89
1 SKRIPSI EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM ISLAM Di Susun untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S.I) Dalam Ilmu Syari‟ah Oleh: ANI RIANAWATI NIM. 231 107 056 JURUSAN SYARI’AH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PEKALONGAN 2011

JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

1

SKRIPSI

EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM

PIDANA DAN HUKUM ISLAM

Di Susun untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna

Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S.I)

Dalam Ilmu Syari‟ah

Oleh:

ANI RIANAWATI

NIM. 231 107 056

JURUSAN SYARI’AH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

(STAIN) PEKALONGAN

2011

Page 2: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

2

PERNYATAAN

Yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : ANI RIANAWATI

NIM : 231107056

Jurusan : Syari‟ah

Prodi : Al – Ahwal Asy – Syakhsyiyyah

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Euthanasia Dalam Perspektif

Hukum Pidana Dan Hukum Islam” adalah benar–benar hasil karya sendiri. Apabila

dikemudian hari ditemukan bahwa skripsi dengan judul diatas adalah plagiat, maka

penulis siap dicabut gelarnya.

Demikian pernyataan ini penulis buat dengan sebenar – benarnya.

Pekalongan, Oktober 2011

Penulis

ANI RIANAWATI

Page 3: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

3

Dr. Ade Dedi Rohayana, M.Ag

Jl. Arimbi No. 12 Perum Panjam Indah

Pekalongan

H. Sam’ani Sya’roni, M.Ag

Jl. Supriyadi 36 RT. 1/5

Tirto Pekalongan

NOTA PEMBIMBING

Lamp : 3 (Tiga) eksemplar Pekalongan, Oktober 2011

Hal : Naskah Skripsi

Sdr. Ani Rianawati Kepada:

Yth. Ketua STAIN Pekalongan

c/q. Ketua Jurusan Syari‟ah

Di-

PEKALONGAN

Assalamu‟alaikum Wr.Wb

Setelah diadakan penelitian dan perbaikan seperlunya, maka bersama ini kami

kirimkan naskah skripsi saudara:

Nama : ANI RIANAWATI

NIM : 231 107 056

Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM

PIDANA DAN HUKUM ISLAM

Dengan permohonan agar skripsi saudara tersebut segera dimunaqasyahkan.

Demikian harap menjadi perhatian dan terima kasih.

Wassalamu‟alaikum Wr. Wb

Pembimbing I

Dr. Ade Dedi Rohayana, M.Ag

NIP. 197101151998031005

Pembimbing II

H. Sam’ani Sya’roni, M.Ag

NIP. 197305051999031002

Page 4: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

4

KEMENTERIAN AGAMA

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

(STAIN) PEKALONGAN Alamat : Jl. Kusuma Bangsa No. 9 Telp. (0285) 412575-412572 Fax. 423418

E-mail : stainpkl@[email protected]

PENGESAHAN

Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pekalongan

mengesahkan Skripsi Saudara :

Nama : ANI RIANAWATI

NIM : 231 107 056

Judul : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM

PIDANA DAN HUKUM ISLAM

Yang telah diujikan pada hari Kamis tanggal 27 Oktober 2011 dan

dinyatakan berhasil, serta diterima sebagai salah satu syarat guna

memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) dalam Ilmu Syari‟ah.

Dewan Penguji,

Dra. Hj. Rita Rahmawati, M.Pd

NIP.196503301991032001

Ketua

Ali Trigiatno, M.Ag

NIP. 197610182002121008

Anggota

Pekalongan, Oktober 2011

Ketua,

DR. Ade Dedi Rohayana, M.Ag

NIP. 19710115 1998031005

Page 5: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

5

HALAMAN PERSEMBAHAN

Sripsi ini salah satu persembahan kepada mereka yang terkasih, tersayang

yang telah memberikan motivasi saya untuk melangkah menuju hari depan yang

lebih maju. Satu keyakinan doa dan kasih sayang pengiringku sebagai

amanatdipundakku atas bimbingan dan petunjuk yang akan kembali pada ridho

Allah SWT.

1. Untuk Ayah (almarhum) tercinta yang selalu menjadi motivasiku untuk

bisa menjadi yang lebih baik

2. Ibunda penerang harapan sebagai curahan ta‟dhim dan baktiku,

sungkem dan sanjungku semaga ananda menjadi shalihah

3. Untuk Kakaku tercinta maz Sugiyanto dan mba Suaeni serta Kakak

Iparku yang selalu mendukung, membesarkan hatiku, untuk terus

melangkah menuju cita-cita yang cerah

4. Untuk Adik-adikku tercinta Andi dan Agung yang selalu menghibur

hari-hariku dalam kesunyian, semoga semua menjadi anak-anak yang

sholih

5. Sahabat-sahabatku seperjuangan di Fakultas Syari‟ah khususnya di As,

juga Sahabat-sahabatku di kos As-Salwa tercinta (Lia, Eni, Widi, Neli,

Ero, Dini, Devi, Eni, Nurul, Wiwi) bersama kita goreskan kenangan

dalam suka dan duka.

6. Untuk Ugeng Armawan yang menjadi harapanku senantiasa dengan

amanat kasih sayang tulus membimbingku menuju ridho Allah, semoga

suatu saat dengan izin dan ridho-Nya kita bersatu, aamiiiinnn....

7. Almamaterku tercinta STAIN Pekalongan

Page 6: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

6

MOTO

و ل ك لل

“Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu maka apabila telah datang waktunya, mereka

tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula)

memajukannya”.(QS. Al-A’raaf: 34)

Page 7: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

7

ABSTRAK

Rianawati, Ani.2011. Euthanasia Dalam Perspektif Hukum Pidana dan

Hukum Islam. Skripsi Jurusan Syari‟ah.Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri

(STAIN) Pekalongan.

Euthanasia pada tahun 2004 menjadi perdebatan dikalangan ahli hukum, ahli

medis dan ahli teolog di mana euthanasia merupakan tindakan memudahkan

kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit karena kasih sayang

dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, yang sampai sekarang belum ada

kejelasan tentang hukuman yang benar-benar ada dalam hukum pidana di

Indonesia akan tetapi terdapat pasal yang bisa dijadikan pedoman dalam

menentukan hukum bagi pelaku euthanasia yaitu pasal 344 KUHP. Sedangkan

euthanasia dalam hukum Islam merupakan pembunuhan yang dapat dijatuhi

hukuman qishas bagi pelaku euthanasia meskipun yang mengundangnya adalah

rasa belas kasihan seorang dokter kepada pasiennya. Euthanasia termasuk juga

dalam kategori bunuh diri ataupun pembunuhan yang disengaja yang dalam Al-

Qur‟an telah dijelaskan dalam surat An_Nisaa ayat 29 dan ayat 93

Dalam Skripsi ini penulis merumuskan masalah yaitu bagaimana

euthanasia dalam tinjauan hukum Pidana dan hukum Islam? Adapun tujuannya

adalah untuk mengetahui tinjauan hukum pidana dan hukum Islam tentang

euthanasia, diperbolehkan atau dilarang berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum

Pidana (KUHP) dan Al-Qur-an serta Al-Hadits.

Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah (library

research) penelitian berdasarkan buku-buku pustaka dan menggunakan pendekatan

kualitatif sebagai prosedur penelitian yang hasil analisisnya disajikan dalam bentuk

deskriptif, yang diperoleh melalui buku-buku, Nash Al-Qur‟an, dan Hadits Nabi

serta melalui browsing internet yang menjadi penunjang dalam penulisan skripsi

ini, dari sumber-sumber data tersebut kemudian dianalisis secara komparatif

sehingga menghasilkan kesimpulan-kesimpulan untuk menjawab pokok maslah

atau rumusan masalah yang ada.

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa euthanasia

dalam hukum pidana di Indonesia dapat dikategorikan tindak pidana berdasarkan

pasal 344 KUHP walaupun itu atas permintaan si korban dan diancam hukuman

penjara selama 12 tahun. Meskipun didalamnya tidak secara langsung mengacu

tentang euthanasia, tetapi setidaknya pasal tersebut dapat dijadikan bahan acuan

atau pedoman diberlakukannya sanksi pidana bagi pelaku euthanasia. Sedangkam

dalam hukum Islam euthanasia merupakan perbuatan yang dilarang karena bukan

merupakan pembunuhan yang dibenarkan oleh syara‟, terkecuali euthanasia pasif

yang didasarkan pada perilaku tawakal dan bukan karena keputusasaan serta bukan

karena niat bunuh diri atau membunuh pasien,

Page 8: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

8

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wata‟ala yang

telah memberikan hidayah serta berbagai kenikmatan-Nya kepada penulis,

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Euthanasia Dalam

Perspektif Hukum Pidana dan Hukum Islam

Hal ini juga tak lepas dari bantuan berbagai pihak yang tanpa bantuan

tersebut penulis tidak bisa menyelesaikan skripsi ini. Karena itu penulis

mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Ade Dedi Rohayana, M.Ag, selaku ketua STAIN Pekalongan

dan dosen pembimbing.

2. Bapak H. Sam‟ani Sya‟roni, M.Ag, selaku dosen pembimbing skripsi yang

telah meluangkan waktunya dalam memberikan bimbingan selama dalam

penyusunan skripsi ini.

3. Drs. A. Tubagus Surur, M.Ag selaku dosen wali studi yang telah

memberikan arahan dan bantuan kepada saya

4. Ibu yang senantiasa tiada hentinya memberikan dorongan, baik secara fisik

maupun non fisik, dan tiada henti-hentinya pula untuk selalu mendo‟akan

demi kelangsungan cita-cita anaknya.

Page 9: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

9

5. Kakak dan adik, yang senantiasa memberikan spirit dalam membangkitkan

jiwa dan raga, supaya bersungguh-sungguh dalam belajar dan

menyelesaikan tugas akhir yang berupa pembuatan naskah skripsi ini.

6. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per-satu yang telah

membantu langsung maupun tidak langsung, hingga penyusunan skripsi

ini selesai.

Semoga amal baik beliau-beliau yang telah membantu penulis dalam

penyusunan skripsi ini diterima olah Allah Subhanahu Wata‟ala dengan

“Jazaakumullah Khairan Katsiiraa” semoga mendapatkan balasan kebaikan

yang banyak dari Allah Subhanhu Wata‟ala.

Akhirnya doa jualah yang dapat penulis panjatkan, harapan penulis yaitu

semoga skripsi dapat bermanfaat baik bagi penulis pada khususnya dan para

pembaca pada umumnya.

Pekalongan, November 2011

ANI RIANAWATI

Page 10: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

10

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................................i

HALAMAN PERNYATAAN.................................................................................ii

HALAMAN NOTA PEMBIMBING.....................................................................iii

HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................iv

HALAMAN PERSEMBAHAN...............................................................................v

HALAMAN MOTTO.............................................................................................vi

ABSTRAK.............................................................................................................vii

KATA PENGANTAR..........................................................................................viii

DAFTAR ISI............................................................................................................x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.....................................................................1

B. Rumusan Masalah...............................................................................4

C.Penegasan Istilah..................................................................................4

D. Tujuan Penelitian................................................................................5

E. Keguaan Penelitian..............................................................................5

F. Tinjauan Pustaka.................................................................................6

G. Metode Penelitian.............................................................................11

H. Sistematika Pembahasan...................................................................13

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG EUTHANASIA

Page 11: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

11

A. Pengertian Euthanasia......................................................................14

B. Macam dan Bentuk Euthanasia........................................................18

C. Fenomena Euthanasia.......................................................................24

1. Definisi Kematian........................................................................29

2. Hukum Berobat Menurut Islam...................................................33

BAB III EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUKUM PIDANA DAN HUKUM ISLAM

A. Euthanasia Dalam Tinjauan hukum Pidana......................................37

B.Euthanasia Dalam tinjauan Hukum Islam..........................................46

BAB IV ANALISIS

A. Analisis Hukum Pidana Tentang Euthanais.....................................59

B. Analisis Hukum Islam Tentang Euthanasia......................................62

BAB V PENUTUP

A. Simpulan...........................................................................................73

B. Saran – Saran....................................................................................73

DAFTAR PUSTAKA

Daftar Riwayat Hidup

Page 12: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di dalam Al-Qur‟an surat Al-Mulk ayat 2 telah di ingatkan bahwa

hidup dan mati adalah ditangan Allah, yang Ia ciptakan untuk menguji iman,

amalan dan ketaatan manusia terhadap Tuhan penciptanya. Karena itu Islam

sangat memperhatikan keselamatan hidup dan kehidupan manusia itu. Islam

menetapkan berbagai norma hukum perdata dan pidana beserta sanksi-

sanksi, hukuman-hukuman mati, diyat (denda) dan ta‟zir.

Karena hidup dan mati itu adalah ditangan Allah dan merupakan

karunia dan wewenang Tuhan maka Islam melarang orang melakukan

pembunuhan, baik terhadap orang lain maupun terhadap diri sendiri.

Pembunuhan itu bisa dilakukan oleh diri sendiri ataupun melalui bantuan

orang lain, seperti halnya tenaga medis yaitu dokter, yang saat ini dikenal

dengan istilah “euthanasia” yang dewasa ini diartikan dengan pembunuhan

terhadap pasien yang tipis harapannya untuk sembuh.1

Dalam Bahasa Arab euthanasia disebut dengan qatl ar-Rahman atau

taisir al-maut yaitu tindakan memudahkan kematian seseorang dengan

sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang dengan tujuan

meringankan penderitaan si sakit. Euthanasia dalam istilah pertolongan

medis adalah agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang

1 Ali Ghufron Mukti, Abortus, Bayi Tabung, Euthanasia, Transplantasi Ginjal, dan

Operasi Kelamin Tinjauan Hukum dan Hukum Islam, (Yogyakarta: Aditya Media), Hal. 206

Page 13: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

13

akan meninggal diperingan juga berarti mempercepat kematian seseorang

yang ada didalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya.2

Peristiwa lain mungkin saja terjadi seperti seseorang tidak tega lagi

melihat penderitaan orang lain, yang menurut orang tuanya atau

keluarganya dan secara medis orang tersebut dinyatakan akan meninggal

dalam waktu yang amat singkat lalu dia menyarankan kepada dokter, untuk

mempercepat kematiannya atau dengan jalan mencabut infusnya peristiwa

tersebut disebut dengan euthanasia yang masih menjadi perdebatan pada

beberapa kalangan yang menyetujui tentang euthanasia dan pihak yang tidak

setuju tentang euthanasia. Pihak yang menyetujui euthanasia dapat

dilakukan, hal ini berdasarkan bahwa setiap manusia memiliki hak untuk

hidup dan hak untuk mengakhiri hidupnya dengan segera dan hal ini

dilakukan dengan alasan yang cukup mendukung yaitu alasan kemanusiaan.

Dengan keadaan dirinya yang tidak lagi memungkinkan untuk sembuh atau

bahkan hidup, maka ia dapat melakukan permohonan untuk segera diakhiri

hidupnya. Sementara sebagian pihak yang tidak membolehkan euthanasia

beralasan bahwa setiap manusia tidak memiliki hak untuk mengakhiri

hidupnya, karena masalah hidup dan mati adalah kekuasaan mutlak Tuhan

yang tidak bisa diganggu gugat oleh manusia.

Perdebatan ini tidak akan pernah berakhir, karena sudut pandang yang

dipakai sangatlah bertolak belakang, dan lagi-lagi alasan perdebatan tersebut

adalah masalah legalitas dari perbuatan euthanasia, walaupun pada dasarnya

2 Ali Hasan, Masail Fiqiyah Al-Haditsah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), Hal.

132

Page 14: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

14

tindakan euthanasia termasuk dalam perbuatan tindak pidana yang diatur

dalam pasal 344 Kitab Undang- undang Hukum Pidana (KUHP). Di

Negara-negara Eropa (Belanda) dan Amerika tindakan euthanasia

mendapatkan tempat tersendiri yang diakui legalitasnya, hal ini juga

dilakukan oleh Negara Jepang. Tentunya dalam melakukan tindakan

euthanasia harus melalui prosedur dan persyaratan-persyaratan yang harus

dipenuhi agar euthanasia bisa dilakukan. Munculnya pro dan kontra seputar

persoalan euthanasia menjadi beban tersendiri bagi komunitas hukum.

