TUGAS MATA KULIAH
PERPAJAKAN
PERPAJAKAN INTERNASIONAL
KELOMPOK 2 DAN 3:
ADELIA SUKMAWATI (1506810105)
HERA KHAIRUNNISA (1506810414)
IIS ISLAMIYAH (1506810433)
ODETTA (1506810641)
SONI OKABRIAN (1506810774)
TRI OKA PUTRA (1506810805)
PROGRAM STUDI MAGISTER AKUNTANSI
DEPARTEMEN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS INDONESIA
2016
STATEMENT OF AUTHORSHIP
Saya/kami yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa makalah/tugas terlampir adalah murni hasil pekerjaan saya/kami sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain yang saya/kami gunakan tanpa menyebutkan sumbernya.
Materi ini tidak/belum pernah disajikan/digunakan sebagai bahan untuk makalah/tugas pada mata ajar lain, kecuali saya/kami menyatakan dengan jelas bahwa saya/kami menggunakannya.
Saya/Kami memahami bahwa tugas yang Saya/Kami kumpulkan ini dapat diperbanyak dan atau dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme.
Tri Oka Putra 1506810805
Nama Mahasiswa : Adelia Sukmawati Nama Mahasiswa : OdettaNomor Mahasiswa : 1506810105 Nomor Mahasiswa : 1506810641
Tanda Tangan : Tanda Tangan :
Nama Mahasiswa : Hera Khairunnisa Nama Mahasiswa : Soni OkabrianNomor Mahasiswa : 1506810414 Nomor Mahasiswa : 1506810774
Tanda Tangan : Tanda Tangan :
Nama Mahasiswa : Iis Islamiyah Nama Mahasiswa : Tri Oka PutraNomor Mahasiswa : 1506810433 Nomor Mahasiswa : 1506810805
Tanda Tangan : Tanda Tangan :
Kelas : A15P-2P & 2P15-2PMata Ajaran : PerpajakanJudul Makalah/Tugas : Kasus Perpajakan InternasionalHari, Tanggal : Senin, 2 Mei 2016Nama Pengajar : Dr. Waluyo
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perpajakan internasional bukanlah jenis perpajakan seperti yang sering
didengar. Pajak internasional adalah pengenaan pajak atas worldwide income
yang terjadi karena ada transaksi bisnis antar negara. Negara-negara ini memiliki
kepentingan perpajakan berbeda yang membuat transaksi ini terkena kewajiban
pajak yang berganda. Ketika suatu individu atau badan melakukan transaksi bisnis
suatu negara, maka mereka akan dikenakan pajak yang berasal dari dua negara
yang bersangkutan. Oleh karena itu, maka muncullah masalah mengenai
perpajakan berganda karena setiap negara memiliki hak untuk mengenakan pajak
atas penghasilan yang diterima individu atau badan tersebut. Lebih lanjut Pajak
berganda ini akan menimbulkan alasan untuk membatasi dalam melakukan
transaksi-transaksi lintas negara.
Pajak berganda memiliki dua sudut pandang, secara yuridis (juridical
double taxation) dan ekonomi (economic double taxation). Pajak berganda
memiliki dua sudut pandang karena negara yang bersangkutan memiiki
kepentingan untuk memberikan keuntungan kepada wajib pajak dalam negri.
Secara yuridis pengenaan pajak berganda atas subjek pajak yang sama namun
pengenaan pajak yang berbeda dengan negara yang berbeda, sedangkan secara
ekonomi pengenaan pajak berganda atas subjek pajak yang berbeda dikenakan
pajak dua kali karena penghasilannya. Pajak berganda ini terlihat pada pajak yang
dipotong memiliki element pajak juga.
Pajak berganda secara yuridis pengenaan pajak yang berbeda di antara
negara yang bersangkutan pada wajib pajak yang sama dengan objek pajak yang
sama. Penghasilan yang berasal dari luar negri dipotong oleh negri luar tersebut,
saat diterima dikenakan pajak lagi oleh dalam negri. Pajak yang diambil dari
dalam negri ini memiliki element pajak yang telah dipotong diluar negri yang
terlihat menjadi pajak berganda karena dalam negri memiliki kepentingan untuk
memajaki penghasilan yang dari luar negri dan luar negri memiliki kepentingan
untuk memajaki penghasilan yang dari dalam negri ke luar negeri.
Pajak berganda secara ekonomi adalah pengenaan pajak dari dua pihak
yang berbeda dikenakan pajak terkait dengan penghasilannya. Penghasilan yang
akan diterima dari luar negri ke dalam negeri sebelumnya dikenakan pajak di luar
negri karena jenis transaksinya seperti deviden yang sebelum dibagikan dikenakan
pajak perusahaan, penerima deviden akan terkena pajak berganda karena
penghasilan perusahaan dan juga pajak atas penghasil dari luar negeri.
