi peraturan perundangan dan kebijakan terkait kemitraan

pengelolaan (bentuk dan pola kemitraan, serta proses dan mekanisme

Page 9: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

8

pengelolaan). Selain itu dilakukan kunjungan lapangan ke lokasi

pembelajaran untuk memperkaya tilik-kaji yang telah dilakukan sekaligus

mengklarifikasi dan memvalidasi data yang ada. Adapun lokasi

pembelajaran adalah kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau

kecil di seluruh Indonesia, dengan lokasi teladan pada beberapa kawasan

yang memiliki model, bentuk, lokasi, dan karakteristik khusus yang

mewakili keberagaman dalam mengembangkan pengelolaan berbasis

kemitraan. Lokasi-lokasi pembelajaran tersebut adalah:

1. Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Raja Ampat

2. Taman Wisata Perairan (TWP) Pulau Pieh

3. Kawasan Strategis Nasional (KSN) Segara Anakan

4. Kawasan Taman Nasional Laut (KTNL) Wakatobi

5. Kawasan Konservasi (KK) Mangrove Margomulyo.

Dengan adanya pembelajaran pada lokasi-lokasi tersebut di atas,

diharapkan akan diperoleh secara komprehensif ragam model kemitraan

pengelolaan kawasan konservasi yang dikembangkan sebagai kawasan

konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia.

Page 10: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

9

II. TINJAUAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI DI

WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL 2.1. Rekapitulasi Status Pelaksanaan Peraturan Perundangan Dalam

Pengelolaan Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Salah satu upaya untuk mengatasi ancaman terhadap ekosistem

pesisir dan pulau-pulau kecil adalah dengan menetapkan Kawasan

Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KKWP3K) sebagaimana

diamanatkan dalam UU No. 27 Tahun 2007. Tujuan dari penetapan KKWP3K

berdasarkan adalah untuk mengupayakan perlindungan ekosistem pesisir

dan laut, memulihkan fungsi dan integritas ekosistem, mencegah

penurunan keanekaragaman hayati, mencegah penurunan kualitas

lingkungan dan menjamin keberlanjutan pendayagunaan sumberdaya dan

ekosistem secara lestari.

Penetapan KKWP3K disamping untuk melindungi sumberdaya ikan,

tempat persinggahan dan/atau alur migrasi biota laut lain, juga

dimaksudkan untuk mengakomodasi kearifan-kearifan lokal di ranah

konservasi seperti sasi, mane’e, panglima laot, awig-awig, dan/atau istilah

lain adat tertentu yang telah ada di masyarakat. KKWP3K juga turut

mengakomodasi konservasi daerah-daerah yang unik dan/atau rentan

terhadap perubahan. Untuk selanjutnya KKWP3K ditetapkan dengan

PERMEN No. 17/2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan

Pulau-Pulau Kecil.

Pengusulan Kawasan Konservasi sebagaimana dimaksud dapat

dilakukan oleh perseorangan, kelompok masyarakat, dan/atau oleh

Pemerintah/Pemerintah Daerah berdasarkan ciri khas Kawasan. Namun

demikian, pengusulan ini perlu ditunjang oleh data dan informasi ilmiah

dengan tetap berpatokan bahwa di dalam kawasan tersebut akan terdapat

zona inti, zona pemanfaatan terbatas, dan zona lain sesuai dengan

peruntukan kawasan.

Page 11: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

10

Berdasarkan PERMEN No. 17/2008 maka KKWP3K dapat dikategorikan

menjadi Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KKP3K),

Kawasan Konservasi Maritim (KKM), Kawasan Konservasi Perairan (KKP) dan

Sempadan Pantai. Untuk KKP dan Sempadan Pantai telah diatur dalam

PERMEN N0. 60/2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan yang

dimandatkan oleh Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.

2.2. Proses Pengelolaan KKWP3K

Ruang lingkup proses pengelolaan KKWP3K mencakup 3 (tiga) tahapan,

yakni: perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring dan evaluasi.

2.2.1. Perencanaan

Perencanaan merupakan tahap awal dalam pengelolaan KKWP3K

yang harus dilakukan sebelum melaksanakan suatu kegiatan tertentu. Jenis

kegiatan yang termasuk dalam tahap perencanaan adalah survei, analisis

data dan penyusunan rencana kegiatan.

Kegiatan survei bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi

tentang kondisi biofisik, sosial-budaya dan sosial-ekonomi di lokasi tilik

dengan cara mengumpulkan data sekunder/literatur dari berbagai instansi

terkait dan data primer (sampel) dari lokasi pengamatan. Dari kegiatan ini

diharapkan data biofisik, sosial-budaya dan sosial-ekonomi yang diperlukan

dapat terakomodasi, sehingga data tersebut dapat digunakan untuk

penyusunan suatu perencanaan pengelolaan KKWP3K.

2.2.2. Pelaksanaan

Pelaksanaan pengelolaan KKWP3K yang dimaksud disini adalah

implementasi dari perencanaan pengelolaan KKWP3K yang dilaksanakan

secara sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keberlanjutan

pendayagunaan KKWP3K.

Page 12: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

11

Dalam pelaksanaan pengelolaan KKWP3K harus mengacu pada

perencanaan yang telah disusun baik oleh pelaksana di tingkat pusat

maupun daerah sesuai kewenangannya.

2.2.3. Monitoring dan Evaluasi

Dalam pelaksanaan pengelolaan KKWP3K, monitoring meliputi

kegiatan pengawasan dan pengendalian, sedangkan evaluasi merupakan

proses pengukuran kinerja yang seharusnya dicapai sesuai dengan

perencanaan program yang telah ditetapkan.

Monitoring yang dimaksud disini adalah suatu kegiatan yang

dilakukan secara berulang dan terus menerus untuk mengawasi atau

memantau proses dan perkembangan pelaksanaan program pengelolaan

KKWP3K. Secara khusus monitoring dilakukan untuk mengetahui kesesuaian

antara perencanaan dan pelaksanaan program. Bila terjadi

ketidaksesuaian, maka informasi tersebut dapat segera digunakan sebagai

masukan dalam pengambilan keputusan. Informasi dan kesimpulan hasil

monitoring diharapkan dapat digunakan untuk mengambil keputusan

tentang apa yang perlu dilakukan untuk membuat agar program berhasil

seperti yang diharapkan.

Pengendalian yang dimaksud disini adalah proses untuk menjamin

tertib pelaksanaan program pengelolaan KKWP3K yang meliputi tertib

pelaporan, sumberdaya manusia yang tepat, informasi yang benar dan

aktual serta tepat waktu, yang dilaksanakan oleh internal dari pelaksana

program.

Pengawasan yang dimaksud disini adalah proses pengamatan dari

pelaksanaan seluruh program pengelolaan KKWP3K untuk menjamin agar

semua pekerjaan yang dilaksanakan sesuai dengan rencana yang ditetapkan

sebelumnya, sehingga efisiensi dan efektifitas dapat tercapai yang

dilaksanakan oleh internal maupun eksternal dari pelaksana program.

Evaluasi yang dimaksud disini adalah suatu proses sistematis dalam

mengumpulkan, menganalisis, dan menginterprestasikan informasi untuk

Page 13: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

12

mengetahui tingkat keberhasilan pelaksanaan program sesuai dengan

kriteria tertentu untuk mengambil keputusan dalam pengembangan

program pengelolaan KKWP3K. Selanjutnya hasil evaluasi diharapkan dapat

digunakan dalam menilai keberhasilan program dan dipakai sebagai dasar

untuk menentukan kelanjutan program atau pengembangan program yang

lain. Informasi dan kesimpulan hasil evaluasi diharapkan dapat digunakan

untuk mengambil keputusan tentang program secara utuh, mulai dari

kesesuaian kebutuhan masyarakat dan tuntutan masa depan (konteks,

input, proses, output yang ditargetkan maupun outcome yang diharapkan).

Evaluasi dapat dibedakan menjadi tiga tahap yaitu:

- Pra Evaluasi, yaitu evaluasi yang dilakukan pada saat program belum

berjalan/beroperasi pada tahap perencanaan. Evaluasi pada tahap ini

lebih difokuskan pada masalah-masalah persiapan dari suatu program

atau didasarkan pada hasil-hasil pelaksanaan program sebelumnya, yang

secara substansial memiliki keterkaitan dengan program yang akan

dilaksanakan.

- Evaluasi pada saat program telah berjalan, yaitu evaluasi yang lebih

difokuskan pada penilaian dari setiap hasil program yang sudah

dilaksanakan, walaupun belum bisa dilakukan penilaian terhadap

keseluruhan proses pelaksanaan program. Dalam pelaksanaannya

evaluasi ini berbentuk evaluasi terhadap laporan triwulan, semester

atau tahunan.

- Evaluasi setelah program dilaksanakan, yaitu evaluasi yang dilakukan

terhadap seluruh tahapan program yang dikaitkan dengan tingkat

keberhasilannya sesuai dengan indikator yang ditetapkan dalam rumusan

sasaran atau tujuan program. Evaluasi ini lebih ditekankan pada

dampak program (outcome).

Agar dalam pengelolaan KKWP3K tersebut dapat mencapai tujuan dan

sasaran sesuai dengan yang telah direncanakan, serta akan menjadi

pembelajaran untuk perbaikan ke depan apabila mengalami kegagalan,

maka monitoring dan evaluasi yang dilakukan bukan hanya kepada hasil

akhir pelaksanaan program tersebut tetapi juga dilakukan monitoring dan

Page 14: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

13

evaluasi yang berorientasi kepada keberhasilan dan kegagalan di dalam

pengelolaan KKWP3K tersebut.

2.3. Mekanisme Pengelolaan KKWP3K

Paradigma pengelolaan kawasan konservasi yang lebih menitikberatkan

pada aspek ekologi semata, tanpa memperhatikan kepentingan sosial

ekonomi masyarakat di sekitarnya menghasilkan kebijakan pengelolaan

kawasan konservasi yang salah arah (misleading policy). Hal ini dikarenakan

pengelolaan kawasan konservasi yang sentralistik dengan perencanaan dan

keputusan-keputusan yang bersifat topdown, akan berakibat pada nilai dan

kepentingan dari pengelolaan kawasan konservasi yang tidak searah dengan

nilai dan kepentingan masyarakat di sekitar kawasan tersebut. Implikasi

dari kondisi ini adalah terjadinya ketidakstabilan yang ditandai dengan

terjadinya konflik kepentingan antara pengelola kawasan dengan pemangku

kepentingan (stakeholder) lainnya, terutama komunitas-komunitas lokal

yang berada di sekitar kawasan tersebut.

Menyadari akan kondisi terulangnya konflik yang berpeluang terjadi

dalam pengelolaan kawasan konservasi, khususnya kawasan konservasi di

wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (KKWP3K), maka Kementerian

Perikanan dan Kelautan yang memiliki amanah dalam pengelolaan

KKWP3K, membuka peluang pengelolaan berbasis ‘kemitraan’. Pengelolaan

berbasis kemitraan sebagaimana tertuang dalam pasal 18 Peraturan

Pemerintah No. 60 Tahun 2007, bahwa Pemerintah atau Pemerintah

Daerah dalam mengelola Kawasan Konservasi Perairan (KKP) dapat

melibatkan masyarakat melalui kemitraan antara unit organisasi pengelola

dengan kelompok masyarakat dan/atau masyarakat adat, lembaga swadaya

masyarakat, korporasi, lembaga penelitian, maupun perguruan tinggi.

Berdasarkan ketentuan ini terbuka peluang bagi para pemangku

kepentingan (stakeholders) terkait selain pemerintah atau pemeritah

daerah terlibat dalam upaya pengelolaan suatu KKP ke arah yag lebih baik.

Page 15: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

14

Pada prinsipnya pendekatan pengelolaan KKWP3K hendaknya dilakukan

secara terpadu, dengan mekanisme keterpaduannya berada pada tataran

kelembagaan (institution) yang mencakup keterpaduan sektor (atau Satuan

Kerja Perangkat Daerah/SKPD) baik secara horizontal pada tingkatan

pemerintah kabupaten/kota ataupun antar wilayah administrasi tetangga,

maupun secara vertikal pada tingkatan pemerintah dan pemerintah provinsi

dan/atau pemerintah kabupaten/kota, serta keterpaduan pemangku

kepentingan seperti dunia usaha, lembaga pendidikan tinggi, lembaga

penelitian, lembaga swadaya masyarakat/Non-Government Organization

(LSM/NGO) dan masyarakat. Kelembagaan secara teoritis dan dimaksudkan

di sini tidak semata-mata terkait dengan aspek fisiknya saja (atau yang

lebih kita kenal sebagai organisasi atau kelompok beserta strukturnya),

tetapi juga yang bersifat abstrak, seperti peraturan, mekanisme dan tata

hubungan kerja antar organisasi/kelompok yang terlibat. Hanya dengan

kelembagaan (dalam arti keseluruhan) yang baik, maka tata kelola KKWP3K

yang baik (good governance) mampu untuk diwujudkan.

