Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB II
DINAMIKA POLITIK IRAK DAN SUKU KURDI
2.1 Sejarah Kurdistan Irak
Dalam sejarahnya, wilayah Kurdi berada di sebelah utara tengah di wilayah
Timur Tengah yang kini bersebelahan dengan negara-negara Iran, Irak, Suriah, dan
Turki. Selama ribuan tahun, wilayah Kurdi tersebut menjadi daerah lalu lalang bagi
beragam suku seperti Turki, Arab, Persia, Kurdi, Armenia, Asyur, Chechen, dan
Azuri yang bermigrasi, ada yang menjadikannya tujuan untuk menetap, dan adapula
yang memang sudah tinggal di wilayah tersebut sebagai pribumi. Dalam rekam
jejaknya, beragam suku tersebut telah berjuang baik secara politis maupun dengan
kekerasan, baik dengan cara menyerang ataupun bertahan untuk menjadikan
wilayah Kurdi sebagai tempat tinggal yang aman bagi masing-masing suku. Karena
letaknya yang menjadi salah satu persimpangan di Timur Tengah, wilayah Kurdi
telah menjadi rumah singgah bagi antar suku yang bersengketa dalam medan
perang, sebagaimana koeksistensi antar suku yang damai juga berlangsung. Kurdi
menjadi saksi bisu atas berbagai penjajahan dan penakhlukan seperti Persia Kuno
dari timur, Alexander Agung dari barat, Muslim Arab di Abad ke-7 dari selatan,
Seljuk Turki pada abad ke-11 dari timur, orang-orang Mongol di Abad ke-13 dari
Timur, Persia abad pertengahan dari timur dan Turki Utsmaniyah dari utara pada
abad ke-16. Dengan keadaan yang tidak aman tersebut maka untuk dapat bertahan
hidup dan melindungi diri beserta suku, dengan terpaksa mereka suku Kurdi harus
2
menjalani gaya hidup nomaden dan berpindah ke daerah pegunungan sebagai
tempat tinggal dan perlindungan yang aman.1
Perang Dunia Pertama (1914-1918) adalah awal mula berdirinya negara-
negara yang telah ditentukan pula setiap perbatasannya di Timur Tengah, Eropa,
dan Asia dalam konferensi Perdamaian Paris oleh negara-negara Sekutu. Bagi
bangsa Kurdi, momen tersebut adalah kesempatan untuk mendirikan negara
impiannya yakni Kurdistan. Presiden Amerika Serikat ke-28, Woodrow Wilson
dalam pidatonya pada 8 Januari 1918 telah mendeklarasikan 14 pasal gagasan
tentang prinsip-prinsip perdamaian sebagai upaya untuk mengakhiri Perang Dunia
I.2 Pada butir pasal ke 12 tercantum konsep yang menyerukan kepada setiap negara-
negara untuk menentukan nasibnya sendiri, pada poin tersebut secara langsung
menyebut tentang masa depan orang-orang non-Turki yang hidup dibawah
kekaisaran Ustmaniyah harus menentukan nasibnya sendiri, agar mendapat
kesempatan untuk pembangunan yang otonom. Namun hal tersebut bertentangan
dengan ambisi kekaisaran Eropa dalam perjanjian Sykes-Picot3 pada tahun 1916
yang berisi bahwa Inggris dan Prancis telah sepakat untuk membagi kendali atas
wilayah provinsi Suriah dan Mesopotamia dibawah kekaisaran Ustmani dibagi
menjadi 5 negara yakni Lebanon dan Suriah akan berada di bawah kendali Prancis,
sementara Palestina, Yordania, dan Irak (termasuk provinsi Mosul) akan berada di
bawah kendali Inggris.4
1 The Kurdish Project, Kurdish History, diakses dalam https://thekurdishproject.org/history-and-culture/kurdish-history/ (13/8/2018 09.00 WIB) 2 History.com editors, Fourteen Points, diakses dalam https://www.history.com/this-day-in-history/wilson-delivers-fourteen-points-speech (14/7/2018 10.00 WIB) 3 Sykes-Picot Agreement, diakses dalam https://www.saylor.org/site/wp-content/uploads/2011/08/HIST351-9.2.4-Sykes-Picot-Agreement.pdf (19/10/2017 13.00 WIB) 4 The Kurdish Project, Loc. Cit.