Sebab, pada persoalan “legalitas” inilah persoalan euthanasia akan

bermuara.3 Kejelasan tentang sejauh mana hukum (pidana) positif

memberikan regulasi / pengaturan terhadap persoalan euthanasia akan

sangat membantu masyarakat di dalam menyikapi persoalan tersebut. Lebih-

lebih di tengah kebingungan kultural karena munculnya pro dan kontra

tentang legalitasnya.4 Patut menjadi catatan, bahwa secara yuridis formal

dalam hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal satu bentuk

euthanasia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien / korban

itu sendiri (voluntary euthanasia) sebagaimana secara eksplisit diatur dalam

Pasal 344 KUHP.5 Penggunaan pasal tersebut sangat diperlukan karena

3http://laporanpenelitian.wordpress.com/2008/05/25/euthanasia-antara-legal-dan-non-

legal (20 Juli 2011) 4http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/26/euthanasia-menurut-hukum-islam.(20 Juli

201 5http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/26/euthanasia-menurut-hukum-islam. (20 Juli

2011)

Page 15: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

15

yang menjadi tujuan akhir dari hukum pidana adalah melindungi masyarakat

dari pihak-pihak yang hendak memaksa hak-haknya.6

Dengan latar belakang dalam permasalahan yang telah dikemukakan

di atas tadi maka penulis memilih judul “EUTHANASIA DALAM

PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM ISLAM”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada uraian di atas maka, rumusan masalah dari

penelitian ini adalah

1. Bagaimana euthanasia menurut tinjauan hukum pidana?

2. Bagaimana euthanasia menurut tinjauan hukum Islam?

C. Penegasan Istilah

Selanjutnya agar tidak terjadi kesalah pahaman terhadap istilah-istilah

yang digunakan dalam tulisan ini, maka perlu kiranya membatasi pengertian

dan menguraikan secara singkat “EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF

HUKUM PIDANA DAN HUKUM ISLAM

Euthanasia adalah tindakan mengakhiri kehidupan seseorang dengan

sengaja yang dalam keadaan sakit berat atau luka parah dengan kematian

yang tenang dan mudah atas dasar perikemanusiaan.7

Perspektif adalah Pandangan8

6 Waluyadi, Ilmu Kedokteran Kehakiman..........Hal.135

7 Anton M Mulyono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1988)

hal. 237 8 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar

Bahasa Indonesia, Edisi kedua, (jakarta : Balai Pustaka, 1996), hal. 760

Page 16: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

16

Hukum Pidana adalah keseluruhan peraturan hukum yang berisi

perintah-perintah dan larangan-larangan yang mempunyai sanksi pidana

yang dikenakan kepada mereka yang melanggarnya. Sanksi pidana yang

dimaksud guna menegakkan norma hukum yang ada padanya, agar tidak

terjadi pelanggaran lagi.9

Hukum Islam adalah seperangkat aturan berdasarkan wahyu Allah

swt dan sunnah Rosul-Nya tentang tingkah laku manusia mukallaf yang

diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama

Islam.10

Mengingat euthanasia merupakan masalah yang sangat dilematis dan

perlu adanya pemahaman yang mendalam tentang permasalahan tersebut,

maka berangkat dari sinilah penulis merasa tertarik untuk meneliti lebih

lanjut tentang euthanasia dan selanjutnya penulis mengambil judul

euthanasia dalam perspektif hukum pidana dan hukum Islam

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan:

1. Untuk menetahui euthanasia dalam tinjauan hukum pidana

2. Untuk mengetahui euthanasia dalam tinjauan hukum Islam

E. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaannya sebagai berikut :

1. Secara praktis

9 Zaenul Bahri, Kamus Umum Hukum dan Politik, (Bandung: Angkasa, 1996), Hal. 102

10 Amir Syarifudin, Pengertian dan Sumber Hukum Islam, (Jakarta : Depag, Bumi

Aksara dan Depag, edisi I, cet. II,1992), hal. 14

Page 17: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

17

Peneletian ini diharapkan dapat memberi sumbangan wacana dan

pengetahuan mengenai euthanasia

2. Secara teoritis

Meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan pengalaman dalam ruang

lingkup yang lebih luas mengenai euthanasia

F. Tinjauan Pustaka

1. Kerangka Teori

Islam diturunkan sebagai Rahmatan lil „alamin, karenanya segala

dimensi pembangunnya harus mampu mengakomodir segala kebutuhan

maupun tuntutan hidup manusia yang selalu menyesuaikan perjalanan

waktu, tatanan ruang dan tuntutan efektifitas serta kepraktisan hidup. Maka,

sesuai dengan peranan dan kepentingan ini, dari sisi hukum, hukum Islam

(hukum Shar‟i) harus bisa menyesuaikan diri dengan dinamika problema

masyarakat yang terus berubah, mengikuti ruang dan waktu. Untuk

menjawab semuanya itu, diciptakanlah ilmu Fiqh, yaitu : kodifikasi hukum

Shar‟i yang diciptakan menurut ruang dan waktu, yang sifatnya

kontemporer dan substansial.

Mencermati masalah euthanasia, yaitu suatu proses “pembunuhan

yang disengaja” yang dilakukan oleh seorang dokter atau ahli medis lain

terhadap pasiennya, dalam rangka mengurangi beban rasa sakit dan atau

untuk menekan biaya berobat yang sia-sia, karena pada dasarnya tidak

mungkin lagi si pasien disembuhkan, maka penyelesaiannya adalah dengan

“membunuh” pasien, dalam hukum Islam terdapat hukum yang substansial.

Page 18: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

18

Jika yang dijadikan Hujjah adalah dalil al-Qur‟an surat An-Nisaa‟ ayat

92, yang isinya, keharaman membunuh kecuali karena korban melakukan

kesalahan yang dibolehkan oleh agama untuk membunuhnya, maka

euthanasia menjadi haram, karena bagaimanapun seorang pasien tidak bisa

dikategorikan sebagai orang yang menyalahi aturan agama, sebab penyakit

menjadi suatu hal lain dari kuasa manusia untuk menghindarinya. Penyakit

adalah takdir Tuhan yang tak dapat disangkal, dihindari, apalagi dibuang

dengan kuasa manusia.

Keharaman euthanasia menjadi lebih tegas, bila mencermati dalil al-

Qur‟an surat An-Nisaa‟ ayat 29 yang isinya : keharaman membunuh diri

sendiri. Ini menjawab, bahwa upaya pengobatan pasien adalah suatu

kewajiban. Apapun alasannya seseorang yang sakit, diwajibkan berupaya

untuk menyembuhkan dirinya.maka, jika dikaitkan dengan euthanasia,

kerelaan pasien atau keluarganya untuk menjalani euthanasia, tidak sesuai

dengan hukum Islam. Lalu, pada surat Al-Baqarah ayat 178, yang

menerangkan tentang Qishash, yaitu : hukuman mati bagi seseorang yang

membunuh karena sengaja; dapat menjerat seorang dokter atau ahli medis

lain yang melakukan euthanasia.

Namun dalam perkembangannya, ada beberapa sebab dan dalil ayat

al-Qur‟an yang dapat dijadikan sebagai Hujjah kebolehan melakukan

euthanasia. Lihat bunyi surat al-An‟aam ayat 151, yang menyatakan :

dibolehkan membunuh karena adanya sebab yang dibenarkan secara Shar‟i.

Asas pembangun hukum Shar‟i, salah satunya adalah hifdzil maal atau

Page 19: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

19

hifdzil nashab. Jika dikaitkan dengan euthanasia, maka apa yang menjadi

kesepakatan antara tenaga medis, pasien dan keluarga pasien, yaitu

membunuh pasien, menjadi diperbolehkan. Pertimbangannya adalah untuk

menyelamatkan harta pasien dari kesia-siaan melakukan upaya pengobatan,

sebab hasil diagnosa akhir adalah pasien tidak mungkin disembuhkan.

Upaya euthanasia dalam kasus seperti ini juga dalam rangka menyelamatkan

keberlangsungan kehidupan keluarga, karena dengan euthanasia dapat

menghidarkan keluarga dari keborosan atau perpecahan yang mungkin

terjadi.

Dalam hal penjatuhan hukum Qishash, hal ini dapat diabaikan, karena

apa yang dilakukan dokter atau ahli medis lainnya berdasarkan kesepakatan

dan izin pasien dan keluarganya. Di dalam kerelaan pasien dan keluarganya

itu tentu berisi pula pintu maaf sepenuh hati bagi tindakan dokter atau ahli

medis lainnya melakukan euthanasia. Hal ini sesuai dengan dalil al-Qur‟an

surat Al-Baqarah ayat 178, yang poin terpentingnya adalah : Penghapusan

Qishash sebab adanya maaf dari keluarga korban. Adapun Diyat yang

menjadi pengganti Qishash di dalam kasus euthanasia, juga terhapus karena

adanya illat yang pasti, yaitu: pada dasarnya euthanasia yang dilakukan

demi maslahah yang lebih besar.

upaya pengobatan pada dasarnya hukumnya mandub (sunnah),

sehingga pemasangan alat bantu penyembuhan serta pemberian obat boleh

dihentikan jika memang final diagnosa menyatakan pasien tidak dapat lagi

disembuhkan. Dokter tidak bisa di Qishas, karena dia hanya bertindak

Page 20: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

20

sebagai perangkat medis. Dan apa yang dilakukannya (euthanasia) semata-

mata karena telah mendapatkan izin dari pasien dan keluarganya.

Sesuai dengan dalil-dalil didalam al-Qur‟an yang memberikan

peluang untuk melakukan euthanasia diatas, maka pada dasarnya hukum

Shar‟i-pun membolehkan euthanasia dengan ketentuan-ketentuan yang

mesti dilakukan, yaitu:

a. Hasil diagnosa akhir menyatakan pasien tidak mungkin lagi

disembuhkan

b. Upaya penyembuhan hanya kesia-siaan belaka, menimbulkan

keborosan dan kemungkinan terjadi perpecahan.

c. Adanya izin dari pasien dan keluarganya bagi dokter untuk melakukan

euthanasia.

d. Euthanasia dilakukan dengan cara manusiawi dan halus, seperti

mencabut infus atau selang oksigen, tidak dengan cara kasar, seperti

menyuntikkan suatu obat (racun) untuk mempercepat proses kematian.

Jika semua syarat atau ketentuan-ketentuan ini telah terpenuhi, maka

euthanasia dapat dilakukan, dan hukumnya adalah boleh. Adapun dokter

dan atau ahli medis lain tidak dapat dikenai Qishash dan juga Diyyat.

Namun dalam hal ini ada beberapa alterntif pasal dalam KUHP yang

dapat dijadikan pijakan dalam hal menentukan pertanggungjawaban pidana

dalam kaitannya dengan persoalan dan peristiwa euthanasia. Berikut adalah

pasal yang menjelaskan tentang pembunuhan secara umum, yaitu pasal

pertama dalam bab XIX yakni pasal 338 yaitu:

Page 21: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

21

“Barang siapa sengaja merapas nyawa orang lain diancam karena

pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”

2. Hasil Penelitian Yang Relevan

Ada beberapa kajian atau tulisan yang berhubungan dengan problem

penelitian ini. Tulisan atau pustaka tersebut antara lain :

Dalam skripsi yang ditulis oleh Fajar Nugroho tahun 2008 yang

berjudul Euthanasia Dalam Tinjauan Pidana Islam dijelaskan bahwa

euthanasia berkaitan erat dengan pembunuhan, terutama euthanasia aktif.

Membunuh manusia hukumnya haram dengan alasan apapun dan dengan

cara apapun kecuali terhadap orang yang berhak untuk dibunuh, dan itupun

dilakukan oleh negara, yaitu qishas terhadap membunuh, rajam bagi orang

berzina yang statusnya sudah menikah. Sedangkan bunuh diri dengan cara

apapun dan dengan alasan apapun tidak dibenarkan. Namun dalam hal ini

tindakan euthanasia dalam hukum Islam belum ada kejelasan dalam hal

pengkategorian tindakan pembunuhan yang merupakan suatu jarimah.11

Dalam jurnal yang berjudul Euthanasia Pasif yang Disahkan di

Swedia dijelaskan bahwa otoritas medis mengakhiri kekosongan yuridis

dengan mengijinkan dokter untuk menerima seorang wanita cacat

dieuthanasia disambut baik oleh para pasien yang memang sudah

menginginkan untuk dieuthanasia. Pasien yang menginginkan untuk

dieuthanasia menganggap bahwa keputusan tersebut sangat baik karena hal

tersebut memudahkan mereka untuk secepatnya dieuthanasiakan karena

penyakit yang diderita tak kunjung sembuh. Keputusan tersebut merupakan

11

http://www.freeskripsi.com/search/jurnal-euthanasia.com. (30 Oktober 2011)

Page 22: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

22

tanggapan terhadap penyelidikan yang ditimbulkan oleh masyarakat

Swedia.12

Penelitian ini ada korelasinya dengan hasil penelitian yang telah

dikemukakan di atas. Namun, dalam penelitian ini yang menjadi fokusnya

yaitu euthanasia dalam pandangan hukum pidana positif di Indonesia dan

hukum Islam.

G. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan saperangkat metode

penelitian yang dapat mempersiapkan, menunjang dan membimbing serta

mengarahkan penelitian ini sehingga memperoleh target yang dituju secara

ilimiah.

1. Jenis penelitian

Pada dasarnya penelitian ini adalah penelitian kepustakaan dan

pendekatan kualitatif yaitu suatu pendekatan dalam melakukan penelitian

yang berorientasi pada fenomena atau gejala yang bersifat alami dan hasil

analisisnya disajikan dalam bentuk deskriptif,13

karena sumber data

sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari sumber-sumber kepustakaan

yang relavan dengan tema pembahasan yang ada, dari berbagai sumber

tersebut kemudian di deskripsikan dan kemudian dianalisis sehingga

mengahasilkan kesimpulan-kesimpulan untuk menjawab pokok masalah

atau rumusan masalah yang ada.

12

http://translate.google.co.id/translate?hl=id&sl=en&u=http://www.jurnal.md/en/news/p

assive-euthanasia-legalized-in-sweden-185466.pdf. (30 Oktober 2011) 13

Wardi Bahtiar, Metodologi Penelitian Dakwah, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997),

hal. 72

Page 23: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

23

2. Sumber Data

Data-data yang dihimpun sebagaimana tersebut di atas, diperoleh dari

literatur-literatur atau buku-buku tertulis, Nash Al-Qur‟an, Hadist Nabi Saw,

Kitab Undang-undang serta diambil dari internet yang spesifik membahas

dan mengupas secara tuntas terkait dengan penelitian tersebut.

3. Tekhnik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam menulis skripsi ini

yaitu dilakukan dengan menggunakan metode dokumentasi. Dokumen

ini berupa kitab Undang-undang, penelitian terdahulu yang relevan dan

buku-buku yang sesuai dengan pembahasan masalah.

Adapun agar mempermudah dalam proses menganalisis data, maka cara

yang digunakan adalah dengan membaca, memahami, dan mempelajari

serta menganalisis dokumen-dokumen tersebut, kemudian

mengelompokkannya pada bab-bab sesuai dengan sifatnya masing-

masing.

4. Analisis Data

Metode analisis data berisi cara-cara menganalisis bagaimana

menganalisis data yang telah terkumpul untuk digunakan dalam pemecahan

masalah penelitian. Perolehan data dianalisis secara komparasi berdasarkan

hukum pidana dan hukum Islam, menggunakan metode analisis untuk

menganalisis hukum-hukum yang tertulis dalam bahan yang telah

ditemukan berupa buku-buku, jurnal, Al-Qur‟an, Kitab Undang-undang

Hukum Pidana, maupun literatur dari internet. Kemudian data yang sudah

Page 24: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

24

terkumpul dianalisis dan dipisah-pisahkan menurut kategori masing-masing

dan kemudian ditafsirkan dalam usaha mencari jawaban masalah-masalah

penelitian.14

H. Sistematika Pembahasan

Untuk lebih memperjelas gambaran dan mempermudah dalam

penelaahan data-data terkait dari penelitian yang akan dilakukan, maka

sistematika penulisan dalam penelitian ini, dikelompokkan ke dalam dua

bagian pokok, yaitu:

Bab I Pendahuluan, yang berisi tentang latar belakang masalah,

rumusan masalah, penegasan istilah, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah

pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II Tinjauan umum, yang menguraikan tentang pengertian

euthanasia macam dan bentuk euthanasia, dan juga, membahas tentang

fenomena euthanasia.

Bab III Berisi tentang Euthanasia dalam perspektif hukum pidana dan

hukum Islam

Bab IV Analisis, berisi analisis tentang euthanasia dalam tinjauan

hukum pidana dan hukum Islam.

Bab V Penutup, berisi tentang simpulan dan saran-saran

14

Burhan Asshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), Hal. 124

Page 25: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

25

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG EUTHANASIA

A. Pengertian Euthanasia

Berdasarkan pada cara terjadinya, ilmu pengetahuan membedakan

kematian ke dalam tiga jenis yaitu:

a) Orthothanasia, yaitu kematian yang terjadi karena proses ilmiah

b) Dysthanasia, yaitu kematian yang terjadi secara tidak wajar

c) Euthanasia, yaitu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak

dengan pertolongan dokter.15

Jenis kematian euthanasia kini menjadi polemik hangat dikalangan

ahli teologi, ahli hukum, ahli kedokteran maupun masyarakat pada

umumnya, kiranya perlu kita bahas lebih lanjut.

Istilah “Euthanasia” secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yang

berasal dari kata “Eu” dan “thanatos”. “Eu” yang artinya normal, baik atau

sehat. “Thanatos” artinya mati, “Euthanateo” artinya aku menjalani

kematian dengan layak. “Euthanatos” (kata sifat) artinya mati dengan

tenang.16

Dalam berbagai kepustakaan ditemukan juga sebutan lain untuk

Euthanasia, seperti “Mercy Death”, “Mercy Killing”, “hak untuk mati”,

“mati secara terhormat”, “hak untuk menolak pengobatan”, “pembunuhan

15

Djoko Prakoso dan Djaman Adhi Nirwanto, Euthanasia, Hak Asasi Manusia dan

Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), Hal. 10 16

Sjechul Hadi Permono, Euthanasia Ditinjau Hukum Islam dan Hukum Pidana,

(Surabaya: Wali Demak Press), hal. 32

Page 26: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

26

diri dengan bantuan”, “dan pembunuhan dengan kasih sayang”. Namun

diantara sekian banyak istilah tersebut, euthanasia merupakan sebutan yang

paling mapan.

