Author
ngoquynh
View
249
Download
2
Embed Size (px)
FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT
YANG IDEAL
(Analisis Terhadap Urgensi Ketinggian Tempat Dan Penggunaan Waktu Ihtiyat Untuk Mengatasi Urgensi Ketinggian Tempat
Dalam Formulasi Penentuan Awal Waktu Shalat)
S K R I P S I
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 (S.1)
Dalam Ilmu Syariah
Oleh :
YUYUN HUDHOIFAH
NIM : 0 7 2 1 1 1 0 8 3
KONSENTRASI ILMU FALAK
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
S E M A R A N G
2011
ii
Drs. Sahidin, M.Si
Jl. Merdeka Utara I/B.9
Ngaliyan Semarang
Drs. Slamet Hambali, M.Ag.
Jl. Candi Permata II / 180 Semarang
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp. : 4 (empat) eks.
Hal : Naskah Skripsi
An. Sdr. Yuyun Hudhoifah
Assalamualaikum Wr. Wb.
Setelah saya mengoreksi dan mengadakan perbaikan seperlunya,
bersama ini saya kirim naskah skripsi Saudara :
Nama : Yuyun Hudhoifah
N I M : 072111083
Judul : Analisis Terhadap Urgensi Ketinggian Tempat dalam
Formulasi Penentuan Awal Waktu Shalat
Dengan ini saya mohon kiranya skripsi Saudara tersebut dapat segera
dimunaqasyahkan.
Demikian harap menjadi maklum.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Semarang, 10 Mei 2011
Pembimbing I
Pembimbing II
iii
PENGESAHAN
iv
MOTTO
t
Artinya: Maka apabila kamu Telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di
waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah salat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat
itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An Nisa: 103)1
1 Departemen Agama RI, Al-Quran Dan Terjemahnya, Bandung : Jumanatul Ali Art (J-
Art), 2005, hlm. 176
v
PERSEMBAHAN
Skripsi ini
Saya persembahkan untuk :
Bapak dan Ibu Tercinta
Ahmad Qamaruddin Madchan (alm) dan Siti Masriah
Keluarga tersayang,
Mbak Luk - Mas Ghufron, Mas Iib - Mb Khuzma , Mas Yoyok - Mbak Yani,
Mas Aank, Mbak Nunus
Keluarga Semarang,
Nyak, Mpok, Abang (were still together still going strong)
Mb Q3, Ayuk, Ciput
Kenyong
Keluarga Besar Darut Taqwa,
Dan dipersembahkan juga untuk,
Kaum Muslimin dimana pun berada di berbagai belahan dunia
vi
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab penulis
menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah
pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga
skripsi ini tidak berisi satu pun pikiran-pikiran orang lain
kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan
bahan rujukan dalam penelitian ini.
Semarang, 10 Mei 2011
Deklarator
Yuyun Hudhoifah NIM: 072111083
vii
ABSTRAK
Dari beberapa point yang mempengaruhi waktu shalat daerah satu dengan
daerah lain, yang jarang diperhatikan adalah ketinggian tempat suatu daerah.
Jadwal awal waktu shalat dalam software Athan, di dalamnya tidak menggunakan
ketinggian tempat. Sementara program Prayer Times dan Shollu memberikan
ruang untuk menginput data ketinggian tempat. Sedangkan jadwal awal waktu
shalat dalam kalender Ponpes Lirboyo, menggunakan data rata-rata ketinggian
tempat 100m dengan formulasi 0.0293 h. Slamet Hambali menggunakan
formulasi0 1.76 h, Muhyiddin Khazin cukup dengan ketentuan posisi tinggi
matahari sebagai berikut: ho mahgrib: -1, ho Isya : -18, ho Subuh: -20 dan ho terbit: -1, dan Abdur Rachim menyatakan formulasi 3,2 h. Textbook on Sperical
Astronomy menggunakan rumus 0.98h, sementara dalam buku Almanak Hisab
Rukyah Departemen Agama dan Rinto Anugraha menggunakan formulasi 1.93h. Dari perbedaan-perbedaan tersebut, membuat penulis tertarik untuk mengkaji
urgensi ketinggian tempat dalam waktu shalat karena shalat merupakan ibadah
wajib yang waktunya telah ditentukan sehingga tidak dapat dilakukan sembarang
waktu.. Dari beberapa perbedaan formulasi tersebut juga, penulis ingin menelusuri
formulasi dan penyajian jadwal waktu shalat yang ideal beserta toleransi waktu
seperti penggunaan waktu ihtiyat yang diberikan apakah telah dapat mengatasi
perbedaan waktu akibat pengaruh ketinggian tempat suatu wilayah.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan metode
pengumpulan datanya bersifat Library research (penelitian kepustakaan) dan
wawancara pihak terkait. Sebagai sumber data primernya yaitu seluruh data yang
diperoleh langsung dari buku-buku dan software-software karya para hali falak
dan wawancara langsung dengan ahli falak, yaitu Reza Zakariya dan Yazid
(Lirboyo), Slamet Hambali, serta Rinto Anugraha. Sedangkan data sekundernya
adalah seluruh dokumen berupa buku, tulisan, makalah-makalah yang berkaitan
dengan obyek penelitian. Data-data tersebut dinalisis dengan menggunakan
analisis kritis, dengan menggunakan metode induktif komparatif.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa ketinggian tempat dinilai sangat
urgensi dalam formulasi penentuan awal waktu shalat demi tingkat keakurasian
waktu shalat. Sedangkan formulasi waktu shalat yang paling ideal adalah
formulasi yang di dalamnya terdapat koreksi kerendahan ufuk dengan penggunaan
data ketinggian tempat dan rumus ku sebagai berikut: - (ku + ref + sd) dengan
dip/ku: 1,76 (meter) atau 0.98 (feet). Penggunaan waktu ihtiyat untuk mengatasi pengaruh ketinggian tempat dalam penyajian jadwal waktu shalat yang
ideal adalah cukup dengan menggunakan toleransi waktu yaitu pengambilan data
rata-rata tinggi tempat dalam suatu wilayah, penggunaan daerah yang tinggi
sebagai acuan untuk waktu yang berhubungan dengan terbenam matahari, dan
menggunakan data daerah yang rendah sebagai acuan untuk waktu yang
berhubungan dengan terbit matahari, serta penggunaan waktu ikhtiyat 2 menit
dengan pembulatan detik. Konversi tempat karena perbedaan ketinggian tempat
bisa diberlakukan secara lokal sekali di wilayah puncak bukit dengan ufuk yang
lebih rendah dari kondisi normal dengan nilai ekstrim.
Key word: waktu shalat, ketinggian tempat, kerendahan ufuk
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang telah memberi kesempatan dan segala hal
untuk memahami sedikit ilmu-Nya agar lebih dapat mengenal-Nya. Hanya dengan
ijin dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul:
Pengaruh Ketinggian Tempat dalam Formulasi Penentuan Awal Waktu Shalat
dengan lancar lewat segala proses yang memberi banyak arti. Shalawat dan salam
semoga selalu tercurah kepada Nabi agung Muhammad Saw sebagai Rasul Allah
yang telah memberi penerang atas gelap dan dahaga bagi para pencari-Nya.
Demikian juga shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada keluarga Nabi,
para sahabat Nabi saw, para alim ulama, yang warna-warni pemikiran mereka
menjadi bahan dan bekal referensi bagi para musafir ilmu.
Sehubungan dengan ini penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam tahap
pengerjaan hingga penyelesaian skripsi ini penulis tidak sendiri. Banyak pihak
yang memberi uluran tangan, pemikiran, dukungan, dan doa selama proses
kegiatan ini sehingga skripsi dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu
melalui kata pengantar ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-
dalamnya kepada:
1. Kementerian Agama Republik Indonesia khususnya Pedepontren yang telah
memberi kesempatan mendapat Beasiswa Santri berprestrasi.
ix
2. DR. Imam Yahya, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syariah IAIN Walisongo
Semarang dan Muhyiddin, M.Ag (Dekan sebelumnya).
3. Dr. H. Moh. Arja Imroni, M.Ag selaku kepala Prodi Konsentrasi Ilmu Falak,
Drs. H. Eman Sulaeman, MH (kepala Prodi sebelumnya) beserta staf-staf-nya,
Maksun, M.Ag, H. Ahmad Izzuddin, M.Ag, serta Ahmad Syifaul Anam, SHI.
MH, Bapak Suwanto, yang telah bersusah payah memberikan arahan dan
bimbingan sepenuhnya kepada penulis dan teman-teman KIF lainnya selama
belajar di Semarang.
4. Drs. Slamet Hambali, M.Si dan Drs. Sahidin, M.Si selaku pembimbing dalam
penulisan skripsi ini, yang telah mau bersabar meskipun penulis kurang
disiplin waktu, memberikan arahan, masukan, bimbingan serta memberikan
acc sehingga dapat menyelesaikan tulisan ini.
5. Bapak Sabri (Undip), Bapak Reza Zakariya dan Bapak Yazid (Lirboyo) yang
telah mau memberikan arahan, bimbingan dan data falak; Bapak Rinto
Anugraha, Bapak Thomas Djamaluddin, Bapak Dr. Ing. Khafid yang mau
menjawab pertanyaan-pertanyaan penulis via email
6. Kedua orang tua penulis, ibu dan bapak (alm), yang telah mengajarkan arti
sebuah nafas kehidupan dan atas perjuangan serta doanya yang tiada terkira.
7. Keluarga penulis tercinta (Mbak Luk, Mas Ghufron; Mas Ib, Mb Khuzma;
Mas Yok, Mbak Yani; Mas Ank; Mb Nus) yang selalu memberi cinta kasih
dan semangat lahiriyah maupun bathiniyah. Juga Lek Mad, Lek Tun, Lek
Zayik, Om Arip, Bu Tin sekeluarga, Bulek Sum, Tsania Muna, dan unyil-
unyil.
x
8. Keluarga besar Pondok Pesantren Darut Taqwa Purwodadi Grobogan yang
telah mengajarkan cara mengenal-Nya dan cara berjalan di jalan-Nya.
9. Keluarga Besar Pondok Pesantren Daarun Najaah Jerakah Tugu Semarang,
khususnya kepada KH. Sirojd Chudlori beserta keluarga selaku pengasuh yang
juga menjadi motivator dan inspirator penulis dan yang telah memberikan
ilmu-ilmunya serta atas bimbingan dan arahannya.
10. Keluarga besar Genk STAR (Kenyong (Rabiatul Aslamiyah) tukang jamu, mb
Q3(Kitri Sulastri) tukang ngibul, Yoyo (Ayuk Khairunnisa)tukang senam,
Nyak (Anifatul Kiftiyah) tukang ngupil, Mpok (Arrikah Imeldawati) tukang
ngomel, bang Mannan (M. Mannan Manawi) tukang tidur, bang Ari
(Mukhsin Ari Wibowo) tukang nari, mz Rifa (M. Rifa Jamaluddin N) tukang
dzikir, Usro (Sri Hidayati) tukang gazebo tapi telah mau ngalor-ngidul, muter
seser bareng, Ciput (Wahyu Fitria) tukang nangis, mb Mahyo (Mahya Laila)
tukang pusing, mb Adah (Musyayadah) tukang mringis, mz Syamsul (M.