Seyogyanya kelembagaan pengelolaan KKWP3K secara terpadu

dirancang dan dikembangkan sesuai dengan kepentingan dan kebutuhannya

serta bersifat komprehensif (berkaitan dengan keseluruhan aspek kelola,

baik kawasan, usaha, maupun sumberdaya manusia) dan adaptif (mampu

menyesuaikan dengan dinamika yang ada).

Page 16: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

15

III. KEMITRAAN DALAM PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI

DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

3.1. Konsepsi dan Kelembagaan Kemitraan Dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Konsepsi kemitraan dalam pengelolaan kawasan konservasi di wilayah

pesisir dan pulau-pulau kecil (KKWP3K) haruslah dirumuskan dengan

melibatkan setiap unsur pemangku kepentingan (stakeholder). Para

pemangku kepentingan, khususnya unsur masyarakat harus mengetahui

benar tujuan dan manfaat dari pengelolaan KKWP3K, sehingga diharapkan

masyarakat akan sadar dengan sendirinya terhadap pentingnya pengelolaan

KKWP3K. Pengelolaan KKWP3K yang melibatkan masyarakat pada

hakikatnya tidak terlepas dari pengembangan kelembagaan masyarakat

yang merupakan suatu sistem organisasi dan kontrol terhadap proses

pengelolaan. Dipandang dari sudut individu, kelembagaan merupakan

gugus kesempatan bagi individu dan/atau kelompok individu dalam

membuat keputusan dan melaksanakan aktivitasnya. Pengelolaan KKWP3K

berbeda untuk tiap lokasi mengingat perbedaan situasi dan kondisi

sumberdaya manusia yang ada.

Kemitraan yang dikonsepsikan sebagai co-management dalam IUCN

(1996) dimaknai bahwa pemerintah, masyarakat lokal dan pengguna

sumberdaya, LSM dan pemangku kepentingan lainnya bernegosiasi dengan

pemegang otoritas dalam pengelolaan kawasan atau sumberdaya tertentu.

Dengan esensi yang sama The World Bank (1999) mendefinisikan co-

management sebagai pembagian tanggungjawab, hak, dan tugas antara

pemangku kepentingan utama, khususnya masyarakat lokal dan

pemerintah; sebuah pendekatan desentralisasi dalam proses pengambilan

keputusan yang melibatkan pengguna lokal yang setara dengan

pemerintah. Secara lebih ringkas, pengertian co-management menurut

Pomeroy (2003) adalah pembagian tanggungjawab dan otoritas dalam

pengelolaan sumberdaya antara pemerintah dan pemangku kepentingan.

Page 17: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

16

Dengan demikian, konsep co-management dalam pengelolaan

KKWP3K dapat dimaknai sebagai ‘kemitraan’ dalam pengelolaan KKWP3K,

yakni pengelolaan yang partisipatif, dimana proses dan mekanisme

pengelolaan melibatkan para pemangku kepentingan (pemerintah,

perguruan tinggi, dunia usaha, LSM, dan masyarakat lokal).

Berdasarkan pengertian ‘kemitraan’ sebagaimana disebutkan di atas,

maka kemitraan dalam pengelolaan KKWP3K hendaknya memiliki beberapa

prinsip dasar, yakni: 1) pemberdayaan dan pembangunan kapasitas, 2)

pengakuan terhadap kearifan dan pengelolaan tradisional, 3) perbaikan hak

masyarakat lokal, 4) pembangunan berkelanjutan, 5) akuntabel dan

transparan, 6) pelestarian lingkungan dan sumberdaya, 7) pengembangan

mata pencaharian, 8) keadilan, dan 9) keterpaduan (Knight & Tighe 2003).

Gagasan dasar dari Acheson (1989) dapat pula dijadikan acuan

mengapa pengelolaan KKWP3K membutuhkan pengelolaan yang berbasis

kemitraan. Menurut Acheson konsep pengelolaan sumberdaya publik,

seperti halnya KKWP3K menunjukkan kombinasi derajat intensitas

keterlibatan pemerintah di satu pihak dan masyarakat di pihak lain serta

dampak yang ditimbulkan.

Atas dasar kombinasi tersebut, dihasilkan 4 alternatif pola

pengelolaan sumberdaya alam sebagai berikut:

Pertama, apabila masyarakat lokal dan pemerintah bersama-sama tidak

melakukan kontrol secara intensif terhadap pengelolaan sumberdaya, akan

menjadikan sumberdaya tersebut didayagunakan secara terbuka,

sebagaimana halnya suatu sumberdaya terbuka (open access), seperti

sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil. Dalam pola pengelolaan yang

tidak jelas pengelolanya justru akan mengundang terjadinya the tragedy of

the common yang berujung pada pemusnahan sumberdaya tersebut, karena

adanya pemanfaatan yang berlebihan oleh manusia melampaui daya

dukungnya.

Page 18: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

17

Kedua, apabila pemerintah melakukan kontrol mutlak terhadap

pengelolaan sumberdaya, maka akan menghasilkan pola pengelolaan

berbasis pemerintah (state-based management). Pola inilah yang selama ini

berlangsung di Indonesia. Dalam pola ini, peranan masyarakat

dikesampingkan, kalau pun ada hanya bersifat simbolik sehingga

masyarakat kehilangan rasa memiliki dan rasa bertanggung-jawab. Padahal

masyarakat juga memiliki kapasitas tertentu dalam mengelola sumberdaya.

Karena itu, masyarakat merasa tidak mempunyai kepentingan membantu

pemerintah melakukan upaya-upaya pemeliharaan sumberdaya, disamping

itu pemerintah juga mempunyai keterbatasan kapasitas mengelola. Pada

akhirnya, pola ini akan terjebak pada pola pertama.

Ketiga, apabila masyarakat melakukan kontrol sepenuhnya terhadap

pengelolaan sumberdaya, maka akan menghasilkan pola pengelolaan

berbasis masyarakat (community-based management). Masyarakat itu

sendiri sebenarnya terdiri dari fragmen-fragmen yang cukup luas, ada

masyarakat pengguna dan ada masyarakat di luar pengguna. Ketika

masyarakat pengguna melakukan tindakan pengelolaan yang arif bijaksana,

seringkali terdapat gangguan dari masyarakat lain di luar teritorialnya.

Jika intensitas gangguan itu meningkat, masyarakat pengguna tidak mampu

lagi menanggulanginya secara berdikari serta ditambah dengan tidak

adanya dukungan kebijakan dari pemerintah. Pada akhirnya pola ini pun

akan kembali terperangkap pada pola pertama.

Keempat, apabila kontrol pemerintah dan masyarakat sangat besar dan

dalam posisi yang setara dan seimbang dalam proses pengambilan

keputusan, maka akan menghasilkan pola kemitraan dalam pengelolaan.

Secara empirik, inilah pola pengelolaan yang ideal. Kemitraan merupakan

pilihan pola pengelolaan kawasan konservasi yang paling rasional. Pilihan

ini akan menciptakan perimbangan kontrol masyarakat dan pemerintah

terhadap sumberdaya kawasan konservasi, yang memungkinkan kawasan

konservasi tidak terdegradasi menjadi suatu sumberdaya terbuka.

Page 19: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

18

Dalam konteks pengelolaan KKWP3K di Indonesia, penerapan

kemitraan pengelolaan menjadi relevan sebab dari sisi pemerintah saja

terdapat 3 (tiga) lembaga yang memiliki otoritas dalam pengelolaan

kawasan konservasi, yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan,

Kementerian Kehutanan, dan Pemerintah Daerah. Sementara dari sisi

pemangku kepentingan (stakeholder) terdapat berbagai kelompok

masyarakat, LSM, perguruan tinggi, korporasi, dan organisasi lainnya.

Relevansi kemitraan semakin kuat dengan adanya mandat dari PP

No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan untuk menyusun

Peraturan Menteri (PerMen) tentang kemitraan dalam pengelolaan Kawasan

Konservasi Perairan (KKP). Kemitraan sebagaimana tercantum dalam pasal

18 dari PP 60 Tahun 2007: ‘Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai

kewenangannya dalam mengelola kawasan konservasi perairan dapat

melibatkan masyarakat melalui kemitraan antara unit organisasi pengelola

dengan kelompok masyarakat dan/atau masyarakat adat, lembaga swadaya

masyarakat, korporasi, lembaga penelitian, maupun perguruan tinggi’.

PerMen tersebut nantinya akan menjadi acuan bagi unit pengelola,

baik yang berada dibawah Pemerintah maupun Pemerintah Daerah dalam

menjalankan kemitraan. Setiap KKP memang harus memiliki Unit Pengelola

yang bertanggungjawab terhadap pengelolaan sumberdaya kawasan,

termasuk pemberdayaan masyarakat. Akan tetapi, PerMen ini hanya

mengikat bagi KKP yang dikelola oleh Pemerintah Daerah dan Kementerian

Kelautan dan Perikanan (KemenKP), karena rujukan regulasinya adalah

PerMen yang dikeluarkan oleh KemenKP.

Kemitraan dalam Pengelolaan KKWP3K menjadi sangat penting,

terutama dengan masyarakat, karena dengan kemitraan juga akan

diperhatikan konteks sosial dan ekonomi masyarakat dalam pengelolaan

KKWP3K. Kita tidak dapat dengan serta merta, meminta masyarakat dan

juga pemangku kepentingan lainnya untuk mendukung pendekatan

pengelolaan KKWP3K berbasis kemitraan tanpa adanya pemberdayaan

Page 20: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

19

(empowerment) dan penguatan kapasitas (capacity strengthening) serta

memberikan contoh implementasinya. Pembelajaran dari berbagai

program yang berasal dari Pemerintah tidak terjalankan dengan baik di

daerah, karena persepsi yang berkembang bukan hanya program tersebut

seharusnya menjadi tanggung jawab Pusat, tetapi setiap desentralisasi

perlu disertai dengan dukungan finansial. Begitu pula program-program

yang melibatkan masyarakat seringkali hanya akan berhasil jika masyarakat

sudah merasakan manfaatnya (it pays). Hal ini bermakna kemitraan dalam

pengelolaan KKWP3K menjadi urgen bagi keberlanjutan KKWP3K bagi

generasi mendatang.

Kemitraan pengelolaan KKWP3K merupakan pengelolaan dengan

salah satu tataran kemitraannya berada pada tataran kelembagaan

(institution) yang mencakup kemitraan sektor (atau Satuan Kerja Perangkat

Daerah/SKPD) maupun pemangku kepentingan, seperti dunia usaha,

lembaga pendidikan tinggi, lembaga penelitian, lembaga swadaya

masyarakat/Non-Government Organization (LSM/NGO) dan masyarakat.

Pada prinsipnya kelembagaan pengelolaan KKWP3K berbasis

kemitraan seyogyanya dirancang dan dikembangkan sesuai dengan

kepentingan dan kebutuhannya serta bersifat komprehensif (berkaitan

dengan keseluruhan aspek kelola, baik kawasan, usaha, maupun

sumberdaya manusia) dan adaptif (mampu menyesuaikan dengan dinamika

yang ada).

Dalam upaya mewujudkan keterpaduan kelembagaan kemitraan

dalam pengelolaan KKWP3K, diperlukan mekanisme kerja yang didasarkan

pada 3 (tiga) pendekatan, yakni:

(1). Kerjasama

Secara fungsional dan berbasis kemitraan, berbagai pemangku

kepentingan terutama perguruan tinggi dan atau lembaga penelitian,

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) baik nasional maupun internasional

pihak swasta, perlu menjalin kerjasama dengan pemerintah dan

Page 21: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

20

pemerintah daerah khususnya dalam tata kelola dan pendanaan program-

program pengelolaan KKWP3K.