Untuk menghindari masalah pajak berganda diperlukan suatu aturan yang
mengatur untuk membagi hak pemajakan atas penghasil suatu individu atau
badan. Dengan melihat peraturan domestik tetntang hak memajaki atas transaksi
tersebut. Tetapi jika antar kedua negara memiliki tax treaty atau persetujuan
penghindaran perpajakan berganda (P3B), kedua negara yang bersangkutan dalam
tax treaty akan diberi batasan dalam hak memajaki.
Adapun faktor-faktor yang berkaitan dengan kegiatan luar negeri,
diantaranya adalah:
Aspek pajak penghasilan dari kegiatan barang dan jasa antar negara,
Kegiatan manufaktur antar negara yang dilakukan oleh perusahaan
multinasional,
Investasi yang dilakukan antar negara oleh individu atau dana investasi, dan
Perpajakan oleh individu yang bekerja atau melakukan kegiatan bisnis di luar
negara dimana mereka selalu bertempat tinggal.
Jika suatu kegiatan termasuk dalam salah satu faktor di atas, maka masalah
pajak internasional muncul berdasarkan hukum pajak di setiap negara yang
bersangkutan.
Asas pengenaan pajak terdiri dari tiga macam, yaitu:
Asas Domisili (Residence Principle)
Asas ini diberlakukan atas penghasilan individu atau badan berdasarkan
negara domisilinya.
Asas Sumber (Source Principle)
Asas ini diberlakukan atas penghasilan individu atau badan yang bersumber di
Indonesia tanpa memandang dari status domisili.
Asas Kewarganegaraan (Citizenship Principle)
Asas ini diberlakukan atas penghasilan individu atau badan sesuai dengan
kewarganegaraannya.
Knechtle dalam bukunya yang berjudul ”Basic Problems in International
Fiscal Law” (1979) memberikan pengertian pajak berganda, yaitu :
Secara luas, pajak berganda adalah setiap bentuk pembebanan pajak dan
pungutan lainnya lebih dari satu kali, yang dapat berganda (double taxation)
atau lebih (multiple taxation) atas suatu fakta fiskal (subyek dan / atau obyek
pajak).
Secara sempit, pajak berganda dianggap terjadi pada semua kasus pemajakan
beberapa kali terhadap suatu subjek dan/atau objek pajak dalam satu
administrasi pajak yang sama.
Dilihat dari bentuknya, pajak berganda dapat dibedakan menjadi :
a. Perpajakan Berganda secara Juridis
Definisi menurut Commentary OECD Model (diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia):
“Pengenaan pajak yang berbeda di dua (atau lebih negara) pada wajib pajak
yang sama berkaitan dengan jenis penghasilan atau modal yang sama dalam
periode yang sama.”
b. Perpajakan Berganda secara Ekonomis
Definisi menurut Commentary OECD Model (diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia):
“…perpajakan berganda ekonomi, sebagai contoh dimana dua pihak yang
berbeda dikenakan pajak terkait dengan penghasilan dan modal yang sama…”
Dapat disimpulkan, bahwa perbedaan perpajakan berganda secara
juridis dan ekonomis adalah pada wajib pajaknya, dimana perpajakan berganda
secara ekonomis melibatkan perpajakan dari wajib pajak yang berbeda.
Setiap negara pada dasarnya tidak menginginkan pengenaan pajak
berganda karena akan menghambat transaksi internasional. Aturan domestik
masing-masing negara umumnya telah mengatur mekanisme untuk mengurangi
pajak berganda ini. Dalam UU Pajak domestik Indonesia, yaitu pasal 24 UU PPh
sudah diatur perlakuan kredit pajak atas pajak yang dibayar di luar negeri. Namun
karena masing-masing negara memiliki aturan domestik yang berbeda dan dapat
mengakibatkan terjadinya pajak berganda, maka perlu dilakukan Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan negara lain untuk membagi hak
pemajakan. Sebagaimana ditulis Anang Mury dalam bukunya Pajak Internasional
beserta Contoh Aplikasinya, P3B selain sebagai sarana menghindarkan pengenaan
pajak berganda, juga dapat digunakan sebagai alat negara yang melakukan
persetujuan untuk saling tukar informasi, konsultasi bersama atau mengadakan
mutual agreement, sehingga dapat mengurangi praktik penghindaran pajak.