Syamsul Maarif) tukang ruwet, mz Djay (Ahmad Jailani) tukang comment,
mb Faroh (Siti Mufarrohah) tukang ngaji, Hassan (Hasanuddin) tukang
nggosip, Ncep (Encep Abdul Rozak) tukang theodolit, om Faqih (Faqih
Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki
siyakul (Oki Yosi) tukang ngilang, Maryani (Maryani AM) tukang dinas, teh
Entong (Eni Nuraini Maryam) tukang nyanyi, bulek Hasdul (Hasna Tuddar
Putri) tukang makan, mb Opil (Siti Muslifah) tukang nabrak, mb Ipeh
(Latifah) tukang qiro, mbah Ansor (Ansorullah) tukang malak, pakde Tahrir
(Tahrir Fauzi) tukang foto, teh Anis (Annisa Budiwati) tukang ngguyu, mbah
xi
uti (Siti Tatmainul Qulub) tukang lebai) yang telah melalui lebih dari 1000
hari bersama. Lewat mereka penulis memahami arti warna, perjuangan dan
asa, serta arti kebersamaan karna adanya perbedaan.
11. Huda cah purwodadi (angkatan 08), Yadi (angkatan 08), Inayah (angkatan 09),
Qoink (angkatan 08), Nisa; dan semua pihak yang membantu dalam
pengumpulan dan pengolahan data yang penulis butuhkan,
12. Pondok Putri Utara (Banyu Biru), khususnya kamar empat Al Badriyah,
Kepompong, Aina, Kakang yang selalu ada di saat pertama membuka mata
dan menutup mata. Juga Nila, Gepeng, Lilik, bang jack sebagai teman melek.
13. Temen-temen CSS MoRA IAIN Walisongo Semarang
14. Temen-temen KKN ke-56, khususnya posko 18 Desa Bulu Kecamatan
Banyuputih Kabupaten Batang.
15. Semua pihak yang telah membantu dan memberikan dorongan kepada penulis
selama penulis studi di Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang.
Tidak ada yang dapat penulis berikan atas arti keberadaan mereka, kecuali
sepenggal harapan semoga pihak-pihak yang telah penulis kemukakan di atas
selalu mendapat rahmat dan anugerah dari Allah Swt.
Demikian skripsi yang penulis susun ini sekalipun masih belum sempurna
namun harapan penulis semoga akan tetap bermanfaat dan menjadi sumbangan
yang berharga bagi khazanah kajian ilmu falak.
Semarang, 10 Mei 2011
Penulis
Yuyun Hudhoifah NIM. 072111083
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
HALAMAN NOTA PEMBIMBING .............................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... iii
HALAMAN MOTTO ..................................................................................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ..................................................................... v
HALAMAN DEKLARASI ............................................................................. vi
HALAMAN ABSTRAK ................................................................................. vii
HALAMAN KATA PENGANTAR ............................................................... viii
HALAMAN DAFTAR ISI ............................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................. 11
C. Tujuan Penelitian .................................................................. 12
D. Manfaat Penelitian ................................................................ 12
E. Telaah Pustaka ...................................................................... 13
F. Metode Penulisan ................................................................. 18
G. Sistematika Penulisan ........................................................... 20
BAB II FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT
KONVERGENSI SYARI DAN SAINS SERTA FAKTOR
YANG MEMPENGARUHINYA
A. Dasar Hukum Waktu Shalat .................................................. 23
1. Dalil Waktu Shalat .......................................................... 23
2. Kajian Tafsir dan Pendapat Ulama ................................. 26
xiii
B. Formulasi Waktu Shalat Perspektif SyarI dan Sains ........... 32
1. Shalat Dzuhur ................................................................. 33
2. Shalat Ashar .................................................................... 36
3. Shalat Maghrib ................................................................ 39
4. Shalat Isya ...................................................................... 41
5. Shalat Subuh ................................................................... 43
C. Formulasi Penentuan Awal Waktu Shalat ............................ 45
1. Meridian Pass .................................................................. 45
2. Sudut Waktu Matahari Awal Waktu Shalat .................... 46
3. Koreksi Waktu Daerah ................................................... 47
4. Ihtiyat ............................................................................. 48
D. Faktor yang Mempengaruhi Penentuan Awal Waktu Shalat 50
1. Faktor yang Mempengaruhi Penentuan Awal Waktu
Shalat ............................................................................... 50
2. Faktor yang Mempengaruhi Penentuan Awal Waktu
Shalat Daerah satu dengan Daerah lain........................... 51
BAB III PENGGUNAAN DATA KETINGGIAN TEMPAT DALAM
FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT
A. Ketinggian Tempat ................................................................ 55
B. Penggunaan Ketinggian Tempat dalam Formulasi Penentuan
Awal Waktu Shalat .............................................................. 59
1. Kitab Klasik .................................................................... 59
2. KH. Slamet Hambali ....................................................... 60
xiv
3. Lirboyo ........................................................................... 61
4. Saaduddin Djambek ........................................................ 63
5. Muhyiddin Khazin .......................................................... 65
6. Shollu .............................................................................. 65
7. Athan ............................................................................... 66
8. Accurate Times ............................................................... 66
9. Mawaaqit ......................................................................... 67
C. Formulasi Koreksi Ketinggian Tempat dalam Kerendahan
Ufuk/Dip .............................................................................. 68
1. Dip/ ku: 1.76 h (meter) ................................................. 69
2. Dip/ ku: 0.0293 h (meter) ........................................... 69
3. Dip/ku: 0,97 h feet atau 1,757h meter ........................ 69
4. Dip/ ku: 3,2 h ................................................................ 69
5. Dip/ku: 0,032 ........................................................... 71
6. Dip/ ku: 1,93 h .............................................................. 72
7. Dip/ ku: 0,98 h .............................................................. 73
D. Data Jadwal Waktu Shalat Beberapa Formulasi Penentuan
Awal Waktu Shalat ............................................................... 75
BAB IV ANALISIS TERHADAP URGENSI KETINGGIAN TEMPAT
DALAM FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU
SHALAT
A. Analisis Urgensi Ketinggian Tempat dalam Formulasi
Penentuan Awal Waktu Shalat .............................................. 80
xv
B. Analisis Formulasi Penentuan Awal Waktu Shalat Ideal
Terkait Formulasi Kerendahan Ufuk yang Berbeda-Beda .... 89
C. Analisis Toleransi yang Diberikan untuk Memback Up
Urgensi Ketinggian Tempat dalam Penyajian Jadwal
Waktu Shalat yang Ideal ....................................................... 97
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................... 104
B. Saran ...................................................................................... 106
C. Penutup ................................................................................. 107
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT PENDIDIKAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Persoalan shalat merupakan persoalan fundamental dan signifikan dalam
Islam. Dalam penetapan waktu shalat ditemukan bahwa teks-teks yang dijadikan
landasan bersifat interpretatif. Sebagai implikasinya muncul perbedaan dalam
menetapkan awal waktu shalat. Kelompok pertama berpandangan bahwa awal
waktu shalat ada tiga. Sementara itu, kelompok kedua menyebutkan bahwa awal
waktu shalat ada lima.1
Pendapat pertama banyak diterima oleh golongan Syiah. Sedangkan
mayoritas muslim di Indonesia, lebih memegangi pendapat yang kedua,
berdasarkan pemahaman terhadap ayat-ayat sebagai berikut:
Artinya:
Maka sabarlah kamu atas apa yang mereka katakan, dan bertasbihlah dengan
memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya dan
bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari dan pada waktu-waktu di
siang hari, supaya kamu merasa senang, (QS. Thaha: 130)2
1 Menurut Muhammad Jawad Muqniyyah, dalam kitab At-Tafsir al-Kasif, 15:74
sebagaimana yang dikutip oleh Susiknan Azhari, Awal Waktu Salat Perspektif SyarI dan Sains,
bisa diakses di www.ilmufalak.or.id 2 Departemen Agama Republik Indonesia, Al Quran dan Terjemahannya, Yayasan
Penyelenggara dan Penterjemah Tafsir Al Quran, Jakarta: Bulan Bintang, 1997, hlm. 492
2
Artinya:
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan
(dirikanlah pula shalat) Subuh. Sesungguhnya shalat Subuh itu disaksikan
(oleh malaikat). (QS. Al-Isra: 78)3
Artinya:
Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan
pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-
perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang
buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat. (QS. Al Hud: 114)4
Artinya:
Maka bertasbihlah kepada Allah diwaktu kamu berada dipetang hari dan
waktu kamu berada diwaktu Subuh. Dan bagi-Nyalah segala puji di langit dan
bumi dan diwaktu kamu berada pada petang hari dan diwaktu kamu berada
diwaktu Dzuhur. (QS. Ar Rum: 17-18)5
Didukung oleh hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah r.a
3 Ibid, hlm. 436
4 Ibid, hlm. 344-345
5 Ibid, hlm. 643
3
( )
Artinya :
Dari Jabir bin Abdullah r.a berkata telah datang kepada Nabi SAW. Jibril a.s
lalu berkata kepadanya bangunlah, lalu bersembahyanglah kemudian Nabi
salat Dzuhur dikala matahari tergelincir. Kemudian ia datang lagi kepadanya
di waktu Ashar lalu berkata, bangunlah lalu sembahyanglah, kemudian Nabi
salat Ashar di kala bayang-bayang sesuatu sama dengannya. Kemudian ia
datang lagi kepadanya di waktu Maghrib lalu berkata bangunlah , kemudian
Nabi shalat Maghrib dikala matahari terbenam. Kemudian datang lagi
kepadanya di waktu Isya lalu berkata : bangunlah dan salatlah kemudian
Nabi salat Isya dikala mega merah telah terbenam. Kemudian ia datang lagi
kepadanya di waktu fajar lalu berkata : bangun dan salatlah, kemudian Nabi
shalat fajar di kala fajar menyingsing, atau ia berkata: di waktu fajar besinar.
Kemudian ia datang pula esok harinya pada waktu Dzuhur kemudian ia
berkata padanya bangunlah lalu shalatlah kemudian Nabi salat Dzuhur dikala
bayang-bayang suatu sama dengannya. Kemudian datang lagi kepadanya di
waktu Ashar dan ia berkata : bangunlah dan shalatlah kemudian Nabi shalat
Ashar dikala bayang-bayang matahari dua kali sesuatu itu. Kemudian ia
datang lagi kepadanya di waktu Maghrib dalam waktu yang sama, tidak
bergeser dari waktu yang sudah. Kemudian ia datang lagi di waktu Isya di
kala telah lalu separo malam, atau ia berkata telah hilang sepertiga malam,
kemudian Nabi shalat Isya. Kemudian ia datang lagi kepadanya di kala telah
bercahaya benar dan ia berkata bangunlah lalu shalatlah, kemudian Nabi
shalat fajar, kemudian Jibril berkata saat dua waktu itu adalah waktu shalat.