(2). Koordinasi

Selain bekerjasama dengan para pemangku kepentingan, setiap

sektor baik secara horizontal (antar kementrian atau dinas/SKPD terkait)

maupun secara vertikal (antara pemerintah dan pemerintah daerah), perlu

melakukan koordinasi secara fungsional dan implementatif dalam

pengelolaan KKWP3K.

(3). Konsultasi

Proses konsultasi merupakan mekanisme keterpaduan yang sangat

penting dalam upaya optimalisasi pengelolaan KKWP3K. Proses ini perlu

dilakukan secara terus menerus, transparan dan efektif dengan para

pakar/akademia, legislatif di pusat dan daerah, dan masyarakat.

3.2. Pembelajaran Kemitraan Dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

3.2.1 Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Raja Ampat

Sekilas Tentang KKP Raja Ampat

Raja Ampat merupakan kabupaten bahari dengan luas laut sebesar

87% dan luas daratan hanya sebesar 13%. Kabupaten ini dikenal memiliki

keanekaragaman hayati dan keunikan sumberdaya pesisir dan laut yang

tinggi, setidaknya ditemukan 1.318 jenis ikan karang, 533 jenis karang

keras dan 699 jenis moluska. Dari serangkaian hasil survey yang dilakukan

para ahli kelautan, dinyatakan bahwa kepulauan Raja Ampat memiliki

tingkat keanekaragaman hayati yang tertinggi di dunia.

Untuk menjamin kelestarian sumberdaya pesisir dan laut Raja

Ampat, potensi serta manfaatnya dalam jangka panjang, Kementerian

Page 22: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

21

Kelautan dan Perikanan, Pemerintah Kabupaten Raja Ampat serta

masyarakat setempat dengan dukungan program Coremap II, Conservation

International (CI) dan The Nature Conservancy (TNC) membentuk sejumlah

Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Raja Ampat sebagai upaya pelestarian

dan pengelolaan sumberdaya laut (Gambar 1). Di kabupaten ini terdapat 3

(tiga) bentuk KKP. Pertama, Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN)

yang terdiri dari Suaka Alam Perairan (SAP) Raja Ampat dan SAP Waigeo

Barat. Kedua, Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) yang terdiri dari

5 KKPD yaitu: Ayau-Asia, Teluk Mayalibit, Selat Dampier, Kofiau-Boo dan

Misool Timur Selatan. Jenis KKPD ini belum ditetapkan secara formal.

Ketiga, Daerah Perlindungan Laut (DPL) yang dibentuk di sejumlah kampung

sebanyak 23 DPL..

Ketiga bentuk KKP diatas membentuk sebuah jejaring KKP karena

adanya keterkaitan biofisik antara satu dengan lainnya. Hasil beberapa

studi menunjukkan adanya hubungan dari aspek penyebaran larva ikan dari

satu KKP sebagai tempat pemijahan dengan KKP lainnya sebagai tempat

pembesaran. Studi lainnya menunjukkan adanya hubungan antara tempat

bertelur penyu di satu KKP dengan tempat makan penyu di KKP lainnya.

Proses pembentukan DPL diawali melalui sosialisasi oleh community

facilitator (CF). Dalam proses sosialisasi, baik secara formal dan non

formal, dilakukan pendidikan lingkungan hidup (PLH) pada semua unsur

yang ada dimasyarakat mulai dari anak-anak sampai orang tua mengenai

manfaat terumbu karang bagi kehidupan manusia. Hal ini penting sebagai

langkah awal dalam pembentukan DPL, dimana seluruh masyarakat harus

paham dan mengerti mengenai tujuan dan manfaat DPL.

Pemilihan lokasi DPL di Raja Ampat unik terutama mengenai lokasi

dan jarak lokasi DPL. Hal ini disebabkan adanya faktor adat dan

kepemilikan marga yang kuat. Ada lokasi DPL yang jaraknya jauh dari suatu

kampung dan secara administrasi sudah masuk dalam wilayah kampung lain,

namun karena faktor adat dan kepemilikan marga, lokasi tersebut tetap

dipilih menjadi lokasi DPL berdasarkan persetujuan dan ijin marga pemilik

lokasi terumbu karang. Setiap lokasi DPL yang sudah ditetapkan,

Page 23: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

22

diresmikan secara adat dan keagamaan dalam bentuk sasi. Ini dilakukan

guna menghindari pelanggaran di daerah DPL. Barangsiapa yang melakukan

pelanggaran di DPL akan mendapat hukum adat. Berbeda dengan sasi pada

umumnya yang sifatnya bisa dibuka dan dimanfaatkan pada waktu-waktu

tertentu, sasi di DPL Raja Ampat sifatnya permanen dan dilengkapi dengan

tanda batas permanen juga. Selanjutnya DPL diperkuat dengan peraturan

kampung yang isinya digali dari masyarakat dan disahkan oleh semua unsur

yang ada dimasyarakat (Coremap II,2010)

Dalam perkembanganya, DPL-DPL Raja Ampat kemudian menjadi

bagian dari KKPD Selat Dampier dan SAP Raja Ampat karena terletak

didalam kedua KKP tersebut. Dalam proses penzonasian, DPL yang terdapat

didalam SAP Raja Ampat dimasukkan kedalam zona pemanfaatan, sub zona

pemanfaatan masyarakat. DPL yang terdapat didalam KKPD Selat Dampier

dimasukkan kedalam zona pemanfaatan terbatas, sub zona ketahanan

pangan dan pariwisata. Prinsipnya kedua zona ini khusus dikelola oleh

masyarakat yang telah memiliki DPL di masing-masing kampung. Kegiatan-

kegiatan didalam zona ini disesuaikan dengan tujuan pembentukan DPL,

yaitu DPL sebagai kawasan larang ambil (no take zone) namun dapat

dimanfaatkan untuk tujuan wisata menyelam atau snorkeling.

Page 24: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

23

Gambar 1. Sebaran Kawasan Konservasi Perairan Raja Ampat

Kronologi Pembentukan KKP Raja Ampat

Pemerintah Daerah Raja Ampat bersama Kementerian Kelautan dan

Perikanan, Conservation International (CI) dan The Nature Conservancy

(TNC) secara bersama mendorong pembentukan 6 KKPD Raja Ampat.

Proses pembentukan ini dimulai dari kajian ekologi laut dan sosial oleh

Coremap I dan P2O-LIPI, CI dan TNC pada tahun 2001 sampai 2004. Kajian

tersebut menghasilkan informasi tentang potensi sumberdaya laut terutama

terumbu karang dan ekosistemnya di Raja Ampat.

Pembentukan SAP Raja Ampat dan SAP Waigeo Barat dimulai dari

adanya penyerahterimaan pengelolaan 8 kawasan suaka alam (KSA) dan

kawasan pelestarian alam (KPA) yang dikelola Kementerian Kehutanan

kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan pada 4 Maret 2009 dengan

Berita Acara No. BA.01/Menhut-IV/2009 dan No. BA.108/MEN.KP /III/2009.

Page 25: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

24

Kedelapan KSA dan KPA tersebut adalah Cagar Alam Laut Banda, Cagar

Alam Laut Kepulauan Aru Bagian Tenggara, Suaka Margasatwa Laut Raja

Ampat, Taman Wisata Air Gili Ayer, Gili Meno dan Gili Trawangan, Taman

Wisata Alam Kapoposang, Taman Wisata Alam Padaido, Suaka Margasatwa

Waigeo dan Taman Wisata Alam Pulau Pieh.

Menindak lanjuti penyerahan kedua SAP tersebut, Menteri Kelautan

dan Perikanan mengeluarkan Surat Keputusan No. 64 Tahun 2009 tentang

Penetapan KKPN Raja Ampat dan Laut sekitarnya serta Surat Keputusan No.

65 Tahun 2009 tentang Penetapan KKPN Kepulauan Waigeo Sebelah Barat

dan Laut sekitarnya. Dalam kedua SK tersebut dinyatakan bahwa kedua

KKPN ini ditetapkan sebagai Suaka Alam Peraiaran (SAP) Raja Ampat dan

SAP Kepulauan Waigeo Sebelah Barat. Selain itu juga disebutkan bahwa

penetapan ini perlu ditindaklanjuti dengan pengumuman dan sosialisasi

kepada masyarakat serta penataan batas.

Kerjasama Pemerintah Daerah Raja Ampat, Kementerian Kelautan

dan Perikanan, Coremap II Raja Ampat, CI, TNC dan partisipasi masyarakat

merupakan dukungan dalam membangun KKP Raja Ampat. Adanya inisiatif

kerjasama dari berbagai lembaga diatas dapat mendorong pengelolaan KKP

Raja Ampat sebagai sebuah jejaring menjadi sinergis dan efektif.

Namun demikian terdapat sejumlah tantangan dalam membangun

pengelolaan KKP Raja Ampat baik sebagai individu KKP maupun sebagai

sebuah jejaring KKP. Konservasi sumberdaya laut dalam bentuk KKP relatif

baru di Indonesia sejak dikeluarkannya UU 31 Tahun 2004 dan PP No. 60

Tahun 2007 serta UU No 27 Tahun 2007 dengan beberapa peraturan

pelaksanaannya berupa Peraturan Menteri sejak tahun 2008. Untuk itu

diperlukan kerjasama semua pihak untuk mewujudkan pengelolaan sebuah

KKP yang efektif dilapangan baik sebagai individu KKP maupun sebagai

sebuah jejaring KKP.

Hal sama juga diperlukan dalam membangun dan mengelola 2 KKPN,

5 KKPD dan 23 DPL di Raja Ampat baik sebagai individu KKP maupun sebagai

sebuah jejaring KKP. Aspek-aspek yang perlu dibangun secara bersama

oleh berbagai pihak dalam mewujudkan pengelolaan jejaring KKP Raja

Page 26: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

25

Ampat yang efektif mencakup kelembagaan pengelolaan dan kapasitas SDM-

nya, kelembagaan kemitraan, peningkatan kapasitas SDM para pihak,

rencana pengelolaan dan zonasi, sarana dan prasarana pengelolaan

kawasan, pemanfaatan kawasan, pengelolaan sumberdaya, pengembangan

ekonomi masyarakat sekitar kawasan, monitoring dan pengawasan, dan

lainnya.

Kemitraan Dalam Pengelolaan KKP Raja Ampat

Dengan dorongan dan dukungan berbagai pihak baik instansi

pemerintah, pemerintah daerah, Swasta maupun LSM, saat ini telah

terbentuk sejumlah LPSTK, LKM, Pokmaswas dan Pokmas disejumlah

kampung dan sebuah UPTD KKPD Raja Ampat serta sebuah UPT untuk

mengelola kedua SAP. Berbagai lembaga pengelola tersebut dengan

tanggung jawab pengelolaan yang jelas dan berbeda sampai saat ini belum

dibentuk kelembagaan kemitraan sebagai wadah koordinasi dalam

membangun dan mengelola jejaring KKP Raja Ampat.

Sebagai sebuah KKPN yang kewenangan pengelolaannya baru

diserahterimakan dari Kementerian Kehutanan ke Kementerian Kelautan

dan Perikanan pada 2009, maka keberadaan unit organisasi pengelola

setingkat UPT sebagai lembaga yang diberi mandat untuk mengelola kedua

SAP tersebut diperlukan dilapangan atau di tingkat kabupaten. Pada saat

ini BKKPN Kupang ditunjuk menjadi lembaga pengelola sementara kedua

SAP tersebut dengan Satker pengelolaan di Raja Ampat. Namun demikian

mengingat lokasi BKPPN Kupang yang sangat jauh dan Satker dengan jumlah

staf yang belum memadai maka penting segera dibentuk agar pengelolaan

kedua SAP dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Pendelegasian

pengelolaan KKPN kepada lembaga yang relatif baru di satu sisi berdampak

terhadap penyesuaian kembali terhadap stakeholders yang telah lama

berkecimpung. Disisi lain keberadaan lembaga pengelola yang baru dapat

berdampak pada adanya paradigma baru pengelolaan kawasan konservasi

ke arah yang lebih baik. Disinilah prinsip-prinsip kemitraan dapat di

rekomposisi ulang ke arah yang lebih baik.

Page 27: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

26

Saat ini UPTD KKPD Raja Ampat telah dibentuk berdasarkan

Peraturan Bupati No. 16 Tahun 2009. UPTD KKPD ini bertugas

melaksanakan sebagian tugas Dinas Kelautan dan Perikanan dibidang

pengelolaan kawasan konservasi perairan daerah Kabupaten Raja Ampat

serta melaksanakan tugas-tugas dekosentrasi dan tugas-tugas lain yang

diberikan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan. Namun demikian personel

yang mengisi struktur organisasi UPTD belum ditunjuk sampai saat ini.

