2
',J Senin --- 123 17 18 19 OJan OPeb o Selasa - 4 5 20 OMar ~iblln Jabal' . o Rabu 6 7 21 22 0_ Apr -_9 M~i o Kamis 0 Jumat 0 Sabtu . Mingru 8 9 10 11 12 13 14 15 16 23 24 25 26 ~ 28 29 30 31 OJun 0 Jul 0 Ags . Sep OOkt ONov 0 Des , ._-~---- Hujan AKU melirik arloji di pergelangan tanganku. 5.15. Ah! Sebaiknya aku pulang sekarang. Akan butuh waktu satu jam untuk tiba di asrama. Awan kelabu bergumpal- gumpal. Mungkin sebentar lagi akan hujan. Gumpalan awan itu seolah menjanjikan eurah hujan y~g lebih besar dari yang blasanya turun. "Parung... Parung...! Ciputat... Parung...!! Ayo Neng, Parung... Neng! Bus terakhir, Neng... Parung... Parung... Ciputaaat..." Aku masuk ke dalam bus tanpa menghiraukan promosi kondektur bus. Sedikit pun aku tak pereaya bahwa bus itu adalah bus terakhir ke Ciputat lewat Parung. Semua kondektur selalu mengatakan hal itu meskipun pada kenyataannya masih banyak bus yang akan melalui jalur yang sarna. Sudah eukup banyak penum- pang yang berada dalam bus itu. Aku memilih untuk duduk di sebelah seorang perempuan yang tampaknya sebaya denganku. Perempuan itu hanya mengangguk ketika aku mengueapkan salam. Dari jendela, kulihat mendung semakin pekat. Sesekali mulai tampak kilatan petir. Aku mulai ragu. Tidakkah sebaiknya aku turun saja dan kembali ke toko buku tadi? Tidak nyaman rasanya berada jalan ketika sedang terjadi hujan petir. Keraguan itu harus menyingkir ketika bus yang kutumpangi mulai bergerak meninggalkan Terminal Baranagsiang. Sudahlah. Pulan.,gsaja. Laahau/a wa/aa quwwata ilia billah.... Sudah satu tahun ini aku bekerja di sebuah sekolah berasrama di kawasan Parung. Pekerjaanku menuntut aku untuk tinggal di dalam asrama itu. Hanya di akhir pekan seperti inilah aku dapat bepergian. Nyaris tak ada apa-apa di Parung. Untuk mendapatkan buku yang bagus, aku harus pergi ke Bogor kota atau ke Depok. Parung seolah tetap bertahan sebagai sebuah kota kecamatan yang sepi. Namun di tempat sepi itu tumbuh subur pesantren, boardingschool berlabel Islam, dan sekolah-sekolah mahal dengan fasilitas lengkap. Sekolah yang ditujukan untuk anak-anak para penguasa dan pengusaha yang mampu membayar setidaknya tiga juta ru,piahp~r bulan., . Cerpen Triani Retno A 'l'inggal di dalam asrama pun tak lantas membuat anak-anak itu kehilangan kemewahan dan kenyamanan yang biasa mereka peroleh. Jika waktu liburan tiba, ratusan mobil mewah datang menjemput mereka. Menjadi guru bagi mereka merupakan sebuah tantangan bagiku dan rekan-rekanku. Sebagai guru, aku harus mampu memuaskan dahaga mereka akan ilmu pengetahuan. Sebagai guru, aku pun harus terus meng-up grade ilmuku. Pihak manajemen tak ragu-ragu memotong tunjangan bulanan jika guru tak menunjukkan kinerja yang baik. Terus-menerus menunjukkan kinerja yang buruk akan berujung pada PHK. Keadaan ini ibarat bumi dengan langit dengan ketika aku mengajar di sebuah SD negeri di Bandung. Dua tahun aku mengajar di sana sebagai guru honorer. Tapi itu masih lebih baik dibandingkan temanku yang telah menghabiskan empat belas tahun waktunya untuk menjadi guru honorer. Bagaimanapun rajinnya aku bekerja, aku tak kunjung diangkat ~ - menjadi guru tetap. Yang menyakitkan hatiku, tak sedikit guru tetap-yang telah memper- oleh gajiberlipat-lipat di atasku- bekerja asal-asalan. Mereka sering terlambat dan sebisa mungkin mengalihkan tugasnya pada guru- guru honorer sepertiku. Kalaupun berada di dalam kelas, mereka hanya menyuruh murid-muridnya meneatat atau menyalin dari buku sementara mereka akan asyik dengan telepon seluler, berdandan, atau bahkan makan di dalam kelas. Bagiku, mereka adalah guru palsu. Guru yang hanya makan gaji buta dari uang rakyat. Guru yang hanya menuntut kenaikan gaji tanpa perbaikan kualitas kerja. Guru yang memasukkan umpatan orang-orang teraniaya dalam lembar-lembar uang yang diterimanya. Air hujan jatuh berdebum- debum di atap bus. Di balik deras hujan, samar- samar kulihat bangunan milik Jama'ah Ahmadiyah yang beberapa waktu lalu dihancurkan oleh massa. Aku sudah menempuh se- tengah perjalananku. Kece- masanku muneullagi. Bagaimana jika di Parung nanti hujan masih ....... Kliping Humos Un pod 2009 - -- -- sederas ini? Tak kukira hujan akan turun sederas ini. Bukankah menurut BMG musim hujan telah berlalu? "Deras sekali hujannya " Aku menoleh ketika mendengar perempuan di sebelahku bersuara. Kulihat mata perempuanini menatap keluar dari jendela di sarnpingnya. "Ya," sahutku. "Mana tidak bawa payung." Perempuan itu menoleh. Menatapku. Baru kali ini kuperhatikan perempuan itu. Wajah berbentuk bulat telur itu tampak manis. Rambutnya yang dieat kecokelatan tergerai hingga bahu. Wangi parfum murahan menyeruak dari tubuhnya yang dibalut eelana jins dan blus lengan pendek yang serba ketat. Begitu ketat hingga bagian depan blusnya tak dapat tertutup dengan sempuma. "Teteh turun di mana?" tanya perempuan itu. "Di Parung," sahutku. "Kamu?" "Di Parung juga. Parungnya di mana, Teh?" "SMA Nurul Islam," sahutku lagi. Perempuan itu terdiam sejenak. "Teteh guru, ya?" tanya perempuan itu. Aku mengangguk. "Ya." Perempuan itu terdiam lagi. "Itu sekolah mahal ya, Teh? Saya sering lihat mobil-mobil mewah datang ke sana." Aku mengangguk. Tak tahu harus berkata apa. Entah mengapa, aku merasa tak enak membicarakan hal itu. "Pasti enak ya, Teh, kerja di sana?" tanya perempuan itu lagi. "Alhamdulillah," sahutku. "Kamu kerja? Atau masih kuliah?" Perempuan itu tersenyum sumbang. "Kerja." "Di maI).a?" Perempuan itu tak menjawab. Kualihkan pandangan ke luar jendela. Tujuanku sudah semakin dekat, tapi hujan belum juga reda. "Sebentar lagi sampai ya, Teh?" Aku menghela napas, tak tahu bagaimana earanya agar bisa tiba di asrama tanpa harus basah kuyup. IIYa.11 "Sarna saya saja, Teh. Saya bawa payung," tawar perempuan di sebelahku sarnbil mengeluarkan payung dari dalam tasnya. "Saya turun di dekat situ, kok." "Terima kasih." ._-----

