40
BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1 ANATOMI Faring adalah suatu kantung fibromuskular yang berbentuk seperti corong dibagian atas dan sempit dibagian bawah, dari dasar tengkorak menyambung ke esofagus setinggi S-6. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar): selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot, sebagian besar bukofaringeal. Faring atas dibatasi oleh rongga hidung melalui koana . Bagian bawah dibatasi oleh esofagus melalui aditus laring . Bagian depan dibatasi oleh rongga mulut melalui ismus orofaring . Batas belakang dibatasi oleh vertebra servikalis. 1,7

Bab III Edit

Embed Size (px)

DESCRIPTION

bab iii

Citation preview

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 ANATOMI

Faring adalah suatu kantung fibromuskular yang berbentuk seperti corong

dibagian atas dan sempit dibagian bawah, dari dasar tengkorak menyambung ke

esofagus setinggi S-6. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar): selaput

lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot, sebagian besar bukofaringeal.

Faring atas dibatasi oleh rongga hidung melalui koana. Bagian bawah dibatasi oleh

esofagus melalui aditus laring. Bagian depan dibatasi oleh rongga mulut melalui

ismus orofaring. Batas belakang dibatasi oleh vertebra servikalis.1,7

Gambar 1. Anatomi Faring

18

Gambar 2. Pembagian Faring

Secara histologis faring terdiri dari mukosa. Pada nasofaring terdapat

mukosa bersilia, epitel torak berlapis yang mengandung sel goblet. Pada orofaring

& laringofaring terdapat epitel gepeng berlapis dan tidak bersilia. Palut lendir

(Mukous blanket), pada daerah nasofaring dilalui udara respirasi yang

temperaturnya berbeda-beda (bagian atas nasofaring ditutupi oleh palut lender

yang terletak di atas silia dan bergerak kea rah belakang. Berfungsi menangkap

partikel kotoran yang terbawa oleh udara yang diisap, dan sebagai proteksi (enzim

lysozyme). Muskularis bentuknya sirkular (melingkar) & longitudinal

(memanjang). 1,7

Otot sirkular faring (terletak di sebelah luar). Terdiri dari m. konstriktor

faring superior, m. konstriktor faring media dan m. konstriktor faring inferior.

Berfungsi untuk mengecilkan lumen faring. Dipersyarafi oleh n.vagus (n.x). Pada

bagian belakang bertemu jaringan ikat rafe faring (raphe pharyngis). Otot

Longitudinal (terletak di sebelah dalam). Terdiri dari m. Stilofaring untuk

melebarkan faring dan menarik laring dipersyarafi oleh n.glossofaring (n.ix). M.

Palatofaring sebagai otot elevator penting waktu menelan. Otot ini

mempertemukan istmus orofaring dan menaikkan bagian bawah faring dan laring

(n.vagus). Otot palatum mole terdiri dari m. levator veli palatine sebagian besar

19

palatum mole mempersempit isthmus faring dan memperlebar ostium tuba

eustachius, N.X. M. tensor veli palatine membentuk tenda palatum mole dan

mengencangkan bagian anterior palatum mole dan membuka tuba eustachius,

N.X. M.palatoglossus: membentuk arcus anterior faring dan mempersempit

isthmus faring, N.X. M. palatofaring: bentuk arkus posterior faring, N.X. M.origo-

origo orofaring memperpendek dan menaikkan uvula ke atas, N.X.1,7

VASKULARISASI

- Cabang a. karotis eksterna (cabang faring ascendens dan cabang fausial)

- Cabang a.maksila interna (cabang palatine superior)

INERVASI

- Persarafan motorik dan sensorik berasal dari pleksus faring yang dibentuk

oleh: cabang faring dari n.vagus (n.x), cabang n,glosofaring(n.ix), serabut

simpatis

SISTEM LIMFATIK

Superior : mengalir ke KGB retrofaring dan KGB servikal dalam atas

Media : mengalir ke KGB jugulo-digastrik dan kelenjar servikal dalam

atas

Inferior : mengalir ke KGB servikal dalam bawah

PEMBAGIAN FARING

1. NASOFARING

Batasan

Batas atas : sinus sphenoid

Batas bawah : palatum mole

Batas depan : rongga hidung

Batas belakang : vertebra servikal I

Bangunan penting yang terdapat didalamnya adalah :

Adenoid

Fossa Rosenmuler

20

Kantong Rathke

Torus tubarius

Koana

Foramen jugulare

Bagian petrosus os temporalis

Foramen laserum

Muara tuba eustachius

2.OROFARING

Batasan

Batas atas : palatum mole

Batas bawah : tepi atas epiglotis

Batas depan : rongga mulut

Batas belakang : vertebra cervical

Struktur yang terdapat dalam orofaring adalah :

Dinding posterior faring

Tonsil palatina

Fosa tonsil

Fossa Tonsil

- Dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior

- Batas lateral: m. konstriktor faring superior

- Batas atas: kutub atas (upper pole) terdapat fosa supratonsil

Uvula

Tonsil lingual

Foramen sekum

21

Gambar 4. Struktur pada Oropharynx

3. LARINGOFARING (HIPOFARING)

- Batasan

Superior: tepi atas epiglottis

Anterior: laring

Inferior: bagian anterior: cartilage krikoidea dan bagian posterior: porta

esophagus

Posterior: vertebra servikalis IV-VI

- Struktur:

Epiglottis

Valekula (2 buah cekungan yang dibentuk oleh lig.glosoepiglotika medial

dan lateral)