Salah satu kunci keberhasilan pengelolaan sebuah kawasan

konservasi adalah kemampuan dan kapasitas lembaga pengelola dalam

mengelola kawasan. Mengingat UPT SAP Waigeo Barat dan SAP Raja Ampat

belum terbentuk dan personel UPTD KKPD Raja Ampat belum ditunjuk,

kedepan peningkatan kapasitas kedua lembaga pengelola ini sangat penting

sebagai langkah awal dalam membangun lembaga pengelola yang kuat.

Pada tingkat kampung, LPSTK, LKM, Pokmaswas dan Pokmas yang relative

masih baru dibentuk disejumlah kampung, juga perlu ditingkatkan

kapasitasnya dalam berpartisipasi mengelola khususnya kedua SAP dan

KKPD Selat Dampier dimana terdapat sejumlah DPL didalam dan sekitarnya.

Banyak pihak berkepentingan baik di pemerintah, masyarakat dan

swasta terhadap jejaring KKP Raja Ampat dengan persepsi dan kemampuan

yang berbeda-beda. Upaya sosialisasi yang dilakukan belum memberikan

persepsi yang sama dari pihak-pihak kunci diatas terutama mengenai arah

kebijakan pembangunan jejaring KKP Raja Ampat bagi pembangunan

Kabupaten Raja Ampat.

Dari ke-7 KKP yang membentuk jejaring KKP Raja Ampat, 2 KKPN

telah ditetapkan jenisnya oleh Menteri Kelautan dan Perikanan sebagai SAP

pada 2009. Adapun 5 KKPD yang telah dicadangkan oleh Bupati Raja Ampat

pada 2007 sampai saat ini belum ditetapkan. Selain penetapan, status ke-

7 KKP tersebut perlu dipastikan sebagai kawasan lindung dalam dokumen

RTRW Propinsi Papua Barat dan RTRW Kabupaten Raja Ampat yang saat ini

penyusunannya sedang berproses, dan juga sebagai kawasan konservasi

dalam dokumen RZWP3K Propinsi Papua Barat dan RZWP3K Kabupaten Raja

Ampat yang akan disusun nantinya.

Page 28: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

27

Keberlanjutan Kemitraan Dalam Pengelolaan KKP Raja Ampat

Bentuk pemanfaatan KKP Raja Ampat yang berkembang pesat saat

ini adalah pariwisata bahari yang ditandai dengan peningkatan jumlah

wisatawan yang berkunjung, jumlah kedatangan liveaboard dan jumlah

pendapatan dari sistem tarif masuk. Peningkatan pariwisata ini perlu

diikuti dengan peningkatan peran serta masyarakat dalam kegiatan

pariwisata sehingga mereka mendapatkan manfaat. Selain itu pemanfaatan

KKP Raja Ampat untuk kegiatan perikanan belum banyak dikembangkan

baik untuk perekonomian masyarakat maupun pendapatan daerah.

Pendanaan upaya pengembangan perangkat dan kegiatan-kegiatan

pengelolaan yang sudah dan sedang dibangun di jejaring KKP Raja Ampat

sampai saat ini sebagian besar berasal dari dana–dana bantuan yang

disalurkan melalui program Coremap II dan lembaga lingkungan CI dan TNC.

Mengingat adanya keterbatasan waktu dana-dana bantuan seperti diatas

serta besarnya kebutuhan dana untuk pelaksanaan pengelolaan jejaring KKP

Raja Ampat, pendanaan ini perlu diantisipasi sejak awal.

Dengan mengadopsi pengelolaan Kawasan konservasi sebagaimana

Dewan Pengelolaan Taman Nasional Bunaken (DPTNB yang telah memiliki

kekuatan hukum melalui Sk Gubernur Sulawesi Utara maka KKP Raja ampat

telah berinisitif dengan membentuk badan pengelola dengan fokus utama

adalah mengelola tarif masuk (entrance fee) yang dikenakan kepada

wisatawan yang berkunjung ke Raja Ampat.

3.2.2 Taman Wisata Perairan (TWP) Pulau Pieh

Sekilas Tentang TWP Pulau Pieh

Taman Wisata Perairan (TWP) Pulau Pieh dan Laut di Sekitarnya

terletak di Provinsi Sumatera Barat, tepatnya di sebelah Barat wilayah

administratif Kota Padang, Kota Pariaman dan Padang Pariaman. TWP Pulau

Pieh dan Laut di Sekitarnya merupakan habitat penting bagi ekosistem

terumbu karang. Salah satu hal yang kemudian mendasari ditetapkannya

Page 29: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

28

kawasan ini sebagai kawasan konservasi adalah karena keberadaan

ekosistem terumbu karang di dalam perairan kawasan ini. Terumbu karang

yang terdapat di dalam kawasan termasuk jenis terumbu karang tepi

(fringing reef) dan juga ada gosong karang (patch reef) dengan kontur yang

landai sampai curam (drop off). Terumbu karang tepi dalam kawasan ini

tumbuh mengelilingi pulau-pulau kecil yang terdapat di dalam kawasan.

Pulau-pulau kecil ini berjumlah 5 (lima) buah dan kesemuanya tidak

berpenghuni. Pulau-pulau tersebut yaitu Pulau Bando, Pulau Pieh, Pulau

Air, Pulau Pandan, dan Pulau Toran. Berdasarkan posisi geografis kelima

pulau tersebut, maka kawasan TWP Pulau Pieh ini secara administratif

berada dalam wilayah 3 (tiga) kabupaten/kota di Sumatera Barat, yaitu

Kota Pariaman, Kabupaten Padang Pariaman, dan Kota Padang.

Kawasan TWP Pulau Pieh dan Laut di Sekitarnya memiliki potensi

wisata bahari yang cukup baik. Keberadaan pulau-pulau kecil dengan

hamparan pasir putih yang halus dan lembut dapat memanjakan wisatawan,

keasrian vegetasi alam dengan suasananya yang tenang, perairan yang

jernih dan pesona bawah air yang cukup menarik dapat dinikmati para

pecinta snorkeling maupun diving. Potensi wisata tahunan seperti Tabuik di

Pariaman dapat menjadi paket hiburan tersendiri yang dapat dinikmati

pengunjung ketika berwisata ke Kawasan TWP Pulau Pieh dan Laut di

Sekitarnya.

Kronologi Pembentukan TWP Pulau Pieh

Sebelum diselaraskan ke Kementerian Kelautan dan Perikanan,

Taman wisata Pulau Pieh dan Laut sekitarnya merupakan Kawasan

Pelestarian Alam (KPA) dengan fungsi sebagai Taman Wisata Alam Laut

(TWAL) Pulau Pieh, yang pengelolaannya berada di bawah Balai Konservasi

Sumberdaya Alam (BKSDA) Sumatera Barat Kementerian Kehutanan.

Kawasan ini juga merupakan salah satu dari delapan Kawasan Pelestarian

Alam (KPA) dan Kawasan Suaka Alam (KSA) yang diserahterimakan dari

Kementerian Kehutanan ke Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui

Page 30: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

29

berita acara serah terima No: BA.01/Menhut-IV/2009 dan No:

BA.108/MEN.KP/III/2009 pada tanggal 4 Maret 2009.

Tindak lanjut serah terima ini adalah ditetapkannya kawasan ini

sebagai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN) dengan fungsi sebagai

Taman Wisata Perairan (TWP) Pulau Pieh dan Laut di Sekitarnya di Provinsi

Sumatera Barat melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor

KEP. 70/MEN/2009 tanggal 3 September 2009. Kawasan ini terdiri dari

beberapa gugusan pulau-pulau kecil yakni Pulau Bando, Pulau Pieh, Pulau

Toran, Pulau Pandan, dan Pulau Air; termasuk beberapa buah gosong

dengan luas kawasan keseluruhan mencapai 39.900 Ha.

Kemitraan Dalam Pengelolaan TWP Pulau Pieh

Sebagai sebuah kawasan konservasi dengan pengelolaan yang relatif

masih baru, TWP Pulau Pieh dan Laut sekitar sangat membutuhkan

kerjasama dengan stakeholder lainya. Penyerahan kewenangan TWP Pulau

Pieh kepada Kementerian Kelautan Peikanan berdampak terhadap

perubahan konstilasi kerjasama yang telah di bangun oleh instansi

sebelumnya tidak sepenuhnya tertransfer kepada instansi baru.

Loka KKPN Pekanbaru sebagai lembaga yang diamanahkan mengelola TWP

Pulau Pieh dan Laut di Sekitarnya belum bisa melakukan pengelolaan secara

efektif dan efisien akibat masih lemahnya kelembagaan pengelolaannya yang

antara lain disebabkan oleh keterbatasan SDM yang ada, infrastruktur serta sarana

dan prasarana yang masih kurang, belum terjalinnya mekanisme komunikasi dan

koordinasi yang kuat dengan stakeholders terkait baik di pusat maupun di daerah,

serta belum adanya aturan-aturan mengenai pengelolaan kawasan. Namun

demikian di lapangan terlihat bahwa dengan adanya perubahan pengelola

berdampak terhadap semangat baru dan jejaring baru kearah yag lebih

baik. Beberapa lembaga telah berusaha di rangkul dalam mewujudkan

pengelolaan berbasis kemitraan diantaranya adalah Dinas-dinas kelautan

dan Perikanan, Dinas Pariwisata, Bappeda baik di Level Propinsi Maupun

Kabupaten yang berkaitan langsung dengan TWP Pulau Pieh dan Laut

sekitar. Lembaga –lembaga lain juga ikut dilibatkan baik pada saat

Page 31: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

30

perncanaan maupun pada saat pelaksanaan pengelolaan diantaranya adalah

Universitas Bung Hatta, Universitas Andalas, LSM Minang Bahari, Asosiasi

wisata dan berbagai lembaga Sosial kemasyarakaan maupun lembaga adat

yang ada. Operasionalisasi keterlibatan resmi para pihak ini dalam

pengelolaan TWP Pulau Pieh pada saat ini berada pada tahap menunggu

pengesahan Rencana Pengelolaan yang telah disusun secara bersama.

Dalam rencana pengelolaan telah dicantumkan prinsip-prinsip pengelolaan

berbasis kemitraan dengan dicantumkannya kontribusi , peran dan siapa

berbuat apa dalam pengelolaan kedepannya.

Keberlanjutan Kemitraan Dalam Pengelolaan TWP Pulau Pieh

Temuan lapangan mengindikasikan adanya keterbatasan yang di

miliki Loka KKPN Pekanbaru dalam mengelola TWP Pulau Pieh dan Laut

Sekitarnya. Keterbatasan tersebut diantaranya adalah terkait dengan sumberdaya

dan kesenjangan level /eselon dengan instansi yang akan diajak berkoordinasi..

Keterbatasan sumberdaya berdampak terhadap pelaksanaan agenda pengelolaan

tidak dapat berjalan secara optimal. Kesenjangan level atau eselon berdampak

terhadap koordinasi lintas sektoral yang diadakan seringkali tidak membuahkan

hasil yang diharapkan karena kurang berdayagunanya keputusan yang dihasilkan.

Seringkali undangan koordinasi dengan mengharap kehadiran pejabat yang

berwenang untuk hadir, terbentur pada perbedaan eselon yang mencolok

antara pemberi undangan dan penerima undangan. Hal ini berdampak pada

kurang “powerfullnya” keputusan yang dihasilkan.

Penyiasatan yang dilakukan dalam rangka meminimalisasi kendala

tersebut adalah koordinasi yang dilakukan seringkali merupakan koordinasi

informal (fungsional) dengan diskusi bersama dan silaturahmi diantara para

pihak yang terkait. Upaya ini cukup membuahkan hasil sehingga

kesepahaman para pihak akan pengelolaan berbasis kemitraan TWP Pulau

Pieh dan Laut Sekitarnya berpeluang dilaksanakan dengan baik.