- 9 M~i OJun Jul Ags .. -~----Sep OOkt ONov Des Hujanpustaka.unpad.ac.id/.../uploads/2009/09/tribunjabar-20090927-hujan.pdfCerpen Triani Retno A 'l'inggal di dalam asrama pun tak lantas

Embed Size (px)

Citation preview

',J Senin---123

17 18 19

OJan OPeb

o Selasa-4 5

20

OMar

~iblln Jabal'.

o Rabu

6 721 22

0_Apr-_9M~i

o Kamis 0 Jumat 0 Sabtu . Mingru

8 9 10 11 12 13 14 15 16

23 24 25 26 ~ 28 29 30 31OJun 0 Jul 0 Ags . Sep OOkt ONov 0 Des, ._-~----

HujanAKU melirik arloji di pergelangantanganku. 5.15. Ah! Sebaiknyaaku pulang sekarang. Akan butuhwaktu satu jam untuk tiba diasrama.

Awan kelabu bergumpal-gumpal. Mungkin sebentar lagiakan hujan. Gumpalan awan ituseolah menjanjikan eurah hujany~g lebih besar dari yangblasanya turun.

"Parung... Parung...! Ciputat...Parung...!! Ayo Neng, Parung...Neng! Bus terakhir, Neng...Parung... Parung... Ciputaaat..."

Aku masuk ke dalam bus tanpamenghiraukan promosi kondekturbus. Sedikit pun aku tak pereayabahwa bus itu adalah bus terakhirke Ciputat lewat Parung. Semuakondektur selalu mengatakan halitu meskipun pada kenyataannyamasih banyak bus yang akanmelalui jalur yang sarna.

Sudah eukup banyak penum-pang yang berada dalam bus itu.Aku memilih untuk duduk disebelah seorang perempuan yangtampaknya sebaya denganku.Perempuan itu hanyamengangguk ketika akumengueapkan salam.