Sinus piriformis (bagian lateral laringofaring dan di bawah dasarnya

berjalan n.laring superior dan a.carotis)

III.2. TONSIL

22

Gambar 1. Anatomi Tonsil

Tonsil adalah massa yang terdiri jaringan limfoid dan ditunjang oleh

jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya terdapat 3 macam tonsil, yaitu :

1. Tonsil faringal (adenoid)

2. Tonsil palatine Membentuk cincin Waldeyer

3. Tonsil lingual

Permukaan tonsil palatine (“tonsil”) bentuknya beraneka ragam dan

mempunyai celah disebut “kriptus”. Epitel yang melapisi tonsil adalah epitel

skuamosa. Di dalam kriptus ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas,

bakteri dan sisa makanan disebut dengan detritus. Permukaan lateral melekat pada

fasia faring “kapsul tonsil” .

Vaskularisasi diperoleh dari:

a. a. Palatina minor

b. a. Palatina asendens

c. Cabang tonsil a.maksila eksterna

d. a. Faring ascendens

e. a. Lingualis dorsal

- a. Maksilaris eksterna (a.fasialis): a.tonsilaris dan a.palatina ascenden

- a. Maksilaris interna: a. palatine descendes

- a. Lingualis: a.lingualis dorsal

- a. Pharyngeal ascendes

23

Tonsil Lingua terletak di dasar lidah dibagi menjadi 2 oleh ligamentum

glosoepiglotika. Di garis tengah, di anterior massa foramen sekum pada

apeks sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata

Inferior : dorsal a.palatina ascendens

Anterior : a.lingualis dorsal

Superior : a.faringeal ascendens dan a.palatina descenden

Gambar 4. Cincin Waldeyer

I. IMUNOLOGI

Tonsila palatina adalah suatu jaringan limfoid yang terletak di fossa

tonsilaris di kedua sudut orofaring dan merupakan salah satu bagian dari cincin

Waldeyer. Tonsila palatina lebih padat dibandingkan jaringan limfoid lain.

Permukaan lateralnya ditutupi oleh kapsul tipis dan di permukaan medial terdapat

kripta. Tonsila palatina merupakan jaringan limfoepitel yang berperan penting

sebagai sistem pertahanan tubuh terutama terhadap protein asing yang masuk ke

saluran makanan atau masuk ke saluran nafas (virus, bakteri, dan antigen

makanan). Mekanisme pertahanan dapat bersifat spesifik atau non spesifik.

Apabila patogen menembus lapisan epitel maka sel-sel fagositik mononuklear

pertama-tama akan mengenal dan mengeliminasi antigen.9

24

Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfoid yang

mengandung sel limfosit, 0,1-0,2% dari kesuluruhan limfosit tubuh pada orang

dewasa. Proporsi limfosit B danT pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di

darah 55-75%:15-30%. Pada tonsil terdapat sistem imun kompleks yang terdiri

atas sel M (sel membran), makrofag, sel dendrit dan antigen presenting cells)

yang berperan dalam proses transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi

APCs (sintesis immunoglobulin spesifik). Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T,

sel plasma dan sel pembawa Ig G. Tonsil merupakan organ limfatik sekunder

yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah

disensitisasi. Tonsil mempunyai dua fungsi utama yaitu menangkap dan

mengumpulkan bahan asing dengan efektif dan sebagai organ produksi antibodi

dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.9,10

Tonsil merupakan jaringan kelenjar limfa yang berbentuk oval yang

terletak pada kedua sisi belakang tenggorokan. Dalam keadaan normal tonsil

membantu mencegah terjadinya infeksi. Tonsil bertindak seperti filter untuk

memperangkap bakteri dan virus yang masuk ke tubuh melalui mulut dan sinus.

Tonsil juga menstimulasi sistem imun untuk memproduksi antibodi untuk

membantu melawan infeksi. Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm,

masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan

tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fossa tonsilaris, daerah yang kosong

diatasnya dikenal sebagai fossa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring.

Secara mikroskopik tonsil terdiri atas tiga komponen yaitu jaringan ikat, folikel

germinativum (merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri dari

jaringan limfoid). Lokasi tonsil sangat memungkinkan terpapar benda asing dan

patogen, selanjutnya membawanya ke sel limfoid. Aktivitas imunologi terbesar

tonsil ditemukan pada usia 3 – 10 tahun.9,10

II. EPIDEMIOLOGI

Di Indonesia infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) masih merupakan

penyebab tersering morbiditas dan mortalitas pada anak. Pada tahun 1996/1997

cakupan temuan penderita ISPA pada anak berkisar antara 30% - 40%, sedangkan

25

sasaran temuan pada penderita ISPA pada tahun tersebut adalah 78% - 82% ;

sebagai salah satu penyebab adalah rendahnya pengetahuan masyarakat. Di

Amerika Serikat absensi sekolah sekitar 66% diduga disebabkan ISPA. Tonsilitis

kronik pada anak mungkin disebabkan karena anak sering menderita ISPA atau

karena tonsilitis akut yang tidak diterapi adekuat atau dibiarkan.9

Tonsilitis adalah penyakit yang umum terjadi. Hampir semua anak di

Amerika Serikat mengalami setidaknya satu episode tonsilitis.2 Berdasarkan data

epidemiologi penyakit THT pada 7 provinsi (Indonesia) pada tahun 1994-1996,

prevalensi tonsillitis kronik sebesar 3,8% tertinggi kedua setelah nasofaringitis

akut (4,6%). Di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar jumlah kunjungan

baru dengan tonsillitis kronik mulai Juni 2008–Mei 2009 sebanyak 63 orang.