Euthanasia secara sederhana dapat diartikan sebagai bentuk kematian

yang baik, yang menurut beberapa pihak dianggap sebagai sesuatu yang

baik.17

Euthanasia dalam istilah bahasa Arab disebut dengan (الرحمة قحل), ialah

tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan

sakit, karena kasih sayang dengan tujuan meringankan penderitaan sisakit,

baik dengan cara positif maupun negatif.18

Beberapa tokoh berpendapat mengenai euthanasia, diantaranya adalah:

1. Possidippos, pujangga sekitar tahun 300 SM, dia mengatakan “dari

apa yang diminta manusia kepada para dewa, tiada sesuatu yang lebih

baik daripada kematian yang baik”

2. Suetius, ahli sejarah, sekitar tahun 170-70 SM menerangkan tentang

kematian kaisar Agustinus sebagai berikut: “ia mujur mendapatkan

kematian yang sudah seperti yang selalu diinginkannya. Karena ia

hampir selalu mendengar seseorang dapat meninggal dengan cepat

dan tanpa penderitaan, biasa memohon kepada dewa-dewa bagi

dirinya dan keluarganya untuk dapat di euthanasia, itulah kata yang

dipakainya”.

17

Waluyadi, Ilmu Kedokteran Kehakiman, (Djambatan 2000), hal.135 18

Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, jil II, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995),

hal. 749

Page 27: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

27

3. Cirero, seorang sastrawan sekitar tahun 106 SM, “memakai istilah

euthanasia dalam arti kematian penuh kehormatan, kemuliaan dan

kelayakan”.

4. Philo, filosof yahudi sekitar tahun 50-20 SM, “Euthanasia merupakan

kematian tenang dan baik”19

5. Fancis Bacon, dalam “Nosa Atlantis” mengajukan gagasan

Euthanasia, medica: Dokter hendaknya memanfaatkan juga untuk

meringankan penderitaan menjelang kematian”.

6. St. Thomas, dalam “the best from of gofernmentand the new island

of utopia” yang terbit pada tahun 1516 M, menguraikan gagasan

mengakhiri kehidupan yang penuh dengan sengasara secara bebas

dengan berhenti makan atau dengan racun yang dapat

membinasakan.20

Euthanasia biasa didefinisikan sebagai a good death atau mati dengan

tenang. Hal ini dapat terjadi karena pertolongan dokter atas permintaan dari

pasien ataupun keluarganya, karena penderitaan yang sangat hebat, dan

tiada akhir, ataupun tindakan membiarkan saja oleh dokter kepada pasien

yang sedang sakit tanpa menentu,tanpa memberikan pertolongan

seperlunya.21

Menurut kalangan medis, istilah euthanasia berarti membantu

seseorang untuk meninggal dunia lebih cepat demi untuk membebaskanya

19

http://www.inchrist.net/artikel/misi/euthanasia_sebuah_dilema_abuabu_dunia_kedokter

an.(20 Juli 201) 20

20 Djoko Prakoso, Euthanasia Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana, Hal. 35

21 Djoko Prakoso, Euthanasia Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia

Indonesia, 1984), hal. 55

Page 28: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

28

dari penderitaan akibat penyakitnya. Dari sini jelas bahwa meskipun petugas

medis mempercepat atau paling sedikit “tidak menghambat” datangnya ajal,

mereka ingin membedakanya dari pengertian “pembunuhan” yang

mempunyai sifat kriminal, karena tugas yang paling utama dari seorang

dokter adalah memulihkan kesehatan (dan dengan demikian maka akan

menghambat kematian) dan bukanya mempercepat kematian seseorang,

maka sampai pada batas pengertian ini, sebenarnya euthanasia bertentangan

dengan tugas profesi seorang dokter,22

dan menjadi kontroversi para ahli

hukum, ahli teolog dan ahli kedokteran yang membutuhkan titik temu dalam

menanggapi masalah euthanasia.

Di Indonesia menurut kode etik kedokteran Indonesia (Kodeki), istilah

euthanasia dipergunakan dalam tiga arti, yaitu:

a. Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman, tanpa adanya

penderitaan untuk mereka yang beriman dengan menyebut nama Allah

b. Ketika hidup berakhir, penderitaan sisakit diringankan dengan cara

memberikan obat penenang.

c. Mengakhiri penderitaan dari hidup seseorang yang sakit dengan

sengaja atas permintaan dari sipasien sendiri dan keluarganya.23

Dari berbagai adanya perumusan istilah euthanasia, maka penulis

cenderung untuk melihat dari sisi hukum Islam dan hukum pidana serta

dilihat dari medis, hingga dapat mengemukakan definisi euthanasia adalah

22

Sjechul Hadi Permono, Euthanasia Ditinjau Hukum Islam dan Hukum Pidana.........

hal. 33 23

Abul Fadl Mohsin Ebrahin, Kloning Euthanasia, Transfusi Darah, Transplantasi

Organ dan Eksperimen pada Hewan..............Hal. 148-149

Page 29: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

29

segala macam tindakan melakukan sesuatu untuk mengakhiri hidup seorang

pasien dengan cara membebaskan dari penderitaannya demi kepentingan

pasien sendiri dengan segala pertimbangan yang matang, dengan

berdasarkan atas persetujuan dari berbagai pihak baik dari diri pasien itu

sendiri, keluarganya maupun dari dokter yang ahli dibidangnya.24

B. Macam dan Bentuk Euthanasia

Dari uraian di atas tentang pengertian dan pemahaman istilah

euthanasia sebagaimana yang telah diuraikan, maka kita dapat menarik

suatu batas dalam macam dan bentuk euthanasia.

Pada dasarnya euthanasia dapat dibedakan kedalam tiga macam, yaitu:

a. Euthanasia Aktif

yaitu suatu tindakan dari dokter atau tenaga kesehatan lainnya dengan

secara sengaja memperpendek atau mengakhiri hidup si pasien.

b. Euthanasia pasif

Yaitu suatu tindakan dari seorang dokter atau tenaga kesehatan

lainnya dengan secara sengaja tidak lagi memberikan bantuan medis

yang akan dapat memperpanjang hidup si pasien, dalam hal ini bukan

berarti tindakan perawatan dihentikan akan tetapi perawatan terhadap

pasien tetap diberikan terus menerus secara optimal yang

dimaksudkan untuk membantu terhadap pasien dalam akhir hidupnya.

24

http://walausetitik

.blogspot.com/2007/09/euthanasia-menurut-hukum-islam.htm. (20 Juli

2011)

Page 30: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

30

c. Auto euthanasia

Yaitu tindakan seorang pasien yang menolak secara tegas dan dalam

keadaan sadar untuk menerima perawatan medis dan ia juga

mengetahui bahwa hal tersebut akan dapat memeperpendek atau

mengakhiri hidupnya dan penolakan tersebut ia membuat sebuah

cocodicil (pernyataan tertulis tangan). Auto euthanasia pada dasarnya

adalah bentuk euthanasia pasif atas permintaan dari pasien.

Euthanasia menurut Jenny Teichman dapat digolongkan menjadi

tiga golongan yaitu antara lain:

a. Voluntary Euthanasia (euthanasia sukarela)

b. Non Voluntary Euthanasia (euthanasia yang diandai-andaikan)

c. Involuntary Euthanasia (euthanasia yang dipaksakan)25

Penggolongan euthanasia menurut Jenny Teichman tersebut di atas

mempunyai pengertian bahwa, voluntary euthanasia ini diartikan sebagai

kematian yang diminta oleh seseorang (pasien) sehingga tertolong untuk

segera mati, misalnya seseorang yang sedang menderita Sindroma Tay

Sach. Keputusan atau keinginan untuk mati ada pada pihak orang tua pasien

atau pada orang yang bertanggung jawab terhadap perbuatan tersebut.

Jenis yang kedua, mengandung pengertian bahwa kematian yang

dialami oleh pasien tidak diusulkan karena pasien tidak sadar atau terlalu

dini untuk diajak berbicara. Dalam hal ini individu tersebut dapat

menyatakan keinginannya.

25

Jenny Theichman, Etika Sosial, Kavislus, Cet. I, (Yogyakarta: 1998), hal. 75

Page 31: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

31

Jenis euthanasia yang ketiga, dapat diartikan sebagai pembunuhan atas

diri pasien yang dalam keadaan sadar akan tetapi tidak dimintai persetujuan

sebelumnya.

Dr. JE. Sahetapi, SH, telah menggolongkan euthanasia, pada majalah

Badan Pembangunan Hukum Masyarakat (BPHM) kedalam tiga jenis, yaitu:

a. Action to Permit-Death to Occur

b. Failure to Take Action to Prevent-Death

c. Positive Action to Cause.26

Penjelasan dari tiga jenis euthanasia tersebut di atas adalah bahwa

pada jenis euthanasia yang pertama adalah bentuk kematian yang dapat

terjadi karena pasien dengan sungguh-sungguh dan secara cepat

menginginkan untuk segera mati. dalam hal ini pasien tentunya secara sadar

dan mengetahui bahwa penyakit yang di deritanya tidak akan dapat di

sembuhkan lagi, walaupun di adakan pengobatan dan perawatan secara baik.

Oleh karena itu pasien tersebut kemudian meminta kepada seorang dokter

agar dokter tidak usah memberikan pengobatan kepadanya guna

panyembuhan terhadap penyakit yang di deritanya, di samping itu juga

pasien tersebut meminta untuk tidak di adakan perawatan di rumah sakit

lagi, namun pasien supaya di biarkan begitu saja di rumah pasien sendiri,

dengan asumsi bahwa pasien tersebut akan merasa bahagia karena pasien

akan segera mati dengan tenang di samping keluarganya. Dalam hal ini

apabila dokter memberikan izin atas segala permohonan pasien, kematian

26

Djoko Prakoso dan Djaman Adhi Nirwanto, Euthanasia Hak Asasi Manusia dan

Hukum Pidana........... hal.73

Page 32: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

32

yang mungkin akan terjadi seolah-olah merupakan bentuk kerjasama antara

pasien dan dokter yang semula merawatnya. Jenis euthanasia diatas disebut

dengan euthanasia pasif.

Jenis euthanasia yang kedua (Failure to take action to prevent death),

yaitu kematian yang terjadi karena kelalaian dari seorang dokter dalam

mengambil suatu tindakan guna mencegah adanya kematian, tatapi ia tidak

mengerjakan apapun atau tidak melakukan sesuatu,karena dokter

mengetahui atau mengerti bahwa pengobatan yang akan di berikan kepada

pasien tersebut adalah sia-sia belaka. Dengan pangertian bahwa bila dokter

tersebut akan memberikan pengobatan, maka hal itu di pandang sebagai

suatu tindakan yang tidak berarti, sehingga sudah tidak ada lagi upaya

penyembuhan secara normal. Akhirnya pasien dibiarkan begitu saja sampai

ajalnya tiba dengan sendirinya. Pada dasarnya euthanasia jenis yang kedua

ini adalah sama dengan jenis euthanasia yang pertama. Adapun letak

perbedaannya adalah pada tindakan membiarkan pasien tersebut mati

dengan sendirinya tanpa mengadakan pencegahan. Jika pada jenis yang

pertama tindakan membiarkan ini timbul karena adanya persetujuan dari

kedua belah pihak, yaitu persetujuan antara pasien dan dokter yang telah

merawatnya, sedangkan pada jenis yang kedua tindakan itu timbul hanya

datang dari salah satu pihak saja, yakni dari pihak dokter yang merawatnya.

Euthanasia jenis yang ketiga (positive action to cause death)

merupakan tindakan yang positif dari seorang dokter untuk mempercepat

terjadinya kematian. pada jenis euthanasia ini biasanya di katagorikan

Page 33: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

33

sebagai euthanasia aktif, karena adanya aktifitas yang dilakukan oleh dokter

atau pihak lainnya untuk mempercepat kematian seseorang.27

Euthanasia menurut Dr. Yusuf Qordowi di golongkan kedalam tiga

jenis

1. Taisir al maut / Qotlu al rohmah, yaitu tindakan mempermudah

kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit karena

adanya kasih sayang dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit,

baik yang di lakukan dengan cara positif maupun negatif.

2. Taisir al-maut ialah tindakan memudahkan kematian si sakit, karena

kasih sayang yang di lakukan oleh dokter yang mempergunakan

instruman (alat).

3. Taisir al-maut mufa‟il, pada euthanasia jenis ini dipergunakan

instrumen (alat) ataupun langkah - langkah aktif untuk mengakhiri

kehidupan si sakit, akan tetapi si sakit (pasien) hanya di biarkan

pengobatan untuk memperpanjang akhir hayatnya.28

Di dalam dunia medis, ada yang disebut dengan pseudo euthanasia,

yaitu bentuk semu euthanasia, bentuk ini Nampak mirip dengan euthanasia

tetapi bentuk ini bukanlah euthanasia, jadi pseudo euthanasia merupakan

tindakan yang mirip euthanasia baik yang aktif maupun yang pasif29

. hal ini

perlu diketahui atau dikemukakan oleh penulis agar dalam menentukan

suatu tindakan medis yang berhubungan dengan “hidup dan mati” tidaklah

27

Djoko Prakoso, Euthanasia Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana........... hal.74 28

Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, jilid II (Jakarta: Gema Insani Press,

1995), hal. 749 29

http://laporanpenelitian.wordpress.com/2008/05/25/euthanasia-antara-legal-dan-non-

legal. (20 juli 2011)

Page 34: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

34

gegabah dan juga diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam

menentukan apakah suatu perbuatan dapat disebut sebagai euthanasia atau

bukan.

Menurut pendapat Prof. Mr. H.J.J. Leenen, guru besar hukum

kesehatan pada Fakultas Hukum dan Fakultas Kedokteran Van

Amsterdam yang mensinyalir bahwa di dalam dunia medis di temukan

bentuk-bentuk pengakhiran hidup yang bukan euthanasia, akan tetapi

memang mirip dengannya, bentuk-bentuk yang di maksud antara lain

adalah:

1. Pengakhiran perawatan pasien karena “mati batang otak” (brain

death) dalam keadaan seperti ini memperoleh tindakan penopang

(supurfit) dengan bantuan mesin.

2. Keadaan darurat (emergency) yang tidak dapat di atasi karena

terbatasnya fasilitas pelayanan kesehatan yang ada, misalnya pada

kejadian-kejadian luar biasa seperti adanya bencana alam.

3. Penghentian tindakan atau perawatan medis yang tidak ada gunanya

lagi, berdasarkan kriteria-kriteria ilmu kedokteran (zin loo) 30

4. Penolakan perawatan medis31

Dari berbagai uraian macam dan bentuk euthanasia di atas kiranya kita

dapat mensinyalir bentuk dan macam euthanasia, apa yang ada sesuai

30

Djoko Prakoso dan Djaman Adhi Nirwanto, Euthanasia Hak Asasi Manusia dan

Hukum Pidana........... hal.87 31

Danny Wradharma, Penuntun Kuliah Kedokteran, (Jakarta: Bina Rupa Aksara, 1996),

Hal. 44

Page 35: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

35

dengan fenomena yang terjadi, baik di kalangan medis dan di masyarakat

pada umumnya.

C. Fenomena Euthanasia

Euthanasia merupakan sebuah istilah yang mungkin jarang

dibicarakan tetapi juga merupakan persoalan dan pilihan-pilihan sulit ketika

memang harus terjadi, karena keduanya adalah bagian dari realitas dalam

kehidupan kita .

Seorang ibu muda (Agian Isna Nauli) baru 30-an tahun umurnya,

pasca melahirkan melalui caesar sebagian besar jaringan ototnya tiba-tiba

menglami lumpuh secara total, termasuk otot yang di perlukan untuk

bernafas, menelan, membuang kotoran dan sebagiannya tetapi saraf-

sarafnya hidup, karena itu ia hanya terbaring, namun sadar sepenuhnya dan

hal ini tentu akan amat menyiksanya. Sebab dengan demikian, ia bisa

merasakan rasa ngilu luar biasa yang mengiringi penyakitnya, serta dengan

tanpa henti menderanya berbulan-bulan ia begitu, dengan 1001 macam

jarum tertanam di tubuhnya, sebab lantaran alat-alat itu sajalah, ia masih

bertahan hidup.