Dari jendela, kulihat mendungsemakin pekat. Sesekali mulaitampak kilatan petir. Aku mulairagu. Tidakkah sebaiknya akuturun saja dan kembali ke tokobuku tadi? Tidak nyaman rasanyaberada jalan ketika sedang terjadihujan petir.

Keraguan itu harus menyingkirketika bus yang kutumpangimulai bergerak meninggalkanTerminal Baranagsiang. Sudahlah.Pulan.,gsaja. Laahau/a wa/aaquwwata ilia billah....

Sudah satu tahun ini akubekerja di sebuah sekolahberasrama di kawasan Parung.Pekerjaanku menuntut aku untuktinggal di dalam asrama itu.Hanya di akhir pekan sepertiinilah aku dapat bepergian.

Nyaris tak ada apa-apa diParung. Untuk mendapatkanbuku yang bagus, aku harus pergike Bogor kota atau ke Depok.Parung seolah tetap bertahansebagai sebuah kota kecamatanyang sepi. Namun di tempat sepiitu tumbuh subur pesantren,boardingschoolberlabel Islam, dansekolah-sekolah mahal denganfasilitas lengkap. Sekolah yangditujukan untuk anak-anak parapenguasa dan pengusaha yangmampu membayar setidaknyatiga juta ru,piahp~r bulan., .

Cerpen Triani Retno A

'l'inggal di dalam asrama pun taklantas membuat anak-anak itukehilangan kemewahan dankenyamanan yang biasa merekaperoleh. Jika waktu liburan tiba,ratusan mobil mewah datangmenjemput mereka.

Menjadi guru bagi merekamerupakan sebuah tantanganbagiku dan rekan-rekanku.Sebagai guru, aku harus mampumemuaskan dahaga mereka akanilmu pengetahuan. Sebagai guru,aku pun harus terus meng-upgrade ilmuku. Pihak manajementak ragu-ragu memotongtunjangan bulanan jika guru takmenunjukkan kinerja yang baik.Terus-menerus menunjukkankinerja yang buruk akan berujungpada PHK.

Keadaan ini ibarat bumi denganlangit dengan ketika akumengajar di sebuah SD negeri diBandung. Dua tahun akumengajar di sana sebagai guruhonorer. Tapi itu masih lebih baikdibandingkan temanku yang telahmenghabiskan empat belas tahunwaktunya untuk menjadi guruhonorer.

Bagaimanapun rajinnya akubekerja, aku tak kunjung diangkat

~ -menjadi guru tetap. Yangmenyakitkan hatiku, tak sedikitguru tetap-yang telah memper-oleh gajiberlipat-lipat di atasku-bekerja asal-asalan. Mereka seringterlambat dan sebisa mungkinmengalihkan tugasnya pada guru-guru honorer sepertiku. Kalaupunberada di dalam kelas, merekahanya menyuruh murid-muridnyameneatat atau menyalin dari bukusementara mereka akan asyikdengan telepon seluler, berdandan,atau bahkan makan di dalam kelas.

Bagiku, mereka adalah gurupalsu. Guru yang hanya makan gajibuta dari uang rakyat. Guru yanghanya menuntut kenaikan gajitanpa perbaikan kualitas kerja.Guru yang memasukkan umpatanorang-orang teraniaya dalamlembar-lembar uang yangditerimanya.

Air hujan jatuh berdebum-debum di atap bus.

Di balik deras hujan, samar-samar kulihat bangunan milikJama'ah Ahmadiyah yangbeberapa waktu lalu dihancurkanoleh massa.

Aku sudah menempuh se-tengah perjalananku. Kece-masanku muneullagi. Bagaimanajika di Parung nanti hujan masih .......

Kliping Humos Un pod 2009

- -- --

sederas ini? Tak kukira hujan akanturun sederas ini. Bukankahmenurut BMG musim hujan telahberlalu?

"Deras sekali hujannya "Aku menoleh ketika mendengar

perempuan di sebelahku bersuara.Kulihat mata perempuaninimenatap keluar dari jendela disarnpingnya.

"Ya," sahutku. "Mana tidakbawa payung."

Perempuan itu menoleh.Menatapku.

Baru kali ini kuperhatikanperempuan itu. Wajah berbentukbulat telur itu tampak manis.Rambutnya yang dieat kecokelatantergerai hingga bahu. Wangiparfum murahan menyeruak daritubuhnya yang dibalut eelana jinsdan blus lengan pendek yang serbaketat. Begitu ketat hingga bagiandepan blusnya tak dapat tertutupdengan sempuma.

"Teteh turun di mana?" tanyaperempuan itu.