Saat ini, P3B atau sering disebut Tax Treaty yang ada berjumlah melebihi
dari 2000 (sumber data : Modul Chartered Accountant Manajemen Perpajakan,
2015, Ikatan Akuntan Indonesia), sementara Indonesia sudah memiliki sejumlah
87 hingga April 2015 ini. Tax Treaty (untuk selanjutnya akan disebut dengan
Treaty) adalah kesepakatan bilateral dua negara tentang cara mengatur pengenaan
pajak 2 negara agar tidak terjadi pengenaan pajak secara berganda. Treaty tidak
mengatur tarif pajak, hanya mengatur pembagian hak pemajakan atas beberapa
jenis penghasilan sehingga hak pemajakan suatu negara akan dibatasi. Jadi secara
singkatnya Treaty adalah persetujuan antar 2 negara untuk membagi hak
pemajakan atas suatu objek pajak.
Tujuan Treaty atau P3B adalah sebagai berikut :
a. Mengeliminasi perpajakan bergana untuk mencegah sesuatu yang tidak
mempunyai harapan (keputusasaan) dari perdagangan dan investasi
internasional dan arus pergerakan orang
b. Menyediakan kepastian kepada rezim pajak yang dihadapi oleh para investor
dan pengusaha, juga menghindari keputusasaan perdagangan dan investasi
internasional
c. Menyediakan kerjasama antara otoritas pajak untuk memerangi penghindaran
pajak dan penggelapan pajak
d. Menyediakan pertukaran informasi dengan pandangan untuk memerangi
penghindaran dan penggelapan pajak dan juga tujuan untuk melaksanakan
P3B dan hukum domestik dari negara yang bersangkutan
e. Mengeliminasi bentuk diskriminasi pajak tertentu
f. Membagi penerimaan pajak antara kedua Negara
g. (secara jarang) Menyediakan bantuan kerjasama dalam menagih
penerimaan pajak
h. “membentuk hubungan fiskal” antara otoritas yang berwenang dari kedua
Negara
Dengan demikian, P3B selain untuk mencegah terjadinya penghindaran
pajak dan penyelewengan pajak juga bertujuan untuk mengadakan kerjasama,
koordinasi dan sinkronisasi atas implikasi perpajakan secara internasional dari
kegiatan bisnis yang dilakukan oleh wajib pajak.
SEJARAH PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
INDONESIA – MESIR
Perkembangan zaman yang ada saat ini salah satunya berdampak pada
berkembangnya transaksi pertukaran barang dan jasa antar negara. Transaksi
perdagangan barang dan jasa negara itu sendiri terkait dengan kegiatan ekonomi
yang nantinya menghasilkan pendapatan serta beban bagi pihak – pihak yang
melakukan transaksi lintas negara tersebut. Semakin berkembangnya transaksi
perdagangan antar negara, maka makin kental pula hal – hal yang terakit dengan
sektor ekonomi dan salah satunya adalah hal mengenai perpajakan internasional
yang timbul.
Pertukarang barang dan jasa yang terjadi dapat menjadi hal yang bernilai
tambah untuk suatu negara yang terlibat, contohnya ada pendapatan negara yang
timbul karena transaksi tersebut. Maka dari itu timbul suatu metode perpajakan
dalam kegiatan pertukaran barang dan jasa lintas negara untuk menghindari
permasalahan yang mungkin terjadi akibat adanya permasalahan perpajakan
tersebut.
Perjanjian Penghindaran Pajak berganda (P3B) atau income tax treaty
merupakan suatu jalan yang ditempuh untuk mengihindari adanya pengenaan
pajak yang berganda yang bisa merugikan pihak yang wajib membayar pajak.
P3B atau tax treaty disebut juga metode hak pemajakan bilateral sebab melibatkan
adanya kesepakatan antar dua negara yang memiliki hubungan diplomatik.
Pengenaan pajak yang berganda timbul karena adanya konflik dalam pelaksanaan
ketentuan perpajakan dua negara atau yang dikenal dengan juridical double
taxation hal ini tertuang dallam Suratman (2000) dalam Gunawan Pribadi (2010).
Selain tax treaty ada pula hak pemajakan lainnya yang diterapkan di
berbagai negara. Metode hak pemajakan lainnyan di berbagai negara guna
menghindari adanya pajak berganda adalah metode pemajakan unilateral dan
metode pemajakan multilateral. Metode pemajakan unilateral adalah metode yang
mengatur bahwa Republik Indonesia memiliki kekuatan hukum didalamnya yang
mengatur masyarakat atau badan internasional dan ditetapkan sepihak oleh negara
Indonesia sendiri. Sedangkan metode pemajakan multilateral adalah didasarkan
pada konvensi internasional yang ketentuan atau ketetapannya dihasilkan untuk
kepentingan banyak negara dan ditandatangani oleh berbagai negara yang
melaksanakan persetujuan tersebut.