Page 32: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

31

3.2.3. Kawasan Strategis Nasional (KSN) Segara Anakan

Sekilas tentang KSN Segara Anakan

Kawasan Segara Anakan merupakan Kawasan Strategis Nasional

berdasarkan PP No 26 Tahun 2008. Penetapan ini sangat logis dikarenakan

Kawasan Segara Anakan memiliki nilai penting bagi keberlanjutan

kehidupan di sekitarnya (Gambar 2). Beberapa nilai penting bagi Kawasan

Segara Anakan diantaranya adalah : 1) Kawasan Segara Anakan merupakan

ekosistem estuari yang memiliki hutan mangrove yang terluas dan

terlengkap di Jawa dengan total luasan 8.495 Ha; 2) Laguna Segara Anakan

berperan sebagai tempat pemijahan, pengasuhan dan tempat mencari

makan bagi berbagai jenis ikan dan udang; 3) Diperkirakan kontribusi

Laguna Segara Anakan terhadap produksi perikanan tangkap sampai US $

8,3 juta (76 Milyar Rupiah) per tahun; dan 4) Segara Anakan sebagai muara

sungai besar dan kecil, seperti sungai Citanduy, Cibeurem dan Cikonde,

secara geografik memiliki peranan penting menjaga keseimbangan ekologis

dan iklim mikro serta hidrologis bagi wilayah setempat dan sekitarnya yang

didukung oleh dua kanal dari arah timur dan barat di sisi Pulau

Nusakambangan, yaitu Plawangan Timur (eastern outlet) dan Plawangan

Barat (western outlet).

Pada tahun 1978 luas permukaan Segara Anakan 4.038 Ha, pada

tahun 1998 berkurang menjadi 1.300 Ha dan tahun 2002 berkurang 600 Ha.

Berdasarkan analisis matematika model yang dilakukan oleh Konsultan

Komponen A, Binnie Blakck & Veatch dapat digambarkan keadaan antara

tahun 1986, 1992 dan tahun 1999 (Studi Penilaian Ekonomi di Sub Das

Citanduy Hulu Jawa Barat dan Sub DAS Segara Anakan Jawa Tengah, Pusat

Studi Institut Pertanian Bogor bekerjasama dengan UNDP, 2005). Jumlah

air di Segara Anakan tahun 1986 ada 29,1 jut m3 pada tahun 1999 menurun

menjadi 19 juta m3, sedangkan di bagian alur barat pada tahun 1986

sebesar 18,1 juta m3 dan tahun 1999 menurun menjadi 10 juta m3. Pada

saat pasang, aliran puncak pasang tahun 1992 sebesar 2000 m3/detik yang

pada tahun 1999 menurun menjadi 1300 m3/detik, sedangkan aliran puncak

Page 33: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

32

surut pada tahun 1992 sebesar 2400 m3/detik dan pada tahun 1999

menurun menjadi 1600 m3/detik. Hal ini sangat mempengaruhi terjadinya

banjir. Pada saat hujan besar maupun pada saat pasang tinggi yang

menyebabkan Jawa Barat dan Jawa Tengah banjir, maka untuk mencapai

keadaan surut sangat lambat karena menurunnya aliran air surut.

Gambar 2. Kawasan Strategis Nasional Segara Anakan

Kondisi sedimentasi di kawasan DAS Citanduy-Laguna Segara Anakan

jumlah angkutan terbesar bersumber dari Sungai Citanduy 5,00 juta m3/th,

langsung kelaut 4,26 juta m3/th, mengendap ke Segara Anakan 0,74 juta

m3/th. Sedimentasi dari sungai Cimeneng dan Cikonde jumlah angkutan

mencapai 0,77 juta m3/th langsung kelaut mencapai 0,51 juta m3/th dan

mengendap di Segara Anakan 0,26 juta m3/th. Dengan kondisi seperti

tersebut diatas maka Kawasan Segara Anakan sangat layak untuk di

selamatkan.

Page 34: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

33

Kronologi Pembentukan KSN Segara Anakan

Perhatian terhadap segara anakan telah di mulai sejak tahu 1934,

yaitu sejak di mulainya kajian-kajian yang dilakukan hingga tahun 1994

sebanyak 12 kajian. Tonggak peningkatan perhatian terhadap Kawasan

Segara Anakan dimulai pada tahun 1995 melalui lokakarya yang

dilaksanakan oleh 4 Kementerian / Departemen (Kementerian Lingkungan

Hidup,Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Dalam Negeri,dan

Departemen Kehakiman) dengan peserta dari ADB,Perguruan Tinggi,Pemda

yang menghasilkan kesepakatan bahwa Laguna Segara Anakan harus

diselamatkan. Sasaran yang akan dicapai adalah mempertahankan luas

badan air laguna seluas 1.800 Ha, hutan mangrove 5.200 Ha, tanah darat

5.000 Ha (total area 12.000 Ha). Berdasarkan Lokakarya tersebut maka

Pada tahun 2006 telah dilakukan Penandatanganan Perjanjian Loan ADB (6

Nov’1996) dengan masa berlaku : Januari 1997 s.d. September 2002 dengan

nama Program SACDP (Segara Anakan Conservation and Development

Project) terdiri dari komponen A, B, dan C .

Program SACDP merupakan program dengan melibatkan banyak pihak

dengan Komponen A adalah Pengelolaan Sumber Daya Air dan Pengendalian

Sedimen yang dilaksanakan Departemen Permukiman dan Prasarana

Wilayah, Komponen B adalah Pembangunan Desa dilaksanakan oleh

Departemen Dalam Negeri dan Komponen C Pengelolaan dan Koordinasi

Proyek oleh Departemen Dalam Negeri. Upaya penyelamatan Segara

anakan pasca Proyek SACDP terfokus pada silang pendapat tentang

penyodetan Citanduy dan upaya mempertahankan perhatian berbagai pihak

dalam menyelamatkan Segara Anakan (Dinas Perikanan Dan Pengelola

Sumberdaya Kawasan Segara Anakan Kabupaten Cilacap, 2011)

Kemitraan Dalam Pengelolaan KSN Segara Anakan

DAS Citanduy merupakan DAS utama bagi kawasan Segara Anakan.

DAS Citanduy merupakan salah satu DAS di Indonesia yang berada dalam

lintas provinsi, Jawa Barat – Jawa Tengah. DAS Citanduy – Laguna Segara

Anakan kurang lebih memiliki luas 447.946,83 Ha. Sebagian besar terletak

Page 35: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

34

di Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Tasikmalaya dibagian hulunya dan

Kabupaten Cilacap dibagian hilirnya. Terdapat 8 wilayah kabupaten dan 2

wilayah kota yang masuk dalam teritorial tumpang tindih dengan DAS

Citanduy. Yaitu Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis, Kabupaten

Garut, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Brebes,

Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Banyumas. Wilayah kota meliputi Kota

Tasikmalaya dan Kota Banjar. Sebagai daerah lintas batas administratif dan

lintas sektoral maka pengelolaan DAS Citanduy dan Segara Anakan

membutuhkan kerjasama dan koordinasi lintas batas administratif dan

lintas sektoral. Oleh karenanya pengelolaan kolaboratif atau pengelolaan

kemitraan menjadi salah satu alternatif dalam pengelolaan Kawasan Segara

Anakan.

Merujuk dari kronologi pengelolaan Kawasan Segara Anakan yang

telah berlangsung, dapat diketahui bahwa upaya ke arah pengelolaan

kolaboratif telah berusaha dilakukan oleh lembaga pengelola dengan

melibatkan berbagai stake holders yang ada. Dinamika pengelolaan

berbasis kemitraan di Kawasan Segara Anakan dapat dilihat berdasarkan

intensitas perhatian instansi terkait melalui program atau proyek yang

dilaksanaan terkait dengan kawasan tersebut. Titik tekan pengelolaan

kemitraan pada Kawasan Segara Anakan lebih didominasi oleh kepentingan

dan pendanaan yang dilakukan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah.

Upaya kearah pelibatan sektor swasta dan lembaga swadaya

masyarakat sudah mulai dirintis dengan memanfaatkan kepedulian mereka

melalui program CSR (Corporate Social Responsibility) maupun lembaga-

lembaga swadaya di tingkat masyarakat yang saat ini mulai digalakkan.

Kemunculan lembaga-lembaga atau kelompok-kelompok sosial yang peduli

dengan permasalah DAS Citandui dan Segara Anakan secara perlahan tetap

dapat mempertahankan isu akan pentingnya penyelamatan Segara Anakan.

Berbagai upaya yang sudah mereka lakukan, seperti penyuluhan-penyuluhan

dan sosialisasi kepada masyarakat lokal. Sebagai upaya penyadaran kembali

mengenai pentingnya konservasi alam (termasuk tanah, air dan vegetasi),

Page 36: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

35

cara-cara tersebut dipandang cukup memberi makna tersendiri bagi

masyarakat lokal.

Beberapa perusahaan besar yang saat ini turut terlibat dalam

penyelamatan segara anakan terutama adalah perusahaan-perusahaan yang

beroperasi di Kabupaten Cilacap diantaranya adalah Pertamina, Semen

Holcim dan perusahaan-perusahaan lainnya.Namun demikian keterlibatan

program maupun pendanaan dari sektor swasta maupun LSM dalam

pengelolaan Segara Anakan masih relatif kecil walaupun sudah terlihat

peningkatannya jika dibandingkan dengan perhatian oleh sektor

pemerintah.

Keberlanjutan Kemitraan Dalam Pengelolaan KSN Segara Anakan

Perluasan epicentrum perhatian penyelamatan Segara Anakan

dengan melibatkan sektor swasta dan lembaga swadaya masyarakat

merupakan langkah tepat yang sedang dilakukan oleh pengelola Segara

Anakan. Pelibatan pihak swasta melalui Program CSR-nya menjadikan

program kemitraan pengelolaan kawasan Segara Anakan akan menuju ke

arah yang lebih baik dengan sedikit demi sedikit mengambil peran

pemerintah dalam penyelamatan Segara Anakan. Pelibatan lembaga

swadaya masyarakat dalam penyelamatan kawasan Segara Anakan perlu

terus digalakkan, disamping isue tentang segara anakan kurang “seksi”

juga karena kurangnya dalam mempertahankan issu pentingnya Segara

Anakan bagi kehidupan.

Fluktuasi perubahan sistem kelembagaan pengelola Segara Anakan

dapat dijadikan sebagai referensi bagi tingkat kepedulian penyelamatan

Segara Anakan. Kepedulian penyelamatan segara anakan yang menyebar

dari semula hanya menjadi urusan pemerintah baik pusat maupun daerah

pada pihak swasta maupun lembaga swadaya masyarakat memberikan

peluang keberlanjutan pengelolaan kawasan segara anakan ke arah lebih

baik, dengan catatan terdapatnya keinginan, itikad dan langkah-langkah

nyata ke arah tersebut.

Page 37: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

36

3.2.4. Kawasan Taman Nasional Laut (KTNL) Wakatobi

Sekilas Tentang KTNL Wakatobi

Kabupaten Wakatobi merupakan salah satu Kabupaten di Indonesia

yang terletak di Provinsi Sulawesi Tenggara. Kabupaten ini unik, karena

seluruh wilayahnya merupakan bagian dari Taman Nasional Wakatobi.

Sebagai daerah kawasan konservasi, Kabupaten Wakatobi memiliki

sumberdaya hayati yang teramat kaya. Setidaknya terdapat delapan

sumberdaya hayati penting yang menjadikan kepulauan Wakatobi di jadikan

sebagai taman nasional di antaranya yaitu: terumbu karang, padang lamun,

mangrove, cetacean, habitat burung pantai, pantai peneluran penyu,

daerah pemijahan ikan dan spesies laut dan pesisir yang memberikan

manfaat ekonomi (Gambar 3).

Kekayaan hayati kepulauan Wakatobi utamanya terdapat pada

ekosistem perairan. Terkait dengan kekayaan ini, diperkirakan salah satu

yang tertinggi di dunia dan merupakan bagian dari ”segitiga karang dunia”

(Coral Triangel) yang terdiri dari Indonesia, Filipina, Papua New Guinea,

Jepang, Australia. Di perkirakan terdapat 750 jenis karang dari 850 karang

di dunia, 942 spesies ikan, 90.000 Ha terumbu karang dan karang atol

terpanjang di dunia sepanjang 48 km terdapat di Wakatobi (operation

Wallacea, 2006). Disamping itu, ekosistem kawasan konservasi perairan

Kabupaten Wakatobi diperkirakan seluas ± 63.720 Ha , tersebar luas mulai

di empat pulau utama (Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko)

sampai pada 35 buah pulau kecil, 3 buah gosong, dan 5 buah atol yang ada

(CRITC Coremap II, 2009). Oleh karena itu wajarlah apabila Kabupaten

Wakatobi mendeklarasikan visi pembangunanya yang menjadikan laut

sebagai tumpuan utamanya dengan sebuah kalimat: “terwujudnya surga

nyata bawah laut di jantung segi tiga karang dunia”.