3
Pada masa pasca perang dunia I, bangsa Kurdi tidak mempunyai tokoh
pemersatu yang dapat mewakili semua bangsa Kurdi. Beberapa sosok Kurdi yang
sebelumnya sempat muncul ke permukaan tidak mendapat dukungan luas diantara
bangsa Kurdi ditambah adanya pengaruh Inggris yang memberikan anggapan
bahwa keinginan untuk membentuk negara merdeka bagi bangsa Kurdi tersebut
dinilai terlalu agresif dan berlebihan. Selain itu, Inggris juga telah gagal
menyediakan solusi alternatif atas Perjanjian Sykes-Picot dan tidak dapat
menawarkan ide yang jelas tentang bagaimana masa depan Kurdi mendatang.
Seiring berjalannya waktu ketika perbatasan di Timur Tengah semakin
memadat, masalah kenegaraan Kurdi kembali muncul pada sekitar tahun 1920-an.
Masalah tersebut mengenai ketidakjelasan kebijakan Inggris terhadap Kurdi.
Mengenai kemungkinan kemerdekaan Kurdi berasal dari keputusan Inggris untuk
mengatur wilayah Kurdi Irak secara terpisah dari sisa wilayah Irak dalam Perjanjian
Sevres, yang telah menjajikan Kurdi sebuah daerah otonom dan merdeka yang
dapat diajukan kepada Liga Bangsa-Bangsa.5 Namun di sisi lain, tindakan tersebut
bertentangan dengan Perjanjian Lausanne 1923, yakni perjanjian damai antara
negara-negara sekutu dan Turki. Karena dalam Perjanjian Lausanne tidak memuat
tentang ketentuan untuk kemerdekaan Kurdi, dan dengan aliansi 1924 antara
Inggris dan Irak, yang dikondisikan pada Inggris untuk mengamankan hak-hak Irak
di Mosul.6 Pada tahun 1926 Liga Bangsa-Bangsa secara resmi telah memberikan
kontrol Mosul dan wilayah sekitarnya kepada Irak daripada kepada Turki, hal
tersebut membuat Mosul tidak lagi di bawah pengaruh Ustmaniyah, Inggris
5 Izady, Mehrdad R., 1992, The Kurds: A Concise Handbook, Washington, D.C.: Taylor & Francis, hal. 59. 6 McDowall, David, 2003, Modern History of the Kurds, New York: I.B. Tauris, hal. 43.
4
mengupayakan orientasi kembali masyarakat dan ekomomi provinsi terhadap
Baghdad dan Basra.7 Isi Perjanjian Sevres dan Perjanjian Lausanne yang
bertentangan membuat Inggris dalam situasi yang sulit, terlebih dengan tidak
adanya peluang dari Perjanjian Lausanne dan aliansi 1924 terhadap otonomi
maupun kedaulatan Kurdi. Dilihat dari pertentangan tersebut kebijakan Inggris
mengenai otonomi dan kemerdekaan Kurdi tampak kurang selaras.
Keinginan Kurdi untuk mencapai otonomi dan kemerdekaan dengan
terpaksa telah beberapa kali mengalami penundaan karena mereka tidak kunjung
mendapatkan dukungan dari aktor regional pasca Perang Dunia I. Perjanjian yang
telah dilaksanakan oleh Liga Bangsa-bangsa menghasilkan sistem mandat, yakni
sebuah otorisasi yang diberikan oleh Liga Bangsa-Bangsa kepada negara anggota
untuk mengatur bekas koloni Jerman atau Turki Ustmani, wilayah tersebut disebut
dengan wilayah yang dimandatkan, atau mandat. Dalam prakteknya negara-negara
aliansi pemenang perang atau negara yang lebih maju diberikan mandat untuk turut
mengelola administrasi dan mengawasi wilayah-wilayah yang belum siap untuk
menjadi merdeka.8 Atas dasar tersebut kemudian Inggris menjalankan mandatnya
di Irak. Namun dalam penerapan mandat tersebut Inggris harus menghadapi
hambatan yakni adanya pemberontakan dari masyarakat Irak sendiri yang didasari
sentimen anti-Inggris. Dengan pemberontakan tersebut membuat Inggris tidak
ingin berlama-lama berada di Irak. Kemudian Inggris dengan pemerintahan
monarki Irak mengadakan perundingan yang membahas tentang penghentian
mandat lebih awal agar memungkinkan Irak menjadi merdeka pada tahun 1932,