Sebelum ini, suaminya banyak melakukan perjalanan, mengurus

usahanya yang lumayan maju, kini tentu tidak bisa lagi, seluruh usahanya

berhenti secara total. Sebaliknya lebih dari satu milyar rupiah hanya

dikeluarkan untuk membiayai pengobatan, satu persatu barang milik yang

berharga terpaksa di jual, anak-anak pun kurang perhatian dan terbengkalai

Page 36: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

36

sekolahnya. Suatu hari dokter spesialis neorologi yang merawatnya berkata;

“Bahwa usaha saya sudah maksimal”, akan tetapi kemungkinan istrinya

untuk sembuh nyaris tiada, namun ia masih bisa bertahan, itu semata-mata

adalah karena alat penunjang yang mahal biaya pemakaiannya, sementara

itu banyak pasien lain yang membutuhkan alat-alat tersebut.

Oleh karena itu, dokter meminta agar keluarganya mempetimbangkan

apakah tidak sebaiknya alat-alat tersebut di cabut saja. Dengan demikian

sang isteri tercinta bisa meninggal secara alamiah, bahkan terbebas dari

penderitannya, kalaupun Tuhan berkenan memberikan mukhjizat, toh tidak

bergantung pada menempel atau tidaknya alat-alat tersebut. Dengan sangat

terpaksa pada hari Jum‟at tanggal 22 Oktober 2004, pasca Satrya Hasan

Kusuma, menetapkan hati untuk mengirim surat permohonan tindakan

euthanasia untuk isteri Again Isna Nauli (23 tahun ke pengadilan Negeri

(PN) Jakarta Pusat, dalam surat permohonan tersebut, 32

Hasan meminta

kepada ketua PN Jakarta Pusat untuk berkenan menetapkan apakah bisa

dilakukan euthanasia terhadap isterinya atau tidak). Dengan adanya kasus

ini sontak mengundang polemik kembali meski sudah sejak lama, beberapa

kalangan menilai bahwa tindakan euthanasia sama saja dengan

pembunuhan, sementara pihak lain menganggap bahwa euthanasia bisa

dilakukan jika alasannya memang demi membantu si pasien terlepas dari

penderitaan.

32 http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/26/euthanasia-menurut-hukum-islam. (20 juli

2011)

Page 37: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

37

Manusia hanya dapat berusaha akan tetapi akhirnya hanya Allah yang

Maha Penentu dan pengatur segalanya, sesuatu yang dianggap baik oleh

manusia belum tentu baik menurut Allah. Tragis memang bila Ny. Agian

atas usulan suaminya agar dieuthanasia, yang mengundang polemik

diberbagai kalangan, baik kalangan hukum, agama, kedokteran dan

masyarakat luas ketika itu. Ternyata pada awal Januari 2005 sang isteri (Ny

Agian) yang berbulan-bulan koma, sudah dapat berbicara, berdoa dan

bernyanyi pula. Usul suami tidak sepenuhnya salah karena berangkat dari

ketetapan prognosis dokter yang menilai kondisi penyakit Ny. Again yang

sudah tidak mungkin dapat pulih kembali. 33

Kalau begitu kasus Ny. Again secara bahasa medis dinilai sudah

berprognosis infaust, bernasib buruk tanpa bisa ada tangan medis yang

memulihkannya lagi, ternyata apa yang dikategorikan berprognosis buruk

itu ternyata tidak seburuk yang dikira, hal itu berarti kita tidak harus

sepenuhnya percaya kepada bahasa medis, ramalan medis atau

penghitungan nasib penyakit yang kita idap, mungkin saja memang lebih

banyak betulnya, akan tetapi kita jangan lupa siapa tahu masih ada

keajaiban di sana, keajaiban yang semacam inilah yang tidak boleh kita

nafikan.

Memang tidak bijak bila kita tergesa-gesa mengambil keputusan dan

setiap realita yang masih menyimpan keajaiban, termasuk keajaiban untuk

sembuh, entah oleh tangan siapa yang harus kita tetap yakini bahwa Tuhan

33

http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/26/euthanasia-menurut-hukum-islam. (20 juli

2011)

Page 38: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

38

masih mau ikut campur dengan urusan kita, jika kita mau untuk

memintanya.

Masalah euthanasia ramai diperdebatkan di negara Belanda, sekitar

tahun 1952-an, yang bermula pada kasus seorang dokter yang melakukan

pembunuhan dengan niat sebenarnya membantu pasien melepaskan diri dari

derita berkepanjangan, pasien yang menderita penyakit yang selain

membuatnya sangat kesakitan juga tidak dapat di sembuhkan dengan cara

memberikan tablet dan suntikan. Kasus ini dihadapi oleh Rg. Utrecht, dan

mejatuhkan pidana bersyarat satu tahun vonis karena bertindak atas

dorongan hati nurani dengan berdasarkan ketentuan pasal 293 (pasal 344

KUHP jo pasal 447 dst, R KUHP/1999-2000), pembuat Undang-undang

yang berhadapan dengan konflik baru demikian tidak ditemukan alasan

meniadakan atau menghapus karakter pidana perbuatan yang dimaksud.34

Pandangan euthanasia yang lebih lunak dalam kehidupan masyarakat

digambarkan pada kebijakan penuntutan putusan pengadilan, hoge road.

Berikut ini diuraikan kasus euthanasia yang masuk ke pengadilan luar negri

yakni di Belanda; seorang wanita berumur 95 tahun berulangkali dengan

sungguh-sungguh meminta untuk diakhiri hidupnya, karena keadaan

fisiknya yang semakin lemah disebabkan penyempitan pembuluh darah.

Meskipun dua tahun sebelumnya wanita tua itu yang secara mental cukup

normal telah membuat pernyataan euthanasia. Dokter keluarga yang diminta

melakukan euthanasia seringkali membicarakan masalah itu dengan

34

Jan Remmelink, Hukum Pidana, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), Hal. 271

Page 39: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

39

pasiennya dan bersama anak laki-laki dan menantunya. Dokter tersebut

dengan disertai asistennya melakukan tindakan euthanasia atas permintaan

tegas dari pasien tersebut, dengan memberikan suntikan, kemudian

melaporkan perbuatannya itu kepada polisi. Pengadilan Alkmaar, 10 Mei

1983, berdasarkan ketiadaan unsur melawan hukum materiil telah

membebaskan dokter tersebut dari tuntutan hukum. Tidak menutup

kemungkinan hal yang sama (euthanasia) atas permintaan pasien dengan

sunguh-sungguh tejadi di Indonesia, pernah menjadi kontroversi jika

dilakukan bagi penderita Aids stadium akhir. 35

Menurut K.H. Ibrahim Hosein, ketua komisi fatwa MUI, menjelaskan

bahwa euthanasia yang boleh dilakukan bagi penderita Aids yang

mengalami penderitaan berkepanjangan dan tidak bisa disembuhkan.36

Kedua, karena penderita Aids berbahaya bagi orang lain, mengingat daya

tularnya yang mengerikan. Melihat pada sisi kemaslahatan dan keadaan

penderita Aids yang sudah kronis hanya akan menderita tanpa bisa

disembuhkan.37

Satu-satunya cara untuk meringankan beban sang pasien

dalam kondisi semacam ini adalah dengan memberikan kematian yang

damai. Tanpa tindakan ini, para dokter dan kerabat keluarga hanya akan

menyiksa atau membiarkan penderitaan pasien. Pendapat ini disanggah oleh

K.H. Hasan Basri, ketua MUI ketika itu pelaksanaan euthanasia aktif

35

http://www.ptiq.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=40&Itemid=34

36 http://www.ptiq.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=40&Itemid=34

37 http://www.ptiq.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=40&Itemid=34

(20 Juli 2011)

Page 40: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

40

bertentangan, baik dari sudut pandang agama, undang-undang, maupun

kode etik kedokteran.

Dari fenomena-fenomena tersebut di atas masalah euthanasia bukan

suatu masalah medical ethis saja, tetapi juga termasuk persoalan bioethics

yang bersifat interdisipliner. Oleh sebab itu diharapkan dapat menghasilkan

gambaran secara jelas mengenai perumusan masalah euthanasia yang

selama ini masih merupakan dilema dan kalaupun memang kematian

merupakan suatu yang bakal menimpa setiap orang, maka kematian yang

seharusnya akan dipilih.

1. Definisi Kematian

Dalam pandangan medis, kematian merupakan suatu bentuk proses

yang sebenarnya sudah diawali sejak bayi baru lahir. Sejak bayi, setiap hari

sebagian sel tubuh manusia mengalami kematian, kemudian diganti dengan

sel-sel yanga baru saja terbentuk. Semkin tua umur manusia, maka

pergantian sel-sel yang mati semakin tidak sempurna dan tidak semua sel

yang mati itu dapat diganti, sehingga pada akhirnya semua sel dalam tubuh

itu mati semua.

Menurut pernyataan IDI (Ikatan Dokter Indonesia), bahwa mati adalah

proses yang berlangsung secara berangsur-angsur, tiap sel tubuh manusia

mempunyai daya tahan yang berbeda-beda terhadap tidak adanya oksigen

dan karenanya mempunyai saat kematian yang berbeda pula. karena

kematian merupakan suatu proses yang berlangsung secara berangsur,

secara kliniks sulit untuk menetapkan kapan seseorang dinyatakan mati.

Page 41: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

41

Namun dengan demikian berangsur pula teknologi modern di bidang

kedokteran telah mampu merubah konsep manusia tentang kematian.

Dahulu manusia mengatur kematian dengan pernapasan, dengan pengertian

jika seseorang telah terputus nafasnya, maka ia dapat dikatakan sudah mati.

Ukuran tersebut kemudian ditinggalkan, karena beberapa kejadian telah

membuktikan bahwa orang yang tidak bernafas selang beberapa waktu ia

dapat kembali bernafas, setelah itu orang mempercayai bahwa ukuran

kematian disebabkan oleh detak jantung, sejalan dengan lajunya

perkembangan teknologi kedokteran, ukuran itupun dibatalkan karena

ternyata secara ilmiah bahwa jantung tersebut digerakan oleh pusat syaraf

yang terletak di otak. Keyakinan terakhir inilah yang mengantarkan para

dokter kepada definisi mati dipatok oleh kondisi batang otak yang bekerja

sebagai pusat saluran syaraf pada tubuh manusia. Apabila batang otak betul-

betul diyakini sudah mati, tidak berfungsi lagi, maka dapat dipastikan kalau

hidup seseorang telah berakhir.38

Dalam ilmu kedokteran kematian dapat digolongkan menjadi dua

macam yaitu:

1. Somatic Death, yaitu kematian secara badaniah saja, terhadap kematian

ini orang belum dianggap mati dengan sesungguhnya, karena masih

dimungkinkan timbul gejala-gejala untuk hidup lagi walaupun gejala-

gejala tersebut sangat kecil kemungkinannya. Adapun tanda-tanda

seseorang dapat dikatakan somatic death adalah:

38

Luthfi Asy-Syaukani, Politik, HAM dan Isu-isu Teknologi dalam Fikih Kontemporer,

(Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), Hal. 179

Page 42: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

42

a. Livor minorilus (lebam mayat)

b. Rigor mortis (kaku mayat)

c. Algor mortis (warna dan dingin mayat)39

Setelah terjadi somatic death, untuk memastikan tentang kematian

seseorang hendaknya harus ditunggu sampai kurang lebih dua jam lamanya,

saat inilah yang dimungkinkan terjadinya apa yang disebut dengan mati suri,

dan apabila setelah lewat dari dua jam, maka mati suri itu berlanjut, maka

terjadilah gejala-gejala cel degeneration, sampai pada akhirnya terjadi

kematian biological death

2. Biological Death, yaitu kematian secara biologis atau kematian yang

dialami oleh semua organ, baik jasmani maupun rohaninya, yang

sebelumnya ditandai dengan gejala-gejala sebagai berikut:

a. Discoloration (terjadinya perubahan warna)

b. Soffering (jaringan menjadi lemah)

c. Nothing (terjadinya pembusukan)40

Dengan tanda-tanda tersebut, dapatlah diketahui bahwa yang disebut

mati dalam ilmu kedokteran adalah biological death (mati secara biologis),

dengan pengertian bahwa untuk meyakinkan kematian biological tersebut,

maka harus menunggu waktu selama 24 jam secara terus menerus dan dites

secara medis, apakah seluruh sel tubuh manusia sudah tidak berfungsi lagi

atau muncul sebaliknya.

39

Djoko Prakoso dan Djaman Adhi Nirwanto, Euthanasia, HAM dan Hukum Pidana,

Hal. 78

40

Djoko Prakoso dan Djaman Adhi Nirwanto, Euthanasia, HAM dan Hukum Pidana,

Hal. 97

Page 43: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

43

Dalam “kasus kematian” dengan berbagai pengertianya sangat luas,

oleh karena mencakup segala macam kematian yang diduga karena

peristiwa yang merupakan “tindak pidana”, jadi semua kematian yang

diduga ditimbulkan dan atau diakibatkan oleh suatu tindak pidana, baik

berupa perbuatan atau tindakan kekerasan maupun penganiayaan, peracunan

dengan berbagai macam racun atau obat ataupun gas dan lain-lain

dikategorikan tindak pidana karena dapat merusak kesehatan dan tubuh serta

menghilangkan nyawa manusia.41

Seseorang dikatakan mati, menurut Syekh Izzudin bin Abdus Salam

yaitu putusnya pengendalian ruh terhadap seluruh anggota badan adalah alat

bagi ruh. Ruhlah yang mengfungsikannya, jadi mati berarti tidak

berfungsinya seluruh anggota tubuh, sedangkan kematian menurut hukum

adalah diukur dengan bernafas atau tidaknya seseorang,42

dengan asumsi

bahwa apabila seseorang masih bernafas, maka ia belum bisa dikatakan

mati, jadi seseorang dikatakan mati bilamana orang tersebut sudah tidak

bernafas lagi. Kematian menurut hukum ini setidaknya dapat diketahui demi

diajukannya suatu kasus kesidang pengadilan, apabila hakim

mendefinisikan bahwa orang tersebut mati terbunuh yang pada akhirnya

terdakwa dikenakan sanksi sesuai dengan pasal yang mengatur tentang hal

tersebut.

Kematian seseorang tentu disebabkan karena hal-hal tertentu yang

memang memungkinkan dapat mematikan atau mengakhiri hidup seseorang

41

R. Atang Ranoemihardja, Ilmu Kedokteran Kehakiman (Forensic Science),

(Bandung: Tarsito,1991,) hal. 37 42

Djoko Prakoso, Euthanasia, HAM dan Hukum Pidana, Hal. 98

Page 44: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

44

namun, diantara sekian banyak penyebab kematian seseorang yakni karena

menderita suatu penyakit. Untuk hal ini perlu kiranya seseorang melakukan

usaha demi mempertahankan hidupnya dengan cara pengobatan.

2. Hukum Berobat Menurut Hukum Islam

Mengenai usaha pengobatan terhadap suatu penyakit, Rosulullah Saw

memaparkan dalam sebuah haditsnya diantaranya:

ب ع ع ه ع ع ن ب ع ع ن ع قعلع ع ع ن ع ع : ع ن أب هرع نرع ع ع ب ع ه علن ه ع ب اللن ب ي

ه عااء ب ن ع ن ع ع لع ه ب ع اء

Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW beliau bersabda, “Tidaklah Allah

SWT menurunkan penyakit melainkan menurunkan obat penyembuhnya”43

Seseorang tertimpa suatu penyakit merupakan takdir Allah dalam

rangka menguji hamba-Nya, disitu timbul hukum kausalitas (sebab akibat)

yakni timbulnya suatu penyakit maka akibatnya harus diobati, seperti halnya

sudah menjadi hukum alamiah, bahwa setiap manusia memiliki rasa lapar,

haus, panas dingin, itu semua merupakan takdir Allah, maka untuk

menghindari/menolak rasa itu juga harus dilawan dengan takdir Allah pula,

serangan musuh adalah takdir Allah SWT, dilawan dengan jihad adalah

takdir Allah pula. 44

Begitu pula dengan penyakit, maka harus dilawan dengan pengobatan

demi untuk kesembuhan, agar selanjutnya dapat membawa kemanfaatan

menjadi tenang dalam menjalankan ibadah kepada Allah. Tidak mau

43

Abi Abdilah Muhammadbin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari Juz V (Beirut Darul

Fikr, 1994), Hal. 11 44

http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/26/euthanasia-menurut-hukum-islam (20 Juli

2011)

Page 45: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

45

berobat karena adanya keputusan tidak boleh dilakukan karena putus asa itu

sendiri dilarang oleh agama, menurut pendapat dari golongan Syafi‟iyah,

menyatakan bahwa hukum berobat bagi orang yang sakit hukumnya sunnah,

sedangkan menurut pendapat jumhur ulama‟, bahwa hukum berobat tidaklah

bertentangan dengan tawakal kepada Allah, sehingga dapat dikatakan

hukumnya boleh.

Adapun mengenai hukum atau keutamaan berobat, para ulama

berbeda pendapat bahwa bersabar (tidak berobat) itu lebih utama.45

Dalam

hal ini hukum berobat atau mengobati penyakit yang lebih tepat adalah pada

dasarnya hukumnya wajib terutama untuk kesembuhan sesuai dengan

perintah Allah SWT untuk berobat. Inilah yang sesuai dengan petunjuk Nabi

Saw dalam masalah pengobatan. Oleh karena itu, pengobatan atau berobat

hukumnya sunnah atau wajib apabila penderita dapat diharapkan

kesembuhannya, sedangkan jika secara perhitungan akurat medis yang dapat

dipertanggungjawabkan sudah tidak ada harapan sembuh, sesuai dengan

sunnatullah dalam hukum kausalitas yang dikuasai oleh para ahli, seperti

dokter ahli, maka tidak ada seorang pun yang mengatakan sunnah berobat

apalagi wajib.