Apabila dibandingkan dengan jumlah kunjungan baru pada periode yang sama,

maka angka ini merupakan 4,7% dari seluruh jumlah kunjungan baru.11

Pada penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Serawak di Malaysia

diperoleh 657 data penderita Tonsilitis Kronis dan didapatkan pada pria 342

(52%) dan wanita 315 (48%) (Sing, 2007). Sebaliknya penelitian yang dilakukan

di Rumah Sakit Pravara di India dari 203 penderita Tonsilitis Kronis, sebanyak 98

(48%) berjenis kelamin pria dan 105 (52%) berjenis kelamin wanita.9

Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak, namun jarang terjadi

pada anak-anak muda dengan usia lebih dari 2 tahun. Tonsilitis yang disebabkan

oleh spesies Streptococcus biasanya terjadi pada anak usia 5-15 tahun, sedangkan

tonsilitis virus lebih sering terjadi pada anak-anak muda.2,12 Data epidemiologi

menunjukkan bahwa penyakit Tonsilitis Kronis merupakan penyakit yang sering

terjadi pada usia 5-10 tahun dan dewasa muda usia 15-25 tahun. Dalam suatu

penelitian prevalensi karier Group A Streptokokus yang asimptomatis yaitu:

10,9% pada usia kurang dari 14 tahun, 2,3% usia 15-44 tahun, dan 0,6 % usia 45

tahun keatas. Menurut penelitian yang dilakukan di Skotlandia, usia tersering

penderita Tonsilitis Kronis adalah kelompok umur 14-29 tahun, yakni sebesar 50

% . Sedangkan Kisve pada penelitiannya memperoleh data penderita Tonsilitis

Kronis terbanyak sebesar 294 (62 %) pada kelompok usia 5-14 tahun.9

26

Suku terbanyak pada penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan penelitian

yang dilakukan di poliklinik rawat jalan di rumah sakit Serawak Malaysia adalah

suku Bidayuh 38%, Malay 25%, Iban 20%, dan Chinese 14%.9

III. ETIOLOGI

Tonsilitis terjadi dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui kriptanya

secara aerogen yaitu droplet yang mengandung kuman terhisap oleh hidung

kemudian nasofaring terus masuk ke tonsil maupun secara foodborn yaitu melalui

mulut masuk bersama makanan9. Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh

serangan ulangan dari Tonsilitis Akut yang mengakibatkan kerusakan permanen

pada tonsil, atau kerusakan ini dapat terjadi bila fase resolusi tidak sempurna.13

Beberapa organisme dapat menyebabkan infeksi pada tonsil, termasuk

bakteri aerobik dan anaerobik, virus, jamur, dan parasit. Pada penderita tonsilitis

kronis jenis kuman yang paling sering adalah Streptokokus beta hemolitikus grup

A (SBHGA). Streptokokus grup A adalah flora normal pada orofaring dan

nasofaring. Namun dapat menjadi pathogen infeksius yang memerlukan

pengobatan. Selain itu infeksi juga dapat disebabkan Haemophilus influenzae,

Staphylococcus aureus, S. Pneumoniae dan Morexella catarrhalis.8,14

Dari hasil penelitian Suyitno dan Sadeli (1995) kultur apusan tenggorok

didapatkan bakteri gram positif sebagai penyebab tersering Tonsilofaringitis

Kronis yaitu Streptokokus alfa kemudian diikuti Staphylococcus aureus,

Streptokokus beta hemolitikus grup A, Staphylococcus epidermidis dan kuman

gram negatif berupa Enterobakter, Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella dan E.

coli.9

Infeksi virus biasanya ringan dan dapat tidak memerlukan

pengobatan yang khusus karena dapat ditangani sendiri oleh ketahanan tubuh.

Penyebab penting dari infeksi virus adalah adenovirus, influenza A, dan herpes

simpleks (pada remaja). Selain itu infeksi virus juga termasuk infeksi dengan

coxackievirus A, yang menyebabkan timbulnya vesikel dan ulserasi pada tonsil.

Epstein-Barr yang menyebabkan infeksi mononukleosis, dapat menyebabkan

pembesaran tonsil secara cepat sehingga mengakibatkan obstruksi jalan napas

yang akut. 14

27

Infeksi jamur seperti Candida sp tidak jarang terjadi khususnya di

kalangan bayi atau pada anak-anak dengan immunocompromised.14

IV. PATOMEKANISME

Tonsillitis berawal dari penularan yang terjadi melalui droplet dimana

kuman menginfiltrasi lapisan epitel. Adanya infeksi berulang pada tonsil

menyebabkan pada suatu waktu tonsil tidak dapat membunuh semua kuman

sehingga kuman kemudian bersarang di tonsil. Pada keadaan inilah fungsi

pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi (fokal infeksi) dan

suatu saat kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada saat

keadaan umum tubuh menurun.9 Bila epitel terkikis maka jaringan limfoid

superkistal bereaksi dimana terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi

leukosit polimorfonuklear. Karena proses radang berulang yang timbul maka

selain epitel mukosa juga jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan

mengalami pengerutan sehingga kripti melebar. Secara klinik kripti ini tampak

diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan

akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan di sekitar fossa tonsilaris. Pada