7 Shields, Sarah, 2009, Mosul, the Ottoman Legacy and the League of Nations, International Journal of Contemporary Iraqi Studies, Vol. 3, No. 2, hal. 217–230. 8 The Editors of Encyclopaedia Britannica, Mandate League of Nations diakses dalam https://www.britannica.com/topic/mandate-League-of-Nations (8/8/2018 08.00 WIB)
5
namun dalam perundingan tersebut mengabaikan ketentuan hak-hak Kurdi. Ketika
kabar tentang ketentuan kemerdekaan telah menyebar luas, tokoh Kurdi memohon
kepada Liga Bangsa-Bangsa untuk otonomi atau kemerdekaan dan pengakuan atas
hak-hak Kurdi lainnya yang telah gagal diberikan oleh pemerintah di Baghdad.9
Hal tersebut memicu bangkitnya nasionalisme Kurdi meluas ke seluruh wilayah
menjadi aksi demonstrasi massa pada September 1930 di Sulaimaniyah memprotes
atas tuntutan Kurdi yang telah lama diabaikan. Keberatan Kurdi terhadap
kemerdekaan Irak yang bersyarat sesuai kesepakatan menghambat rencana Inggris
untuk mengakhiri mandat, karena mandat akan dianggap berakhir oleh Liga
Bangsa-Bangsa apabila Baghdad dapat mengambil alih kedaulatan dan Irak siap
merdeka. Karena Inggris ingin segera mengakhiri masa mandat tersebut maka
Inggris bekerja sama dengan pemerintah Irak untuk membungkam isu keberatan
Kurdi atas perintah Arab.10 Hal tersebut membuat upaya pemisahan diri Kurdi
kembali gagal terlaksana hingga pada 1932 Irak telah merdeka.
Pada akhir masa mandat Inggris di Irak menjelang era kepemimpinan
Saddam Hussein, bangsa Kurdi berusaha untuk mempromosikan kepentingan
Kurdi dengan cara menjalin hubungan dengan aktor baik di dalam maupun luar
negeri. Pada 1958 Monarki Irak runtuh karena adanya kudeta sehingga
mengakibatkan kekuasaan pemerintahan yang terbagi dikuasai oleh militer, partai
Nasser, dan partai Baath. Kurdi sebelumnya pernah mendekat dengan ketiga pihak
tersebut namun karena tidak dapat mencapai kepentingan yang dituju, kemudian
ketigaanya meninggalkan Kurdi.
9 McDowall, Op. Cit., hal. 172–173. 10 McDowall, Op. Cit., hal. 177.
6
Selain adanya faktor dari luar, adapula faktor internal yang menghambat
Kurdi mencapai otonomi ataupun kemerdekaan sebelum masa Saddam yakni
adalah terbaginya kepemimpinan Kurdi. Kurdi hanya dianggap sebagai organisasi
politik yang terbatas pada sekitar tahun 1930, setiap kali muncul pergerakan politik
Kurdi langsung mendapatkan tekanan dari Baghdad.11 Oleh sebab itu kemudian
mulai bangkit semangat solidaritas pan-Kurdi pada sekitar tahun 1940. Nama
Mullah Mustafa Barzani mulai dikenal oleh kalangan Kurdi karena telah dengan
berani memimpin pemberontakan melawan militer Irak pada 1943.12 Dengan
kemampuannya menyatukan semangat bangsa Kurdi, Mustafa Barzani
mempelopori berdirinya partai bagi bangsa Kurdi yakni Partai Demokrat Kurdistan
(KDP) pada tahun 1946 di Mahabad Iran. Dalam perjalanan memperjuangkan hak
dan kemerdekaan Kurdi, KDP menghadapi permasalahan internal yang disebabkan
karena kegagalannya dalam mempertahankan dukungan dari Iran dan juga
kekalahan atas pasukan pemerintah pada tahun 1970-an. Hal tersebut
mengakibatkan pelemahan KDP, perjuangan Kurdi mengalami jeda untuk
sementara waktu, dan akhirnya sebagian pihak memilih untuk mendirikan partai
sendiri yakni Persatuan Patriotik Kurdistan (PUK) yang dipimpin oleh Jalal
Talabani.13 PUK sendiri berdomisili di Provinsi Sulaymaniah bagian Timur,
sedangkan KDP berada di bagian barat laut provinsi Erbil dan Dohuk. Perpecahan
yang terjadi pada internal Kurdi yang terjadi ialah tentang persaingan
memperebutkan pengaruh terhadap masyarakat Kurdi. Persaingan tersebut
11 McDowall, Op. Cit., hal. 287–288. 12 McDowall, Op. Cit., hal. 293 13 Jabary, et. al., 2013, “The Kurdish Mirage: A Success Story in Doubt,” Middle East Policy, Vol. 20, No. 2, hal. 99–112.