Seluruh wilayah perairan Kabupaten Wakatobi adalah kawasan

konservasi, yaitu berada dalam kawasan Taman Nasional Wakatobi (TNW).

Disamping itu dalam rangka mendukung upaya konservasi Wilayah Perairan

berbagai lembaga telah melakukan kegiatan di dalamnya termasuk Unit

Page 38: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

37

Pengelola Program (Project Manajement Unit/PMU) Coremap Phase II

Kabupaten Wakatobi. Salah satu program penyadaran masyarakat yang

dikembangkan adalah menyadarkan masyarakat untuk secara aktif

berkontribusi dalam upaya-upaya pelestarian lingkungan. Daerah

Perlindungan Laut (DPL) merupakan salah satu hasil nyata peran serta

masyarakat dalam program-program ini. Setidaknya telah terbentuk 50 DPL

sampai dengan tahun 2010 di 63 desa binaan Coremap II.

Gambar 3. Kawasan Taman Nasional Laut (KTNL) Wakatobi

Lima puluh DPL di Wakatobi merupakan kawasan larang ambil yang

pembentukannya diinisiasi oleh masyarakat Desa setempat dengan

dukungan Coremap II. Ke-50 DPL tersebut telah ditetapkan berdasarkan

Peraturan Desa (Perdes) tentang pengelolaan DPL berbasis masyarakat.

Beberapa DPL merupakan daerah pengelolaan bersama oleh dua sampai

dengan 3 desa. Sampai dengan tahun 2010 secara keseluruhan kontribusi

luasan DPL adalah 592 ha yang keseluruhannya merupakan daerah terumbu

karang. Jika dikonversi terhadap luasan terumbu karang di Kabupaten

Wakatobi maka DPL menyumbangkan sekitar 15,4 % dari total luas terumbu

karang di Kabupaten Wakatobi. Penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL)

Page 39: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

38

sebagai kawasan konservasi laut di desa memegang peran yang sangat

strategis dalam memelihara kawasan laut dangkal dengan ekosistem

terumbu karang yang ada di dalamnya. Secara umum tujuan dari peran

aktif masyarakat dalam pembentukan DPL berdasarkan beberapa peraturan

desa yang ada adalah menghentikan dan/atau menanggulangi pengrusakan

terhadap habitat biota perairan desa; menjamin dan melindungi kondisi

lingkungan dan sumberdaya perairan desa; dan meningkatkan kemampuan

dan kemandirian masyarakat desa dalam menjaga dan memelihara

sumberdaya perairan desa. Keikutsertaan masyarakat dalam Upaya

konservasi merupakan salah Satu langkah dalam upaya pengelolaan berbasis

kemitraan.

Kronologi Pembentukan KTNL Wakatobi

Taman Nasional Wakatobi dikelola oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT)

Taman Nasional Wakatobi di bawah Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan

dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan. Di awal pembentukannya,

Unit Pelaksana Teknis Balai TNW adalah Unit Taman Nasional Kepulauan

Wakatobi setingkat eselon IV.a berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan

No. 185/Kpts-II/1997.

Kemudian berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.6186/Kpts-

II/2002, Unit TNKW sebagai institusi pemerintah setingkat Eselon IVa

ditingkatkan statusnya menjadi Balai TNKW setingkat Eselon IIIa, dipimpin

oleh Kepala Balai yang keberadaannya di bawah dan bertanggung jawab

kepada Direktur Jenderal PHKA dengan tugas ”melaksanakan pengelolaan

ekosistem kawasan taman nasional dalam rangka konservasi sumber daya

alam hayati dan ekosistem berdasarkan peraturan perundangan yang

berlaku”. Kemudian berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No.

P.29/Menhut-II/2006 ditetapkan perubahan nama Taman Nasional

Kepulauan Wakatobi menjadi Taman Nasional Wakatobi.

Dalam perkembangannya, pada tahun 2003 melalui Undang-undang

No. 29 tahun 2003, Kabupaten Wakatobi dibentuk sebagai pemekaran dari

Kabupaten Buton. Letak dan luas kabupaten baru ini sama persis dengan

Page 40: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

39

letak dan luas TN Wakatobi. Oleh karena itu, kemudian dilakukan proses

revisi terhadap zonasi yang telah ada agar dapat mengakomodasikan

kepentingan pengembangan wilayah Kabupaten Wakatobi sebagai daerah

otonom baru tanpa mengurangi tujuan awal penetapan taman nasional.

Berdasarkan surat Keputusan Menteri Kehutanan No. S.723/Menhut-IV/2005

tanggal 30 November 2005 perihal Pengelolaan Taman Nasional Wakatobi,

disebutkan bahwa letak dan luas TNW tidak mengalami perubahan atau

TETAP seperti tercantum dalam Keputusan Menteri Kehutanan No.

7651/Kpts-II/2002 tanggal 19 Agustus 2002, namun untuk mengakomodir

pembangunan Kabupaten Wakatobi maka pulau-pulau utama yang sudah

berpenduduk dijadikan sebagai “zona penyangga” TNW

Melalui Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan

Konservasi Alam Nomor SK. 149/IV-KK/2007 tanggal 23 Juli 2007 tentang

Zonasi Taman Nasional Wakatobi, terjadi perubahan pada zonasi TN

Wakatobi menjadi terdiri dari Zona inti, zona perlindungan bahari, zona

pemanfaatan pariwisata, zona pemanfaatan lokal, zona pemanfaatan umum

dan zona khusus atau daratan.

Kemitraan Dalam Pengelolaan KTNL Wakatobi

Salah satu pembelajaran dalam pengelolaan berbasis kemitraan pada

Taman Nasional Wakatobi adalah pembentukan Kawasan Konservasi

Perairan di dalam Kawasan. Kawasan Konservasi Perairan dibentuk dengan

tujuan untuk melindungi dan melestarikan sumberdaya alam yang ada di

dalamnya serta dikelola untuk mendukung kesejahteraan masyarakat

sekitar, pembangunan daerah dan nasional. Permasalahan pengelolaan di

kawasan konservasi perairan di Wakatobi tidak bisa lepas dari status

kawasan yang secara keseluruhan merupakan taman nasional dan juga

merupakan Wilayah Kabupaten Wakatobi. Disisi lain upaya pengelolaan

kawasan konservasi perairan ini juga melibatkan berbagai pihak yang turut

aktif dalam mempercepat tercapainya tujuan dari di bentuknya kawasan

konservasi. Saat ini telah terjadi upaya pengelolaan secara kolaboratif dan

sinergis antara berbagai pihak di antaranya adalah Balai Taman Nasional

Page 41: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

40

Wakatobi, Pemda Wakatobi, PMU Coremap II Wakatobi, WWF, TNC dan

beberapa lembaga swadaya masyarakat lainnya. Kolaborasi ini turut

meningkatkan kesadaran masyarakat dan mempercepat laju tercapainya

tujuan dari konservasi itu sendiri.

Dengan status DPL yang relatif baru, sejumlah perangkat

pengelolaan melalui kerjasama berbagai pihak baik Pemda Wakatobi, TNW,

Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan DKP, Program Coremap II,

WWF, TNC dan masyarakat sedang dibangun guna mewujudkan pengelolaan

kawasan Perairan yang efektif sehingga mencapai tujuan pembentukannya.

Keberlanjutan Kemitraan Dalam Pengelolaan KTNL

Pengelolaan berbasis kemitraan di Taman Nasional Wakatobi telah

berlangsung cukup harmonis diantara Balai Taman Nasional Wakatobi

sebagai lembaga pengelola Kawasan Konservasi, Pemda Wakatobi sebagai

pemilik daerah administratif dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat

sebagai kolaborator dan akselerator pengelolaan kawasan konservasi.

Program-program yang dilakukan nampak telah padu dan sesuai dengan

arah kedepan kebijakan pengelolaan berbasis kemitraan. Namun demikian

arah pengelolaan berbasis Kemitraan di Wakatobi akan menjadi rentan

apabila tidak terdapatnya kesinambungan kepemimpinan yang peduli

terhadap wakatobi sebagai kawasan Konservasi.

3.2.5. Kawasan Konservasi Mangrove (KKM) Margomulyo, Balikpapan

Sekilas Tentang KKM Margomulyo

Kelurahan Margomulyo merupakan salah satu kelurahan yang

termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Balikpapan Barat, Kota Balikpapan.

Kelurahan Margomulyo berpesisir di Teluk Balikpapan yang didominasi oleh

sumberdaya alam mangrove. Jarak dari Kelurahan Margomulyo ke ibukota

kecamatan sekitar 1 km, dan jarak ke ibukota Balikpapan sekitar 8 km.

Luas wilayah Kelurahan Margomulyo sebesar 184,53 Ha yang sebagian besar

digunakan untuk pemukiman (155,57 Ha).

Page 42: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

41

Kawasan hutan mangrove di Kelurahan Margomulyo memiliki luas

total sebesar 40 Ha, dimana 23,95 Ha dalam kondisi baik dan 16,05 Ha

dalam kondisi rusak. Sementara itu, dari seluruh luas kawasan mangrove di

Kelurahan Margomulyo yang akan dijadikan sebagai kawasan konservasi

seluas 20 Ha.

Terdapat lebih dari 10 jenis mangrove di kawasan konservasi hutan

mangrove Margomulyo, diantaranya yang terlihat dominan yakni Avicennia

alba, A. marina, Sonneratia alba, S. caseolaris, Rhizophora apiculata, dan

R. mucronata. Selain vegetasi mangrove, di dalam kawasan ini juga

terdapat beragam fauna, baik fauna arboreal seperti burung, monyet dan

bekantan, maupun fauna akuatik seperti berbagai jenis ikan (belanak,

blodok dan lain-lain), udang, dan kepiting. Bekantan merupakan fauna

spesifik Pulau Kalimantan dan biasanya ditemukan di KKM Margomulyo

pada sore hari.

Kronologi Pembentukan KKM Margomulyo

Kawasan Konservasi Mangrove (KKM) Margomulyo yang terletak di

kawasan Jalan AMD Tepian, Kelurahan Margomulyo, dibentuk berdasarkan

SK Walikota No. 188.45-155/2004 Tanggal 22 November 2004. KKM

Margomulyo memiliki potensi sumberdaya mangrove yang cukup besar.

Luas hutan mangrove di kawasan ini awalnya sebesar 3,2 Ha yang

diperuntukkan sebagai zona inti, dan diperluas hingga mencapai sekitar 20

Ha yang akan digunakan sebagai zona penyangga dan pemanfaatan

(Gambar 4).

Maksud dan tujuan penetapan KKM Margomulyo adalah sebagai

berikut:

1. Memulihkan ekosistem mangrove yang semakin rusak.

2. Menyeimbangkan lingkungan hidup kawasan tersebut.

3. Merencanakan model pengelolaan mangrove dengan pendekatan

peningkatan ekonomi masyarakat melalui pengembangan ekowisata

mangrove.

Page 43: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

42

4. Pendidikan khusus mangrove melalui generasi muda (siswa) agar

terbentuk wawasan yang sama.

Dari rencana seluas 20 Ha KKM Margomulyo, pengelolaannya akan dibagi

menjadi 3 (tiga) zona, yaitu (Gambar 4): (1) Zona Inti (3,2 Ha), (2) Zona

Penyangga (4,5 Ha) dan (3) Zona Pemanfaatan (12,3 Ha).

(1). Zona Inti

Zona Inti diperuntukkan bagi upaya pelestarian sumber genetik dan

perlindungan proses ekologis. Zona ini merupakan daerah tertutup bagi

segala bentuk eksploitasi, kegiatan pariwisata dan kegiatan lain, kecuali

penelitian. Zona ini penekanan pengelolaannya dikonsentrasikan pada

upaya perlindungan kondisi alamnya yang masih asli dan belum terjamah

oleh tangan manusia. Kegiatan yang boleh dilakukan terbatas dan

mengarah pada kegiatan pendidikan, penelitian dan pengembangan ilmu

pengetahuan, yang tetap harus mengutamakan ramah lingkungan dan

menjamin kelestarian alam.