anak disertai dengan pembesaran kelenjar limfa submadibularis.1

V. FAKTOR PREDISPOSISI

Sejauh ini belum ada penelitian lengkap mengenai keterlibatan faktor

genetik maupun lingkungan yang berhasil dieksplorasi sebagai faktor risiko

penyakit Tonsilitis Kronis. Pada penelitian yang bertujuan mengestimasi

konstribusi efek faktor genetik dan lingkungan secara relatif penelitiannya

mendapatkan hasil bahwa tidak terdapat bukti adanya keterlibatan faktor genetik

sebagai faktor predisposisi penyakit Tonsilitis Kronis. 15

Beberapa faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik yaitu:1

1. Rangsangan menahun (kronik) rokok dan beberapa jenis makanan

2. Higiene mulut yang buruk

3. Pengaruh cuaca

4. Kelelahan fisik

28

5. Pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat

VI. GEJALA KLINIK

Manifestasi klinik sangat bervariasi. Tanda-tanda bermakna adalah nyeri

tenggorokan yang berulang atau menetap dan obstruksi pada saluran cerna dan

saluran napas. Gejala-gejala konstitusi dapat ditemukan seperti demam, namun

tidak mencolok.16

Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak

rata, kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Terasa ada yang

mengganjal di tenggorokan, tenggorokan terasa kering dan napas yang berbau.1

Pada tonsillitis kronik juga sering disertai halitosis dan pembesaran nodul

servikal.2 Pada umumnya terdapat dua gambaran tonsil yang secara menyeluruh

dimasukkan kedalam kategori tonsillitis kronik berupa (a) pembesaran tonsil

karena hipertrofi disertai perlekatan kejaringan sekitarnya, kripta melebar di

atasnya tertutup oleh eksudat yang purulent. (b) tonsil tetap kecil, bisanya

mengeriput, kadang-kadang seperti terpendam dalam “tonsil bed” dengan bagian

tepinya hiperemis, kripta melebar dan diatasnya tampak eksudat yang purulent.8,17

Gambar 7. Tonsillitis kronik

Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan

mengukur jarak antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan

medial kedua tonsil, maka gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi :10,18,19

T0 : Tonsil masuk di dalam fossa

29

T1 : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

T2 : 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

T4 : >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

Gambar 8. Rasio Perbandingan Tonsil Dengan Orofaring

Gambar 9. (A) Tonsillar hypertrophy grade-I tonsils. (B) Grade-II tonsils.

(C) Grade-IIItonsils. (D) Grade-IV tonsils (“kissing tonsils”)

VII.PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita Tonsilitis

Kronis:

- Mikrobiologi

30

Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk mengeradikasi

kuman patogen dan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan

mengeradikasi organisme patogen disebabkan ketidaksesuaian pemberian

antibiotika atau penetrasi antibiotika yang inadekuat (Hammouda et al, 2009).

Gold standard pemeriksaan tonsil adalah kultur dari dalam tonsil. Berdasarkan

penelitian Kurien di India terhadap 40 penderita Tonsilitis Kronis yang

dilakukan tonsilektomi, didapatkan kesimpulan bahwa kultur yang dilakukan

dengan swab permukaan tonsil untuk menentukan diagnosis yang akurat

terhadap flora bakteri Tonsilitis Kronis tidak dapat dipercaya dan juga valid.

Kuman terbayak yang ditemukan yaitu Streptokokus beta hemolitikus diukuti

Staflokokus aureus.20

- Histopatologi

Penelitian yang dilakukan Ugras dan Kutluhan tahun 2008 di Turkey

terhadap 480 spesimen tonsil, menunjukkan bahwa diagnosa Tonsilitis Kronis

dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi dengan tiga kriteria

histopatologi yaitu ditemukan ringan- sedang infiltrasi limfosit, adanya Ugra’s

abses dan infitrasi limfosit yang difus. Kombinasi ketiga hal tersebut ditambah

temuan histopatologi lainnya dapat dengan jelas menegakkan diagnosa

Tonsilitis Kronis.20

VIII. DIAGNOSIS

Diagnosis untuk tonsillitis kronik dapat ditegakkan dengan melakukan

anamnesis secara tepat dan cermat serta pemeriksaan fisis yang dilakukan secara

menyeluruh untuk menyingkirkan kondisi sistemik atau kondisi yang berkaitan

yang dapat membingungkan diagnosis.

Pada anamnesis, penderita biasanya datang dengan keluhan tonsillitis

berulang berupa nyeri tenggorokan berulang atau menetap, rasa ada yang

mengganjal ditenggorok, ada rasa kering di tenggorok, napas berbau, iritasi pada

tenggorokan, dan obstruksi pada saluran cerna dan saluran napas, yang paling

sering disebabkan oleh adenoid yang hipertofi. Gejala-gejala konstitusi dapat

31

ditemukan seperti demam, namun tidak mencolok. Pada anak dapat ditemukan

adanya pembesaran kelanjar limfa submandibular.1,16,17

Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang

tidak rata, kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Pada umumnya

terdapat dua gambaran tonsil yang secara menyeluruh dimasukkan kedalam

kategori tonsillitis kronik.17

Pada Biakan tonsil dengan penyakit kronis biasanya menunjukkan

beberapa organisme yang virulensinya relative rendah dan pada kenyataannya

jarang menunjukkan streptokokus beta hemolitikus.8,17

IX. DIAGNOSIS BANDING

1. Tonsillitis difteri

Disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae.Tidak semua

orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan sakit. Keadaan ini tergantung pada