Indonesia berada di tengah – tengah jalur perdagangan utama antara India
dan Cina, maka itu Indonesia sejak dahulu menjadi destinasi perdagangan negara
– negara di dunia. Dampak dari kegiataan perdagangan juga menimbulkan adanya
hubungan diplomatik antar naegara. Hubungan diplomatik Indonesia salah satu
terjalin dengan Mesir.
Pada website Universitas Gajah Mada terdapat ulasan dari Wakil Meneteri
Luar Negeri, Abdurrahman Mohammad Fachir. Dalam ulasan tersebut disebutkan
bahwa Mesir tercatat sebagai negara pertama di dunia yang mengakui
kemerdekaan Indonesia. Selain itu Mesir juga merupakan negara pertama yang
menandatangani perjanjian persahabatan dengan Indonesia yang kemudian
disertai dengan pembukaan perwakilan negara di Kairo dan Jakarta sekitar tahun
1950 – 1951. Selain itu hubungan Indonesia dan Mesir juga semakin erat dengan
bergabungnya dua negara tersebut sebagai negara peserta Konferensi Tingkat
Tinggi - Gerakan Non Blok (KTT-GNB) pada tahun 1961. Karena adanya
hubungan bilateral dan adanya pengakuan akan adanya kedaulatan negara tersebut
timbul pulalah perjanjian perpajakan. Persetujuan penghindaran pajak berganda
Indonesia – Mesir ditandangani oleh kedua belah pihak pada tanggal 13 Mei 1998
dan pada persetujuan tersebut tertera tanggal efektifnya persetujuan yaitu
tertanggal 1 Januari 2003.
BAB II
PERMASALAHAN
PERMASALAHAN UTAMA
Dari pembahasan sebelumnya pada bagian latar belakang, hubungan yang
terjadi antara Mesir dan Indonesia sudah terjalin erat dari masa awal kemerdekaan
Indonesia. Sampai saat ini banyak kegiatan ekonomi yang muncul dari dua negara
tersebut. Adanya kegiatan ekonomi yang terjalin, maka akan berdampak pula pada
hal – hal terkait perpajakan. Karena adanya benturan aspek pemajakan antara
Indonesia dan Mesir, maka permasalahan yang timbul yaitu adanya pengenaan
pajak berganda atas wajib pajak yang melakukan kegiatan ekonomi (Indonesia –
Mesir).
PERMASALAHAN KASUS
Berikut ini merupakan contoh kasus yang mungkin ada pada kehidupan
sehari – hari akibat adanya kegiatan ekonomi yang berdampak pada aspek
perpajakan. Bagaimanakah dampak yang timbul dari transaksi yang terjadi antar
penduduk / organisasi yang berbeda domisilinya. Berikut terdapat suatu kasus
dengan skema seperti dibawah ini.
MESIR EGYPTCO LTD
Kontraktor berdomisili
di Mesir
PT INDO
Perusahaan berdomisili di Indonesia
PT ASLI
Perusahaan berdomisili di Indonesia
Melakukan Instalasi Listrik Pabrik Membangun pabrik di Karawang
Mesir Egyptco LTD adalah perusahaan kontraktor berdomisili di Kairo, Mesir. PT
Egyptco mendapatkan pekerjaan di Indonesia dari PT Indo yaitu pekerjaan instalasi
listrik pabrik. Kemudian PT Egyptco juga mendapatkan pekerjaan dari PT Asli yaitu
berupa pekerjaan membangun pabrik. Berikut merupakan rincian – rincian dari kegiatan
yang dilakukan Mesir Egyptco LTD.
Pekerjaan dari PT Indo Pekerjaan dari PT Asli
Lama Pekerjaan 1 Maret 2012 – 31 Mei
2012
1 Pebruari – 31 Agustus
2012
Nilai Kontrak /
Imbalan
$ 500,000 $ 1,000,000
Pekerjaan Instalasi jaringan listrik
dan air conditioning
Pembangunan Pabrik
Biaya Proyek
(exclude gaji)
$ 340,000
Biaya Gaji
Expatriates
$ 60,000 (untuk 2 orang)
Biaya Pabrik $ 8,000,000
Biaya tenaga kerja
lokal & lain lain
$ 1,000,000
Biaya Gaji
Expatriates
$ 210,000
Rincian Mengenai Ekspaktriat PT Asli :
Nama Tugas Periode Bekerja Besaran Gaji
Mahmud El
Mahmudi
Insinyur 1 Pebruari – 31
Agustus 2012
$90,000
Habib El Ali Insinyur 1 Pebruari – 31
Agustus 2012
$90,000
Amir El Mousa Seorang Akuntan 1 Mei 2012 – 31
Agustus 2012
$ 30,000
Permasalahan yang timbul adalah :
1. Bagaimana perlakuan PPh atas proyek dari PT Indo? Berapakah PPh yang
terutang oleh Egyptco dan dua orang expatriates yang ada?