Menurut pendapat penulis sendiri, hukum berobat tetap hukumnya

wajib untuk dilakukan selagi masih ada harapan untuk sembuh, ketika sudah

berusaha semaksimal mungkin akan tetapi penyakitnya tak kunjung sembuh,

45

Abdul Qadim Zallum Kloning, Transplantasi Organ Tubuh, Abortus, Bayi Tabung,

Penggunaan Organ Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati, (Bangil: Al Izzah. 1998), hal. 69

Page 46: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

46

maka barulah kita bertawakal kepada Allah swt, kalaupun Allah swt

berkehendak lain dan harus berakhir masa hidupnya.

Dari pendapat-pendapat para ulama‟ tersebut dikaji sebagaimana

dalam kaidah fiqhiyyah dan kalau memang penyakit itu termasuk “bahaya”

maka, sesuatu yang menimbulkan bahaya itu harus dihilangkan, dengan cara

melakukan pengobatan. Seperti pada kaidah fiqh yang berbunyi

ا ه رع ه ه ع ا لضع“kemadlaratan (bahaya harus dihilangkan)”

46

Dan juga sesuai dengan sabda Rasulullah saw.

ا ع رع رع ه ع ع ب ع ع

“tidak boleh memadaratkan orang lain dan diri sendiri”.47

Merupakan salah satu dari tujuan hukum Islam yang terhimpun dalam

al-kulliyah al-khamsah dan harus dipelihara antara lain adalah tentang: ( ح ظ

.memelihara jiwa / (الل س48

terpeliharanya kehidupan jiwa harus di usahakan

dan di akhiratnya, begitupun pengobatan adalah termasuk salah satu ikhtiar

pemeliharaan terhadap kelangsungan hidup yang wajib di lakukan selagi

dalam batas kemampuan manusia. Maka berobat perlu di lakukan pada diri

kita untuk menjaga potensi diri kita agar tetap sehat dan kuat, seingga segala

aktivitas dapat berjalan dengan baik.

Akan tetapi mejadi sebuah dilema manakala keadaan sudah tidak

memungkinkan lagi dilakukan, harapan hidup sangat tipis berdasarkan

46

Abdul Mujib, Al-Qoidah Fiqiyyah, (Yogyakarta: Nurcahaya, 1990), Hal. 19 47

Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qowaid Fiqhiyyah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008),

Hal. 48 48

Ismail Muhammad Iyah, Filsafata Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), hal.

70

Page 47: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

47

diagnosa dari dokter atau mungkin karena keadan ekonomi dan untuk biaya

pengobatan sudah tidak ada lagi. Apakah pengobatan bisa di hentikan? lebih

lanjutnya penulis akan membahas masalah euthanasia di tinjau dari hukum

Islam dan hukum pidana pada bab berikutnya.

Page 48: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

48

BAB III

EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA

DAN HUKUM ISLAM

A. Euthanasia Dalam Tinjauan Hukum Pidana

Di Indonesia baik dan buruknya terhadap euthanasia belum

sepenuhnya dapat dilakukan bahkan belum terlegalkan, mengingat pancasila

sebagai sumber etika sekaligus sumber dari segala hukum, maka

sepantasnyalah semua ketentuan yang ada berkenaan dengan euthanasia ini

berpedoman pada sumber tersebut meskipun belum ada hukum yang jelas

dan tegas secara langsung dalam mengatur euthanasia kiranya perlu

dicarikan acuan yang mendekati konsekuensi hukum bagi para pihak dan

pelaku euthanasia.

Jika mengacu pada perundang-undangan yang mengatur permasalahan

euthanasia masih berupa produk hukum warisan colonial Belanda, dalam

bentuk KUHP termaktub di dalamnya mengenai persoalan kejahatan

terhadap tubuh dan nyawa manusia, sekurang-kurangnya sedikit mendekati

terhadap euthanasia.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur kejahatan

terhadap tubuh dan nyawa manusia mengandung kepentingan hukum yang

melindungi obyek kejahatan nyawa manusia.49

kejahatan terhadap nyawa

49

Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, (Jakarta: Rajawali Press,

2004), Hal. 60

Page 49: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

49

dalam KUHP dapat dibedakan atau dikelompokkan menjadi dua dasar yaitu:

atas dasar unsur kesalahannya dan atas dasar obyeknya (nyawa).

Atas dasar kesalahannya ada dua kelompok kejahatan terhadap nyawa

yaitu:

1. Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan cara sengaja (dolus

misdrijven), adalah bentuk kejahatan yang dimuat dalam bab XIX

KUHP, pasal 338 s/d 350.

2. Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan tidak dengan cara sengaja

(culpuse misdrijven) yang termuat dalam bab XIX (khusus pada pasal

359)50

Atas dasar obyeknya (kepentingan hukum yang dilindungi), maka

kejahatan terhadap nyawa dengan sengaja dibedakan menjadi tiga macam

yaitu:

1. Kejahatan terhadap nyawa bayi pada saat atau tidak lama setelah

dilahirkan, dimuat dalam pasal 341, pasal 342 dan pasal 343.51

2. Kejahatan pada nyawa orang pada umumnya, dimuat dalam pasal 338,

339, 340, pasal 344 dan pasal 345.

3. Kejahatan terhadap nyawa bayi yang masih dalam kandungan ibunya

(janin), dimuat dalam pasal 346, 347, 348 dan 34952

Perihal kematian seseorang yang bertalian dengan perbuatan orang

lain, maka peristiwa tersebut hendaknya perlu ditinjau secara teoritis dari

segi hukum pidana mengenai kualifikasi delik-delik pembunuhan, makna

50

Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa.................Hal. 62 51

R Sugandi, KUHP dan Penjelasannya....................Hal. 357 52

Muljatno, KUHP.........................Hal. 123-125

Page 50: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

50

dan penentuan hubungan krusial dalam hukum pidana, hubungan batin yang

berbeda antara orang melakukan perbuatan dengan akibat matinya orang,

sifat dan pembuktian kealpaan.53

Untuk dapat dipidanakan atau tidaknya karena kejahatan terhadap

jiwa, maka harus ada unsur-unsur yang terkandung dalam pasal-pasal yang

bersangkutan untuk mengantisipasi terjadinya euthanasia di Indonesia

meskipun pada kenyataannya kasus euthanasia yang sampai diajukan ke

pengadilan, namun belum ada seorang pun atau lembaga yang menyetujui

legalisasi euthanasia.

Dalam hal ini ada beberapa alternatif pasal dalam KUHP yang dapat

dijadikan pijakan dalam hal menentukan pertanggungjawaban pidana dalam

kaitannya dengan persoalan dan peristiwa euthanasia, Begitu pun dengan

masalah euthanasia yang masih menjadi teka-teki apa penyebabnya, karena

mengenai peristiwa matinya orang yang bertalian dengan perbuatan orang

lain. Berikut ini adalah pasal yang menjelaskan tentang pembunuhan secara

umum, yaitu pasal pertama dalam bab XIX yakni pasal 388 dalam

terjemahannya berbunyi:

“Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain diancam karena

pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 tahun”.54

Apabila rumusan tersebut jika dirinci unsur-unsurnya, maka terdiri

dari:

1. Unsur Obyektif:

53

Muljatno, Membangun Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 2002), hal. 3 54

Muljatno, KUHP, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), hal. 122

Page 51: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

51

a. Perbuatan : menghilangkan nyawa

b. Obyeknya : nyawa orang lain

2. Unsur Subyektif:

Dalam perbuatan merampas nyawa seseorang terdapat tiga syarat yang

harus terpenuhi, yaitu:

a. Adanya wujud perbuatan

b. Adanya hak kematian (orang lain)

c. Adanya hubungan sebab dan akibat (casual verband) antara perbuatan

dan akibat kematian orang lain.55

Dari kata “merampas nyawa” di atas, memiliki makna atau sifat jahat

dengan penilaian sebab terjadinya pristiwa tersebut (kematian). Meskipun

banyak yang menggunakan kata “menghilangkan nyawa”, bermaksud sama

yakni kematian, untuk dapat dituntut menurut pasal ini, pembunuhan itu

dilakukan dengan segera setelah timbul maksud dan tidak berfikir lebih

lama,56

dalam pasal 304 berbunyi:

“Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan seseorang

dalam keadaan sengsara, sedang ia wajib memberi kehidupan, perawatan,

dan pemeliharaan kepada orang itu, karena hukum yang berlaku baginya

atau karena persetujuan, diancam dengan pidana penjara paling lama dua

tahun delapan bulan atau denda sabanyak-banyaknya empat ribu lima ratus

rupiah”.

Pasal ini dapat dijadikan acuan bagi tindakan euthanasia pasif dengan

membiarkan pasien menderita tanpa memberikan perawatan maupun

pengobatan. Pasal ini juga terdapat unsur “karena perjanjian”, kewajiban

55

Adami Chazawi, Kejahatan terhadap Tubuh dan Nyawa……hal. 57 56

R. Sugandhi, KUHP dan penjelasannya, (Surabaya: Usaha Nasional, 2002), hal. 357

Page 52: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

52

hukum, hubungan antara pasien dan dokter yang sering dikenal dengan

terapeutik.

Pasal 338 KUHP merupakan aturan umum dari perampasan nyawa

seseorang, yaitu yang berbunyi:

“Barang siapa yang sengaja menghilangkan nyawa orang karena

pembunuhan biasa, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima

belas tahun.

Kejahatan seperti ini disebut dengan “makar mati” atau pembunuhan,

peristiwa ini juga perlu dibuktikan suatu perbuatan yang mengakibatkan

kematian orang lain, dan kematian itu memang disengaja.57

Dalam hal ini

meskipun tindakan euthanasia merupakan salah satu dari bentuk

perampasan nyawa dengan cara atau menggunakan alat apapun yang jelas,

pasien yang menderita itu menuju kematian, baik dengan cara euthanasia

pasif maupun aktif. Selanjutnya pasal 340 KUHP, sebagai pasal alternatif

yang dapat digunakan sebagai acuan tindakan pidana bagi pelaku

euthanasia, antara lain berbunyi:

“Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa

orang lain, karena bersalah melakukan pembunuhan dengan berencana,

dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau

selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”.

Rumusan tersebut terdiri dari unsur-unsur:

1. Unsur Subyektif:

a. Dengan sengaja

b. Dan dengan rencana terlebih dahulu

2. Unsur Obyektif

57

R. Sugandhi, KUHP dan penjelasannya....................... Hal. 357

Page 53: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

53

a. Perbuatan : menghilangkan nyawa

b. obyeknya : nyawa orang lain.58

Unsur “direncana terlebih dahulu” artinya timbulnya maksud

pembunuhan dengan pelaksanaannya itu masih ada tempo (waktu) bagi

pelaku pembunuhan untuk pelaksanaan niatnya, dengan tenang untuk

memikirkannya, dengan pengertian apakah dalam tempo tersebut pelaku

ingin meneruskan rencananya untuk membunuh dengan “modus operandi”

yang telah direncanakan, dapat dilihat dengan indikatornya bahwa dalam

waktu itu:

1. Pelaku masih sempat untuk menarik kembali kehendaknya untuk

membunuh, karena memahami tindakannya diancam hukuman pidana

2. Bila kehendaknya sudah bulat, ada waktu yang cukup untuk

memikirkan, misalnya bagaimana caranya, dengan alat apa

melaksanakannya, bagaimana cara menghilangkan jejaknya, untuk

menghindari tanggung jawab, jadi punya kesempatan untuk

memikirkan rekayasa.

Berkaitan dengan euthanasia, maka perlu dapat mengetahui secara

jelas sesuatu yang dapat mengakibatkan pasien tersebut, cepat atau lambat

akan berakhir hidupnya.

Alternatif pasal berikutnya dapat dijadikan acuan hukum euthanasia

yang dijelaskan dalam KUHP pasal 344 yang berbunyi:

58

Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa,……..hal. 81

Page 54: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

54

“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu

sendiri yang jelas dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana

penjara paling lama dua belas tahun”59

Kejahatan yang dirumuskan tersebut, terdiri dari unsur-unsur sebagai

berikut:

a. Perbuatan: menghilangkan nyawa

b. Obyek: nyawa orang lain

c. Atas permintaan orang itu sendiri

d. yang jelas dinyatakan dengan sungguh-sungguh

Pasal 344 KUHP ini berpedoman bahwa orang yang membunuh tidak

dapat membuktikan bahwa pembunuhan itu atas permintaan korban karena

pasal ini dikenakan kepada pelaku euthanasia aktif.

Pembunuhan atas permintaan sendiri pasal 344 ini sering disebut

dengan euthanasia (mercy killing), yang dipidananya pembunuh, walaupun

terbunuh sendiri yang memintanya, pembuktian bahwa sifat publiknya lebih

kuat dalam hukum pidana. Walaupun korbannya meminta sendiri agar

nyawanya dihilangkan, toh perbuatan orang lain yang memenuhi

permintaannya untuk tetap dapat dipidana.

Kedua unsur yang harus dibuktikan disyaratkan harus mengacu pada

pasal 245 HIR, yaitu:

1. Kesaksian

2. Surat-surat

3. Pengakuan

59

Moeljatno, KUHP...............................124

Page 55: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

55

4. Isyarat-isyarat60

.

Dari ke empat unsur yang paling mungkin untuk didapatkan dalam

kasus euthanasia ini adalah alat bukti, surat-surat, dan kesaksian. Jadi

jelaslah bagi kalangan medis pada umumnya dan para dokter bila melihat

ketentuan-ketentuan diatas maka pelaksanaan euthanasia tidak mungkin

terjadi, kecuali apabila tindakan euthanasia tidak lagi diartikan tersebut di

atas, misalnya dokter yang “membiarkan” obat yang mematikan di minum

oleh si pasien atau membantunya mengarahkan jarum suntik.61

Terpaut dari ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut tersimpul, bahwa

pembunuhan atas permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi

pelakunya. Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di Indonesia

euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Dengan

demikian dalam konteks hukum positif di Indonesia, tidak dimungkinkan

dilakukan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun atas permintaan orang

itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana,

yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang

melanggar larangan tersebut.62

Dalam memandang kasus seperti ini kita memandang dari dua sisi,

yaitu pertama, pasien memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan

mempunyai hak untuk menolak perawatan, hal ini merupakan hak dasar

60

Djoko Prakoso, Euthanasia HAM dan Hukum Pidana,………hal. 72 61

Jan Ramelik, Hukum Pidana, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal.272 62

http://www.scribd.com/doc/11639357/Euthanasia-Persepetif-Medis-Dan-Hukum-

Pidana-Indonesia. (25 Sept 2011)

Page 56: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

56

yang tercantum di dalam UU HAM dan UU Kesehatan.63

Kedua, dokter

mempunyai kewajiban bahwa di dalam menjalankan hak dan kebebasanya

sebagai seorang dokter hendaknya menghormati hak dan kebebasan yang

digunakan pasien untuk memenuhi tuntuntan yang adil sesuai dengan

pertimbangan etik-moral. Prof. Olga Lelacic dari fakultas hukum SPLIT

mengemukakan bahwa seorang pasien yang meminta dokter untuk

mengakhiri hidupnya sebetulnya tidak ingin mati tetapi ingin mengakhiri

penderitaanya. Namun demikian di negara kita belum ada hukum yang jelas

mengenai euthanasia ini.

Dasar dari penentuan tindakan boleh dilakukan euthanasia atau tidak

boleh dilakukan euthanasia adalah pedoman yang dikeluarkan oleh

Pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia, yaitu Surat Edaran

No.702/PB/H.2/09/2004 tentang euthanasia. Dalam pandangan hukum,

euthanasia bisa dilakukan jika pengadilan megijinkan. Namun bila

euthanasia dilakukan tanpa dasar hukum, maka dokter dan rumah sakit bisa

dianggap melanggar pasal 345 KUHP, yaitu menghilangkan nyawa orang

lain dengan menggunakan sarana. Dari sudut pandang hukum euthanasia

aktif jelas melanggar, UU RI No. 39 tahun 1999 tentang HAM, yaitu Pasal

4, Pasal 9 ayat 1, Pasal 32, Pasal 51, Pasal 340, Pasal 344, dan Pasal 359.64

63

http://laporanpenelitian.wordpress.com/2008/05/25/euthanasia-antara-legal-dan-non-legal. (20 Juli 2011)

64 http://laporanpenelitian.wordpress.com/2008/05/25/euthanasia-antara-legal-dan-

non-legal. (20 Juli 2011)

Page 57: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

57

B. Euthanasia Dalam Tinjauan Hukum Islam

Islam sebagai agama yang rahmatan lil al-„amin sangat

memperhatikan keselamatan hidup dan kehidupan pemeluk sejak ia berada

dalam kandungan ibunya, sepanjang sampai ia mati, untuk melindungi

keselamatan hidup dan kehidupan tersebut dalam Islam menetapkan sebagai

norma baik sakhsiyyah (perdata) maupun pidana dikenal dengan jinayah di

rumuskan beberapa asas hak asasi manusia sesuai dengan kebutuhannya

yakni;

حب نظه الن ع نلب حب نظه انلمع ب حب ن ه لنلع نلب حب نظه النلع نسب حب نظه الليب ن ب 65

“Menjaga akal, harta, keturunan, jiwa dan agama”

Dari kelima asas tersebut dalam pemahasan ini lebih di fokuskan pada

.yang akan di uraikan lebih lanjut ح ض الل س

Menjaga dan menghormati jiwa (ح ظ الل س) merupakan hak yang paling

utama, berdasarkan peninjauan dari sisi transisi tanpa mempertimbangkan

warna kulit, agama, kebangsaan dan negara, adapun yang paling utama yang

paling penting adalah hak hidup (pemeliharan jiwa), karena hal ini adalah

hak yang suci, tidak dibenarkan secara hukum jika di langgar kemuliaannya

dan tidak boleh di anggap remeh eksistensinya.