titer antitoksin dalam darah. Titer antitoksin sebesar 0,03 sat/cc drah dapat

dianggap cukup memberikan dasar imunitas. Tonsillitis difteri sering

ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi

pada usia -5 tahun. Gejala klinik terbagi dalam 3 golongan yaitu: umum, local,

dan gejala akibat eksotoksin. Gejala umum sama seperti gejala infeksi lainnya

yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu

makan, badan lemah, nadi lambat serta keluhan nyeri menelan. Gejala local

yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang

makin lama makin meluas dan bersatu membentuk membrane semu

(pseudomembran) yang melekat erat pada dasarnya sehingga bila diangkat

akan mudah berdarah. Jika infeksinya berjalan terus, kelenjar limfa leher akan

membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai leher sapi (bull

neck). Gejala akibat eksotoksin akan menimbulkan kerusakan jaringan tubuh

yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai decompensatio cordis,

pada saraf kranial dapat menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot

pernapasan dan pada ginjal menimbulkan albuminuria.1

32

Gambar 10. Tonsila Difteri

2. Angina Plaut Vincent (stomatitis ulseromembranosa)

Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirochaeta atau triponema.

Gejala pada penyakit ini berupa demam sampai 30ºC, nyeri kepala, badan

lemah, rasa nyeri dimulut, hipersalivasi, gigi dan gusi mudah berdarah. Pada

pemeriksaan tampak mukosa dan faring hiperemis, membran putih keabuan

diatas tonsil, uvula, dinding faring, gusi serta prosesus alveolaris, mulut

berbau (foetor ex ore) dan kelenjar submandibular membesar.1

Gambar. 11 Angina Plaut Vincent

3. Faringitis

Merupakan peradangan dinding laring yang dapat disebabkan oleh

virus, bakteri, alergi, trauma dan toksin.Infeksi bakteri dapat menyebabkan

kerusakan jaringan yang hebat, karena bakteri ini melepskan toksin

ektraseluler yang dapat menimbulkan demam reumatik, kerusakan katup

jantung, glomerulonephritis akut karena fungsi glomerulus terganggu akibat

terbentuknya kompleks antigen antibody.Gejala klinis secara umum pada

33

faringitis berupa demam, nyeri tenggorok, sulit menelan, dan nyeri

kepala.Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis

dan terdapat eksudat di permukaannya. Beberapa hari kemudian timbul bercak

petechiae pada palatum dan faring. Kelenjar limfa anterior membesar, kenyal,

dan nyeri pada penekanan.1

Gambar 12. Faringitis

4. Faringitis Leutika

Gambaran klinik tergantung pada stadium penyakit primer, sekunder

atau tersier. Pada penyakit ini tampak adanya bercak keputihan pada lidah,

palatum mole, tonsil, dan dinding posterior faring. Bila infeksi terus

berlangsung maka akan timbul ulkus pada daerah faring yang tidak nyeri.

Selain itu juga ditemukan adanya pembesaran kelenjar mandibula yang tidak

nyeri tekan.1

5. Faringitis Tuberkulosis

Merupakan proses sekunder dari tuberculosis paru. Gejala klinik pada

faringitis tuberculosis berupa kedaan umum pasien yang buruk karena

anoresia dan odinofagia.Pasien mengeluh nyeri hebat ditenggorok, nyeri

ditelinga atau otalgia serta pembesaran kelanjar limfa servikal.1

Penyakit-penyakit diatas, keluhan umumnya berhubungan dengan

nyeri tenggorok dan kesulitan menelan. Diagnosa pasti berdasarkan pada

pemeriksaan serologi, hapusan jaringanatau kultur, X-ray dan biopsy.

X. PENATALAKSANAAN

34

Penatalaksanaan untuk tonsillitis kronik terdiri atas terapi medikamentosa

dan operatif.

1. Medikamentosa

Terapi ini ditujukan pada hygiene mulut dengan cara berkumur atau

obat isap, pemberian antibiotic, pembersihan kripta tonsil dengan alat irigasi

gigi atau oral. 1,8 Pemberian antibiotika sesuai kultur. Pemberian antibiotika

yang bermanfaat pada penderita Tonsilitis Kronis Cephaleksin ditambah

metronidazole, klindamisin ( terutama jika disebabkan mononukleosis atau

abses), amoksisilin dengan asam klavulanat ( jika bukan disebabkan

mononukleosis).9

2. Operatif

Untuk terapi pembedahan dilakukan dengan mengangkat tonsil

(tonsilektomi). Tonsilektomi dilakukan bila terapi konservatif gagal.

Dengan tindakan tonsilektomi.9 Pada penelitian Khasanov et al

mengenai prevalensi dan pencegahan keluarga dengan Tonsilitis Kronis

didapatkan data bahwa sebanyak 84 ibu-ibu usia reproduktif yang dengan

diagnosa Tonsilitis Kronis, sebanyak 36 dari penderita mendapatkan

penatalaksanaan tonsilektomi.9

Penelitian yang dilakukan di Skotlandia dengan menggunakan

kuisioner terhadap 15.788 penduduk mendapatkan data sebanyak 4.646

diantaranya memiliki gejala Tonsilitis, dari jumlah itu sebanyak 1.782 (38,4%)

penderita mendapat penanganan dari dokter umum dan 98 (2,1%) penderita

dirujuk ke rumah sakit.9

- Indikasi Tonsilektomi

Cochrane review (2004) melaporkan bahwa efektivitas

tonsilektomi belum dievaluasi secara formal. Tonsilektomi dilakukan

secara luas untuk pengobatan Tonsilitis akut atau kronik, tetapi tidak ada

bukti ilmiah randomized controlled trials untuk panduan klinisi dalam

memformulasikan indikasi bedah untuk anak dan dewasa. Tidak

ditemukan studi Randomized Controlled Trial (RCT) yang mengkaji

efektivitas tonsilektomi pada dewasa. Pada anak ditemukan 5 studi RCT

35

(Mawson 1967; McKee 1963; Roydhouse 1970; Paradise 1984; Paradise

1992), tetapi yang diikutkan dalam review hanya 2 studi (Paradise 1984;