2. Bagaimana perlakuan PPh atas proyek dari PT Asli? Berapakah PPh yang
terutang oleh Egyptco dan dua orang expatriates yang ada?
BAB III
PEMBAHASAN MASALAH
Penghasilan yang diperoleh oleh Mesir Egyptco Ltd dan ekspatriat yang bekerja
pada Mesir Egyptco Ltd, atas kontraknya dengan PT Indo dan PT Asli untuk melakukan
pekerjaan di Indonesia, dapat dikenakan pajak berganda. Artinya atas penghasilan mereka
dikenakan pajak oleh pemerintah Mesir dan juga oleh pemerintah Indonesia. Hal ini tentu
saja merugikan bagi Mesir Egyptco Ltd. dan ekspatriat yang bekerja pada Mesir Egyptco
Ltd. Jika pajak berganda ini tidak dihilangkan maka masing-masing pihak akan merasa
terbebani untuk melakukan transaksi bisnis dengan pihak lainnya sehingga transaksi
bisnis tidak terjadi. Yang pada akhirnya akan merugikan pemeritah Mesir dan juga
pemerintah Indonesia, karena tidak jadi mendapatkan pendapatan pajak.
Untuk menghindari terjadinya pajak berganda ini, maka sejak 01 Januari 2003
terdapat persetujuan antara pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah Republik
Mesir tentang Penghindaran Pajak Berganda dan Pencegahan Pengelakan Pajak atas
Penghasilan.
Penjelasan tentang pajak atas laba usaha
Berdasarkan UU No. 36 Tahun 2008 Pasal 4 ayat (1) huruf a, maka dalam kasus
ini dapat ditentukan bahwa yang menjadi objek pajak adalah penggantian imbalan
berkenaan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh Mesir Egyptco, Ltd.
Di dalam tax treaty Indonesia Mesir pada Pasal 5 disebutkan bahwa:
1. Untuk kepentingan Persetujuan ini, istilah bentuk usaha tetap berarti suatu tempat usaha tetap dimana seluruh atau sebagian usaha dari suatu perusahaan dijalankan.
3. Istilah "bentuk usaha tetap" juga meliputi :(a) suatu lokasi pembuatan bangunan atau proyek konstruksi atau kegiatan-
kegiatan pengawasan yang berhubungan dengan itu, tetapi hanya jika pembuatan bangunan, proyek atau kegiatan-kegiatan itu berlangsung Negara pihak pada Persetujuan untuk masa lebih dari 6 bulan;
(b) suatu proyek perakitan atau instalasi yang berlangsung untuk masa lebih dari 4 bulan;
Dan pada Pasal 7 disebutkan bahwa:
1. Laba usaha suatu perusahaan dari negara pihak pada Persetujuan hanya dikenakan pajak di Negara itu, kecuali jika perusahaan itu menjalankan usaha di Negara pihak lainnya pada persetujuan melalui suatu bentuk usaha tetap. Apabila perusahaan tersebut menjalankan usahanya sebagaimana dimaksud di atas, maka
laba perusahaan itu dapat dikenakan pajak di negara lainnya tetapi hanya atas bagian laba yang berasal dari (a) bentuk usaha tetap tersebut; (b) penjualan yang dilakukan di Negara lainnya atas barang-barang atau barang dagangan yang sama atau serupa jenisnya dengan yang dijual melalui bentuk usaha tetap itu; atau (c) kegiatan-kegiatan usaha lainnya yang dijalankan di Negara lain itu yang sama atau serupa jenisnya dengan yang dilakukan melalui bentuk usaha tetap itu.
2. Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan ayat 3, jika suatu perusahaan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan menjalankan usaha di Negara pihak pada Persetujuan melalui bentuk usaha tetap yang berada di sana, maka yang akandiperhitungkan sebagai laba bentuk usaha tetap itu oleh masing-masing Negara ialah laba yang diperolehnya seandainya bentuk usaha tetap tersebut merupakan suatu perusahaan yang terpisah dan bertindak bebas yang melakukan kegiatan-kegiatan yang sama atau serupa, dalam keadaan yang sama atau serupa dan mengadakan hubungan sepenuhnya bebas dengan perusahaan yang memiliki bentuk usaha tetap itu.