7
sesungguhnya merugikan pihak Kurdi sendiri karena perjuangan untuk mencapai
kemerdekaan yang mereka lakukan sejak lama menjadi terhambat.
2.2 Hubungan Kurdi dan Irak Pada Masa Saddam Hussein
Pada tahun 1959 Saddam Hussein beserta partai Baath terlibat dalam
percobaan pembunuhan terhadap presiden Irak saat itu yakni Abd Al-Karim Qasim,
Qasim berasal dari golongan perlawanan yang menolak bergabung dengan United
Arab Republik (Republik Persatuan Arab) dan beraliansi dengan partai komunis
Irak.14 Keadaan tersebut membuat Qasim dalam posisi yang bertentangan dengan
partai Baath. Percobaan pembunuhan terhadap Qasim gagal karena ia berhasil
selamat walaupun sempat menderita beberapa luka tembak. Beberapa pelaku
pembunuhan berhasil ditangkap dan dihukum mati, sementara Saddam Hussein
berhasil melarikan diri ke Mesir dan selama masa pelariannya Saddam menempuh
pendidikan di sekolah hukum.
Saddam Hussein kembali ke Irak setelah gerakan kudeta yang disebut
Revolusi Ramadhan berhasil menggulingkan kekuasaan Qasim pada tahun 1963. 15
Keberhasilan kudeta tersebut merubah Irak dari negara monarki menjadi negara
republik dan sekaligus mengangkat Ahmed Hassan Al-Bakr dari partai Baath
menjadi presiden beserta Saddam Hussein sebagai wakilnya. Sejak menjadi wakil
presiden karir politik Saddam semakin meningkat, sikap politisnya dapat dikatakan
efektif dan progresif walaupun di sisi lain sikapnya juga keras sebagai pejabat
negara. Banyak perubahan yang dilakukan pada masa Abd Hassan Al-Bakr dan
14 Biography.com editors, Saddam Hussein Biography, diakses dalam https://www.biography.com/people/saddam-hussein-9347918 (5/10/2018 12.00 WIB) 15 Derek Davison, Iraq’s Ramadan Revolution (1963), diakses dalam https://attwiw.com/2018/02/08/today-in-middle-eastern-history-iraqs-ramadan-revolution-1963/ (5/10/2018 14.00 WIB)
8
Saddam Hussein terhadap kemajuan Irak seperti meningkatnya pembaruan
infrastruktur, industri, sistem perawatan-kesehatan, meningkatkan pelayanan
sosial, pendidikan, dan subsidi pertanian yang tinggi. Pencapaian lainnya yakni
keberhasilan upaya nasionalisasi industri minyak yang sangat menguntungkan bagi
ekonomi Irak sebelum terjadinya krisis energi tahun 1973. Sementara
pembangunan dan pencapaian tersebut berlangsung, di sisi lain Saddam juda
sedang menjalankan program pengembangan senjata kimia pemusnah massal.
Demi mengamankan kepentingan sekaligus mencegah timbulnya gerakan kudeta,
Saddam melakukan segala cara untuk mencapai tujuan tersebut diantaranya yakni
dengan membentuk pasukan keamanan yang terdiri dari paramiliter partai Baath
dan tentara rakyat Irak, yang dalam prakteknya seringkali menggunakan cara-cara
kekerasan seperti yang telah dilakukan terhadap lawan partai Baath dan Kurdi.
Pada tahun 1970-an sering terjadi persengketaan antara Irak dengan Iran di
daerah perbatasan keduanya. Kurdi Irak sempat mendapat tawaran dana dan
persenjataan dari Shah Iran untuk melawan pasukan Saddam Hussein dan membuat
militer Irak sibuk. Kurdi tidak serta merta percaya kepada Shah kecuali ada jaminan
dari Amerika Serikat bahwa Iran tidak akan mengganggu perjuangan Kurdi.16
Pada tahun 1979 terjadi benturan antara Al-Bakr dengan Saddam karena
perbedaan pandangan. Al-Bakr berupaya menyatukan negara Irak dengan Suriah,
keputusan tersebut juga merupakan cara Al-Bakr untuk meninggalkan Saddam.