Paradise 1992) sedang 3 studi lain tidak memenuhi kriteria. Studi pertama

oleh Paradise (1984), dilakukan pada anak yang dengan infeksi tenggorok

berat. Dari studi ini tidak dapat dibuat kesimpulan yang tegas tentang

tonsilektomi karena adanya keterbatasan metodologi yaitu adanya

perbedaan kelompok operasi dengan kelompok kontrol. Dalam hal riwayat

episode infeksi sebelum mengikuti studi (kelompok operasi meliputi anak

dengan penyakit yang lebih berat) dan status sosial ekonomi (kelompok

nonoperasi memiliki status sosial ekonomi yang lebih tinggi) serta

kelompok tonsilektomi dan tonsilo-adenoidektomi dilaporkan sebagai satu

kelompok operasi. Disamping itu, studi ini meliputi hanya anak dengan

infeksi tenggorok berat, pada pemantauan, banyak kelompok kontrol yang

memiliki episode infeksi sedikit dan biasanya ringan. Studi kedua oleh

Paradise (1992) meliputi anak dengan infeksi sedang tidak dapat

dievaluasi karena saat review dilakukan tidak ada data yang lebih detil dari

desain dan bagaimana penelitian ini dilakukan (hasil penelitian baru dalam

bentuk abstrak).9 Untuk keadaan emergency seperti adanya obstruksi

saluran napas, indikasi tonsilektomi sudah tidak diperdebatkan lagi

(indikasi absolut). Namun, indikasi relatif tonsilektomi pada keadaan non

emergency dan perlunya batasan usia pada keadaan ini masih menjadi

perdebatan. Sebuah kepustakaan menyebutkan bahwa usia tidak

menentukan boleh tidaknya dilakukan tonsilektomi.

Indikasi absolut: a) Hiperplasia tonsil yang menyebabkan

gangguan tidur (sleep apneu) yang terkait dengan cor pulmonal. b) curiga

keganasan (hipertropi tonsil yang unilateral). c) Tonsilitis yang

menimbulkan kejang demam (yang memerlukan tonsilektomi Quincy). d)

perdarahan tonsil yang persisten dan rekuren.

Indikasi Relatif: a) Tonsillitis akut yang berulang (Terjadi 3

episode atau lebih infeksi tonsil per tahun). b) abses peritonsilar. c).

tonsillitis kronik dengan sakit tenggorkan yang persisten, halitosis, atau

36

adenitis cervical. d). sulit menelan. e). tonsillolithiasis. f). gangguan pada

orofacial atau gigi (mengakibatkan saluran bagian atas sempit). g). Carrier

streptococcus tidak berespon terhadap terapi). h). otitis media recuren atau

kronik.8,9,10

Adapun indikasi tonsilektomi menurut The American of

Otolaryngology-head and Neck Surgery Clinical Indicators Compendium

1995 adalah: 1

a. Serangan tonsillitis lebih dari 3x pertahun walaupun telah mendapat

terapi yang adekuat

b. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan

gangguan pertumbuhan orofacial

c. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan

jalan napas, sleepapneu, gangguan menelan, gangguan berbicara dan

cor pulmonale.

d. Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang

tidak berhasil hilang dengam pengobatan

e. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan

f. Tonsillitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A Streptokokus

beta hemolitikus

g. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan

h. Otitis media efusa/otitis media supuratif

- Kontraindikasi Tonsilektomi

Terdapat beberapa keadaan yang disebut sebagai kontraindikasi,

namun bila sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan

tetap memperhitungkan imbang manfaat dan risiko. Keadaan tersebut

yakni: gangguan perdarahan, risiko anestesi yang besar atau penyakit

berat, anemia, dan infeksi akut yang berat. 9,18

- Persiapan Pasien Tonsilektomi

37

Ketika dicapai keputusan untuk melakukan tonsilektomi harus

disadari bahwa mungkin tindakan ini merupakan prosedur pembedahan

yang pertama kali bagi pasien. Riwayat penyakit yang komplit dan

pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan dengan perhatian khusus terhadap

adanya gangguan yang bersifat diturunkan terutama kecenderungan

terjadinya pendarahan. Disamping itu riwayat saudara pasien yang

mungkin mengalami kesulitan dengan anastesi umum sebaiknya diketahui

untuk menyingkirkan kemungkinan adanya hipertermia maligna.

Pemeriksaan Lab seperti waktu tromboplastin parsial, waktu protrombin,

jumlah trombosit, pemeriksaan hitung darah komplit dan urinalisa

sebaiknya dilakukan. Selain itu pemeriksaan antistreptolisin titer O (ASO)

dilakukan untuk mengetahui tingkat infeksi serta sebagai salah satu

indikasi tonsilektomi. Antisteptolisin meningkat pada minggu pertama dan

mencapai puncaknya pada minggu ketiga sampai keenam setelah infeksi.