Pelanggaran hidup terhadap jiwa seseorang yang berakibat pada

kematian dengan cara pembunuhan dalam konteks Islam disebut dengan

(ال حل) yang menurut Ibnu Qosim al-Ghozali diartikan dengan “hilangnya

nyawa”, yang ditimbulkan (disebabkan) oleh suatu tindakan walaupun

65

Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), hal. 65

Page 58: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

58

secara hukum, orang yang mati karena pembunuhan biasa disebut dengan ( ا

terbunuh, sedangkan orang yang mati bukan karena pembunuhan (لم حو

disebut dengan “mati” secara wajar. Perbedaan sebutan di atas harus

ditegaskan, karena orang yang mati yang disebabkan pembunuhan, ternyata

terdapat suatu penyebab dan adanya konsekuensi hukum yang harus

diterima oleh wali dan terhukum.

Dalam Al-Qur‟an menjelaskan beberapa ayat tentang larangan

melakukan pembunuhan beserta ancaman para pelakunya, antara lain:

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah, kecuali

dengan yang hak”.66

(QS. Al-Isro : 33)

“Dan tidak boleh seorang mukmin membunuh orang mukmin yang lain,

kecuali karena kesalahan, barang siapa membunuh orang mukmin karena

kesalahan maka ia wajib memerdekakan hamba sahaya yang mukmin dan

membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya, (sipembunuh),

kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) menyedekahkannya” (QS. an-Nisa

: 92)67

66

Deapartemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Jumanatul „Ali-

ART, 2005), Hal. 285 67

http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/26/euthanasia-menurut-hukum-islam. (24 juli

2011)

Page 59: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

59

“Barang siapa yang membunuh orang mukmin dengan sengaja, maka

balasannya ialah neraka jahannam, ia kekal di dalamnya, Allah

mengutuknya dan menyediakan baginya siksaan yang pedih” (QS. An-Nisa:

93) 68

Di samping melarang untuk melakukan perbuatan pembunuhan

terhadap orang lain syari‟at Islam juga melarang untuk melakukan

perbuatan bunuh diri, sebagaimana dalam surat Al-Baqarah ayat 195:

“Dan bernafkahlah kamu pada jalan Allah dan jangan kamu lemparkan

dirimu kedalam kebinasaan dan berbuat baiklah, sesungguhnya Allah

menyukai kepada orang-orang yang berbuat baik”.(QS. Al-Baqarah: 195)69

Adapun mengenai pengklasifikasian pembunuhan dalam konteks

Islam para fuqoha‟ berbeda pendapat:

1. Ulama‟ Malikiyah mengklasifikasikan bentuk-bentuk pembunuhan

menjadi dua macam yaitu: pembunuhan sengaja (Al-Qothlu Al-Amdi)

dan pembunuhan keliru (Al-Qothlu Al-Khoto‟).

2. Jumhur Ulama‟ mengklasifikasikannya menjadi tiga macam, yaitu:

pembunuhan sengaja, semi sengaja, kekeliruan.

3. Sebagian Ulama‟Hanafiyah mengklasifikasikannya menjadi empat

macam, yaitu: pembunuhan sengaja, semi sengaja, kekeliruan dan

serupa kekeliruan.

68

Deapartemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya...........................Hal. 93 69

Deapartemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya...........................Hal.30

Page 60: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

60

4. Sebagian Ulama‟ Hanafiyah mengklasifikasikannya menjadi empat

macam yaitu; pembunuhan sengaja, semi sengaja, kekeliruan, serupa

kekeliruan dan pembunuhan secara tidak langsung.70

Menurut pendapat para fuqoha tersebut Akibat hukum dari sekian

banyak macam dan bentuk pembunuhan, Islam menetapkan qishas atau

diyat bagi para pelaku pembunuhan, untuk dapat munentukan macam-

macam pembunuhan untuk di lakukan seseorang, dapat di lihat niat

seseorang apakah pembunuhan sengaja, semi sengaja atau kekeliruan.

Melihat posisi niat yang sangat penting dalam menentukan status

hukum suatu perbuatan, maka para ulama‟ membuat para kaidah asasi

tentang niat, yaitu; ( ا و أم ل) ,71

pengklasifikasian pembunuhan

sengaja menurut jumhur Ulama‟ yakni apabila sipembunuh melakukannya

dengan adanya niat atau maksud untuk menghilangkan nyawa korban.

Menurut ulama Hanafiyah suatu pembunuhan dikatakan sengaja,

apabila menggunakan alat yang dapat melukai tubuh, seperti: pisau, pedang,

panah, tombak dan alat-alat lainnya yang dapat menghilangkan nyawa tanpa

keraguan. Ulama‟ Syafi‟iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa alat yang

dapat menunjukkan suatu pembunuhan merupakan pembunuhan sengaja

adalah alat-alat yang pada umumnya dapat membunuh seseorang

(menghilangkan nyawa), alat-alat tersebut tidak selalu harus tajam. hal ini

sebagaimana kaidah yang berkenaan dengan pembunuhan sengaja ialah:

أبمع ع نحهله غع لب ء له هوع اعلن عمن

70

Jaih Mubarok, Kaidah Fikih Jinayah, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), hal. 9 71

A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), Hal.34

Page 61: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

61

“Pembunuhan sengaja adalah pembunuhan yang dilakukan dengan

menggunakan alat yang pada umumnya dapat mematikan”.72

Kualifikasi pembunuhan semi sengaja dapat diketahui, jika alat-alat

yang digunakan bukan alat-alat yang dapat melukai, sebagaimana dalam

kaidah disebutkan.

لع ح أبغع نرب اعل ب لب هوع ب ن ه الن عمن

“Pembunuhan semi sengaja adalah pembunuhan yang dilakukan tidak

dengan menggunakan alat yang melukai atau senjata tajam”.

Adapun Ulama Syafi‟iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa

pembunuhan semi sengaja adalah yang dilakukan dengan menggunakan alat

yang pada umumnya tidak mematikan.

Euthanasia aktif dalam pandangan hukum Islam dapat dimasukkan

dalam jenis pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja, apabila euthanasia

aktif ini memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

1. Pembunuh: berakal, baligh, kesengajaan

2. Adanya target tertentu (membunuh orang)

3. Dilakukan dengan menggunakan alat yang pada umumnya dapat

berakibat orang lain terbunuh.

Ketiga unsur tersebut haruslah terpenuhi semuanya dengan pengertian

tidak boleh ada satu unsur yang tertinggal. Sedankan euthanasia aktif yang

dilakukan oleh medis terhadap pasien yang dalam keadaan sadar tidak

dimintai persetujuannya, dokter yang menanganinya tidak meminta

72

Jaih Mubarok, Kaidah Fikih Jinayah, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), Hal. 14

Page 62: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

62

pendapat dari teman sejawatnya dan tidak atas persetujuan keluarga pasien,

maka tindakan euthanasia aktif seperti diatas dapat digolongkan kedalam

pembunuhan sengaja, kesengajaan tersebut dilihat dari adanya tindakan

yang dilakukan oleh seorang ahli medis, misalnya dengan memberikan obat

penenang, obat penghilang rasa sakit yang melebihi dosis, dengan tujuan

pasien dapat segera menemui ajalnya dengan tidak merasakan sakit dikala

maut menjemputnya. Tindakan para medis terhadap para pasien yang

mengalami vegetative yang hidupnya tergantung pada alat bantu yang

dipergunakan, sehingga apabila alat bantu tersebut diambil atau dimatikan,

tentunya pasien yang mengalami hal tersebut akan menemui ajalnya dengan

segera, karena kehidupan pasien hanya bergantung pada alat bantu

(instrument) tersebut. 73

Tindakan seperti tersebut diatas apabila dilakukan oleh ahli medis,

tanpa adanya persetujuan dari keluarga pasien, maupun pendapat dari teman

sejawatnya, maka tindakannya disebut sebagai pembunuhan yang sengaja.

Oleh karena itu di samping tindakan ahli medis tersebut telah memenuhi

unsur-unsur dalam pembunuhan sengaja, dan juga dilakukan atas inisiatif

dokter itu sendiri tanpa memperdulikan pertimbangan lain yang

berhubungan dengan hal tersebut, maka tentunya pelaku pembunuhan akan

mendapatkan hukuman qishas, sebagaimana telah dijelaskandalam Al-

Qur‟an surat al-Baqarah ayat 178

73

Jaih Mubarok, Kaidah Fikih Jinayah.................Hal. 15

Page 63: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

63

“Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu sekalian qishas

dalam pembunuhan”.(QS. Al-Baqarah: 178)74

Mengenai alat yang dipergunakan untuk pembunuhan sengaja,

menurut Ulama‟ Hanafiyah, yang pada umumnya dengan alat yang dapat

melukai tubuh, sehingga dapat mengakibatkan terbunuhnya seseorang,

berkaitan dengan euthanasia aktif, alat yang dipergunakan tentunya bukan

merupakan suatu alat yang tajam, akan tetapi secara umum dapat dipahami

bahwa pemberian obat penenang atau pembiusan yang melebihi dosis, juga

pencabutan alat bantu bagi pasien vegetatif, maka pembunuhan (euthanasia)

yang demikian dapat dikategorikan dengan pembunuhan sengaja dan akan

mendapatkan sanksi hukum, harus membayar diyat bagi pembunuh kepada

keluarga yang terbunuh.

Ulama‟ Syafi‟iyah menyatakan bahwa pembunuhan dikatakan sengaja

dengan menggunakan alat yang biasanya dapat menjadikan hilangnya

nyawa seseorang (mati) dan tidak harus selalu alat yang tajam, dengan

demikian tindakan medis euthanasia aktif dengan cara mencabut alat bantu

atau dengan memberikan obat bius yang melebihi dosis yang dilakukan

tanpa persetujuan dari pasien atau keluarganya, maka dapat dikatakan

sebagai pembunuhan sengaja dengan konsekuensi hukumnya adalah qishas

bagi pelakunya.

74

Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya....................Hal.27

Page 64: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

64

Qishas sebagai sanksi hukum dari pembunuhan yang sengaja dapat

dilaksanakan apabila terpenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

1. Pelaku pembunuhan sudah baligh

2. Pelaku pembunuhan berakal sehat

3. Pelaku pembunuhan bukan orang tua korban

4. Ketika terjadi pembunuhan, antara pembunuh dan yang terbunuh

sederajat, dalam hal agama dan kemerdekaannya.

Hukum qishas tidak dapat dilaksanakan apabila terdapat hal-hal yang

tersebut dibawah ini:

1. Pembunuhan orang Islam dan korbannya non muslim

2. Orang yang merdeka membunuh budak

3. Orang tua membunuh anaknya sendiri75

Mengenai identitas korban yang tidak diketahui, dengan pengertian

apakah korban beragama Islam atau tidak, merdeka atau budak, maka

menurut Ar-Royani adalah bahwa pembunuhan dengan korban yang masih

tidak jelas identitasnya, maka hukum qishas tidak bisa dilaksanakan karena

alasan subhat.

Tindakan euthanasia aktif sebagaimana dikemukakan di atas,

demikian itu tidak dapat lepas dari kategori pembunuhan meskipun yang

mendorongnya itu rasa kasihan kepada pasien dan untuk meringankan

penderitaanya, karena bagaimanapun dokter tidaklah lebih pengasih dan

75

Huzaemah Tahedo, Masail Fiqiyah, (Bandung: Bumi Aksara, 2005), hal. 111

Page 65: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

65

penyayang dari pada zdat yang menciptakannya.76

Karena itu serahkanlah

usaha tersebut kepada Allah swt, karena dialah yang memberikan kehidupan

kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah

ditetapkan-Nya. Pengecualian terhadap euthanasia aktif yang dilakukan oleh

seorang dokter dalam menyelamatkan ibu yang akan melahirkan anak

dengan jalan mematikan bayi yang ada dikandungannya, pada saat diketahui

proses kelahiran bayi tersebut akan membahayakan nyawa ibunya. Hal ini

sesuai dengan kaidah ushul:

مع اع علب ب جب ع اب ره ع ن ب ب فه الضع به اعخع عرن جعكب“Menempuh salah satu tindakan yang lebih ringan demi dua hal yang

berbahaya, karena kumpulnya dua bahaya tersebut”

Pengorbanan nyawa bayi yang masih dalam kandungan adalah

termasuk bahaya, akan tetapi akan lebih besar bahayanya jika membiarkan

bayinya selamat, tetapi harus mengorbankan nyawa ibu yang sudah,

sempurna, eksis dengan segala hak dan kewajibannya di dunia yang ramai

ini. Ia telah sempurna dengan adanya kepatutan mendapatkan hak dan

kewajiban dan patut untuk bertanggung jawab.77

Dari kedua bahaya tersebut

maka diambil tindakan dengan cara melihat kemaslahatan yang lebih besar

dan syara‟ juga memperbolehkan tindakan semacam ini, karena keadaan

yang dhorurot, sesuai dengan kaidah:

اتب ضهون ع حن اته جه ب نحه النمع ره ن ع ا لضع

76

Setiawan Budi Utomo, Fikih Aktual..............................Hal. 178 77

Sjechul Hadi Permono, Euthanasia ditinjau dari hukum islam dan hukum

pidana........hal.45

Page 66: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

66

“Keadaan dhorurot dapat diperbolehkan terhadap perbuatan yang

dilarang”.78

Adapun memudahkan proses kematian dengan cara pasif (euthanasia

pasif), misalnya: ada seorang anak yang kondisinya sangat buruk karena

menderita kelumpuhan tulang belakang atau kelumpuhan otaknya, maka

dalam keadaan ini ia dapat saja dibiarkan tanpa diberi pengobatan, apabila

terserang penyakit paru-paru atau sejenis penyakit otak, yang mungkin akan

membawa kematian anak tersebut. 79

Dalam contoh tersebut di atas “menghentikan pengobatan atau tidak

memberikan pengobatan” merupakan salah satu bentuk euthanasia pasif, hal

ini berdasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang di lakukan

sia-sia saja dan tidak memberikan harapan kepada pasien sesuai dengan

sunnatullah (hukum Allah terhadap alam) dan hukum sebab akibat.80

Diantara masalah yang terkenal dikalangan ulama‟ yang telah

dijelaskan, ialah bahwa mengobati atau berobat dari penyakit tidak wajib

hukumnya menurut jumhur fuqoha‟ dan para imam madzab, bahkan ada

pula yang menghukumi mubah / boleh, sebagian nadzab Syafi‟iyah dan

imam Ahmad mewajibkannya, sebagai mana di kemukakan oleh Syechul

Islam Ibnu Timiyyah, dan sebagian lagi menganggapnya sunnah.

Oleh karena itu, pengobatan atau berobat hukumnya sunnah atau pun

wajib, apabila penderita dapat di harapkan kesembuhannya. Sedangkan jika

secara penghitungan yang akurat medis yang dapat di pertanggung

78

Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qowaid Fiqiyyah......................Hal. 265 79

Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktual.......................Hal. 180 80

Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer jilid II..........................Hal. 750-751

Page 67: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

67

jawabkan sudah tidak ada harapan sembuh, sesuai dengan sunnatullah dan

causalitas yang di kuasai para ahli, seperti dokter ahli maka tidak ada

seorang pun yang menyatakan sunnah berobat apalagi wajib,81

maka

penghentian obat atau tidak memberikan pengobatan, tindakan dokter

semacam ini hanya bersikap meninggalkan sesuatu yang hukumnya tidak

wajib ataupun tidak sunnah sehingga tidak terkena sanksi hukuman baik

menurut hukum Islam maupun hukum positif, tindakan euthanasia pasif

oleh dokter dalam kondisi seperti ini adalah jaiz (boleh) dan di benarkan

syara‟ apabila keluarga pasien mengizinkannya demi meringankan

penderitaan dan beban pasien dan keluarganya.82

Dengan dihentikan perawatan atau usaha medis, maka biasanya ajal

akan cepat menjemput, bagi pasien yang mampu membiayai pengobatan,

nampaknya akan terus dilanjutkan, tetapi bagi pasien yang miskin tentunya

upaya medis akan dihentikan, dan tinginya perawatan medis inilah yang

mendorong keluarga pasien untuk menghentikan upaya terhadap si sakit,

kejadian yang seringkali ditemui adalah si sakit di bawa pulang dan di

lakukan perawatan di rumah.