Page 44: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

43

Gambar 4. Kawasan dan Zonasi Kawasan Konservasi Mangrove (KKM) Margomulyo

(2). Zona Penyangga

Zona Penyangga merupakan kesatuan dengan Zona Inti. Di dalam zona ini

tidak diperkenankan segala bentuk eksploitasi dan kegiatan yang dapat

mengganggu keseimbangan ekosistem, kecuali kegiatan observasi,

penelitian, dan pendidikan. Kegiatan yang dapat dilakukan di zona ini

adalah pemanfaatan secara tidak langsung, yaitu terhadap keberadaan

daya tarik obyek wisata alam yang dapat dikunjungi secara terbatas.

Kegiatan lain yang dapat dilakukan pada zona ini diarahkan pada

kepentingan pendidikan, penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan dan

dapat dimanfaatkan sebagai salah satu unsur penunjang budidaya ramah

lingkungan melalui penelitian. Kegiatan wisata pada zona penyangga

bersifat 'pasif' yaitu hanya bersifat kunjungan dan peninjauan; tidak

melakukan kegiatan lain yang beresiko mengganggu dan merusak

lingkungan.

Page 45: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

44

Zona penyangga merupakan ekosistem alam yang dilindungi, sehingga

diperlukan pemahaman prinsip-prinsip ekologi sebagai dasar pengelolaan

guna mempertahankan kelestarian dari sistem kehidupan di dalamnya.

Dalam rangka mempertahankan kelestarian sistem itu, perlu dipahami

adanya perubahan yang disebabkan oleh dinamika hutan mangrove sebagai

akibat adanya pertumbuhan dan kematian individu-individu secara alami

dan tekanan manusia yang merubah tatanan ekosistem, seperti penebangan

kayu dan perubahan fungsi hutan mangrove untuk tambak, sawah dan

ladang. Oleh karena itu pengelolaannya meliputi upaya:

1. Melindungi dan melestarikan spesies dan ekosistem vegetasi mangrove

dari berbagai kerusakan baik oleh alam maupun oleh manusia.

2. Merehabilitasi ekosistem yang rusak dengan revegetasi mangrove.

(3). Zona Pemanfaatan Terbatas

Zona ini ditujukan untuk mengakomodasikan kepentingan dalam

pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari dalam upaya mendukung

pengembangan sosial-ekonomi dan budaya. Pengembangan dan

pembangunan sarana – prasarana rekreasi dan pariwisata alam dapat

dilakukan pada zona ini. Fasilitas-fasilitas wisata seperti model

pembelajaran tambak wanamina, perahu, pusat informasi, pos jaga, ditata

dan diletakkan pembangunannya berdasarkan tata letak yang disesuaikan

dengan landsekap lapangan, sehingga secara keseluruhan menjadi satu

kesatuan ekologi yang bermanfaat dan menarik minat para wisatawan.

Sistem interpretasi dikembangkan secara tepat, sehingga mampu

menyampaikan pesan-pesan kepada pengunjung untuk melaksanakan

kegiatan-kegiatan konservasi secara tepat.

Kemitraan Dalam Pengelolaan KKM Margomulyo

Kepedulian masyarakat sekitar dan pemangku kepentingan lainnya

terhadap keberadaan KKM Margomulyo sangat besar. Berbagai instansi

pemerintah maupun swasta dan artis ikut berpartisipasi dalam kegiatan

konservasi, utamanya dalam hal penanaman mangrove. Di sini juga

Page 46: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

45

terdapat lembaga pendidikan yang dipercaya untuk mengelola kawasan

konservasi mangrove ini, yakni SMA Negeri 8 Balikpapan (Gambar 5).

Gambar 5. Berbagai Kegiatan Kemitraan dalam Pengelolaan KKM Margomulyo

Hal yang menarik dalam pengelolaan KKM Margomulyo adalah

keterlibatan lembaga pendidikan, SMA Negeri 8 Balikpapan. Sekolah ini

juga dikenal sebagai SMA Negeri 8 Mangrove karena lembaga pendidikan ini

diberikan kepercayaan untuk mengelola KKM ini. Kegiatan yang dilakukan

sekolah ini untuk mendukung upaya konservasi mangrove adalah

dimasukkannya muatan lokal mata pelajaran mangrove dalam kurikulum

sekolah, pencarian bibit, pembuatan persemaian, penanaman dan

pemeliharaan mangrove. Sekolah ini juga telah membentuk relawan

mangrove yang anggotanya berasal dari SMA Negeri 8 sendiri.

Ibu-ibu di Kelurahan Margomulyo juga turut berperan dalam

pemanfaatan buah mangrove. Kegiatan mereka tergabung dalam Kelompok

Usaha Bersama (KUB) Kreasi Mangrove Lestari. Kegiatan yang dilakukan

oleh KUB ini yaitu pengolahan buah mangrove (Avicennia alba) menjadi

berbagai macam makanan, antara lain: bolu, dodol dan keripik (Gambar 6).

Page 47: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

46

Gambar 6. Berbagai Kegiatan Pengolahan Makanan Berbahan Dasar Mangrove

Keberlanjutan Kemitraan Dalam Pengelolaan KKM Margomulyo

Persepsi seseorang dapat positif maupun negatif. Persepsi yang

positif akan menghasilkan bentuk-bentuk peran serta aktif. Dalam

pengelolaan sumberdaya alam untuk tujuan konservasi perlu diketahui

aspirasi masyarakat dan pengetahuan mereka mengenai program tersebut.

Hal ini terkait dengan sikap dan perilaku masyarakat setempat mengenai

keikutsertaan mereka untuk menjaga secara bersama-sama kelestarian KKM

Margomulyo. Pengetahuan mengenai persepsi masyarakat akan

Page 48: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

47

memberikan gambaran tentang cara melihat, kepuasan dan harapan-

harapan yang diinginkan.

Kawasan konservasi mangrove adalah suatu daerah di pesisir yang

ditetapkan untuk melestarikan sumberdaya mangrove. Di daerah tersebut

diatur zona-zona kegiatan yang dapat dan tidak dapat digunakan untuk

menjamin perlindungan sumberdaya mangrove yang lebih baik. Masyarakat

masih diperbolehkan menangkap ikan di kawasan konservasi yang telah

disesuaikan dengan daerah peruntukannya.

Secara umum masyarakat di Margomulyo mendukung dijadikannya

kawasan mangrove menjadi kawasan konservasi mangrove. Mereka

menyadari maksud dan tujuan dilakukannya program ini, dan mereka

berharap bahwa dengan adanya kawasan konservasi mangrove ini akan

melestarikan sumberdaya mangrove dan biota yang terkandung di

dalamnya, serta dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan untuk

kelangsungan kehidupan anak – cucu mereka.

Para pemangku kepentingan, khususnya Pemerintah Kelurahan, SKPD

terkait, LSM, dan SMU Negeri 8 perlu diperkuat kemampuannya dari segi

kualitas maupun kuantitas sumberdaya manusianya, menjadi kelompok

mitra yang terpadu dalam pengelolaan KKM Margomulyo. Kelompok mitra

ini harus mampu bekerjasama dengan masyarakat, untuk melakukan

pengelolaan, pengamanan dan merehabilitasi kawasan-kawasan hutan yang

rusak dalam skala perencanaan yang tepat.

3.3. Permasalahan/Isu Dalam Kemitraan Pengelolaan KKWP3K

Berdasarkan Analisis Kesenjangan (Gap Analysis)

Analisis Kesenjangan (Gap Analysis) merupakan alat analisis yang

digunakan untuk mencari akar permasalahan/isu kemitraan dalam

pengelolaan KKWP3K, kemudian merekomendasikan arah kebijakannya bagi

keberlanjutan kemitraan dalam pengelolaan KKWP3K.

Berdasarkan hasil analisis terhadap informasi yang didapatkan dari tilik

pembelajaran, workshop dan FGD tentang pengelolaan KKWP3K dengan

Page 49: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

48

para pemangku kepentingan, diperoleh 6 (lima) permasalahan/isu yang

terkait dengan kemitraan dalam pengelolaan KKWP3K, yakni:

1. Belum jelasnya persepsi kemitraan

Para pemangku kepentingan belum memahami bentuk, pola dan mekanisme

kemitraan dalam pengelolaan KKWP3K. Masing-masing mempunyai inisiatif

program pengelolaan sendiri, dan belum jelas program bersama yang

berbasis kemitraan.

2. Perencanaan program yang belum sinergis

Perencanaan program pengelolaan KKWP3K sebagai inisiatif pemangku

kepentingan, umumnya belum sinergis dengan perencanaan program yang

disusun oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, sehingga dampak

implentasinya belum efektif menjawab tujuan pengelolaan KKWP3K.

3. Program koordinasi yang belum padu

Salah satu permasalahan utama belum efektif dan optimalnya pengelolaan

KKWP3K dikarenakan belum padunya koordinasi antara Pemerintah dan

Pemerintah Daerah, antar lembaga pemerintahan yang terkait dengan

pengelolaan KKWP3K, juga dengan para pemangku kepentingan lainnya.

Dampaknya terlihat dari adanya tumpang tindih program, sehingga efisiensi

pengelolaan masih tergolong rendah.

4. Belum adanya lembaga kemitraan

Pemerintah dan /atau Pemerintah Daerah masih dominan berperan dalam

pengelolaan KKWP3K, dan belum terlihat peran nyata dari para pemangku

kepentingan lainnya. Hal ini muncul terutama karena belum adanya

kelembagaan kemitraan yang salah satunya berperan untuk memadukan

berbagai program dari pemangku kepentingan dalam pengelolaan KKWP3K.

Page 50: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

49

5. Belum sinergisnya upaya pengembangan kapasitas

Masih terlihat adanya kesenjangan dalam pengembangan Sumberdaya

Manusia (SDM) dan kelembagaan dalam pengelolaan KKWP3K. Beragamnya

kapasitas pemangku kepentingan menjadikan implementasi program-

program pengelolaan KKWP3K kurang berhasil guna, dan seringkali tidak

berkelanjutan. Hal ini dikarenakan kemitraan dalam pengembangan

kapasitas SDM dan kelembagaan belum terajut secara holistik.

6. Keberlanjutan pendanaan yang belum optimal

Pendanaan program-program pengelolaan KKWP3K hingga saat ini masih

lebih banyak didukung oleh anggaran Pemerintah dan berbasis proyek.

Dukungan pendanaan dari pemangku kepentingan lainnya masih belum

signifikan, dan masih bersifat parsial sesuai dengan perencanaan dari setiap

pemangku kepentingan. Belum terlihat adanya keterpaduan pendanaan

berbasis kemitraan dalam perencanaan pengelolaan KKWP3K, sehingga

implementasi program terlihat belum efektif mencapai sasarannya.

Page 51: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

50

IV. REKOMENDASI KEMITRAAN DALAM PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

Pengelolaan Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau

Kecil (KKWP3K) dapat berkelanjutan apabila didukung oleh kelembagaan

berbasis kemitraan yang berperan aktif dalam setiap tahapan proses

pengelolaan KKWP3K, sejak perencanaan, pelaksanaan hingga monitoring

dan evaluasi.

Dari tilik pembelajaran dan permasalahan/isu tentang kemitraan

dalam pengelolaan KKWP3K sebagaimana diuraikan pada sub Bab 3.2 dan

3.3, maka kelembagaan pengelolaan KKWP3K berbasis kemitraan yang

diusulkan seyogyanya berbentuk Badan Pengelola (BP) KKWP3K, dengan

struktur berbentuk Dewan Pengarah (yang memberikan arahan kebijakan

dan program), Sekretariat (yang melakukan tugas manajemen sehari-hari

dan koordinasi umum), Kelompok Kemitraan Terpadu (KKT) (yang

melaksanakan program berbasis isu), dan Komite Pakar (yang memberikan

arahan/petunjuk teknis dan ilmiah). Adapun keanggotaan dan uraian

ringkas mengenai tugas pokok dan fungsi setiap bagian dalam struktur

kelembagaan pengelolaan KKWP3K berbasis kemitraan yang diusulkan

disajikan dalam Gambar 7 dan Tabel 1.

Page 52: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

51

Gambar 7. Usulan Struktur Kelembagaan Pengelolaan KKWP3K

Tabel 1. Tugas Pokok dan Fungsi Setiap Bagian Struktur Kelembagaan

Pengelolaan KKWP3K

Struktur Tugas Pokok dan Fungsi

DEWAN PENGARAH

(Menteri Kelautan dan

Perikanan/Dirjen

KP3K, Gubernur,

Bupati/Walikota)

1. Mengarahkan dan mengesahkan program-

program pengelolaan KKWP3K.