Namun Saddam tidak setuju dengan upaya menyatukan Irak dengan Suriah oleh
Al-Bakr, kemudian Saddam melakukan kudeta agar Al-Bakr turun dari jabatan
16 Ted Snider, A Brief History of American Betrayal of The Kurds, diakses dalam https://zcomm.org/znetarticle/a-brief-history-of-american-betrayal-of-the-kurds (9/11/2018 15.00 WIB)
9
presiden Irak. Jabatan presiden Irak kemudian diisi oleh Saddam Hussein pada 16
Juli 1979.17 Tidak lama setelah menjabat sebagai presiden Saddam mengumpulkan
68 orang oknum dalam tubuh partai Ba’ath yang terlibat dalam upaya penghianatan
untuk kemudian dikenai hukuman dan diadili, sejumlah 22 orang diantaranya
dieksekusi mati.
Nasib bangsa Kurdi di Irak semakin berat pada masa kepemimpinan
Saddam Hussein sebagai presiden. Pada tahun 1979 berlangsung gerakan revolusi
Islam yang dipimpin oleh Ayatollah Khomeini di Iran.18 Mengetahui hal tersebut
Saddam khawatir gerakan revolusi Islam yang berlatar Syiah seperti di Iran akan
dapat memicu gerakan serupa di Irak. Untuk membendung kemungkinan tersebut,
Saddam memerintahkan pasukan militer Irak untuk menyerang Iran tepatnya di
daerah Khuzestan. Selain Irak, negara-negara Arab dan negara-negara Barat juga
mengkhawatirkan radikalisme dalam gerakan revolusi Islam tersebut dapat
menyebar semakin luas serta membawa dampak bagi kawasan dan dunia. Maka
dari itu sebagian besar negara-negara Arab dan negara-negara barat mendukung
langkah yang diambil oleh Saddam. Namun disisi lain sebenarnya penyerangan Irak
terhadap Iran merupakan tindakan invasi yang melanggar hukum internasional.
Konflik yang berlangsung antara Irak-Iran dimanfaatkan oleh Kurdi Irak
sebagai kesempatan untuk melawan pemerintah Irak sendiri yang tujuannya yaitu
agar Kurdi mendapatlan wilayah otonom Kurdistan yang berdaulat. Dengan
dukungan dari Iran, pasukan Kurdi beraliansi dengan Iran sebagai pasukan gerilya
17 Alireza Nader, et. al, 2016, Regional Implications of an Independent Kurdistan, RAND Corporation, Santa Monica, Calif, Hal. 18 18 D. Parvaz, Iran 1979: The Islamic Revolution That Shook The World, diakses dalam https://www.aljazeera.com/indepth/features/2014/01/iran-1979-revolution-shook-world-2014121134227652609.html (10/10/2018 09.00 WIB)
10
melawan Irak menyusup dari dalam. Pasukan gerilya Kurdi berperan membuka
pintu lain untuk membagi operasi militer Irak. Sebagian besar pasukan militer Irak
membendung pemberontakan Kurdi. Pasukan Kurdi bergabung bersama pasukan
Iran melawan pasukan militer Irak. Hasilnya pasukan gabungan Iran dan pasukan
gerilya Kurdi berhasil menguasai pangkalan militer Irak di Halabja pada bulan
Maret 1988. Dua hari setelah itu Saddam memerintahkan militer Irak bersama ahli
kimia Jenderal Ali Hasan Al Majid untuk membalas pasukan Kurdi dengan
melaksanakan Operasi Anfal mengerahkan pasukan angkatan udara menjatuhkan
bom napalm beserta serangan senjata kimia ke daerah kependudukan Kurdi di
Halabja. Dampak dari Operasi Anfal tersebut adalah 3.000-5.000 warga sipil Kurdi
menjadi korban jiwa yang banyak diantaranya adalah wanita dan anak-anak, serta
10.000 korban lainnya mengalami luka parah.19 Menurut Saddam Hussein
penyerangan terhadap pemerintah Irak oleh bangsa Kurdi yang beraliansi dengan
Iran merupakan tindakan penghianatan maka penumpasan terhadap bangsa Kurdi
merupakan keputusan yang wajar sebagai hukumannya. Setelah beberapa tahun
konflik Irak-Iran berlangsung telah menewaskan banyak korban jiwa di kedua
pihak, maka pada 20 Agustus 1988 tercapai kesepakatan untuk gencatan senjata.