3. Dalam menentukan besarnya laba suatu bentuk usaha tetap, dapat dikurangkan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan usaha dari bentuk usaha tetap itu termasuk biayabiaya pimpinan dan biayabiaya administrasi umum, baik yangdikeluarkan di Negara di mana bentuk usaha tetap itu berada ataupun di tempat lainnya. Namun demikian tidak diperkenankan untuk dikurangkan ialah pembayaran-pembayaran yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap kepada kantor pusatnya atau kantor-kantor lain milik kantor pusatnya (selain dari penggantian biaya yang benar-benar dikeluarkan) oleh bentuk usaha tetap kepadakantor pusatnya atau kantor-kantor lain milik kantor pusatnya berupa royalti, biaya-biaya atau pembayaran-pembayaran serupa lainnya karena penggunaan paten atau hak-hak lain, atau berupa komisi, untuk jasa-jasa khusus yang dilakukan atau untukmanajemen atau kecuali dalam hal usaha perbankan, berupa bunga atas pinjaman yang diberikan kepada bentuk usaha tetap. Sebaliknya tidak akan diperhitungkan sebagai laba bentuk usaha tetap adalah jumlah-jumlah yang dibayarkan oleh bentuk usaha kepada kantor pusatnya atau Kantorkantor lain milik Kantor Pusatnya (selain dari penggantian biaya yang benar-benar dikeluarkan) oleh bentuk usaha tetap kepada kantor pusatnya atau kantor-kantor lain milik kantor pusatnya berupa royalti, biaya-biaya atau pembayaran-pembayaran lain yang serupa karena penggunaan paten atau hak-hak lainnya atau berupa komisi untukjasa-jasa khusus yang dilakukan atau untuk manajemen atau, kecuali dalam usaha perbankan, berupa bunga atas pinjaman yang dipinjamkan kepada kantor pusat atau kantorkantor lainnya.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut, dapat disimpulkan:
1. Atas kontrak yang diperoleh Mesir Egyptco, Ltd. dari PT Indo untuk melakukan
instalasi jaringan listrik dan air-conditioning yang dimulai pada tanggal 1 Maret 2012
sampai 31 Mei 2012 atau melaksanakan kontrak selama 92 hari maka atas laba yang
diperoleh Egyptco, Ltd. dikenakan pajak di Indonesia. Karena durasi pelaksanaan
kontrak tersebut hanya selama 3 bulan, maka berdasarkan UU No. 36 Tahun 2008
Pasal 5 ayat (5) poin “l” proyek instalasi tersebut dikategorikan sebagai subjek pajak
luar negeri selain BUT, sehingga sebagaimana diatur dalam pasal 26 ayat (1), wajib
pajak luar negeri selain BUT ini dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari
junlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan, yaitu PT Indo.
2. Atas kontrak yang diperoleh Mesir Egyptco, Ltd. dari PT Asli untuk membangun
pabrik di Karawang yang dimulai pada tanggal 1 Februari 2012 sampai 31 Agustus
2012 yang melaksanakan kontrak melalui badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat tinggal di Indonesia. Hal ini sesuai dengan aturan dalam UU No. 36 Tahun
2008 Pasal 2 ayat (5)(l) dan tax treaty Pasal 5 ayat (3)(a) sehingga dikategorikan
sebagai subjek pajak luar negeri BUT yang dikenakan pajak dari imbalan yang
diperoleh Mesir Egyptco, Ltd. dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk
kepentingan usaha dari BUT tersebut seperti yang dimaksud pada pasal 7 ayat (3) tax
treaty Indonesia-Mesir sebesar tarif yang diatur dalam UU No. 36 Tahun 2008 pasal
17 yaitu sebesar 25%.
Selain itu, di dalam kasus ini juga terdapat objek pajak lainnya, sebagaimana
disebutkan dalam UU No. 36 Tahun 2008 Pasal 4 ayat (1) huruf a, yaitu penghasilan atas
pekerjaan dalam hubungan kerja.
Di dalam tax treaty Indonesia Mesir pada pasal 15 disebutkan bahwa:
1. Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan Pasal-pasal 16, 18, dan 19 gaji, upah dan imbalan lainnya yang serupa yang diperoleh penduduk suatu Negara Pihak pada Persetujuan karena pekerjaan dalam hubungan kerja, hanya akan dikenakan pajak di Negara itu, kecuali pekerjaan tersebut dilakukan di Negara Pihak pada Persetujuan. Dalam hal demikian, maka imbalan yang diterima dari pekerjaan dimaksud dapat dikenakan pajak di Negara pihak lainnya itu.
2. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan ayat 1, imbalan yang diterima atau diperoleh penduduk dari suatu Negara pihak pada Persetujuan dari pekerjaan yang dilakukan di Negara pihak lainnya pada Persetujuan, hanya akan dikenakan pajak di Negara yang disebut pertama apabila : (a) Penerima imbalan berada di Negara lainnya dalam suatu masa atau masa-masa yang jumlahnya tidak melebihi 90 hari dalam masa 12 bulan; dan(b) Imbalan itu dibayarkan oleh atau, atas nama pemberi kerja yang bukan merupakan penduduk Negara pihak lainnya tersebut; dan (c) Imbalan itu tidak menjadi beban bentuk usaha tetap atau tempat usaha tetap yang dimiliki oleh pemberi kerja itu di Negara pihak lain tersebut.