Dengan demikian pasien yang dalam keadaan moriboundity seperti

ini, Islam memandang bahwa sisi baik dari tindakan pasif adalah dari rasa

kasihan terhadap pasien maupun keluarganya. Islam tidak memperbolehkan

orang untuk menganjurkan bunuh diri apalagi melakukannya, akan tetapi

tradisi yang sudah berlaku sudah lama dilakukan oleh masyarakat Indonesia

81

Yusuf Qordowi, Fatwa-fatwa Kontemporer jilid II..............Hal. 753 82

Badri Khaeruman, Hukum Islam dan Perubahan Sosial, (Bandung: CV Pustaka Setia,

2010), hal. 210

Page 68: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

68

adalah menyerahkan urusan hidup dan matinya terhadap Allah swt, kebiasan

tersebut adalah dibacakannya surat yasin atau dengan cara yang lainnya,

oleh para kelurga si sakit dengan maksud apabila si sakit lebih baik di

perpanjang hidupnya maka hal itu dipasrahkan kepada sang Kholik yang

maha berkehendak kapan manusia itu akan mati, dan apabila mati itu lebih

baik terhadap keadaan bagi si sakit, maka hal itu juga atas izin Allah swt,

sesuai dengan sabda Nabi saw dari Anas bin Malik sebagai berikut:

ع عحعمع ن : قعلع ع هون ه ب ع ع ه ع ع ن ب ع ع ن ن : ع ن عس ع ب ع ه علن ه

تع ون لهكه ه النمع تب ن كع ع ع أعلن ب ع لبضهري ع ع ع أب ب اعحع ون لن ء لب نمع حعمع ال ن ه ن :لن ع هلن ع ه

الب ه ع كع عثب النحع ع حن بلب ع جعوع فنلب خع نرء فع ب ع الب ه ذعاكع عثب النوع خع نرء

Dari Anas RA, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda, Janganlah

seseorang diantara kalian mengharapkan kematian karena kesengsaraan

yang menimpanyakalaupun dia memang harus mengharapkan kematian

maka sebaiknya mengucapkan “Ya Allah, hidupkanlah aku selama

kehidupan itu baik bagiku, dan matikanlah aku bila memang kematian itu

lebih baik bagiku” (HR. Shahih Bukhari).83

Dari paparan hadits diatas maka, tradisi dilakukan seperti yang terjadi

selama ini tidaklah bertentangan dengan ajaran Islam, karena tujuan yang

sebenarnya adalah menyerahkan seluruh hidup dan mati hanya kepada Allah

swt, dengan pengertian bahwa hal ini tidak melanggar kewenangan

(kekuasaan) Allah untuk menentukan hidup dan mati hanya di tangan Allah.

Menyikapi masalah permintan tersebut di atas, Islam mensyaratkan adanya

unsur keterpaksaan, karena hal ini di tegaskan dengan adanya kalimat: ف )

83

Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Barri Jilid 30, (Jakarta: Pustaka Azam, 2008), Hal.

521

Page 69: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

69

yang dapat diartikan dengan "apabila si sakit tersebut harus (ك ألف ل

melakukan".

Menurut penjelasan tentang euthanasia tersebut di atas, maka

diperoleh gambaran, bahwa yang dapat diterima oleh ajaran dan hukum

Islam adalah euthanasia yang pasif. Hal itupun masih disyaratkan adanya

ketentuan bahwa pasien tersebut sudah diberikan beberapa macam obat,

suntikan, usaha pengobatan lainnya dan juga sudah berganti-ganti dokternya

dan menurut pendapat para dokter ahli, pasien dinyatakan tidak akan dapat

sembuh lagi, harapan hidupnya tipis, hanya menunggu kapan ajal akan

datang menjemputnya.

Page 70: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

70

BAB IV

ANALISIS KOMPARATIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM ISLAM

TENTANG EUTHANASIA

A. Analisis Hukum Pidana Tentang Euthanasia

Apabila kita perhatikan lebih lanjut, dari pasal-pasal yang terkait

dengan masalah kejahatan terhadap tubuh dan nyawa, yaitu pasal 338, 340

dan 344 KUHP, ketiga-tiganya adalah mengandung makna larangan untuk

membunuh selanjutnya pasal 338 KUHP merupakan aturan umum dari pada

perampasan nyawa orang lain, pasal 340 KUHP adalah aturan khususnya,

karena dengan dimasukannya unsur-unsur dengan rencana lebih dulu, oleh

sebab itu pasal 340 KUHP ini dikatakan sebagai pasal terhadap

pembunuhan yang direncanakan atau pembunuhan berencana. Begitu pula

jika diperhatikan lebih lanjut pasal 344 KUHP pun merupakan aturan

khusus dari pasal 338 KUHP. Hal ini karena disamping pasal 344 KUHP

tersebut mengandung makna perampasan nyawa atau pembunuhan

sebagaimana diatur dalam pasal 338 KUHP, pada pasal 344 KUHP

ditambah pula adanya unsur “atas permintaan sendiri yang jelas dan

dinyatakan dengan kesungguhan hati”.

Jadi masalah euthanasia ini dapat menyangkut dua aturan hukum

yakni pasal 338 dan pasal 344 KUHP, dalam hal ini terdapat apa yang

disebut dengan concorcus idealis, yang merupakan sistem pemberian pidana

juga terjadi satu perbuatan pidana yang masuk dalam beberapa peraturan

Page 71: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

71

hukum concorcus idealis ini diatur dalam pasal 63 KUHP, yang

menyebutkan bahwa:

a. Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana , maka

yang dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan itu, jika

berbeda-beda yang dikenakan adalah yang memuat ancaman hukuman

pokok yang paling berat.

b. Jika suatu perbuatan yang masuk dalam satu aturan pidana yang umum

diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus

itulah yang dikenakan sanksinya.

Dalam pasal 63 ayat 2 KUHP ini mengandung asas lex specialis

derogat lege generali, yaitu bahwa aturan-aturan yang khusus akan

mendesak atau mengalahkan terhadap peraturan-peraturan yang dikatanya

umum84

, yang dimaksudkan sebagai peraturan yang khusus disini adalah:

“peraturan pidana yang mempunyai atau memuat unsur-unsur yang termuat

dalam peraturan pidana yang tidak termuat dalam peraturan pidana umum”.

Dengan adanya hal-hal tersebut diatas dapat dianalisiskan bahwa masalah

euthanasia yang menyangkut dua aturan hukum yaitu pasal 338 dan 344

KUHP itu, maka yang diterapkan adalah pasal 344 KUHP.

Apabila tidak terdapat asas lex specialis derogat lege generali, yang

disebut dalam pasal 63 (2) KUHP itu, maka aturan pemidanaan yang

dipakai adalah pasal 338 KUHP. Hal ini disebabkan karena ancaman pidana

84

http://hukumkes.wordpress.com/2008/03/15/aspek-hukum-dalam-pelaksanaan-

euthanasia-di-indonesia. (24 sept 2011)

Page 72: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

72

penjara pada pasal 338 yaitu selama 15 tahun, berarti lebih berat daripada

ancman yang terdapat dalam pasal 344 KUHP yang hanya 12 tahun. Hal ini

dapat dimengerti karena dalam concorcus idealis akan diterapkan sistem

absorbsi, sebagaimana disebutkan pada pasal 63 (1) KUHP85

yang memilih

ancaman pidananya yang terberat, oleh sebab itu di dalam KUHP kita hanya

ada satu pasal saja yang mengatur tentang masalah euthanasia, yaitu pada

pasal 344 KUHP, yang menurut penulis termasuk pasal alternatif yang

dapat diterapkan dan dipakai dasar hukum bagi para pelaku euthanasia,

dengan adanya bukti pernyataan dengan kesungguhan hati dan tidak boleh

hanya diucapkan hanya dengan lisan, dan sebaiknya secara tertulis serta

disertai tanda tangan oleh saksi-saksiya, sehingga pada proses pembuktian

di pengadilan nanti, surat pernyataan tersebut dapat dijadikan sebagai alat

bukti seperti tersebut dalam pasal 295 HIR.

Dengan adanya hal-hal tersebut dapat disimpulkan bahwa masalah

euthanasia yang menyangkut dua aturan hukum yaitu pasal 338 dan pasal

344 KUHP maka dalam hal ini yang dapat diterapkan adalah pasal 344

KUHP. yaitu tentang pembunuhan atas permintaan sendiri. tetapi apabila

tidak terdapat lex specialis derogat lege generali yang disebutkan dalam

pasal 63 KUHP itu maka aturan pemidanaan yang dipakai adalah pasal 338

KUHP. Hal ini karena ancaman pidana penjara pada pasal 338 KUHP yaitu

15 tahun penjara dan itu lebih berat dari ancaman pidana yang terdapat pada

pasal 344 KUHP yang hanya 12 tahun penjara dan itu sudah lebih dari

85 http://hukumkes.wordpress.com/2008/03/15/aspek-hukum-dalam-pelaksanaan-

euthanasia-di-indonesia (20 Oktober 2011)

Page 73: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

73

cukup dari apa yang telah dilakukan si pembunuh walaupun itu atas

permintaan dari si korban itu sendiri. setidaknya itu akan membuat jera bagi

pelaku yang bersangkutan tetapi apabila bukan didasarkan dengan

pembunuhan yang disengaja seperti euthanasia pasif yang hanya

melepaskan alat yang menjadi kelangsungan hidup bagi pasien seperti

respirator karena menurutnya sudah tidak berguna lagi, dan didasarkan atas

perilaku tawakal maka euthanasia pasif diperbolehkan.

B. Analisis Hukum Islam Tentang Euthanasia

Secara umum tujuan hukum Islam adalah selaras dengan fungsi dari

risalah Nabi Muahammad saw, yaitu “ untuk menciptakan ” حمة ل لم

rahmat untuk alam semesta. Sesuatu dapat dikatakan rahmat apabila

mengandung peningkatan harkat dan martabat manusia, meluruskan

keadailan ditengah-tengah masyarakat dan dapat merealisasikan

kemaslahatan-kemaslahatan.

Kemaslahatan dapat diwujudkan dengan pemeliharaan 5 (lima) pokok

hak asasi manusia yang harus dilindungi, yaitu:

a. Hak kebebasan untuk beragama

b. Hak terjaminnya perlindungan hidup

c. Hak terjaminnya memperoleh keturunan

d. Hak atas pengembangan akal dan berpendapat dengan pemikiran yang

sehat

Page 74: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

74

e. Hak terjaminnya perlindungan harta benda.86

Masalah euthanasia yaitu masalah yang berhubungan erat dengan hak

perlindungan jiwa (hidup), ketika banyak orang menuntut haknya untuk

hidup. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi saw

هه حع ء . كع عرع ع ن ع النمع بثب كعكع عرع“Mematahkan tulang mayat seperti mematahkannya ketika dia masih

hidup”.

Namun ada sebagian orang yang menuntut hak untuk menentukan

kematiannya, karena merasa cukup menderita suatu penyakit yang sesuai

dengan diagnosa dokter sudah tidak ada harapan sembuh lagi, dan daripada

lama-lama menderita, akhirnya si penderita meminta untuk segera diakhiri

saja hidupnya.

Jelas sudah, kita sebagai umat beragama telah meyakini bahwa

permasalahan hidup dan matinya seseorang itu adalah merupakan hak

prerogatif bagi Allah swt, sebagaimana telah dijelaskan dalam Al-Qur‟an

surat Yunus ayat 56

“Dia (Allah) yang menghidupkan dan mematikan dan kepada-Nya kamu

sekalian kembali”(QS. Yunus: 56)87

Euthanasia jika dilihat dari segi jenisnya yaitu euthanasia aktif dan

euthanasia pasif, maka menurut para fuqoha‟ menilai dan

mempertimbangkan dibolehkan atau tidaknya euthanasia dilihat dari jenis

86

Abul A‟la Maududi, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, (Bandug:Penerbit Pustaka, 1985),

Hal.21-39 87

Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Bogor : Syaamil Al-Qur‟an, 2007 )Hal.

215

Page 75: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

75

pembunuhan dan alasan dilakukannya pembunuhan, yang jelas pembunuhan

yang dibolehkan menurut hadits Nabi, telah dikemukakan oleh prof.

Mahmud Saltut dalam kitabnya “Al-Islam Aqidah Wa Syari‟ah”, bahwa

dengan melihat maksud dan tujuannya, pembunuhan yang dibolehkan syara‟

dapat dirumuskan dalam tiga segi yaitu:

a. Dilihat dari segi perintah atau kewajiban seperti pelaksanaan hukuman

mati oleh algojo atas perintah dari pengadilan atau hakim. Sebagai

konsekuensi hukumnya atas perbuatan yang dilakukan oleh orang yang

terkena hukuman.

b. Dilihat dari segi pelaksanaan hak yang meliputi:

1. Hak wali si korban untuk melaksanakan hukuman qishas.

2. Hak penguasa untuk menghukum mati perampok / pengganggu

stabilitas keamanan.

c. Segi pembelaan, baik terhadap diri, kehormatan maupun terhadap harta

benda yang dimilikinya.

Dari tiga segi pembunuhan yang dibolehkan yang dikemukakan oleh

Prof. Mahmud Syaltut di atas, euthanasia tidak termasuk didalamnya, jadi

dengan demikian maka euthanasia aktif jelas-jelas dilarang oleh hukum

Islam.

Adapun euthanasia aktif yang dilakukan oleh seorang dokter dalam

rangka menyelamatkan ibu yang akan melahirkan dengan jalan mematikan

bayi yang akan dilahirkannya, pada saat diketahui proses kelahiran bayi

akan mengakibatkan hilangnya nyawa si ibu, hal ini dibolehkan karena

Page 76: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

76

dharurat, dan mengandung kemadharatan sedangkan kemadharatan itu harus

dihilangkan, sesuai dengan kaidah:

ا ه رع ه ه ع الضع“Kemadhorotan harus dihilangkan”

88

Sehubungan dengan adanya pengaruh keadaan dharurat tersebut

Abdul Wahab Khallaf dalam bukunya “Ushul Fiqih” menyatakan barang

siapa yang tidak bisa mempertahankan keselamatan dirinya kecuali dengan

cara membinasakan orang lain, tidaklah ia berdosa dengan tindakan itu

apalagi dalam keadaan dharurat, maka melakukan perbuatan yang dilarang

diperbolehkan pada saat itu, hal ini sesuai dengan kaidah:

حن اته جه ب نحه النمع ره ن ع اتب ه اعلضع ن ع

“Keadaan dharurat dapat memperbolehkan terhadap perbuatan yang

dilarang”89

Selain itu juga karena adanya pertimbangan dua kemadharatan, maka

yang diambil adalah yang lebih ringan akibat yang akan ditimbulkannya,

berdasarkan kaidah:

مع ره ع ن ب ب جب ع اب اع علب ب فه الضع به اعخع جعكب عرن

“Menempuh salah satu tindakan yang lebih ringan demi dua hal yang

berbahaya, karena kumpulnya dua bahaya tersebut”.

Selanjutnya bertalian dengan masalah persetujuan yang diberikan oleh

seorang dokter untuk membantu mempercepat kematiannya dianggap tidak

ada, tetapi dokter yang melakukan euthanasia dianggap melakukan tindakan

pidana atau kriminal yang harus dijatuhi hukuman jika memang telah

88

Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qowa‟id Fiqhiyyah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008), Hal. 88 89

Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qowaid Fiqhiyyah........................Hal. 265

Page 77: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

77

memenuhi unsur-unsur pembunuhan, hanya saja mengenai jenis

hukumannya menurut para ulama‟ terdapat adanya perbedaan.

Menurut Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan dan

sebagian ulama‟ Syafi‟iyah, bahwa hukuman yang dikenakan terhadap

pelaku euthanasia (pembunuhan dengan persetujuan korban) adalah

membayar 100 ekor unta atau seharga itu dan bukan diqishas, dengan alasan

bahwa persetujuan si korban untuk menjadi obyek euthanasia merupakan

syubhat dalam status perbuatannya sesuai dengan hadits Nabi saw, yaitu

apabila dalam jarimah hudud (termasuk didalamnya qishas) terdapat

syubhat, maka hukumannya dapat digugurkan atau membayar ganti rugi.

Menurut Zufar, salah seorang murid Abu Hanifah, yaitu bahwa

hukuman yang dikenakan pada pelaku euthanasia tersebut di atas, tetap

hukuman qishas (hukuman mati), karena persetujuan untuk menjadi obyek

euthanasia tersebut dianggap tidak pernah ada, sehingga persetujuan

tersebut tidak ada pengaruhnya sama sekali.