(HR. Imam Ahmad, Nasai dan Thirmidzi) 7
Berdasarkan pemahaman terhadap ayat-ayat Al-quran maupun Hadis
tersebut, ketentuan waktu-waktu shalat dapat dirincikan sebagai berikut: (1)
Dzuhur, Waktu Dzuhur dimulai sejak matahari tergelincir, yaitu sesaat setelah
matahari mencapai titik kulminasi dalam peredaran hariannya, sampai tiba waktu
6 Muhammad Bin Ali Bin Muhammad Asy-Syaukani , Nailul Authar, Beirut-Libanon :
Dal al-Kitab, jilid I,, hlm 435 7 Program Hadis Kutubus Sittah, , kitab abwab as-shalat, no 001
4
Ashar, (2) Ashar, waktu Ashar dimulai saat panjang bayang-bayang suatu benda
sama dengan bendanya ditambah dengan panjang bayang-bayang saat matahari
berkulminasi sampai tibanya waktu Maghrib, (3) Maghrib, waktu Maghrib
dimulai sejak matahari terbenam sampai tiba waktu Isya, (4) Isya, waktu Isya
dimulai sejak hilang mega merah sampai separuh malam (ada juga yang
menyatakan akhir salat Isya adalah terbit fajar), dan (5) Subuh, waktu Subuh
dimulai sejak terbit fajar sampai terbit matahari.
Secara syari, dalam menunaikan kelima waktu shalat tersebut, kaum
muslimin terikat pada waktu-waktu yang sudah ditentukan sebagaimana Firman
Allah dalam surat An Nisa (4): 103, yaitu:
t
Artinya:
Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu
berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu
telah merasa aman, Maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa).
Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas
orang-orang yang beriman. (QS. An Nisa: 103)8
Dari ayat ini, Az Zamakhsyariy berkomentar bahwa seseorang tidak boleh
mengakhirkan waktu dan mendahulukan waktu shalat seenaknya baik dalam
keadaan aman atau takut.9 Penggunaan lafaz Kaanat menujukkan ke-
Mudawamah-an (continuitas) suatu perkara, maksudnya ketetapan waktu shalat
8 Ibid, hlm. 176
9 Lihat Az Zamakhsyariy, Tafsir Al Khasyaf, Beirut: Daar Al Fikr, 1997, juz I, hlm. 240
5
tak akan berubah sebagaimana dikatakan oleh Al Husain bin Abu Al Izz Al
Hamadaniy.10
Dalam Tafsir Ibnu Katsir11
dijelaskan bahwa, Firman Allah Taala
Sesungguhnya shalat itu merupakan kewajiban yang ditentukan waktunya bagi
kaum mukmin yakni difardhukan dan ditentukan waktunya seperti ibadah haji.
Maksudnya, jika waktu shalat pertama habis maka shalat yang kedua tidak lagi
sebagai waktu shalat pertama, namun ia milik waktu shalat berikutnya. Oleh
karena itu, orang yang kehabisan waktu suatu shalat, kemudian melaksanakannya
diwaktu lain, maka sesungguhnya dia telah melakukan dosa besar. Pendapat lain
mengatakan silih berganti jika yang satu tenggelam, maka yang lain muncul
artinya jika suatu waktu berlalu, maka muncul waktu yang lain.
Sedangkan dalam Tafsir Manaar 12
mengungkap, sesungguhnya shalat itu
telah diatur waktunya oleh Allah SWT. berarti wajib mua'kkad yang telah
ditetapkan waktunya dilauhil mahfudz. berarti sudah ditentukan batasan-
batasan waktunya.
Dari beberapa tafsiran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa konsekuensi
logis dari ayat tersebut adalah shalat tidak bisa dilakukan dalam sembarang waktu,
melainkan harus mengikuti atau berdasarkan dalil-dalil baik dari Al-Quran
maupun Al-Hadis.
Dari sana dipahami bahwa betapa pentingnya penentuan awal waktu
shalat. Penentuan awal waktu shalat ini dapat diperoleh dengan menggunakan cara
10
Al Husain bin Abu Al Izz Al Hamadaniy, Al gharib fi Irab Al Qurani, Qatar: Daar
Ats Tsaqafah, juz I, hlm. 788 11
Muhammad Nasib Ar-Rifai. Tafsir Ibnu Katsir. Gema Insani:Jakarta, jilid 3, hlm. 292. 12
Rasyid Ridha, Tafsir Manaar, Dar Al Marifah: Beirut, juz 5, hlm. 383
6
melihat langsung pada tanda-tanda alam sebagaimana secara tekstual dalam hadis-
hadis Nabi, seperti menggunakan alat bantu rubu13
, tongkat istiwa atau miqyas
yang dalam astronomis lebih dikenal dengan sundial14
. Selain itu, waktu shalat
dapat diketahui melalui jadwal shalat abadi atau jadwal shalat sepanjang masa,
serta jadwal-jadwal shalat dari hasil hisab penentuan awal waktu shalat yang ada
dan berkembang dalam masyarakat sekarang ini. Hisab ini menghitung dan
memperkirakan kapan matahari akan menempati posisi-posisi seperti tersebut
dalam nash-nash waktu shalat.
13
Rubu berarti seperempat. Dalam istilah astronomi disebut kuadran (quadrant), yaitu
suatu alat untuk menghitung fungsi goniometris yang sangat berguna untuk memproyeksikan
peredaran benda langit pada lingkaran vertical. Lihat Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. 1, 2005, hlm. 129. Rubu al-Mujayyab atau Kuadran sinus
merupakan alat perangkat hitung astronomis untuk memecahkan permasalahan astronomi bola.
Tokoh-tokoh yang berperan dalam pengembangan rubu ini adalah al-Khwarizmi (770-840) dan
Ibn-Sathir (abad 11). Rubu al-Mujayyab yang berkembang di Indonesia ialah rubu hasil
pengembangan dari rubu IbnSathir. (Lihat Hendro Setyanto, Kajian Kitab-Forum Kajian Ilmu
Falak Zenith, Rubu, Bandung: Pundak Scintific, 2001, hlm. 3) dalam kitab-kitab falak klasik
biasanya menggunakan metode penentuan awal waktu shalat dengan menggunakan rubu. 14
Lihat Sundial; History, Theory, & Practice by Rene R.J.Rohr; translated by Gabriel
Godin, Toronto: University of Toronto Press, 1970. Dalam buku ini, ada beberapa istilah yang
dapat diartikan sebagai jam matahari atau sundial, yaitu hemisphere dan gnomons. Sundial (jam
matahari) adalah seperangkat alat yang digunakan sebagai petunjuk waktu semu lokal (local
apparent time) dengan memanfaatkan matahari yang menghasilkan bayang-bayang sebuah
gnomon yaitu, batang atau lempengan yang bayang-bayangnya digunakan sebagai petunjuk waktu
(gnomon merupakan salah satu bentuk dari sundial sederhana, oleh karena itu dianggap sebagai
nama lain dari sundial), chapter three, Classical Sundials, hlm. 46. Pada dasarnya, sebuah sundial
terdiri dari satu objek yang membentuk satu bayangan dari sebuah permukaan yang bergaris, yang
disebut dengan garis jam. Permukaan tersebut dinamakan table jam. (Basically, a sundial consists
of a surface on wich lines (the so-called hour-lines) have been traced; the surface is called the
table of the dial). Jika kita meruntut sejarah, menurut data literatur papyrus pada tahun 1450 SM,
sundial pernah dipakai di Mesir dalam bentuk obelisk yang saat itu digunakan untuk menentukan
waktu dan menseting kalender. Groping through history with this Ariadnes thread, we learn from
the papyri that by about 1450 BC gnomons in the form of obelisks were used in Egypt for the
measurement of time and the setting up of calendar. Sekitar tahun 1000, bangsa Arab telah
menjadi ahli waris dari gnamon Yunani sebagaimana ilmu klasik lainnya. 15 buku mereka tentang
gnomonic ditulis dari abad 11-14. By around the year 1000, the Arabs had become the inheritors
of Greek Gnomonics, as well as of all the ather ancient sciences. Fifteen of their books on
gnomoniccs written during the period from the elevent to the fourteenth century ave survived,
Chapter one, History of The Sundial hlm. 5. Kemungkinan pada masa ni, kemudian umat Islam
memanfaatkan sundial untuk menentukan awal waktu shalat. Dalam bahasa Arab disebut juga as-
Saah asy-Syamsiah atau mizwala. Lihat juga pada Susikanan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat,
hlm. 144.
7
Atas dasar kebutuhan pada masa modern ini, hisab penentuan awal waktu
shalat melangkah ke arah kemajuan dengan lahirnya software-software penentuan
waktu shalat yang memudahkan masyarakat dalam mengetahui awal dan akhir
waktu shalat. Jadwal shalat sekarang ini juga mudah didapatkan dalam kalender-
kalender yang beredar dalam masyarakat oleh perhitungan hisab para ahli falak.
Hampir di setiap kalender telah dicantumkan jadwal awal waktu shalat. Jadwal
awal waktu shalat yang ada dalam kalender-kalender tersebut dapat disesuaikan
dengan daerah masing-masing. Ada beberapa point yang menyebabkan perbedaan
awal waktu shalat antara satu daerah dengan daerah lain, yaitu antara lain:
1. Koordinat lintang tempat tersebut ()15. Daerah yang terletak di sebelah utara
garis khatulistiwa (ekuator) memiliki lintang positif, dan untuk daerah yang
terletak di sebelah selatan garis khatulistiwa memiliki lintang negatif.
2. Koordinat bujur tempat tersebut ()16. Daerah yang terletak di sebelah timur
Greenwich memiliki bujur positif dan untuk daerah yang terletak di sebelah
barat Greenwich memiliki bujur negatif.
3. Zona waktu tempat tersebut (z)17. Daerah yang terletak di sebelah timur
Greenwich memiliki z positif. Misalnya zona waktu Jakarta adalah UT +7
15
Lintang astronomi suatu tempat ialah sudut antara arah gaya berat (vertical) tempat
tersebut dengan bidang yang tegak lurus sumbu putar bumi. Baca K.J. Vilianueva, Pengantar ke
dalam Astronomi Geodesi, Bandung: Departemen Geodesi Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan
Institut Teknologi Bandung, 1978, hlm. 4. 16
Bujur astronomi suatu tempat adalah sudut antara bidang di meridian tempat dan
bidang meridian dari Greenwich. Lihat ibid, hlm. 114. Dalam buku tersebut juga disebutkan bahwa
bujur sama dengan selisih waktu local tempat bersangkutan dengan waktu Greenwich. 17
Pada dasarnya bumi dibagi dalam 24 wilayah waktu (zona waktu) yang dibatasi oleh
meridian-meridian dengan selisih bujur 15 derajat (1 jam). Dalam tiap wilayah ini berlaku satu
macam waktu wilayah dengan meridian tengahnya sebagai referensi. Wilayah 0 meridian
referensinya adalah meridian Greenwich. Ke timur dari Greenwich tiap wilayah diberi tanda +1,
+2, dst dan untuk wilayah arah barat diberi tanda -1,-2, dst. Untuk wilayah ke-12 dibagi dua oleh
date line dan untuk bagian barat diambil z = -12 sedangkan untuk bagian yang timur diambil
8
(Universal Time) atau seringkali disebut GMT +7 (Greenwich Mean Solar
Time), maka z = 7. Sedangkan di sebelah barat Greenwich memiliki z negatif.
Misalnya, Los Angeles memiliki z = -8.
4. Ketinggian tempat dari permukaan laut (h)18. Ketinggian lokasi dari
permukaan laut (h) menentukan waktu kapan terbit dan terbenamnya
matahari. Tempat yang berada tinggi di atas permukaan laut akan lebih awal
menyaksikan matahari terbit serta lebih akhir melihat matahari terbenam,
dibandingkan dengan tempat yang lebih rendah. Satuan h adalah meter atau
feet (kaki).