Berdasarkan pasal tersebut, dapat disimpulkan:
1. Dua expatriates yang bekerja pada kontrak antara Mesir Egyptco Ltd dengan PT Indo
yang berlangsung sejak 1 Maret sampai dengan 31 Mei 2012 atau bekerja di
Indonesia selama 92 hari maka atas penghasilan mereka dikenakan pajak di
Indonesia. Karena berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari sebagaimana
disyaratkan dalam UU No. 36 Tahun 2008 Pasal 2 ayat (4) maka dua ekspatriates ini
dikategorikan dalam subjek pajak luar negeri, sehingga sebagaimana diatur dalam
Pasal 26 ayat (1), wajib pajak luar negeri selain BUT ini dipotong pajak sebesar 20%
dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan, yaitu Mesir Egyptco Ltd.
2. Tiga expatriates yang bekerja pada kontrak antara Mesir Egyptco Ltd dengan PT Asli
dikenakan pajak yang berlaku di Indonesia sebagai berikut:
a. Mahmud El Mahdi bekerja di Indonesia selama 7 bulan, karena berada di
Indonesia lebih dari 183 hari sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 2 ayat (3)
dikategorikan dalam subjek pajak Dalam Negeri sehingga dikenakan pajak dari
penghasilan neto yang diterima atau diperoleh dalam bagian tahun pajak yang
disetahunkan sebagaimana diatur dalam UU No. 36 Tahun 2008 Pasal 16 ayat (4)
sebesar tarif untuk orang pribadi sebagaimana diatur pada pasal 17 ayat (1) huruf
a.
b. Habib El Ali juga bekerja di Indonesia selama 7 bulan, karena berada di
Indonesia lebih dari 183 hari sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 2 ayat (3)
dikategorikan dalam subjek pajak Dalam Negeri sehingga dikenakan pajak dari
penghasilan neto yang diterima atau diperoleh dalam bagian tahun pajak yang
disetahunkan sebagaimana diatur dalam UU No. 36 Tahun 2008 Pasal 16 ayat (4)
sebesar tarif untuk orang pribadi sebagaimana diatur pada pasal 17 ayat (1) huruf
a.
c. Amir El Mousa bekerja di Indonesia mulai tanggal 1 Mei 2012 sampai dengan
tanggal 31 Agustus 2012 atau selama 4 bulan atau 120 hari. Karena berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 2 ayat
(4) maka dikategorikan dalam subjek pajak luar negeri, selain BUT dipotong
pajak di Indonesia sebesar 20% dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib
membayarkan yaitu Mesir Egyptco Ltd sebagaimana diatur dalam UU No. 36
Tahun 2008 Pasal 26 ayat (1).
BAB IV
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan pada Bab III, maka dapat disimpulkan bahwa Mesir
Egyptco Ltd dan ekspatriat yang bekerja pada Mesir Egyptco Ltd tidak perlu dikenakan
pajak berganda atas penghasilan yang diperolehnya dari kontrak kerja dengan PT Indo
dan PT Asli karena sudah ada tax treaty antara pemerintah Mesir dengan Pemerintah
Indonesia yang berlaku sejak 1 Januari 2003.
Berikut rincian pajak yang harus dibayarkan oleh Mesir Egyptco Ltd dan
ekspatriat yang bekerja pada Mesir Egyptco Ltd tidak perlu dikenakan pajak berganda
atas penghasilan yang diperolehnya dari kontrak kerja dengan PT Indo dan PT Asli:
1. Pajak atas imbalan
a. Pada kontrak pertama dengan PT Indo, Mesir Egyptco, Ltd. memperoleh imbalan
sebesar $500.000 yang dikenakan PPh Pasal 26 sebesar 20% atas jumlah bruto
tersebut sehingga besarnya pajak atas kontrak tersebut adalah $100,000 atau jika
dirupiahkan dengan kurs $1 = Rp10,000 maka besarnya pajak yang dibayar oleh
Mesir Egyptco, Ltd. adalah Rp1,000,000,000
b. Pada kontrak kedua dengan PT Asli, Mesir Egyptco, Ltd memperoleh imbalan
sebesar $10,000,000 dengan biaya-biaya yang dapat dikurangkan sebagai berikut:
Nilai kontrak : $10,000,000
Mesin pabrik : $ 8,000,000
Tenaga kerja local dan lain-lain : $ 1,000,000
Gaji expatriates (3 orang) : $ 210,000
Laba Usaha : $ 780,000
Dari laba tersebut akan dikenakan pajak sebesar 25% sehingga pajak yang harus
dibayar oleh Mesir Egyptco, Ltd. adalah $195,000 atau jika dikonversi menjadi
mata uang rupiah dengan kurs $1 = Rp10,000 maka jumlah pajaknya manjadi
Rp1,950,000.