Pasca konflik dengan Iran, Irak dalam keadaan darurat pembangunan
infrastruktur dan ekonomi akibat perang. Irak harus segera pulih dari keadaan
terpuruk tersebut untuk dapat bertahan hidup. Saddam Hussein melihat Kuwait
sebagai negara tetangga yang juga penghasil minyak mempunyai potensi ekonomi
yang menguntungkan bagi Irak dan dapat digunakan sebagai sumber percepatan
19 The Kurdish Project, Kurdish Genocide, diakses dalam https://thekurdishproject.org/history-and-culture/kurdish-history/kurdistan-genocide/ (24/10/2018, 13.00 WIB)
11
ekonomi untuk pemulihan Irak. Kemudian pada tanggal 2 Agustus 1990 Saddam
memberi komando kepada pasukannya untuk menginvasi Kuwait dengan dalih
bahwa Kuwait merupakan bagian historis dari Irak. Invasi tersebut jelas telah
melanggar ketertiban dan keamanan dunia sehingga mendapatkan respon yang
tegass dari PBB. Dewan keamanan PBB telah mengesahkan sebuah resolusi dengan
memberikan sanksi ekonomi kepada Irak dan menetapkan tenggang waktu agar Irak
menarik pasukannya meninggalkan Kuwait. Namun karena keberadaan pasukan
Irak di Kuwait telah melebihi batas waktu yakni 15 Januari 1991, pasukan Irak
harus berhadapan dengan pasukan koalisi PBB yang dipimpin oleh Amerika
Serikat. Setelah 6 minggu pertempuran tersebut akhirnya pasukan Irak terpaksa
mundur meninggalkan Kuwait dengan kesepakatan gencatan senjata dan peretujuan
untuk melucuti senjata kimianya. Keadaan perekonomian Irak semakin terpuruk
lantaran kembali mendapat sanksi ekonomi atas invasi Kuwait sementara sanksi
ekomoni yang sebelumnya juga tetap berlaku.20
Krisis ekonomi yang dilanda atas kekalahan perang semakin membuat
perpecahan diantara masyarakat Irak. Selama tahun 1990-an terjadi beberapa
permberontakan oleh penganut Syiah dan Kurdi di Irak. Namun pemberontakan
tersebut tidak mendapatkan dukungan dari luar, karena adanya ketakutan akan
perang lain yang akan terjadi, ketakutan akan penyebaran Islam yang fundamental,
bahkan pejuang Kurdi di Turki juga tidak membantu pemberontakan tersebut.
Akhirnya pemberontakan penganut Syiah dan Kurdi di Irak dibalas dengan
penumpasan oleh pasukan Irak atas perintah Saddam Hussein yang semakin
20 History.com Editors, Iraq Invades Kuwait, diakses dalam https://www.history.com/this-day-in-history/iraq-invades-kuwait (11/10/2018 WIB)
12
represif. Kabar mengenai senjata kimia dalam serangan di Halabja pada Maret 1988
tersebar keluar sehingga semakin menarik perhatian komunitas internasional
kepada bangsa Kurdi. Penganiayaan dan penindasan terhadap bangsa Kurdi yang
tidak kunjung berhenti mendorong semangat persatuan bagi bangsa Kurdi Irak
untuk memperjuangkan kemerdekaan Kurdi.
Mengetahui konflik yang terjadi diantara Kurdi dengan pemerintah Irak,
Dewan Keamanan PBB menegur dengan keras atas banyaknya korban sipil yang
berjatuhan dan memerintahkan kepada Saddam Hussein agar menghentikan
serangannya pada warga sipil di daerah konflik yang sebagian besar dihuni oleh
Kurdi di bagian utara dan Syiah di bagian selatan.21 Selang beberapa waktu
datanglah bantuan dari militer Amerika Serikat dalam rangka kampanye
kemanusiaan (Operation Provide Comfort)22 berupa persediaan dan perlindungan
bagi pengungsi warga Kurdi saat kembali ke tempat tinggal. Selain itu Amerika
Serikat juga memberlakukan zona larangan terbang sebagai upaya pencegahan
serangan udara militer Irak di wilayah Irak utara demi keamanan warga sipil Kurdi.