Dari keempat point di atas, yang jarang diperhatikan adalah ketinggian
tempat dari suatu daerah. Dari penelusuran penulis, kebanyakan jadwal waktu
shalat yang ada dalam kalender-kalender hanya memakai data rata-rata ketinggian
tempat. Bahkan tidak jarang, jadwal shalat tidak memakai data ketinggian tempat.
Begitu juga dengan software-software waktu shalat yang berkembang, banyak
yang menyisihkan data ketinggian tempat.
Jadwal awal waktu shalat yang tercantum dalam kalender keluaran Ponpes
Lirboyo, yang dipakai oleh hampir seluruh alumni tersebut, dalam hisab awal
waktu shalatnya menggunakan data ketinggian tempat 100m.19
Sedangkan jadwal
z = +12. Bila seseorang melewati date line maka ia harus menyesuaikan hari kalendernya
dengan menambah atau mengurangi dengan satuan hari (24j). selisih waktu untuk wilayah yang
berdampingan adalah satu jam. Untuk keseragaman di suatu negara maka wilayah waktu itu
disesuaikan dengan batas-batas negara. Lihat Ibid, hlm. 70-71. Untuk Indonesia sendiri dibagi
dalam 3 zona waktu, yaitu WIB, WITA, WIT. 18
h dalam astronomi digunakan sebagai simbol untuk tinggi, posisi tinggi matahari
biasaya menggunakan ho dan posisi tinggi bulan biasanya menggunakan h(. 19
Dalam penentuan awal waktu shalat, Ponpes Lirboyo menggunakan gabungan
ephimeris - kitab Tashil Auqat, dengan data ketinggian tempat yang dipakai 100m. (Hasil
wawancara dengan Bapak Yazid via telepon dan Bapak Reza melalui jaringan sosial Facebook,
mereka adalah penyusun kalender Ponpes Lirboyo yang selama ini beredar).
9
awal waktu shalat dalam software Athan20
, di dalamnya tidak menggunakan data
ketinggian tempat. Sementara program Prayer Times21
dan Shollu22
memberikan
ruang untuk menginput data ketinggian tempat untuk daerah yang dicari awal
waktu shalatnya.
Selain itu, yang lebih menarik dalam hal ini adalah dari beberapa ahli falak
mempunyai formulasi penentuan awal waktu shalat yang berbeda-beda dalam
penggunaan data ketinggian tempat terkait dengan kerendahan ufuk suatu tempat,
yaitu pada waktu Maghrib, Subuh dan Isya.
Pada umumnya, para ahli falak maupun astronomi menggunakan rumus
ho= - (ku + ref + sd) dalam mencari tinggi matahari, dengan ketentuan sebagai
berikut:
ku (kerendahan ufuk) = 0 1.76 h (ketinggian tempat)
ref (refraksi tertinggi saat ghurub) = 0 34
sd (semidiameter matahari rata-rata) = 0 16
Formulasi ini digunakan oleh para ahli falak pada umumnya dalam menentukan
awal waktu shalat Maghrib, salah satunya adalah Slamet Hambali.23
Sedangkan
20
Softwere program waktu shalat dalam computer yang secara otomatis akan
membunyikan suara adzan ketika mulai waktu shalat, yaitu 5 kali dalam sehari. Dapat didownload
di http://www.islamicfinder.rg/athanContact.php 21
Bisa di download di www.rukyatulhilal.com 22
Shollu, copyrights 2004-2008 program waktu shalat versi 3.00, oleh Ebta Setiawan.
Program ini bertujuan memberi peringatan kepada pengguna komputer bahwa waktu sholat telah
tiba atau sebentar lagi tiba. Sehingga pengguna bisa bersegera untuk mempersiapkan diri untuk
menunaikan sholat. Berbeda dengan versi 2.15 ke bawah, mulai shollu menggunakan koordinat
wilayah ( garis lintang dan garis bujur), ketinggian dan beberapa kriteria lainnya. Pengguna hanya
perlu setting sekali dan jadwal otomatis akan selalu update. Shollu dilengkapi dengan wilayah-
wilayah di Indonesia dan kota-kota besar di dunia. Untuk wilayah lainnya bisa download file
tambahan, bisa dilihat dalam help file. 23
Slamet Hambali, Hisab Awal Bulan Sistem Ephemeris, materi ini disampaikan dalam
pelatihan ketrampilan khusus bidang hisab-rukyah oleh Direktorat Pendidikan Diniyah dan
Pondok Pesantren Ditjen Pendidikan Islam Departemen Agama RI, 2007
10
dalam penentuan waktu Isya dan Subuh, rumus tersebut dijumlahkan dengan
masing-masing ho -17 dan ho -19. Namun, ada beberapa ahli falak yang sedikit
berbeda. Muhyiddin Khazin, dalam buku Ilmu Falak; Teori dan Praktek24
agaknya mempunyai toleransi terhadap pengaruh ketinggian tempat dengan
menjelaskan bahwa rumus tersebut terkait kerendahan ufuk hanya dianjurkan
dalam perhitungan awal bulan. Sedangkan untuk perhitungan awal waktu shalat
sehari-hari hanya cukup dengan ketentuan sebagai berikut: ho mahgrib: -1, ho
Isya : -18, ho Subuh: -20 dan ho terbit: -1.
Sedangkan Uzal Syahruna seperti dalam materinya Perhitungan Awal
Waktu Shalat, dalam mencari ku lebih memilih menggunakan bentuk decimal dari
0 1.76 h, yakni ku: 0.0293 h. Berbeda dengan Abdur Rachim, beliau
mempunyai sedikit perbedaan ketentuan dalam mencari ku. Abdur Rachim
mempunyai rumus sendiri yaitu dalam bukunya Ilmu Falak,25
dijelaskan bahwa
ku mari dapat diketahui dengan rumus 3,2 h. Pada salah satu literatur astronomi,
Textbook on Sperical Astronomy26
disebutkan bahwa dalam mencari ku
menggunakan rumus 0.98h .
Dari beberapa perbedaan tersebut, dapat dilihat bahwa beraneka macam
respon ahli falak tehadap ketinggian tempat dalam penentuan waktu shalat. Maka
dari itu, penulis tertarik untuk mengkaji urgensi data ketinggian tempat dalam
formulasi penentuan awal waktu shalat. Sebenarnya seberapa pengaruh data
ketinggian tempat dalam formulasi penentuan awal waktu shalat. Selain itu,
24
Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak; dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Buana pustaka, hlm. 56
25 Abd. Rachim, Ilmu Falak, Yogyakarta: Liberti, 1983, hlm. 33
26 W.M. Smart, Textbook on Sperical Astronomy, London: Cambridge University Press,
1950, hlm. 318
11
penulis juga tertarik untuk mengkaji bagaimana formulasi penentuan awal waktu
shalat yang ideal untuk digunakan diantara yang dipakai oleh beberapa ahli falak
tersebut.
Dan meskipun dalam beberapa jadwal waktu shalat telah menggunakan
data ketinggian tempat, namun dalam pemetaan wilayah dalam waktu shalat juga
masih kurang memperhatikan data ketinggian tempat. Jadwal waktu shalat yang
ada hanya menghitung salah satu titik yang mewakili satu wilayah kabupaten.
Padahal, dalam satu kabupaten mempunyai dataran yang tingginya berbeda-beda.
Oleh karena itu, penulis juga tertarik untuk mengkaji bagaimana toleransi waktu
seperti penggunaan waktu ihtiyat yang diberikan oleh beberapa ahli falak tersebut
di atas, untuk mengatasi pengaruh ketinggian tempat terkait keurgensiannya
dalam penyajian jadwal waktu shalat yang ideal.
B. Rumusan Masalah
Bertolak dari permasalahan yang telah dipaparkan, dan untuk membatasi
agar skripsi lebih spesifik dan tidak terlalu melebar, maka dapat dikemukakan
pokok permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini sebagai berikut:
1. Bagaimana urgensi ketinggian tempat dalam formulasi penentuan waktu
shalat?
2. Bagaimana formulasi penentuan waktu shalat yang ideal terkait formulasi
kerendahan ufuk yang berbeda-beda?
3. Bagaimana penggunaan waktu ihtiyat untuk mengatasi pengaruh ketinggian
tempat dalam penyajian jadwal waktu shalat yang ideal?
12
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak di capai dalam penulisan skripsi ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui urgensi ketinggian tempat dalam formulasi penentuan
awal waktu shalat, meliputi shalat apa saja yang dalam penentuan awal
waktunya dipengaruhi oleh ketinggian tempat dan seberapa besar
pengaruhnya terhadap formulasi penentuan awal waktu shalat.
2. Untuk mendapatkan formulasi penentuan awal waktu shalat yang paling ideal
dan akurat yang dapat digunakan oleh masyarakat.
3. Untuk mengetahui bagaimana toleransi atas urgensi tersebut dalam formulasi
penentuan awal waktu shalat meliputi tinggi atau rendahnya suatu daerah
mana yang dijadikan markaz perhitungan awal waktu shalat yang ideal dan
bagaimana penyajian jadwal awal waktu shalat yang ideal.
D. Manfaat Penelitian
Dengan mengetahui seberapa besar urgensi data ketinggian tempat dalam
formulasi penentuan awal waktu shalat dan seberapa besar toleransi urgensi
ketinggian tempat dalam formulasi penentuan waktu shalat, maka diharapkan
dapat merumuskan formulasi penentuan awal waktu shalat yang lebih akurat dan
ideal untuk digunakan meliputi daerah mana yang dijadikan patokan perhitungan
awal waktu shalat dan batas-batas penggunaan nama daerah dalam jadwal waktu
shalat. Oleh karena itu, dapat meminimalisir kesalahan perhitungan penentuan
awal waktu shalat sehingga lebih memantapkan hati kita dalam beribadah.
13
Dari sisi akademis kegunaan penelitian di samping berguna bagi
pengembangan ilmu penulis juga dapat bermanfaat bagi peneliti-peneliti yang
akan datang. Pentingnya hasil penelitian ini bagi peneliti-peneliti yang akan
datang terutama terletak pada sisi ketersediaan data awal, karakteristik termasuk
masalah-masalah yang belum mendapatkan analisis yang fokus.
E. Telaah Pustaka
Sejauh penelusuran yang penulis lakukan, belum ditemukan tulisan dan
penelitian yang secara khusus dan mendetail membahas pengaruh data ketinggian
shalat dalam formulasi penentuan awal waktu shalat dan toleransinya. Selama ini,
banyak penelitian mengenai shalat, waktu shalat, namun ditinjau dari berbagai
segi.
Penelitian-penelitian yang ada sebagian besar mengenai shalat dan
impactnya terhadap kehidupan sehari-hari. Sebagaimana skripsi yang ditulis oleh
Marfungah, Pengaruh Intensitas Shalat 5 Waktu Terhadap Motivasi Beragama
Anak di Panti Asuhan Yatim Piatu Darul Hadlonah Semarang27
dan skripsi oleh
M. Khoirul Abshor yang berjudul Pengaruh Pendidikan Shalat Pada Masa
Kanak-Kanak dalam Keluarga Terhadap Kedisiplinan Shalat Lima Waktu Siswa
Kelas VIII Di Mts Negeri Kendal28
. Kedua penelitian tersebut lebih menekankan
27
Marfungah, Pengaruh Intensitas Shalat 5 Waktu Terhadap Motivasi Beragama Anak di Panti Asuhan Yatim Piatu Darul Hadlonah Semarang, Skripsi Fakultas Dakwah IAIN Walisongo
Semarang, 2005 28
M. Khoirul Abshor yang berjudul Pengaruh Pendidikan Shalat Pada Masa Kanak-Kanak dalam Keluarga Terhadap Kedisiplinan Shalat Lima Waktu Siswa Kelas VIII Di Mts
Negeri Kendal, Skripsi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2008
14
pada aspek sosial yang ditimbulkan dari pelaksanaan shalat 5 waktu dan praktek
riil pelaksanaan shalat pada waktunya.