Pemeriksaan dikatakan positif bila konsentrasi ASO dalam serum darah

lebih dari 200 IU/ml. Selain itu pemeriksaan ragiologi dada dan

elektrokardiogram sebaiknya dilakukan sebelum pembedahan.5,6,8

- Teknik Operasi Tonsilektomi

Pengangkatan tonsil pertama sebagai tindakan medis telah

dilakukan pada abad 1 Masehi oleh Cornelius Celsus di Roma dengan

menggunakan jari tangan. Di Indonesia teknik tonsilektomi yang

terbanyak digunakan saat ini adalah teknik Guillotine dan diseksi.9, 21

Diseksi: Dikerjakan dengan menggunakan Boyle-Davis mouth

gag, tonsil dijepit dengan forsep dan ditarik ke tengah, lalu dibuat

insisi pada membran mukus. Dilakukan diseksi dengan disektor

tonsil atau gunting sampai mencapai pole bawah dilanjutkan

dengan menggunakan senar untuk menggangkat tonsil.

Guilotin: Tehnik ini sudah banyak ditinggalkan. Hanya dapat

dilakukan bila tonsil dapat digerakkan dan bed tonsil tidak cedera

oleh infeksi berulang.

38

Elektrokauter: Kedua elektrokauter unipolar dan bipolar dapat

digunakan pada tehnik ini. Prosedur ini mengurangi hilangnya

perdarahan namun dapat menyebabkan terjadinya luka bakar.

Laser tonsilektomi: Diindikasikan pada penderita gangguan

koagulasi. Laser KTP-512 dan CO2 dapat digunakan namun laser

CO2 lebih disukai.tehnik yag dilakukan sama dengan yang

dilakukan pada tehik diseksi.

- Komplikasi Tonsilektomi

Komplikasi saat pembedahan dapat berupa perdarahan dan trauma

akibat alat. Jumlah perdarahan selama pembedahan tergantung pada

keadaan pasien dan faktor operatornya sendiri. Perdarahan mungkin lebih

banyak bila terdapat jaringan parut yang berlebihan atau adanya infeksi

akut seperti tonsilitis akut atau abses peritonsil. Pada operator yang lebih

berpengalaman dan terampil, kemungkinan terjadi manipulasi trauma dan

kerusakan jaringan lebih sedikit sehingga perdarahan juga akan sedikit.

Perdarahan yang terjadi karena pembuluh darah kapiler atau vena kecil

yang robek umumnya berhenti spontan atau dibantu dengan tampon tekan.

Pendarahan yang tidak berhenti spontan atau berasal dari pembuluh darah

yang lebih besar, dihentikan dengan pengikatan atau dengan kauterisasi.

Bila dengan cara di atas tidak menolong, maka pada fosa tonsil diletakkan

tampon atau gelfoam kemudian pilar anterior dan pilar posterior dijahit.

Bila masih juga gagal, dapat dilakukan ligasi arteri karotis eksterna.21

Dari laporan berbagai kepustakaan, umumnya perdarahan yang

terjadi pada cara guillotine lebih sedikit dari cara diseksi. Trauma akibat

alat umumnya berupa kerusakan jaringan di sekitarnya seperti kerusakan

jaringan dinding belakang faring, bibir terjepit, gigi patah atau dislokasi

sendi temporomandibula saat pemasangan alat pembuka mulut.21

Komplikasi pasca bedah dapat digolongkan berdasarkan waktu

terjadinya yaitu immediate, intermediate dan late complication. 21

39

Komplikasi segera (immediate complication) pasca bedah dapat

berupa perdarahan dan komplikasi yang berhubungan dengan anestesi.