Sedangkan menurut pendapat Imam Ahmad bin Hambal dan sebagian

ulama‟ Syafi‟iyah, bahwa pelaku euthanasia atas persetujuan si korban

dibebaskan dari hukuman, karena persetujuan pasien untuk menjadi obyek

euthanasia, sama statusnya dengan pembunuhan, baik dari hukuman qishas,

maupun diyat, maka dia bebas dari hukuman. Dalam hal ini penulis tidak

sependapat dengan Zufar, karena pelaku atau dokter yang menangani kasus

ini hendaknya dibebaskan dari hukuman qishas atau di Indonesia diatur

dalam KUHP pasal 344, karena persetujuan euthanasia oleh pasien atau

Page 78: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

78

keluarganya atas pertimbangan antara penyelamatan si pasien dan nyawa

ibunya yang akan melahirkan dengan bayi yang akan dilahirkannya, dengan

syarat persetujuan tersebut dilakukan secara tertulis, sehingga dapat

dilakukan bukti otentik, bila terjadi sesuatu atau tuntutan dikemudian hari.

Upaya defensif medis yang dilakukan oleh dokter untuk melakukan

euthanasia pasif, ini biasanya terjadi pada keluarga pasien yang miskin,

dengan keputusasaan dan kepasrahan pasien terpaksa dibawa pulang untuk

dirawat di rumahnya, dan bila meninggalpun pasien diharapkan mati secara

alamiah, walaupun ada harapan tertolong sangat kecil, sementara bila

bergantung pada rumah sakit, beban pengobatan akan semakin besar,

sedangkan masih ada kebutuhan lain yang juga butuh biaya untuk

menghidupi keluarga lainnya.

Menurut Dr. Yusuf Qordhowi, yang berpedoman pada keputusan

lembaga “Fiqih Islam Al-Alam” (lembaga fiqih Islam internasional)

menyatakan tentang diberlakukannya semua hukum syara‟ yang berkenaan

dengan kematian, apabila telah ada indikasi medis antara lain yaitu:

a. Apabila denyut jantung dan pernafasannya sudah berhenti secara total

dan para dokter telah menetapkan bahwa keberhentian ini tidak dapat

pulih kembali.

b. Apabila seluruh aktivitas otaknya sudah berhenti dan para dokter ahli

sudah menetapkan tidak dapat pulih kembali, otaknya sudah tidak

berfungsi lagi.90

90

Yusuf Qordhowi, Fatwa-Fatwa kontemporer..............................Hal. 751

Page 79: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

79

Dari dictum di atas dihasilkan hukum syara‟, yaitu: “Boleh melepas

alat-alat pengaktif organ dan pernafasan pasien karena tidak berguna lagi”,

manfaat dari tindakan ini adalah:

a. Mencegah perbuatan sia-sia, membuang tenaga, waktu dan biaya yang

hal itu dilarang oleh agama Islam karena mubazir.

b. Mempercepat pengurusan mayat

c. Memberikan mafsadat kepada orang lain untuk memanfaatkan alat-alat

yang digunakan oleh pasien tersebut.91

Dari pertimbangan tersebut di atas sesuai dengan salah satu tujuan

hukum Islam yaitu “rahmatan lil al-amin” yakni dengan memberikan

kemaslahatan, hal ini sesuai dengan kaidah ushul:

مع ع لبحب اه ع ن لع ب ن ع نبب الن لب اه ن النمع ع ب

“Menolak kerusakan harus lebih diutamakan daripada menarik

kemashlahatan”

Dengan demikian, maka dapat, penulis simpulkan bahwa yang dapat

diterima oleh ajaran / hukum Islam hanyalah euthanasia pasif, sesuai dengan

hadis nabi

ب ع ع ه ع ع ن ب ع ع ن ع قعلع ع ع ن ع ع : ع ن أب هرع نرع ع ع ب ع ه علن ه ع ب اللن ب ي

ه عااء ب ن ع ن ع ع لع ه ب ع اء

Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW beliau bersabda, “Tidaklah Allah

SWT menurunkan penyakit melainkan menurunkan obat penyembuhnya”92

Euthanasia pasif mengandung keperluan yang penting bagi si pasien

untuk mempermudah proses kematian karena adanya kerusakan yang

91

Badri Khaeruman, Hukum Islam dan Perubahan sosial..............................Hal. 213 92

Abi Abdilah Muhammadbin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari Juz V (Beirut Darul

Fikr, 1994), Hal. 11

Page 80: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

80

menurut pertimbangan medis dapat dipastikan bahwa pengobatan yang

dilakukan itu tidak berguna, tidak dapat memberikan harapan sembuh pada

pasien, seperti kerusakan pada batang otak, dalam kondisi demikian,

tindakan euthanasia pasif boleh dilakukan, umpamanya dengan mencabut

selang pernapasan, masker oksigen dan pemacu jantung.

Disamping itu, hukum mengobati penyakit dalam waktu cukup lama,

tetapi penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan maka pengobatannya itu

tidak wajib, terlebih lagi, membiarkan pasien yang hanya tampak dalam

pernapasan dan denyut nadi, padahal pasien itu sudah seperti orang mati,

tidak reponsif, tidak dapat mengerti dan tidak dapat merasakan sesuatu

hanya akan menghabiskan dana yang tak terbatas dan tidak dapat

menambah penderitaan lagi dan kesedihan bagi keluarga yang mungkin

sampai puluhan tahun maka euthanasia pasif merupakan tindakan yang

mendatangkan maslahat bagi si pasien, keluarga, serta para pasien yang

membutuhkan peralatan yang digunakan pasien tersebut. Jadi meskipun

pasien tersebut sudah tidak dibantu dengan alat pernapasan tetapi, apabila

Allah sudah berkehendak untuk menghidupkan pasien yang sudah dalam

keadaan koma tersebut maka tidak menuntut kemungkinan kalau pasien itu

bisa sembuh. Seperti yang kita ketahui bahwa semua yang hidup pasti mati

dan kembali kepada sang penciptanya, dari paparan analisis tersebut di atas,

penulis dapat mengkonsep perbandingan pandangan tentang euthanasia.

N No Masalah Hukum Pidana Hukum Islam Kesimpulan

01 Pengertian Euthanasia Euthanasia Euthanasia adalah

Page 81: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

81

adalah kematian

belas kasihan

(mercy death),

sebab kematian

terjadi apabila

berdasar pada

permintaan

pasien untuk

mengakhiri

hidupnya93

.

adalah bagian

dari tindakan

bunuh diri,

sebab pada diri

kedua orang

tersebut yaitu

pasien dan

dokter adanya

kesadaran

untuk

mengakhiri

hidupnya

dengan

bantuan medis

perbuatan yang

dilakukan untuk

mengakhiri hidup

seorang pasien yang

penyakitnya divonis

tidak bisa

disembuhkan lagi

dengan melakukan

sesuatu atau tidak

melakukan sesuatu

dan dengan bantuan

medis yang diminta

dengan sungguh-

sungguh oleh pasien

02 Kebolehan Dilarang94

Dilarang Negara kita melarang

terhadap euthanasia

03 Hukuman Sesuai dengan

KUHP pasal

344, diancam

Menurut Al-

Qur‟an surat

An-Nisa‟ 29-

Seseorang yang

melakukan euthanasia

harus di hukum,

93

Waluyadi, Ilmu Kedokteran Kehakiman...............................135 94

Djoko Prakoso dan Djaman Adhi Nirwanto Euthanasia, Hak Asasi Manusia dan

Hukum Pidana........................Hal. 34

Page 82: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

82

pidana paling

lama 12 tahun95

30

hukumannya

dosa besar,

sedang dalam

fiqih adanya

qishas, had,

diyat, ta‟zir

dan masuk

neraka besok

di akhirat96

.

sebab apabila

diperbolehkan

melakukannya maka

akan dibuat

sewenang-wenang

oleh orang yang tidak

dapat bertanggung

jawab/tidak berdaya

Berdasarkan paparan tersebut di atas yang paling relevan untuk

dijadikan hujjah dalam menentukan hukum euthanasia yaitu hukum Islam,

karena dalam menentukan hukuman yang dijatuhkan kepada pihak pasien

dan dokter yaitu berdasrkan Nash Al-Qur‟an yang sudah ada ketentuan

hukum-hukumnya dan ketentuan tersebut berasal dari Tuhan yang telah

menciptakannya dan sudah menjadi kodrat manusia yang pasti akan kembali

kepada-Nya. Karena menurut penulis kalau hanya dokter yang dijatuhi

hukuman saja maka itu tidak adil karena dalam hal ini dokter hanya

menjalankan tugasnya sebagai seorang dokter yang selalu ingin

menyelamatkan pasienya dari kesakitan yang dideritanya. Jadi hanya Allah

yang berhak menghukum pelaku euthanasia tersebut tetapi itu jika dalam hal

95

R. Sugandhi, KUHP dan Penjelasannya..........................Hal. 361 96

http//www.freskripsi.com/search/jurnal.euthanasia.com. (30 Oktober 2011)

Page 83: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

83

euthanasia pasif. karena disini dokter tidak berbuat sesuatu yang aktif

seperti memberi obat yang dosisnya tinggi sehingga pasien menjadi over

dosis yang sama halnya dengan pembunuhan yang disengaja dan kalau hal

tersebut terjadi maka hukum pidana positif di Indonesialah yang dijadikan

acuan dalam menentukan hukum bagi dokter tersebut karena di sini ada

unsur kesengajaan.

Page 84: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

84

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Dari pembahasan di atas, maka dapat penulis simpulkan sebagai berikut:

1. Euthanasia ditinjau dari segi hukum pidana, maka dapat dikenakan pasal

344 KUHP, meskipun di dalamnya tidak secara langsung mengatur

tentang euthanasia, tetapi setidaknya pasal tersebut dapat dijadikan sebagai

bahan acuan atau pedoman diberlakukannya sanksi pidana bagi para

pelaku euthanasia, yaitu akan diancam hukuman pidana minimal 12 tahun

penjara.

2. Menurut hukum Islam, bahwa pada dasarnya euthanasia itu dilarang

karena bukan merupakan pembunuhan yang dibenarkan (hak) oleh agama

(syara‟), terkecuali euthanasia pasif yang didasarkan pada keadaan dan

perilaku tawakal, dan bukan karena keputusasaan serta bukan pula adanya

niat bunuh diri atau membunuh pasien, maka diperbolehkan untuk

melakukan euthanasia pasif, karena meskipun hukum berobat itu wajib,

euthanasia yang dilakukan ini sudah dalam keadaan diluar batas

kemampuan manusia, diluar hal ini maka tawakkal itu lebih afdhol.

B. Saran-Saran

1. Perlunya informasi yang lengkap bagi penderita suatu penyakit atau

keluarganya tentang penyakit yang diderita dan dialami oleh si sakit, baik

Page 85: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

85

yang dapat diusahakan penyembuhannya ataupun yang tidak dapat

diusahakan, sehingga tidak gegabah dalam menyikapi tindakan euthanasia.

2. Perlu adanya peninjauan kembali terhadap pasal yang terdapat dalam

KUHP atau perundang-undangan lainnya yang mempunyai hubungan erat

dengan euthanasia, oleh karena itu maka sebaiknya pemerintah membuat

Undang-undang yang khususnya membahas tentang euthanasia.

3. Pemberian informasi yang jelas dan mudah difahami dan dimengerti

mengenai permasalahan euthanasia kepada seluruh masyarakat, baik dari

kalangan medis, instansi pemerintah yang terkait maupun lembaga-

lembaga keagamaan yang ada di Indonesia.

Page 86: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

86

DAFTAR PUSTAKA

Al Ghozali, Imam.1994. Terjemah Ihya Ulumudin jilid IX. Semarang. CV. Asy

Syifa.

Arikunto, Suharsismi. 1982. Prosedur Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta

Asshofa, Burhan. 2007. Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Rineka Cipta

Asy-Syaukani, Lutfi.1998. Politik, HAM dan Isu-isu Teknologi Dalam Fikih

Kontemporer. Bandung : Pustaka Hidayah

Audah, Abdul Qadir 1992. At-Tasyri‟ Al-Jina‟I Al-Islami. Beirut : Muasasah Ar-

Risalah

Bahri, Zaenul. 1996. Kamus Umum Hukum dan Politik. Bandung : Angkasa

Bahtiar, Wardi. 1997. Metodologi Penelitian Dakwah. Jakarta : Logos Wacana

Ilmu

Budi Utomo, Setiawan. 2003. Fkih Aktual. Jakarta : Gema Insani Press

Chazawi, Adam. 2004. Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa. Jakarta : Rajawali

Press

Deapartemen Agama RI. 2005. Al-Qur‟an dan Terjemahnya. Bandung :

Jumanatul „Ali-ART

Fadl Mohsin Ebrahim, Abul. 2004. Telaah Fikih dan Bioetika Islam, Jakarta :

Serambi Ilmu Semesta

Hadi Permono, Sjechul. 2004. Euthanasia Ditinjau dari Hukum Islam dan Hukum

Pidana. Surabaya : Wali Demak Press

Hasan, M Ali. 1995. Masail Fiqiyah Al Haditsah Pada Masalah-Masalah

Kontemporer Hukum Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Khaeruman, Badri. 2010. Hukum Islam dan Perubahan Sosial. Bandung : CV

Pustaka Setia

Mubarok, Jaih. 2004. Kaidah Fikih Jinayah. Bandung : Pustaka Bani Quraisy

Muhammad Iyah, Ismail. 1999. Filsafat Hukum Islam. Jakarta : Bumi Aksara

Mujib, Abdul. 1990. Al-Qoidah Fiqiyyah. Yogyakarta : Nurcahya

Page 87: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

87

Mukti, Ali Ghufron. 1993. Abortus, Bayi Tabung, Euthanasia, Transplantasi

Ginjal, dan Operasi Kelamin Tinjauan Gukum dan Hukum Islam.

Yogyakarta : Aditya Media

Muljatno. 2002. Membangun Hukum Pidana. Jakarta : Bina Aksara

------------- 2007. KUHP. Jakarta : Bumi Aksara

Mulyono, Anton M. 1988. Kamus Besar bahasa Indonesia. Jakarta : Balai

Pustaka

Nasif, Syekh Mansyur Ali. 1994. Mahkota pokok-pokok Hadits Rosulullah SAW

jilid 3. Bandung : Sinar Baru Agnesindo

Prakoso, Djoko. 1984. Euthanasia Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana.

Jakarta : Ghalia Indonesia

Qordowi, Yusuf. 1995. Fatwa-fatwa Kontemporer. jilid II. Jakarta : Gema Insani

Press

Rammelink, Jan. 2003. Hukum Pidana. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama

Ranoemihardja, Atang R. 1991. Ilmu Kedokteran Kehakiman (Forensik Science).

Bandung : Tarsito

Sugandhi, R. 2002. KUHP dan Penjelasannya. Surabaya : Usaha Nasional

Syarifudin, Amir. 1992. Pengertian dan Sumber Hukum Islam (dalam falsafah

hukum islam). Jakarta : Depag. Bumi Aksara dan Depag. edisi I. cet. II

Tahedo, Huzaemah. 2005. Masail Fiqiyah. Bandung. Bumi Aksara

Theichman, Jeni. 1998. Etika Sosial Kavislus, Cet I. Yogyakarta

Waluyadi.2005. Ilmu Kedokteran Kehakiman. Jakarta : Djambatan

W.J.S Poerwadarminta. 1999. Kamus Bahasa Indonesia. Kamus Bahasa

Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka

Wradharma, Danny. 1996. Penuntun Kuliah Kedokteran. Jakarta : Bina Rupa

Aksara.

Zallum, Abdul Qadim. 1998. Beberapa Problem Kontemporer dalam Pandangan

Islam, Kloning, Transplantasi Organ Tubuh, Abortus, Bayi Tabung,

Penggunaan Organ Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati. Bangil : Al

Izzah

Page 88: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

88

Browsing Internet

http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/26/euthanasia-menurut-hukum-Islam (20

juli 2011)

http://www.ilunifk83.com/t130-kode-etik-kedokteran-indonesia (20 Juli 2011)

http://www.ptiq.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=40&Itemid

=34 (20 Juli 2011)

http://www.ptiq.konsultasi.wordpress.com/2007/01/26/euthanasia-menurut-

hukum-islam (20 Juli 2011)

http://www.scribd.com/doc/11639357/Euthanasia-Persepetif-Medis-Dan-Hukum-

Pidana-Indonesia (25 Sept 2011)

http://translate.google.co.id/translate?hl=id&sl=en&u=http://www.jurnal.md/en/n

ews/passive-euthanasia-legalized-in-sweden-185466.pdf. (30 Oktober

2011)

http://www.freeskripsi.com/search/jurnal-euthanasia.com. (30 Oktober 2011)

Page 89: JURUSAN SYARI’AH - Repository IAIN Pekalonganrepository.iainpekalongan.ac.id/1279/1/Ani Riana Wati Eutanasia... · Judul Skripsi : EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN HUKUM

89

DAFTAR RIWAYAYT HIDUP

Identitas Diri

Nama Lengkap : Ani Rianawati

NIM : 231107056

Tempat/Tanggal Lahir : Brebes, 21 Juli 1987

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : brebes

Identitas Orang Tua

Nama Ibu : Nuripah

Nama Ayah : Madnuri (alm)

Alamat Orang Tua : Brebes

Riwayat Pendidikan

1. SD KEMURANG WETAN 4

2. SMPN 02 Bulakamba

3. SMA N 1 Bulakamba

4. STAIN Pekalongan