"Di Parung," sahutku. "Kamu?""Di Parung juga. Parungnya di

mana, Teh?""SMA Nurul Islam," sahutku

lagi.Perempuan itu terdiam sejenak.

"Teteh guru, ya?" tanyaperempuan itu.

Aku mengangguk. "Ya."Perempuan itu terdiam lagi. "Itu

sekolah mahal ya, Teh? Saya seringlihat mobil-mobil mewah datangke sana."

Aku mengangguk. Tak tahuharus berkata apa. Entah mengapa,aku merasa tak enakmembicarakan hal itu.

"Pasti enak ya, Teh, kerja disana?" tanya perempuan itu lagi.

"Alhamdulillah," sahutku."Kamu kerja? Atau masihkuliah?"

Perempuan itu tersenyumsumbang. "Kerja."

"Di maI).a?"Perempuan itu tak menjawab.Kualihkan pandangan ke luar

jendela. Tujuanku sudah semakindekat, tapi hujan belum juga reda.

"Sebentar lagi sampai ya, Teh?"Aku menghela napas, tak tahu

bagaimana earanya agar bisa tiba diasrama tanpa harus basah kuyup.IIYa.11

"Sarna saya saja, Teh. Saya bawapayung," tawar perempuan disebelahku sarnbil mengeluarkanpayung dari dalam tasnya. "Sayaturun di dekat situ, kok."

"Terima kasih."

._-----

\, ,

R!Enpmitu berdiri."Siap-siap,Teh."

Aku ikutberdiri, berjalanmendekati pintu."Kiri!!" seruku.

Bus berhenti dua puluhmeter lewat dari tempat yangkutuju.

Derai air langsung menyambutketika pintu bus terbuka.Perempuan yang baru kukenal itumengembangkan payungnya.

Ah! Bisakah payung sekecil itumelindungi kami berdua?

Tanpa memberiku waktu untuklebih lama merasa ragu,perempuan itu menarik tanganku,mengajakku berlari ke sebuahwarung yang berada tak jauh daritempat kami turun, "Ayo, Teh.Berteduh dulu!"

Aku tak melihat alasan kuatuntuk menolak. Ujung-ujung rokdan kerudungku sudah basah .oleh air. Payung kecil itu memangtak mampu melindungi kami darig~ruran huja~. "

Halo, Maml..."Baru datang, Mira?" tanya

Mami, pemilik warung itu."Ya, Mam. Baru dari Bogor,"

sahut Mira, ternan baruku itu.Mami memperhatikanku dari

atas ke bawah. "Siapa ini, Mira?""Ternan saya, Mam," sahut

Mira tanpa ragu.Aku melirik Mira."Ternan? Mana mungkin kamu

punya ternan ustazah begini?"cibir Mami.

"Saya memang temannya Mira,Bu," kataku.

Perempuan yang dipanggilMami itu mendengus. "Janganlama-lama di sini."

Mira diam saja.Ketika hujan sedikit mereda,

Mira segera mengajakku pergi."Masih hujan, Mira," kataku."Nggak apa-apa, Teh, daripada

dimarahi Mami. Teteh aja yang

~Saya

biarbasah-

basahan."Aku

menarik Miraagar merapat

padaku. Ah! Apa kataorang jika melihat Mira saat ini?Baju basahnya tak mampu lagimenutupi tubuhnya.

"Saya senang hujan," kata Mira."Kenapa?""Hujan membuat saya merasa

lebih bersih."Mira mengantarku hingga ke

pos satpam. Ia menolak ketikakuajak mampir, sekadar untukberganti pakaian. Ia pergi tanpabanyak kata. Sekali kulihat iamenoleh ke arahku, lalu kembalimelangkah di bawah derai hujan.

Aku hanya tahu namanya Mira.Lima hari kemudian, saat pagi

baru saja datang, kudengarkeributan di luar asrama. Bersamabeberapa orang guru danpengawas, aku berlari ke halamandepan.

Dari satpam yang berjaga dipintu gerbang kudengar berita itu.Sekelompok massa melakukanrazia dan menghancurkan ban yakwarung di sepanjang jalan rayaParung.

"Di sini memaog banyakwarung remang-remang, Bu.Tempat pelacuran kelas bawah."

Aku terkesima. Warungtempatku berteduh dulu termasukyang dihancurkan oleh massa.

Aku berdiri beku di sini, disebuah sekolah Islam yang beradadi tengah lingkungan yang penuhmaksiat. Atau mungkin sebalik-nya, maksiat yang tumbuh suburdi tengah masyarakat yangmengaku beragama Islam.

Mendung bergayut di langitpagi. Mungkin Mira akan datang,membasuh diri di bawah derai

.hujan.***

--- -