Setelah negosiasi otonomi yang diperbarui antara Irak dengan Kurdi runtuh,
Sadddam Hussein memutuskan untuk memblokade wilayah Kurdi.23 Sementara
Kurdi dilanda embargo ekonomi dari Baghdad, adanya bantuan internasional dan
keamanan yang tersedia menjadi kesempatan bagi Kurdi untuk membangun
otonomi politik dan ekonomi secara de facto tanpa terganggu intervensi dari
Baghdad.
21 United Nations Security Council, 1991, Resolution 688: Iraq, New York 22 Stewart, et. al., 2010, American Military History, Volume II: The United States Army in a Global Era, 1917–2008, Washington, D.C., hal. 431. 23 McDowall, Op. Cit., hal. 378.
13
Pada Januari tahun 1992 diselenggarakan pertemuan di Suriah yang terdiri
dari KDP, PUK dan perwakilan oposisi Irak yang membahas tentang pembentukan
pemeritahan, berencana untuk menyusun parlemen dan memilih pemimpin baru
pada bulan Mei di tahun yang sama. Hasil dari pemilihan tersebut yakni suara yang
diperoleh KDP dan PUK hampir seimbang hanya berselisih sedikit, kemudian
diputuskan sebuah kesepakatan tentang pembagian kekuasaan agar adil untuk
kedua pihak. Dari pemilihan parlemen kemudian dibentuk Majelis Nasional
Kurdistan (disebut juga Parlemen Kurdistan) dan dasar KRG (Kurdistan Regional
Government).24
Perolehan suara yang terbagi menjadi dua polar antara KDP dan PUK yang
diketuai oleh Barzani dengan Talabani secara tidak langsung berdampak pada
perpecahan secara politis dalam hal kekuasaan terhadap Kurdi. Hal tersebut dapat
menimbulkan permusuhan hingga terjadi perang saudara dalam internal Kurdi yang
mengakibatkan jatuhnya korban jiwa diantara kedua pihak. Menanggapi konflik
bersaudara tersebut, Saddam turun tangan dengan cara memberikan bantuan
persenjataan kepada KDP dengan tujuan agar pengaruh bantuan AS terhadap Kurdi
dapat dikurangi sekaligus sebagai sikap tegas bahwa Irak masih berkuasa atas
wilayah Irak Utara. Di sisi lain, PUK juga mendapat bantuan dari Iran dalam konflik
tersebut, Iran juga berupaya mengurangi agar pengaruh AS atas Kurdi dapat
berkurang.25 Dalam situasi Kurdi yang sedang dalam keadaan konflik internal,
datanglah pihak luar yakni Saddam Hussein dan Iran berusaha memanfaatkan Kurdi
demi kepentingannya dengan dalih memberi bantuan. Dengan bantuan dari pihak
24 Kurdistan Regional Government Department of Foreign Relations, 2016.25 McDowall, Op. Cit., hal. 388–389.
14
luar tersebut membuat partai-partai Kurdi menjadi bergantung, hasilnya memang
bantuan tersebut dapat berkontribusi dalam upaya perdamaian KDP dengan PUK
menuju Kurdi yang otonom dan merdeka namun ada kepentingan terselubung yang
dibawa oleh Saddam dan Iran.
Adapun faktor lainnya yang menjadi penghambat perkembangan KRG
selain konflik politik internal adalah lambannya pertumbuhan ekonomi KRG.
Perang Irak-Iran sebelumnya telah mengakibatkan Irak memberi sanki embargo
ekonomi terhadap KRG, ditambah Irak sendiri juga mendapat sanksi embargo
ekonomi dari komunitas internasional terkait genosida sehingga dengan keadaan
tersebut KRG mendapatkan dampak embargo ganda yang mengakibatkan
perkembangan ekonomi KRG lambat. Perekonomian KRG yang terisolasi tersebut
juga membuatnya semakin sulit untuk menjalin kerjasama ekonomi yang formal
dengan negara lain di sekitarnya. Pada saat itu Kurdi hanya bisa memanfaatkan
jalur lintas perbatasan Turki yang digunakan sebagai jalur pengiriman barang antar
wilayah dengan cara pemungutan pajak.