2. Mengupayakan dana bagi pelaksanaan

program-program pengelolaan KKWP3K dari

berbagai sumber.

Struktur Tugas Pokok dan Fungsi

SEKRETARIAT

(UPT/UPTD/SKPD)

1. Memberi dukungan manajemen dan

mengkoordinasikan jalannya BP.

2. Menjalankan tugas keseharian BP.

3. Pengaturan kelancaran kerja BP.

4. Penyebarluasan informasi dan publikasi.

Page 53: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

52

KELOMPOK

KEMITRAAN

TERPADU (KKT)

(Pemerintah,

Pemerintah Daerah,

Dunia Usaha,

LSM/NGO, dan

Masyarakat)

1. Menyusun, membahas dan mengusulkan

program yang akan disampaikan kepada Dewan

Pengarah.

2. Melaksanakan program yang telah disetujui

oleh Dewan Pengarah.

3. Memantau jalannya program agar selalu sesuai

dengan rencana.

4. Memberikan masukan kepada Dewan Pengarah

tentang program yang dijalankan.

KOMITE PAKAR

(Akademisi dan

Peneliti)

1. Memberikan pedoman/petunjuk untuk

memastikan bahwa rencana dan program

pengelolaan KKWP3K dibuat sesuai dengan

kaidah-kaidah ilmiah dan teknis yang absah.

2. Memberikan saran mengenai implementasi,

penyempurnaan dan pengembangan program

jangka panjang termasuk manajemen data.

3. Memberikan saran mengenai penelitian yang

diperlukan untuk membuat, menyempurnakan

dan mengembangkan program pengelolaan

KKWP3K.

5. Memberikan masukan teknis lainnya yang

diperlukan.

Page 54: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

53

BATASAN PERISTILAHAN

1. Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan

laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.

2. Pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan

2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan ekosistemnya.

3. Ekosistem adalah kesatuan komunitas tumbuh-tumbuhan, hewan,

organisme dan non organisme lain serta proses yang

menghubungkannya dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan

produktivitas.

4. Zonasi adalah suatu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang

melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi

sumber daya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang

berlangsung sebagai satu kesatuan dalam ekosistem pesisir.

5. Rencana strategis adalah adalah rencana yang memuat arah kebijakan

lintas sektor untuk perencanaan pembangunan melalui penetapan

tujuan, sasaran dan strategi yang luas, serta target pelaksanaan

dengan indikator yang tepat untuk memantau rencana tingkat nasional

6. Rencana pengelolaan adalah rencana yang memuat susunan kerangka

kebijakan, prosedur, dan tanggung jawab dalam rangka

pengoordinasian pengambilan keputusan di antara berbagai

lembaga/instansi pemerintah mengenai kesepakatan penggunaan

sumber daya atau kegiatan pembangunan di zona yang ditetapkan.

7. Konservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah upaya

perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-

pulau kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan,

ketersediaan, dan kesinambungan sumber daya pesisir dan pulau-pulau

kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan

keanekaragamannya.

8. Konservasi sumberdaya ikan adalah upaya perlindungan, pelestarian

dan pemanfaatan sumberdaya ikan, termasuk ekosistem, jenis, dan

Page 55: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

54

genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan

kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan

kualitas nilai dan keanekaragaman sumberdaya ikan.

9. Konservasi ekosistem adalah upaya melindungi, melestarikan,dan

memanfaatkan fungsi ekosistem sebagai habitat penyangga kehidupan

biota perairan pada waktu sekarang dan yang akandatang.

10. Konservasi jenis ikan adalah upaya melindungi, melestarikan, dan

memanfaatkan sumber daya ikan, untuk menjamin keberadaan,

ketersediaan, dan kesinambungan jenis ikan bagi generasi sekarang

maupun yang akan datang.

11. Konservasi genetik ikan adalah upaya melindungi, melestarikan, dan

memanfaatkan sumber daya ikan, untuk menjamin keberadaan,

ketersediaan, dan kesinambungan sumber daya genetik ikan bagi

generasi sekarang maupun yang akan datang.

12. Sumberdaya ikan adalah potensi semua jenis ikan.

13. Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari

siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan.

14. Kawasan konservasi adalah bagian wilayah pesisir dan pulau-pulau

kecil yang mempunyai ciri khas tertentu sebagai satu kesatuan

ekosistem yang dilindungi, dilestarikan dan/atau dimanfaatkan secara

berkelanjutan untuk mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir dan

pulau-pulau kecil secara berkelanjutan.

15. Sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya

proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100

(seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.

16. Kawasan Konservasi Perairan adalah kawasan perairan yang

dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan

pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara

berkelanjutan.

Page 56: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

55

17. Taman Nasional Perairan adalah kawasan konservasi perairan yang

mempunyai ekosistem asli, yang dimanfaatkan untuk tujuan

penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, kegiatan yang menunjang

perikanan yang berkelanjutan, wisata perairan, dan rekreasi.

18. Suaka Alam Perairan adalah kawasan konservasi perairan dengan ciri

khas tertentu untuk tujuan perlindungan keanekaragaman jenis ikan

dan ekosistemnya.

19. Taman Wisata Perairan adalah kawasan konservasi perairan dengan

tujuan untuk dimanfaatkan bagi kepentingan wisata perairan dan

rekreasi.

20. Suaka Perikanan adalah kawasan perairan tertentu, baik air tawar,

payau, maupun laut dengan kondisi dan ciri tertentu sebagai tempat

berlindung/berkembang biak jenis sumber daya ikan tertentu, yang

berfungsi sebagai daerah perlindungan.

21. Daerah Perlindungan Laut (DPL) atau Marine Sanctuary adalah

suatu kawasan laut yang terdiri atas berbagai habitat, seperti terumbu

karang, lamun, dan hutan bakau, dan lainnya baik sebagian atau

seluruhnya, yang dikelola dan dilindungi secara hukum yang bertujuan

untuk melindungi keunikan, keindahan, dan produktivitas atau

rehabilitasi suatu kawasan atau kedua-duanya. Kawasan ini dilindungi

secara tetap/permanen dari berbagai kegiatan pemanfaatan, kecuali

kegiatan penelitian, pendidikan, dan wisata terbatas (snorkle dan

menyelam).

22. Kawasan konservasi maritim adalah daerah perlindungan adat dan

budaya maritim yang mempunyai nilai arkeologi historis khusus, situs

sejarah kemaritiman dan tempat ritual keagamaan atau adat dan

sifatnya sejalan dengan upaya konservasi pesisir dan pulau-pulau

kecil.

23. Daerah perlindungan adat maritim adalah daerah yang dilindungi

yang masyarakatnya mempunyai adat istiadat dan atau tradisi

kemaritiman yang sifatnya sejalan dengan upaya konservasi pesisir

Page 57: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

56

dan pulau-pulau kecil serta tidak bertentangan dengan hukum

nasional.

24. Daerah perlindungan budaya maritim adalah lokasi yang dilindungi

dimana terdapat benda peninggalan sejarah dan/atau tempat ritual

keagamaan atau adat yang berkaitan dengan budaya kemaritiman.

25. Rehabilitasi sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil adalah

proses pemulihan dan perbaikan kondisi ekosistem atau populasi

yang telah rusak walaupun hasilnya berbeda dari kondisi semula.

26. Komanajemen (co-management) adalah pembagian tanggungjawab

dan otoritas dalam pengelolaan sumberdaya antara pemerintah dan

para pemangku kepentingan (stakeholders).

27. Kemitraan adalah hubungan kerjasama antara dua pihak atau lebih

yang diselenggarakan berdasarkan prinsip-prinsip kesetaraan,

keterbukaan, partisipatif dalam bentuk keilmuan, keterampilan,

materi, peralatan, fasilitas dan pendanaan yang dipadukan secara

sinergis.

28. Bencana adalah suatu peristiwa yang terjadi secara tiba-

tiba/perlahan-lahan akibat alam, ulah manusia dan/atau keduanya

yang menimbulkan korban penderitaan manusia, kerugian harta

benda, kerusakan lingkungan, kerusakan sarana prasarana dan

fasilitas umum serta menimbulkan gangguan terhadap tata

kehidupan dan penghidupan masyarakat.

29. Bencana Alam adalah peristiwa letusan gunung berapi, gempa bumi,

tanah longsor, gelombang pasang, banjir, kekeringan, kebakaran

hutan, angin kencang/topan/badai, tsunami, hama hutan, kerusakan

flora dan fauna (kerusakan ekologi), dll.

30. Bencana Ulah Manusia adalah peristiwa bencana yang disebabkan

oleh ulah manusia seperti kebakaran, kecelakaan masal di

darat/laut/udara, pencemaran lingkungan oleh limbah manusia dan

industri, wabah penyakit manusia/hewan/tumbuhan, pembangunan

infrastuktur yang tidak memperhatikan dampak lingkungan, dll.

Page 58: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

57

31. Mitigasi adalah tindakan-tindakan untuk mengurangi atau

meminimalkan dampak dari suatu bencana terhadap masyarakat.

32. Kesiapsiagaan adalah segala upaya dan kegiatan yang dilakukan

untuk menghadapi/mengantisipasi (tanggap darurat) bencana

lingkungan yang mungkin terjadi pada skala nasional, regional dan

lokal.

33. Kearifan lokal adalah adat istiadat dan/atau tradisi sekelompok

masyarakat yang tidak bertentangan dengan hukum nasional.

34. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi.

35. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang

terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan

hukum.

36. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden

Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara

Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

37. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati/walikota, dan

perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan

daerah.

38. Dinas adalah satuan perangkat kerja daerah yang bertanggung jawab

di bidang kelautan dan perikanan.

39. Unit pengelola kawasan konservasi adalah satuan unit organisasi

pengelola kawasan konservasi yang berbentuk UPT pusat, SKPD atau

UPT daerah atau bagian unit dari satuan organisasi yang menangani

konservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Page 59: TILIK-KAJI KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN …

58

DAFTAR PUSTAKA

Barbier E. 1989. Economic Natural Resource Scarcity and Development. Eaqrtscan Publications.

Bengen, D. G., M. A. Sardjono dan M. Muhdar. 2011. Delta Mahakam: Kawasan

Strategis Dalam Prspektif Lingkungan Hidup Serta Urgensi Pengelolaannya Secara Terpadu dan Berkelanjutan. Naskah Akademik. Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur-Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara-BPMigas-TOTAL INDONESIE.

Bengen, D.G. 2012. Pengelolaan dan Pengembangan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau

Kecil Terpadu Sebagai Pilar Pembangunan Berkelanjutan. Workshop CSR, BPMigas-KKKS-KalSul, Kudus 22 Juni 2012.

Bengen, D. G., P. Suhartono, R. Heronasia, A. E. Maria dan R. H. Fahrianoor. 2012.

Balikpapan: Kota Pantai Menatap Ke Depan. P4L dan BLH Balikpapan. Borrini-Feyerabend G, Farvar MT, Nguinguiri JC, Ndangang VA. 2000. Comanagement

of Natural resources: Organising, Negotiating and Learning by-Doing. GTZ Germany

Fisher, RJ. 1995. Collaborative Management of Forest for Conservation and

Development. Issues in Forest Conservation. IUCN-The World Conservation Union, World Wide Fund for Nature, Valserine-France.

Fisher RJ. Ludin. S. Williams, I.D. Abdi, dan R. Smith. 2001. Mengelola Konflik:

Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak (Edisi Bahasa Indonsia). The British Council Indonesia.

Kassa, S. 2009. Konsep Pengembangan Co-management untuk Melestarikan Taman Nasional Lore Lindu. Disertasi Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.

Pomeroy, R. S. 2001. Devolution and Fisheries Co-management. In: Meinzen-Dick R.,

Knox, A., and M.Di Gregorio (eds), 111-146 (2001). Collective Action, Property Rights and Devolution of Natural Resource Management- Exchange of Knowledge and Implication for Policy, CAPRi, ICLARM, ZEL/DSE, Eurasburg.

Sen S, Nielsen JR. 1996. Fisheries Co-management: a Comparative Analysis. Marine

Policy 5:405-418. Wanma, M., Y. Lamatenggo, D. G. Bengen, R. Malik, A. Rahardjo dan D. Najmudin.

2009. Profil Ragam Wisata Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. [WWF-Indonesia] The Worldwide Fund for Nature of Indonesia. 2008. Pengelolaan

Kolaboratif Kawasan Konservasi. Policy Paper-WWF Indonesia.