Sedangkan skripsi yang ditulis oleh Mukhamad Hasanudin, Studi Analisis
Pendapat Hasbi Ash Shiddiqie Tentang Bolehnya Mengerjakan Dua Shalat
Fardlu Dengan Satu Kali Tayamum29
merupakan penelitian tentang shalat namun,
diambil dari segi fiqh dan lebih menekankan pada persoalan tayamum. Hampir
serupa, penelitian Waktu Salat Wajib dalam Pandangan Syi'ah (Kajian Atas
Hadis-Hadis Tentang Waktu Salat Dalam Kitab Al-Kafi) oleh Nur Aeni
meskipun membahas tentang waktu shalat, namun lebih menekankan pada segi
fiqhnya, yaitu membahas Hadis yang berkaitan dengan waktu shalat yang menjadi
dasar hukum kaum Syiah dalam menentukan waktu shalatnya.30
Penelitian tentang waktu shalat dengan penekanan pada bidang falak
tergolong sedikit, penulis hanya menemukan beberapa saja, yaitu penelitian
Korelasi Beda Bujur dalam Penemuan Selisih Waktu Shalat Antar Daerah (Studi
Jadwal Waktu Shalat Yang Beredar Di Jawa Timur) oleh Abd. Salam yang
mengungkapkan seberapa besar akurasi penentuan waktu-waktu shalat untuk
kota-kota markaz pada jadwal waktu shalat yang beredar di Jawa Timur, serta
akurasi konversi waktu shalat dari satu kota ke kota lainnya yang ditinjau dari
beda bujurnya.31
Selain itu, penulis hanya menemukan dua karya ilmiah yang
29
Mukhamad Hasanudin, Studi Analisis Pendapat Hasbi Ash Shiddiqie Tentang Bolehnya Mengerjakan Dua Shalat Fardlu Dengan Satu Kali Tayamum, Skripsi Fakultas Syariah IAIN
Walisongo Semarang, 2004 30
Nur Aeni, Waktu Salat Wajib dalam Pandangan Syi'ah (Kajian Atas Hadis-Hadis Tentang Waktu Salat Dalam Kitab Al-Kafi), Skripsi Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga,
2009 31
Abd. Salam, Korelasi Beda Bujur Dalam Penemuan Selisih Waktu Shalat Antar Daerah (Studi Jadwal Waktu Shalat Yang Beredar Di Jawa Timur), Sunan Ampel, 2005
15
meneliti awal waktu shalat, yaitu skripsi Muhammad Hartaji, yang berjudul
Analisis Terhadap Perbedaan Lintang Terhadap Awal Waktu Shalat, yang hanya
menganalisa terhadap perbedaan lintang dalam waktu shalat.32
Skripsi lain ditulis
oleh Muntoha yang berjudul Analisis Terhadap Toleransi Pengaruh Perbedaan
Lintang dan Bujur dalam Kesamaan Penentuan Awal Waktu Shalat, yang
menjelaskan pengaruh lintang dan bujur tempat dalam penentuan awal waktu
shalat beserta toleransinya yang menurut skripsi ini yaitu dengan waktu ikhtiyat.33
Namun, hampir dari setiap buku falak secara umum yang ada, di dalamnya
terdapat salah satu bab yang menjelaskan penentuan waktu shalat. Begitu pula
dengan kitab-kitab klasik falak yang ada. Mesipun antara buku falak dan kitab
falak klasik mempunyai konsep yang berbeda dalam formulasi penentuan awal
waktu shalat, namun keduanya mempunyai benang merah yang sama.
Diantara buku-buku falak tersebut ada buku Ilmu Falak Praktis; Metode
Hisab-Rukyah Praktis dan Solusi Permasalahannya oleh Ahmad Izzuddin,
M.Ag34
dan Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik oleh Muhyiddin Khazin35
.
Keduanya membahas ilmu falak secara umum, mulai dari arah kiblat, penentuan
awal waktu shalat, penentuan awal bulan qamariyah, hingga gerhana matahari
maupun gerhana bulan. Ilmu Falak oleh Abdur Rachim juga menjelaskan sekilas
32
Muhammad Hartaji, yang berjudul Analisis Terhadap Perbedaan Lintang Terhadap
Awal Waktu Shalat, Semarang : FAI Unissula, 2003. 33
Muntoha, Analisis Terhadap Toleransi Pengaruh Perbedaan Lintang dan Bujur dalam
Kesamaan Penentuan Awal Waktu Shalat, Skripsi Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang,
2004 34
Ahmad Izzuddin, Ilmu Falak Praktis; Metode Hisab-Rukyah Praktis dan Solusi
Permasalahannya, Semarang: Komala Grafika dengan IAIN Walisongo Semarang, 2006 35
Muhyiddin Khazin, loc. cit.
16
tentang awal waktu shalat, namun pembahasan di dalamnya lebih ditekankan pada
sisi astronominya.
Selain itu, ada beberapa tulisan mengenai waktu shalat, seperti Rinto
Anugraha dalam tulisannya Waktu-Waktu Shalat, telah menjelaskan beberapa hal
terkait dengan waktu shalat lima waktu. Sedangkan tulisannya yang berjudul Cara
Menghitung Waktu Shalat, menyajikan cara perhitungan waktu shalat dengan
menggunakan sejumlah rumus matematika.36
Awal Waktu Salat Perspektif Syari dan Sains oleh Susiknan Azhari
memadukan dalil-dalil waktu shalat dengan penggambaran dari segi astronomi
mengenai posisi-posisi matahari dalam waktu shalat.37
Dalam karya Mukhtar Salimi, Ilmu Falak; Penentapan Awal Waktu Shalat
dan Arah Kiblat berisikan landasan syari dan landasan astronomi waktu shalat,
serta praktek pembuatan jadwal waktu shalat. Sedangkan buku Pedoman
Penentuan Jadwal Waktu Shalat Sepanjang Masa yang diterbitkan oleh
Departemen Agama RI, berisikan cara menghitung awal waktu shalat dengan
dilampiri tabel-tabel jadwal awal waktu shalat sepanjang masa di beerapa wilayah
di Indonesia.38
Almanak Hisab Rukyat39
memaparkan tentang perjalanan semu matahari
yang relatif tetap maka dengan mudah memperhitungkan terbit, tergelincir dan
terbenamnya matahari, demikian pula kapan matahari itu akan membuat bayang-
36
http://www.eramuslim.com/, yang diakses pada tanggal 22 April 2010 37
http://www.ilmufalak.or.id/ yang diakses pada tanggal 22 April 2010 38
Departemen Agama RI, Pedoman Penentuan Jadwal Awal Waktu Shalat Sepanjang
Masa, Jakarta, 1994 39
Badan Hisab Rukyat Departemen Agama, Almanak Hisab Rukyah, Jakarta: Proyek
Pembinaan Badan Peradilan Agama, 1981
http://www.eramuslim.com/http://www.ilmufalak.or.id/
17
bayang suatu benda sama panjang dengan bendanya juga dapat diperhitungkan
untuk tiap hari-hari sepanjang tahun dan tentunya orang akan mudah melakukan
shalat hanya dengan melihat jadwal atau mendengar azan berdAsharkan
perhitungan ahli hisab. Jadi jelas bahwa Almanak Hisab Rukyat ini hanya sekedar
menggambarkan perjalanan matahari yang mana perjalanan matahari tersebut
mempengaruhi masuknya awal waktu shalat.
Almanak Djamilijah40
oleh Saaduddin Djambek, pada bagian kedua buku
ini memuat jadwal-jadwal lima waktu shalat dalam masa satu tahun, tetapi hanya
pada tanggal 1, 5, 9, 13, 17, 21, 25, dan 29 pada tiap-tiap masehi. Dan dalam buku
ini dilengkapi daftar koreksi, agar jadwal tersebut dapat digunakan di berbagai
daerah.
Kitab Ilmu Falak dan Hisab41
oleh KRM. Wardan, memuat teori
berdasarkan ilmu yang berhubungan dengan tata surya, dan bola langit serta
istilah-istilah lingkaran untuk menentukan posisi benda langit. Dan juga memuat
praktik hisab untuk menentukan awal waktu shalat, arah kiblat, dan penggunaan
rubu.
Untuk kitabnya, ada kitab Khulashotul Wafiyah oleh KH. Zubair Umar Al
Jailani, Sulamun Nayyirain, dan kitab-kitab lainnya. Thibyanul Miqat yang di
dalamnya terdapat metode penentuan awal waktu shalat dengan menggunakan
rubu.
Untuk mengetahui istilah-istilah yang menggunakan bahasa asing yang
terkait dengan persoalan hisab rukyah, maka penulis menelusurinya dalam Kamus
40
Saaduddin Djambek, Almanak Djamilijah, Jakarta: Tintamas, 1953 41
KRM. Wardan, Kitab Ilmu Falak dan Hisab, Yogyakarta: cet I, 1957
18
Ilmu Falak karya Muhyiddin Khazin42
, serta karya Susiknan Azhari yang berjudul
Ensiklipedi Hisab Rukyah43
.
Selain karya-karya tersebut, penulis juga menelaah kumpulan materi
pelatihan waktu shalat baik yang penulis ikuti sendiri maupun dari sumber-sumber
yang terkait. Dari telaah pustaka tersebut, menurut penulis belum ada tulisan yang
membahas secara spesifik tentang pengaruh data ketinggian tempat dalam
formulasi penentuan awal waktu shalat.
F. Metode Penelitian
Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma
kualitatif,44
1. Sumber data
Karena penelitian ini merupakan studi analisis terhadap urgensi
ketinggian tempat yang penulis telusuri lewat pemikiran para ahli falak dan
pendapat-pendapatnya, maka data-data yang dipergunakan lebih merupakan
data pustaka. Ada dua macam data yang dipergunakan, yakni data primer dan
data sekunder.
a. Data primer yang dimaksud merupakan data yang diperoleh langsung
dari subjek penelitian. Data ini berupa dokumentasi yaitu berbentuk
42
Muhyiddin Khazin, Kamus Ilmu Falak, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2005. 43
Susiknan Azhari, Ensiklipedi Hisab Rukyah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. 44 Adalah penelitian yang bersifat atau memiliki karakteristik, bahwa datanya dinyatakan
dalam keadaan sewajarnya, atau sebagaimana aslinya (natural setting), dengan tidak dirubah dalam
bentuk simbol-simbol atau bilangan. Penelitian kualitatif ini tidak bekerja menggunakan data
dalam bentuk atau diolah dengan rumusan dan tidak ditafsirkan / diinterpretasikan sesuai
ketentuan statistik/matematik. Hadawi dan Mimi Martin, Penelitian Terapan, Yogyakarta:
Gajahmada University Press, 1996, hlm. 174.