Walaupun telah berakhir masa Operation Provide Comfort pada tahun 1996,
KRG masih mendapatkan bantuan dana dari PBB dengan melalui Operation Fund
Financing Program (OFFP) yang telah diatur bersama Baghdad sehingga dapat
bermanfaat bagi Kurdi. Dengan adanya keterlibatan Baghdad dalam bantuan
tersebut, Saddam, PBB, dan perusahaan swasta mendapatkan bunga dari anggaran
yang tidak digunakan dalam bantuan dana tersebut.26
26 Natali, 2010, The Kurdish Quasi-State: Development and Dependency in Post–Gulf War Iraq, Syracuse, N.Y., hal. 54, 70–72.
15
2.3 Posisi Kurdi Dalam Penggulingan Saddam Hussein
Kedatangan Amerika Serikat pada tahun 2002 dalam rangka invasi Irak
disambut bahagia oleh Kurdi karena dengan adanya bantuan dari Amerika Serikat
diharapkan akan dapat membawa perubahan yang lebih baik bagi masa depan Kurdi
nantinya. Kekerasan dan penindasan yang selama ini diterima oleh Kurdi membuat
Amerika Serikat menggagas perubahan rezim di Irak. Kedatangan agen CIA beserta
pasukan militer khusus Amerika Serikat menjadi era baru bagi hubungan kerjasama
militer antara Amerika Serikat dengan Kurdi Irak dimana pasukan Peshmerga
bekerjasama dengan pasukan militer terkuat di dunia. Pasukan militer Kurdi yang
dikenal dengan Peshmerga (pasukan berani mati) terdiri dari PUK dan KDP
memainkan peranan penting dalam membantu Amerika Serikat sebagai pasukan
gerilya dengan memberikan bantuan intelijen mengenai lokasi dan pergerakan
pasukan militer Irak kepada AS.
Kurdi juga membantu pasukan operasi khusus AS di wilayah utara Irak
mengamankan wilayah perbatasan Kurdi Irak dan lapangan penerbangan Bashur
sebagai fasilitas penerbangan AS mendaratkan persenjataan beserta unit-unit
mekanis pasukan koalisi darat yang digunakan untuk memperkuat posisi pasukan
yang berada di garis depan Irak utara agar dapat membendung kekuatan pasukan
Irak. Dikomando oleh jenderal Anwar Dowlani sejumlah 4.000 pasukan Peshmerga
yang telah berpengalaman dan tidak takut mati dikerahkan untuk menyerang
pasukan militer Irak.27
27 Mussab Al-Khairalla, Kurd fighters may add muscle to Baghdad offensive, 2007, diakses dalam https://www.reuters.com/article/us-iraq-offensive-kurds/kurd-fighters-may-add-muscle-to-baghdad-offensive-idUSKHA72503920070209 (24/5/2019 14.00 WIB)
16
Selama berlangsungnya invasi AS, pasukan Kurdi bekerja sama membantu
pasukan tentara Amerika Serikat memerangi pasukan Saddam dimulai dari
perbatasan KRG-Irak. Setelah berhasil mengalahkan pasukan angkatan darat Irak
di perbatasan tersebut, pasukan Kurdi dengan Amerika Serikat mulai merebut kota-
kota di wilayah utara Irak. Pasukan Peshmerga mendorong warga Irak yang tinggal
di Kirkuk dan Mosul untuk meninggalkan wilayah tersebut. Kurdi mengambil alih
kota Kirkuk di Irak utara karena kota Kirkuk merupakan kota penting bagi Kurdi
baik dari segi historis, budaya, dan juga sumber daya alam minyaknya.
Pada 9 April 2003 akhirnya pasukan Amerika Serikat berhasil menduduki
Baghdad dan telah mengalahkan pasukan Irak. Serangan pasukan gabungan
Peshmerga dengan Amerika Serikat sejak 21 Maret hingga 12 April 2003 telah
dapat mengalahkan sejumlah 13 divisi pasukan Irak, mencegah pasukan Irak
memperkuat pertahanan di wilayah selatan, dan merebut seluruh lapangan
penerbangan yang strategis di Irak utara. Berkat perjuangan pasukan Peshmerga
dengan bantuan pasukan Amerika Serikat akhirnya berhasil melengserkan
kekuasaan Saddam Hussein beserta rezim Baath.