Perdarahan segera atau disebut juga perdarahan primer adalah perdarahan

yang terjadi dalam 24 jam pertama pasca bedah. Keadaan ini cukup

berbahaya karena pasien masih dipengaruhi obat bius dan refleks batuk

belum sempurna sehingga darah dapat menyumbat jalan napas

menyebabkan asfiksi. Penyebabnya diduga karena hemostasis yang tidak

cermat atau terlepasnya ikatan. 21 perdarahan dan iritasi mukosa dapat

dicegah dengan meletakkan ice collar dan mengkonsumsi makanan lunak

dan minuman dingin. 22

Pasca bedah, komplikasi yang terjadi kemudian (interme diate

complication) dapat berupa perdarahan sekunder, hematom dan edem

uvula, infeksi, komplikasi paru dan otalgia Perdarahan sekunder adalah

perdarahan yang terjadi setelah 24 jam pasca bedah. Umumnya terjadi

pada hari ke 5-10. Jarang terjadi dan penyebab tersering adalah infeksi

serta trauma akibat makanan; dapat juga oleh karena ikatan jahitan yang

terlepas, jaringan granulasi yang menutupi fosa tonsil terlalu cepat terlepas

sebelum luka sembuh sehingga pembuluh darah di bawahnya terbuka dan

terjadi perdarahan. Perdarahan hebat jarang terjadi karena umumnya

berasal dari pembuluh darah permukaan. Cara penanganannya sama

dengan perdarahan primer.21

Pada pengamatan pasca tonsilektomi, pada hari ke dua uvula

mengalami edem. Nekrosis uvula jarang terjadi, dan bila dijumpai

biasanya akibat kerusakan bilateral pembuluh darah yang mendarahi

uvula. Meskipun jarang terjadi, komplikasi infeksi melalui bakteremia

dapat mengenai organ-organ lain seperti ginjal dan sendi atau mungkin

dapat terjadi endokarditis. Gejala otalgia biasanya merupakan nyeri alih

dari fosa tonsil, tetapi kadang-kadang merupakan gejala otitis media akut

karena penjalaran infeksi melalui tuba Eustachius. Abses parafaring akibat

tonsilektomi mungkin terjadi, karena secara anatomik fosa tonsil

berhubungan dengan ruang parafaring. Dengan kemajuan teknik anestesi,

40

komplikasi paru jarang terjadi dan ini biasanya akibat aspirasi darah atau

potongan jaringan tonsil. 21

Late complication pasca tonsilektomi dapat berupa jaringan parut

di palatum mole. Bila berat, gerakan palatum terbatas dan menimbulkan

rinolalia. Komplikasi lain adalah adanya sisa jaringan tonsil. Bila sedikit

umumnya tidak menimbulkan gejala, tetapi bila cukup banyak dapat

mengakibatkan tonsilitis akut atau abses peritonsil. 21

Komplikasi tonsilektomi dapat berupa : 10,18

Immediate and Delayed Hemorrhage

Postoperative Airway Compromise :Jarang terjadi, biasanya

disebabkan oleh terlepasnya bekuan-bekuan, terlepasnya jaringan

adenotonsillar, post operasi edema oropharingeal, atau hematom

retropharyngeal.

Dehidrasi

Pulmonary Edema : Disebabkan oleh pembebasan secara tiba-tiba

jalan napas yang obstruksi karena hipertropi adenotonsillar yang lama,

mengakibatkan penurunan mendadak tekanan intratoracal, peningkatan

volume darah paru, dan peningkatan tekanan hidrostatik yang dapat

terjadi segera atau beberapa jam setelah pembebasan jalan napas.

Nasopharyngeal Stenosis : komplikasi yang jarang dari jaringan parut

Eustachian Tube Dysfunction

Aspiration Pneumonia : jarang terjadi, biasanya akibat aspirasi dari

bekuan darah

XI. KOMPLIKASI

Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya

berupa rhinitis kronik, sinusitis atau otitis media secara percontinuitatum.

Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau limfogen dan dapat timbul

endocarditis, artritis, myositis, nefritis, uvetis iridosiklitis, dermatitis, pruritus,

urtikaria, dan furunkulosis.1

41

Beberapa literatur menyebutkan komplikasi tonsillitis kronis antara

lain:9,23

a) Abses peritonsil.

Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan mengenai jaringan sekitarnya.

Abses biasanya terdapat pada daerah antara kapsul tonsil dan otot-otot yang

mengelilingi faringeal bed. Hal ini paling sering terjadi pada penderita dengan

serangan berulang. Gejala penderita adalah malaise yang bermakna, odinofagi

yang berat dan trismus. Diagnosa dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi

abses.

Gambar. Abses peritonsil

b) Abses parafaring.

Gejala utama adalah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar angulus

mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring sehingga

menonjol kearah medial. Abses dapat dievakuasi melalui insisi servikal.

c) Abses intratonsilar.

Merupakan akumulasi pus yang berada dalam substansi tonsil. Biasanya

diikuti dengan penutupan kripta pada Tonsilitis Folikular akut. Dijumpai nyeri

lokal dan disfagia yang bermakna. Tonsil terlihat membesar dan merah.

Penatalaksanaan yaitu dengan pemberian antibiotika dan drainase abses jika

diperlukan; selanjutnya dilakukan tonsilektomi.

d) Tonsilolith (kalkulus tonsil).

Tonsililith dapat ditemukan pada Tonsilitis Kronis bila kripta diblokade oleh

sisa-sisa dari debris. Garam inorganik kalsium dan magnesium kemudian

tersimpan yang memicu terbentuknya batu. Batu tersebut dapat membesar

42

secara bertahap dan kemudian dapat terjadi ulserasi dari tonsil. Tonsilolith

lebih sering terjadi pada dewasa dan menambah rasa tidak nyaman lokal atau

foreign body sensation. Hal ini didiagnosa dengan mudah dengan melakukan

palpasi atau ditemukannya permukaan yang tidak rata pada perabaan.

e) Kista tonsilar.

Disebabkan oleh blokade kripta tonsil dan terlihat sebagai pembesaran

kekuningan diatas tonsil. Sangat sering terjadi tanpa disertai gejala. Dapat

dengan mudah didrainasi.

f) Fokal infeksi dari demam rematik dan glomerulonephritis.

Dalam penelitiannya Xie melaporkan bahwa anti-streptokokal antibodi

meningkat pada 43% penderita Glomerulonefritis dan 33% diantaranya

mendapatkan kuman Streptokokus beta hemolitikus pada swab tonsil yang

merupakan kuman terbanyak pada tonsil dan faring. Hasil ini megindikasikan

kemungkinan infeksi tonsil menjadi patogenesa terjadinya penyakit

Glomerulonefritis.

XII. PROGNOSIS

Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristrahat dan

pengobatan suportif. Menangani gejala-gejala yang timbul dapat membuat

penderita Tonsilitis lebih nyaman. Bila antibiotika diberikan untuk mengatasi

infeksi, antibiotika tersebut harus dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan

yang lengkap, bahkan bila penderita telah mengalami perbaikan dalam waktu

yang singkat. Gejala-gejala yang tetap ada dapat menjadi indikasi bahwa

penderita mengalami infeksi saluran nafas lainnya, infeksi yang sering terjadi

yaitu infeksi pada telinga dan sinus. Pada kasus-kasus yang jarang, Tonsilitis

dapat menjadi sumber dari infeksi serius seperti demam rematik atau pneumonia.9