19
artikel, makalah seminar, atau buku karya para ahli falak, maupun
wawancara dari beberapa ahli falak yang penulis angkat pemikirannya
mengenai pengaruh ketinggian tempat dalam formulsai penentuan awal
waktu shalat.
b. Data Sekunder adalah data yang tidak langsung diperoleh oleh peneliti
dari subjek penelitiannya atau bukan data yang datang langsung dari para
ahli falak yang diangkat pemikirannya atau data-data yang terkait dengan
penelitian ini, baik yang berbentuk artikel, makalah seminar, buku
maupun wawancara.
2. Metode pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Library Research (studi kepustakaan) yakni melakukan penelusuran
untuk memperoleh data-data yang ada relevansinya dengan
permasalahan. Seperti dokumen ataupun hasil penelitian mengenai awal
waktu shalat, yaitu buku-buku awal waktu shalat maupun buku-buku
falak secara umum, buku-buku astronomi dan juga buku-buku geodesi,
serta karya-karya tulis terkait mengenai masalah penelitian dalam bentuk
lainnya.
b. Wawancara dengan para pihak yang berkaitan atau yang menguasai
materi objek penelitian waktu shalat maupun ketinggian tempat, yaitu
dengan ahli falak, yaitu Reza Zakariya dan Yazid (Lirboyo) terkait
dengan kalender Lirboyo, Slamet Hambali terkait dengan kalender untuk
daerah Semarang, Rinto Anugraha terkait dengan formulasi kerendahan
20
ufuk, Dr. Ing. Khafid terkait dengan ketinggian tempat serta beberapa
pihak yang berkaitan dengan data ketinggian tempat.
3. Metode Analisis Data
Dengan sifat penelitian deskriptif analisis kritis. Deskripsi (analisis
dokumen/analisis isi/content analisis) diperlukan untuk menjelaskan
kebenaran dan kesalahan dari suatu analisis yang dikembangkan secara
berimbang dengan melihat kelebihan dan kekurangan obyek yang diteliti.
Dalam konteks penelitian ini, penulis akan berusaha mendeskripsikan
beberapa pemikiran tokoh falak, diantaranya Slamet Hambali, Abdur Rachim,
M. Uzal Syahruna, dan Muhyiddin Khazin. Sehingga dengan menggunakan
metode induktif komparatif akan mendapatkan akurasi dalam analisisnya.
Metode induktif ini digunakan dalam rangka membuat konklusi yang dimuat
dari hal-hal yang bersifat khusus menuju pembahasan yang bersifat umum.
Metode komparatif penulis gunakan untuk mengkomparasikan
pendapat antara ahli falak satu dengan yang lain yang berhubungan dengan
skripsi ini.
21
G. Sistematika Penelitian
Bab I : Pendahuluan
Bab ini meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, telaah pustaka, metode penelitian, dan
sistematika penulisan
Bab II : Formulasi Penentuan Awal Waktu Shalat Konvergensi Syari dan
Sains serta Faktor yang Mempengaruhinya
Bab ini meliputi landasan teori yang memuat dasar hukum
waktu shalat yaitu dalil-dalil waktu shalat, penafsiran dan pendapat para
ulama tentang waktu shalat serta pembacaan awal waktu shalat secara
astronomi yang kemudian dituangkan dalam formulasi rumus-rumus
waktu shalat yang selama ini dipakai dalam perhitungan awal waktu
shalat. Serta memaparkan faktor-faktor yang mempengaruhi penentuan
awal waktu shalat, salah satunya ketinggian tempat.
Bab III : Penggunaan Data Ketinggian Tempat dalam Formulasi Penentuan
Awal Waktu Shalat
Bab ini meliputi sekilas tentang ketinggian tempat, pendapat
beberapa ahli falak mengenai penggunaan ketinggian tempat dalam
formulasi penentuan awal waktu shalat. Disini penulis mencoba
menelusurinya dengan melihat beberapa formulasi penentuan awal
waktu shalat yang dipakai oleh beberapa ahli falak baik yang metode
klasik maupun metode yang dipakai masyarakat sekarang ini. Pada bab
ini juga akan dipaparkan jadwal awal waktu shalat sebagai hasil
22
perhitungan beberapa ahli falak berdasarkan penggunaan data
ketinggian tempat dalam formulasi penentuan awal waktu shalat
tersebut.
Bab IV : Analisis Terhadap Urgensi Ketinggian Tempat Dalam Formulasi
Penentuan Awal Waktu Shalat
Analisis urgensi ketinggian tempat dalam formulasi penentuan waktu
shalat.
Analisis formulasi penentuan awal waktu shalat yang ideal terkait
formulasi kerendahan ufuk yang berbeda-beda
Analisis penggunaan waktu ihtiyat untuk mengatasi pengaruh
ketinggian tempat dalam penyajian jadwal waktu shalat yang ideal.
Bab VI : Penutup
Bab ini berisi jawaban dan kesimpulan atas rumusan masalah, saran,
kritik dan kata penutup.
23
BAB II
FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT KONVERGENSI
SYARI DAN SAINS SERTA FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
A. Dasar Hukum Waktu Shalat
1. Dalil Waktu Shalat
a. QS. An Nisa ayat 103
Artinya:
Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di
waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian
apabila kamu telah merasa aman, Maka dirikanlah shalat itu
(sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang
ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An Nisa:
103)37
b. QS. Thaha ayat 130
Artinya:
Maka sabarlah kamu atas apa yang mereka katakan, dan bertasbihlah
dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan sebelum
terbenamnya dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari
dan pada waktu-waktu di siang hari, supaya kamu merasa senang. (QS.
Thaha: 130)38
37
Departemen Agama Republik Indonesia, loc cit, hlm. 138 38
Ibid, hlm. 492
24
c. QS. Al Isra ayat 78
Artinya:
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam
dan (dirikanlah pula shalat) Subuh. Sesungguhnya shalat Subuh itu
disaksikan (oleh malaikat). (QS. Al-Isra: 78)39
d. QS. Al Hud ayat 114
Artinya:
Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang)
dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya
perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-
perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.
(QS. Al Hud: 114)40
e. QS. Ar Rum ayat 17-18
Artinya:
Maka bertasbihlah kepada Allah diwaktu kamu berada dipetang hari
dan waktu kamu berada diwaktu Subuh. Dan bagi-Nyalah segala puji di
langit dan bumi dan diwaktu kamu berada pada petang hari dan diwaktu
kamu berada diwaktu Dzuhur. (QS. Ar Rum: 17-18)41
39
Ibid, hlm. 436 40
Ibid, hlm. 344-345 41
Ibid, hlm. 643
25
f. Didukung oleh hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah r.a
( )
Artinya :
Dari Jabir bin Abdullah r.a berkata telah datang kepada Nabi SAW.
Jibril a.s lalu berkata kepadanya bangunlah, lalu bersembahyanglah
kemudian Nabi shalat Dzuhur dikala matahari tergelincir. Kemudian ia
datang lagi kepadanya di waktu Ashar lalu berkata. Bangunlah lalu
sembahyanglah kemudian Nabi shalat Ashar di kala bayang-bayang
sesuatu sama dengannya. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu
Maghrib lalu berkata bangunlah , kemudian Nabi shalat Maghrib dikala
matahari terbenam. Kemudian datang lagi kepadanya di waktu Isya
lalu berkata : bangunlah dan shalatlah kemudian Nabi shalat Isya
dikala mega merah telah terbenam. Kemudian ia datang lagi kepadanya
di waktu fajar lalu berkata : bangun dan shalatlah, kemudian Nabi shalat
fajar di kala fajar menyingsing, atau ia berkata: di waktu fajar besinar.
Kemudian ia datang pula esok harinya pada waktu Dzuhur kemudian ia
berkata padanya bangunlah lalu shalatlah kemudian Nabi shalat Dzuhur
dikala bayang-bayang suatu sama dengannya. Kemudian datang lagi
kepadanya di waktu Ashar dan ia berkata : bangunlah dan shalatlah
kemudian Nabi shalat Ashar dikala bayang-bayang matahari dua kali
26
sesuatu itu. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu Maghrib
dalam waktu yang sama, tidak bergeser dari waktu yang sudah.
Kemudian ia datang lagi di waktu Isya di kala telah lalu separo malam,
atau ia berkata telah hilang sepertiga malam, kemudian Nabi shalat
Isya. Kemudian ia datang lagi kepadanya di kala telah bercahaya benar
dan ia berkata bangunlah lalu shalatlah, kemudian Nabi shalat fajar,
kemudian Jibril berkata saat dua waktu itu adalah waktu shalat. (H.R
Imam Ahmad, Nasai dan Thirmidzi) 42
g. Hadits Nabi Yang Diriwayatkan Abdullah Bin Amar R.A
( )
Artinya :
Dari Abdullah bin Amar RA berkata: rsulullah bersabda: waktu Dzuhur
apabila tergelincir matahari sampai bayang-bayang seseorang sama
dengan tingginya yaitu selama belum datang waktu Ashar dan waktu
Ashar selama matahari belum menguning, dan waktu Magrib selama
syafaq belum terbenam dan waktu Isya sampai pertengahan malam dan
waktu Subuh mulai fajar menyingsiang sampai matahari belum
terbit.(HR Muslim).
2. Kajian Tafsir dan Pendapat Ulama
a. Surat An-Nisa Ayat 103
Dalam Tafsir al Misbah,44
kitaban mauqutan dalam ( )
surat An Nisa 103 diartikan sebagai shalat merupakan kewajiban yang tidak
42
Program Hadis Kutubus Sittah, , kitab abwab as-shalat, no 001 43
Imam Muslim, Shohih Muslim, Beirut Libanon: Dar al-Kutub Ilmiah, jilid 2, 1994, hlm.
547 44
M.Quraisy Syihab, Tafsir Al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, vol. 2, 2005, hlm. 570
27
berubah, selalu harus dilaksanakan, dan tidak pernah gugur oleh sebab
apapun. Hal ini dipertegas oleh Tafsir Manaar45
bahwa sesungguhnya shalat
itu telah diatur waktunya oleh Allah SWT. berarti wajib mua'kkad yang
telah ditetapkan waktunya dilauhil mahfudz. disini menunjukkan arti
sudah ditentukan batasan-batasan waktunya.
Dilanjutkan dengan keterangan Tafsir Ibnu Katsir,46
bahwa firman
Allah Taala Sesungguhnya shalat itu merupakan kewajiban yang
ditentukan waktunya bagi kaum mukmin yakni difardhukan dan ditentukan
waktunya seperti ibadah haji (maksudnya, jika waktu shalat pertama habis
maka shalat yang kedua tidak lagi sebagai waktu shalat pertama, namun ia
milik waktu shalat berikutnya. Oleh karena itu, orang yang kehabisan waktu
suatu shalat, kemudian melaksanakannya diwaktu lain, maka sesungguhnya
dia telah melakukan dosa besar. Pendapat lain mengatakan silih berganti
jika yang satu tenggelam, maka yang lain muncul artinya jika suatu waktu
berlalu, maka muncul waktu yang lain.