2. Pajak penghasilan atas pekerjaan dalam hubungan kerja
a. Dua expatriates yang bekerja pada kontrak antara Mesir Egyptco Ltd dengan PT
Indo memperoleh penghasilan sebesar US$ 60.000 untuk dua orang jadi masing-
masing memperoleh US$30.000. Jika dirupiahkan dengan kurs 1 US$ =
Rp10.000 maka masing-masing ekspatriat memperoleh penghasilan sebesar
Rp300.000.000 (US$30.000 x 10.000). Sehingga PPh Pasal 26 yang dikenakan
kepada masing-masing ekspatriat adalah sebesar 20% dari Rp300.000.000 yaitu
sebesar Rp60.000.000 yang dipotong oleh Mesir Egyptco Ltd.
b. Tiga expatriates yang bekerja pada kontrak antara Mesir Egyptco Ltd dengan PT
Asli, yaitu:
i. Mahmud El Mahdi dan Habib El Ali memperoleh penghasilan sebesar
US$180.000 (US$210.000-US$30.000) untuk dua orang, jadi masing-masing
memperoleh penghasilan sebesar $90.000. Jika dirupiahkan dengan kurs 1
US$ = Rp10.000 maka masing-masing ekspatriat memperoleh penghasilan
sebesar Rp900.000.000 (US$90.000 x 10.000). Maka perhitungan PPh Pasal
17-nya adalah sebagai berikut:
Penghasilan selama 7 bulan 900.000.000,00
Penghasilan setahun sebesar
(360:(7*30)) * 900.000.000
1.542.857.142,90
Penghasilan Tidak Kena Pajak
(asumsi TK/0)
36.000.000,00
Penghasilan Kena Pajak 1.506.857.142,90
Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah 1.506.857.000,00
Pajak Penghasilan setahun:
5% * Rp50.000.000,00 Rp2.500.000,00
15% * Rp250.000.000,00 Rp30.000.000,00
25% * Rp500.000.000,00 Rp62.500.000,00
30% * Rp706.857.000,00 Rp212.057.100,00
Jumlah Rp307.057.100,00
Pajak penghasilan yang terutang dalam bagian
tahun pajak (7 bulan)
((7*30):360*307.057.100,00
Rp179.116.641,67
Jadi Mahmud El Mahdi dan Habib El Ali atas penghasilannya dari
Mesir Egyptco Ltd aterkait kontrak dengna PT Asli, harus dikenakan pajak
yang besarnya masing-masing Rp179.116.641,67
ii. Amir El Mousa memperoleh penghasilan sebesar US$ 30.000. Jika
dirupiahkan dengan kurs 1 US$ = Rp10.000 maka Amir El Mousa
memperoleh penghasilan sebesar Rp300.000.000 (US$30.000 x 10.000).
Sehingga PPh Pasal 26 yang dikenakan adalah sebesar 20% dari
Rp300.000.000 yaitu sebesar Rp60.000.000 yang dipotong oleh Mesir
Egyptco Ltd.
REFERENSI
http://ugm.ac.id/id/berita/9973-wamenlu:.hubungan.indonesia-mesir.timpang
Pribadi, Gunawan. 2010. Jurnal Keuangan dan Moneter : Rekonstruksi Kebijakan P3B di Indonesia
Surahmat, Rachmanto. 2000. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda: Sebuah Pengantar. Jakarta : Gramedia Pustaka utama
http://www.kemlu.go.id/id/kebijakan/kerjasama-multilateral/Pages/Gerakan-Non-Blok.aspx
Baker, Paul L. 2012. An Analysis of Double Taxation Treaties and Their Effect on Foreign Direct Investment.University of Cambridge
Hoor. 2011. The OECD Model Tax Convention, A Comprehensive Technical Analysis. Legitech
Ikatan Akuntan Indonesia. 2015. Modul Chartered Accountant Manajemen Perpajakan. Jakarta : Ikatan Akuntan Indonesia
Knechtle, Arnold A.1979. Basic Problems in Internasional Fiscal Law. HFL Publisher
Kurniawan, Anang Mury. 2015. Pajak Internasional beserta Contoh dan Aplikasinya. Bogor : Ghalia Indonesia
Oetomo, Hendharto. Olina Rizki Arizal. Ngakan Putu Ardana. Mudah Memahami Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda. Jakarta : ppm manajemen
Prof. Dr. Gunadi, M.Sc, Ak. 2007. Pajak Internasional. Jakarta : Lembaga Penerbit FEUI