Sedangkan, Az Zamakhsyariy mengatakan bahwa seseorang tidak
boleh mengakhirkan waktu dan mendahulukan waktu shalat seenaknya baik
dalam keadaan aman atau takut.47
Penggunaan lafaz Kaanat menujukkan
ke-Mudawamah-an (continuitas) suatu perkara, maksudnya ketetapan waktu
45
Rasyid Ridho, Tafsir Manaar, Dar Al Marifah: Beirut, hlm. 383 46
Muhammad nasib Ar-Rifai, Tafsir Ibnu Katsir, jilid 3. Gema Insani:Jakarta, hlm.292. 47
Lihat Az Zamakhsyariy, Tafsir Al Khasyaf, Beirut: Daar Al Fikr, 1997, juz I, hlm. 240
28
shalat tak akan berubah sebagaimana dikatakan oleh Al Husain bin Abu Al
Izz Al Hamadaniy.48
Maka konsekuensi logis dari ayat ini adalah shalat tidak bisa
dilakukan dalam sembarang waktu, tetapi harus mengikuti atau berdasarkan
dalil-dalil baik dari Al-Quran maupun Al-Hadis.
b. Surat Thoha Ayat 130
Quraisy Shihab dalam tafsirnya menyatakan bahwa Qabla Thului
asy-Syamsyi sebelum matahari terbit mengisyaratkan shalat Subuh. Wa
Qabla Ghurub dan sebelum terbenamnya adalah shalat Ashar.49
Firman
Allah wa min anaail al-lail pada waktu-waktu malam menunjukkan shalat
Maghrib dan Isya, namun sebagian ulama menfsirkannya sebagai shalat
tahajud pada saat malam.50
Sedang wa min athrafa an-nahar pada
penghujung-penghujung siang adalah shalat Dzuhur.
c. Surat Al-Isra Ayat 78
Dalam Tafsir Al Ahkam51
dijelaskan bahwa semua mufasir telah
sepakat bahwa ayat ini menerangkan shalat yang lima dalam menafsirkan
kata dengan dua pendapat, yaitu:
48
Al Husain bin Abu Al Izz Al Hamadaniy, Al gharib fi Irab Al Qurani, Qatar: Daar
Ats Tsaqafah, juz I, hlm. 788 49
M. Quraish Shihab, op cit, vol. 8, hlm. 399-400 50
Muhammad Nasib Ar Rifai, op cit, jilid 3, hlm. 1987. Surat Thaha ayat 130 ini
dilatarbelakangi ketika Nabi Saw sedang duduk-duduk bersama para sahabat, beliau mengadahkan
wajah ke langit melihat cahaya bulan, lalu berkata: Kalian melihat Tuhan seperti aku melihat
bulan ini, jika kalian sanggup mengerjakan shalat sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam
maka lakukanlah. Lalu beliau membaca, Wa sabbih bi hamdi Rabbika qabla thului asy syamsi
wa qabla ghurubiha. Selengkapnya baca Al Wahidy, Asbabun Nuzul, Beirut: Dar Al Kutub Al
Arabiyah, tt, hlm. 221 51
Syekh H. Abdul Halim Hasan Binjai. Tafsir Al-Ahkam, Kencana: Jakarta, 2006, cet I,
hlm. 512
29
1. Tergelincir atau condongnya matahari dari tengah langit. Demikian
diterangkan Umar bin Khatab dan putranya.
2. Terbenam matahari. Demikian diterangkan Ali bin Masud, Ubay bin
Kaab, Abu Ubaid, dan yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Abbas.
Ini dikuatkan lagi dengan redaksi ayat di atas yang meninggalkan
perintah melaksanakan shalat sampai yakni kegelapan malam.
Demikian tentang al-Biqai ulama syiah kenamaan, Thobathai berpendapat,
bahwa kalimat mengandung empat kewajiban
shalat, yakni ketiga yang disebut Al-Biqai dan shalat isya yang ditunjuk
oleh ghasaki lail. Kata pada mulanya berarti penuh. Malam
dinamai karena angkasa dipenuhi oleh kegelapannya.52
Sedangkan kata diartikan sebagai shalat Subuh.
Demikian disepakati juga oleh Auzair dan Abu Hanifah, Malik dan Syafii,
Ibnu Umar, Ibnu Masud, Al Hasan, Adh Dhahak dll.
Atas dasar ini, maka saat shalat yang disebutkan dalam ayat di atas
termasuk dalam shalat lima waktu. Adapun firman Allah mulai tergelincir
matahari hingga gelap malam, mencakup shalat Dzuhur, Ashar, Maghrib
dan isya.53
d. Surat Hud Ayat 114
Ayat ini mengajarkan dan laksanakanlah shalat dengan teratur dan
benar sesuai dengan ketentuan rukun, syarat dan sunnah. Pada kedua tepi
52
M. Quraish Shihab, op cit, vol: 7, hlm. 523 53
Muhammad Nasib Ar Rifai, op cit, .hlm. 85
30
siang, yakni pagi dan petang, atau Subuh, zhuhur, dan Ashar dan pada
bagian permulaan dari malam yaitu Maghrib dan Isya dan juga bisa witir
atau tahajud.54
Pada siang awal dan akhirnya, serta pada beberapa jam siang yang
masuk ke dalam pembatasan waktu ini melengkapi semua waktu shalat,
yaitu:
Petang : waktu antara Dzuhur dan Maghrib, yaitu shalat Ashar,
shalat Maghrib adalah Isya yang pertama, dan atamah adalah Isya
yang kedua yaitu ketika mega merah telah menghilang.
Yang dimaksud dengan matahari tergelincir adalah mulai
tergelincirnya matahari sampai ke permukaan malam masuk ke
dalamnya, selain Shalat dzuhur adalah shalat Ashar, Maghrib, dan
Isya.55
e. Surat Ar Rum ayat 17-18
Adh-Dhahak dan Said bin Jubair berkata, yang dimaksud dengan
tasbih dalam ayat ini adalah shalat 5 waktu.56
hiina tumsuuna berarti
waktu shalat Ashar; hiina tushbihuun adalah shalat Subuh; wa asyiyaa
54
M. Quraish Shihab, op cit, vol. 6, hlm. 355-356. Dalam suatu riwayat dari Ibnu
Masud r.a. dikemukakan bahwa seorang laki-laki setelah mencium seorang wanita secara tidak
sah lalu datang menghadap Rasul dan menberitahukan peristiwa tersebut kapada Rasul. Maka
wahyu Allah pun turun, (Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang)
dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik
itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang
yang ingat). Laki-laki itu bertanya, Apakah perintah itu khusus untukku? Nabi Saw
menjawab,Perintah itu untuk semua umatku (yang menghadapi masalah serupa). Lihat
selengkapnya pada Hadis riwayat Bukhari no 327, dalam Irsadul al Sara Asy Syarah Shahih Al
Bukhari, Beirut: Dar Al Fikr, tt, juz 1, hlm. 477 55
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir al Quranul Majid An-Nur.
Semarang: Pustaka Rizki Putera, juz 12, 2000, hlm. 184-186 56
Muhammad nasib Ar-Rifai, op cit, hlm. 759
31
diartikan sebagai bahagian malam, yaitu shalat waktu Maghrib dan Isya;
hiina tudzhiruun diartikan sebagai shalat Dzuhur. 57
Dari beberapa penafsiran ayat-ayat tentang awal waktu shalat tersebut,
maka para ulama sepakat bahwa waktu shalat terdiri dari 5 waktu shalat, yaitu
Dzuhur, Ashar, Maghrib, Isya dan Subuh. Meskipun sepakat bahwa waktu
shalat terdiri dari 5 waktu shalat, namun sistem waktu shalat Syiah agak
berbeda, yaitu Syiah dikenal dengan sistem tiga waktunya walaupun jumlah
shalat yang dikerjakan sama pada umumnya yaitu lima shalat.58
Argumentasi yang dikemukakan oleh Syiah Itsna Asyariyah berkaitan
dengan waktu-waktu tersebut adalah ayat-ayat Al-Quran yang
mengemukakan tentang waktu shalat yang hanya menyebut tiga waktu. Yang
dimaksud dengan atau kedua tepi siang pada ayat tersebut adalah
shalat Shubuh untuk tepi siang yang pertama. Sedangkan untuk tepi yang
kedua adalah shalat Dzuhur dan Ashar. Sedangkan yang dimaksud dengan
adalah shalat Maghrib dan Isya serta ayat-ayat lain yang dalam
penafsirannya hampir serupa, yakni penggabungan 2 shalat dalam satu waktu.
Jadi, berdasarkan penafsiran tersebut mereka memperbolehkan shalat dalam
tiga waktu.59
57
Abdul Malik Abdul Karim Amrullah, Tafsir Al Azhar, Singapura: Pustaka Nasional
PTE LTD, jilid 7, hlm. 5496 58
Lihat pada Muhammad Jawad Maghniyah, Fiqh al-Imam Jafar ash-Shadiq, Juz 1,
Qum: Muassasah Anshariyan li ath-Thibaah wa an-Nasr, Cet. VII, 2007, hal. 142-145. 59
Dalam pandangan Syiah, setiap waktu shalat mempunyai dua waktu sebagaimana yang
terdapat dalam kitab-kitab rujukan mereka (Ushul al-Kafi, karya Syaikh Abu Ja'far Muhammad
bin Ya'qub al-Kulaini ar-Razi; Man La Yahduruhu al-Faqih, karya ash-Shadiq Ibnu Babawaih al-
Qummi; Al-Istibshar dan Tahdzib al-Ahkam karya Syaikh Abu Ja'far Muhammad Ibnu al-Hasan
ath-Thusy). Dua waktu bagi setiap shalat adalah sebuah sistem waktu shalat yang memberikan dua
waktu pilihan bagi setiap shalat, yaitu waktu tersendiri dan waktu bersama. Lihat pada M. Quraish
32
Meskipun demikian, sebagian besar ulama dan umat muslim (di
Indonesia khususnya) lebih memilih sistem 5 waktu shalat. Dalam hal ini,
waktu-waktu shalat tersebut yang akan dijelaskan lebih rinci dalam
keterangan hadis-hadis dengan penjelasan para ulama pada sub bab
selanjutnya.
B. Formulasi Waktu Shalat Perspektif Syari dan Sains
Pada dasarnya, banyak hadis yang memperjelas waktu shalat yang telah
disebutkan dalam Al-quran, namun penulis di sini hanya memngambil dua hadis
yang menurut penulis jelas penggambarannya mengenai waktu shalat.
Sebagaimana hadis riwayat Jabir bin Abdulla r.a. telah memberi gambaran kelima
waktu shalat secara lebih jelas dengan posisi-posisi matahari yang menjadi
patokan waktu. Matahari tidak hanya berfungsi menghangatkan biosfer bumi
dengan cahayanya, namun dengan bayang-bayang benda atau tongkat istiwa
matahari dapat berperan untuk mengatur ritme kewajiban dzikir manusia kepada
Tuhannya. Dari kelima waktu shalat menggunakan matahari sebagai patokan
dalam perhitungannya. Dalam penentuan waktu shalat, posisi matahari dalam
koordinat horizon sangat diperlukan, terutama ketinggian atau jarak zenith.
Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkan?, Jakarta: Lentera Hati, 2007, hlm.
245. Jadi, setiap shalat boleh dikerjakan pada waktu tersendiri boleh juga dikerjakan pada waktu
bersama. Waktu pilihan tersebut hanya berlaku untuk empat waktu shalat saja (tidak berlaku
untuk waktu shalat Shubuh atau Fajar) yaitu Dzuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya. Oleh karena itu,
dalam sistem waktu shalat mereka dikenal tiga waktu, yaitu waktu Dzuhrain untuk shalat Dzuhur
dan Ashar, waktu Isyaain untuk waktu Maghrib dan Isya serta waktu fajar untuk shalat Shubuh.
Pendapat tersebut mereka nyatakan dalam sebuah khabar yang berasal dari Imam Jafar ash-
Shadiq. Lihat pada Abu Jafar Muhammad bin Hasan ath-Thusy, Al-Kutub al-Arbaah al-Ibtishar
(1-4), Qum: Muassasah Anshariyan li ath-Thibaah wa an-Nasr, Cet. I, 2005, hal. 102.
33
1. Shalat Dzuhur
. .
(kemudian Nabi shalat Dzuhur ketika matahari tergelincir)
.... .
(kemudian Nabi shalat Dzuhur dikala bayang-bayang suatu benda
sama dengan aslinya).
(waktu Dzuhur apabila tergelincir matahari sampai bayang-bayang
seseorang sama dengan tingginya yaitu selama belum datang waktu
Ashar)
Para ahli fiqh memulai dengan shalat Dzuhur, karena ia merupakan
shalat pertama yang diperintahkan (difardhukan). Kemudian setelah itu
difardhukan shalat Ashar, kemudian Maghrib, lalu Isya, kemudian shalat
Subuh secara tartib. Kelima shalat tersebut diwajibkannya di Makkah pada
malam isra setelah 9 tahun dari di utusnya Rasulullah. Hal demikian
berdasarkan firman Allah surat Al-Isra ayat 78.60
60
Muhammad Jawa Mughniyyah, Fiqih Lima Madzhab, Diterjemahkan oleh Masykur
dkk dari Al-Fiqh ala Al-Madzahib Al-Khamsah, Jakarta : Lentera, cet VI, 2007, hlm 74. Peristiwa
isra miraj disebutkan dalam surat Al-Isra ayat 1 dan terdapat penjelasan mengenai bertemunya
Rasulullah dengan Jibril dalam bentuk aslinya dan kebesaran-kebesaran Allah yang disebutkan
dalam surat An-Najm ayat 5-18. Sedangkan turunnya perintah shalat 5 waktu didapatkan dari
Hadis riwayat Bukhari yang diriwayatkan dari Anas bin Malik. Dari hadis tersebut dikabarkan
bahwa Rssul saat miraj bertemu dengan dengan para nabi terdahulu dan turun perintah shalat 50
waktu dalam sehari-semalam. Dalam perjalanan kembali, Rasul bertemu dengan Nabi Musa yang
selanjutnya memberi nasehat untuk meminta keringanan atas perintah shalat yang diterima Rasul,
karena umat Rasul dinilai tidak akan sanggup mengerjakannya sebagaimana Nabi Musa
mencobakannya pada umat dari Bani Israil terdahulu. Oleh karena itu diceritakan bahwa Rasul
meminta keringanan beberapa kali kepada Allah sehingga perintah shalat menjadi 5 waktu dalam
sehari-semalam. Sebenarnya Nabi Musa masih menyarankan agar Rasul meminta keringan lagi,
namun Rasul menolak dan berkata,Aku telah meminta terlalu banyak dari Tuhanku dan itu
membuatku malu. Tapi aku rasa sekarang aku gembira dan berserah diri kepada perintah Allah.
Dan ketika Rasul pergi, beliau mendengar suara berkata Aku telah memberikan perintahKu dan
telah mengurangi beban para hambaKu. Selengkapnya lihat pada Hadis riwayat Bukhari no. 349
dalam Al Jami Shahih Al Bukhari, Beirut: Dar Al Fikr, tt, hlm. 382. Hadis ini dinalai shahih
dengan sanad Yahya bin Abu Bukair, Lais bin Sudan, Yunus, dan Muslim bin Abdullah bin
34
Pada hadis pertama yang diriwayatkan oleh Jabir, disebutkan bahwa
Jibril datang menyuruh Nabi shalat dzuhur pada hari pertama setelah tergelincir
matahari, dan datang lagi diwaktu Ashar saat bayangan benda sama dengan
benda tersebut. Pada hari kedua, Jibril datang menyuruh shalat Dzuhur pada
waktu bayangan benda sama dengan benda itu sendiri, tepat pada waktu
melakukan shalat Ashar pada hari pertama.61
Sedangkan pada hadis kedua dijelaskan bahwa waktu Dzuhur ialah bila
matahari sudah tergelincir; atau oleh ulama lain diartikan condong ke Barat;
hingga bayang-bayang seseorang sama dengan tingginya atau saat bayang-
bayang suatu benda sama panjangnya dengan benda tersebut. Kata ka-na
diathafkan terhadap kata za-lat, yang maksudnya waktu Dzuhur itu tetap
berlangsung hingga terjadi bayangan orang sama dengan tinggi badannya,
selama belum masuk waktu Ashar. Inilah batasan bagi permulaan dan akhir
waktu Dzuhur.62
Dalam hal ini, para ulama sependapat bahwa penentuan awal waktu
Dzuhur, adalah pada saat tergelincirnya matahari. Sementara dalam
menentukan akhir waktu Dzuhur, ada beberapa pendapat yaitu sampai panjang
bayang-bayang sebuah benda sama dengan panjang bendanya (menurut Imam
Syihab yang dianggap muttasil dan dikenal sebagai perawi-perawi yang dapat dipercaya. Lihat
pada Syekh Syihabuddin Abi al Fadhal Ahmad bin Ali bin Hajar Al Asqalani, Tahdzib al Tahdzib,
Beirut: Dar Al Kitab Al Islami, 852 H, hlm. 178-445. Dan juga lihat pada Syekh Islam Abi
Muhammad Abd Rahman bin Abi Hatim Muhammad, Al Jarah wa Tadil, Beirut: Dar Al Kutub,
1373 H, hlm. 247, serta lihat pula Imam Hafiz Syamsuddin Muhammad bin Ahmad adz Dzahbi,
Mizan Al Itidal, Beirut: Dar Al Kutub Al Islamiyah, tt, hlm. 515. 61
Abu Bakar Muhammad, Subulus Salam, Surabaya: Al-Ikhlas, hlm. 306 62
Ibid, hlm. 305
35
Malik, SyafiI, Abu Tsaur dan Daud). Sedangkan pendapat Imam Abu Hanifah
ketika bayang-bayang benda sama dengan dua kali bendanya.63
Secara astronomis, tergelincirnya matahari diwaktu Dzuhur dapat
dikatakan bahwa matahari sedang berkulminasi atas, yaitu ketika matahari
meninggalkan meridian. Secara ilmu pasti ialah pada saat titik pusat matahari
bergerak dari meridian, atau saat bayang-bayang benda condong ke arah Timur
dan sudut yang dihasilkan dengan garis itidal (garis timur-barat) bukan lagi
90. 64
Tinggi kulminasi matahari setiap hari berubah, karena adanya deklinasi.
Untuk mengetahui besarnya tinggi kulminasi, harus diketahui lebih dahulu zm
matahari, yaitu jarak titik pusat matahari saat kulminasi dari zenith yang dapat
diperoleh dengan rumus, = [ ]. Dengan kata lain, jarak zenith titik
pusat matahari saat kulminasi besarnya sama dengan harga mutlak lintang
tempat dikurangi deklinasi. Oleh karena itu, dalam penentuan awal waktu
shalat, maka dapat dirumuskan bahwa jarak zenit (budu as-sumti), =
90 .65 Atau biasanya diambil dua menit setelah tengah hari.66 Dan
beberapa hisab praktis, hanya menghitung waktu tengah antara terbit dan
tenggelam matahari. waktu pertengahan saat matahari berada di meridian
63
Al Faqih Abul Wahid Muhammad Bin Ahmad Bin Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul
Mujatahid Analisa Fiqih Para Mujtahid, di terjemahkan oleh Imam Ghazali dkk, dari Bidayatul
Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid, Jakarta : Pustaka Amani, 2007, hlm. 66 64
Abd. Rachim, Op cit, hlm. 23 65
Ibid, hlm. 14-15 66
Moedji Raharto Tarmi, op cit, yang dikutip dari Mohammad Ilyas, A Modern Guide to
Islamic Calendar, Times & Qibla, 1984, hlm. 55
36
(Meridian Pass) yang dirumuskan dengan = 12 .67 Waktu inilah yang
menjadi patokan hitungan untuk waktu-waktu shalat lainnya.
2. Shalat Ashar
. .
(kemudian Nabi shalat Ashar ketika bayag-bayang suatu benda sama
dengan aslinya)
. .
(kemudian Nabi shalat Ashar ketika bayang-bayang suatu benda dua kali dari
aslinya)
. .
(dan waktu Ashar selama matahari belum menguning)
Meskipun secara garis besar dapat dikatakan bahwa awal waktu Ashar
adalah sejak bayangan sama dengan tinggi benda sebenarnya, tapi hal ini masih
menimbulkan beberapa penafsiran. Dalam hadis riwayat Jabir bin Abdullah r.a
Nabi Saw diajak shalat Ashar oleh malaikat Jibril ketika panjang bayangan
sama dengan tinggi benda sebenarnya dan pada keesokan harinya Nabi diajak
pada saat panjang bayangan dua kali tinggi benda sebenarnya.68
Menurut Imam Malik akhir waktu Dzuhur adalah waktu musyatarok
(waktu untuk dua shalat), Imam Syafii, Abu Tsaur dan Daud berpendapat
akhir waktu Dzuhur adalah masuk waktu Ashar; yaitu ketika panjang bayang-
bayang suatu benda melebihi panjang benda sebenarnya. Sedangkan Abu
67
Muhyiddin Khazin, op cit, hlm. 88 68
Muhammad Jawa Mughniyyah, op cit, hlm. 74
37
Hanifah berpendapat bahwa awal waktu Ashar ketika bayang-bayang sesuatu
sama dengan dua kali bendanya.69
Dan dalam penetapan akhir waktu shalat Ashar juga ada perbedaan
antara hadits Imamatu Jibril dengan hadits Abdillah, yaitu yang pertama dalam
hadits Imamatu Jibril sesungguhnya akhir waktu Ashar itu adalah ketika benda
itu sama dengan dua kali bayang-bayangnya (pendapat Imam Syafii)70
, dalam
hadits Abdillah sebelum menguningnya matahari (pendapat Imam Ahmad bin
Hambal), dan dalam hadist Abu Hurairah akhir waktu Ashar sebelum
terbenamnya matahari kira-kira satu rakaat (pendapat Ahli Dhahir).71
Kedua waktu masuknya waktu Ashar ini dimungkinkan karena
fenomena seperti itu tidak dapat digeneralisasi akibat bergantung pada musim
atau posisi tahunan matahari. Pada musim dingin hal itu bisa dicapai pada
waktu Dzuhur, bahkan mungkin tidak pernah terjadi karena bayangan selalu
lebih panjang dari pada tongkatnya.
Sementara pendapat yang memperhitungkan panjang bayangan pada
waktu Dzuhur atau mengambil dasar tambahannya dua kali panjang tongkat (di
beberapa negara Eropa) dianalisir sebagai solusi yang dimaksudkan untuk
69
Lihat pada Syamsudin Sarakhsi, Kitab Al-Mabsuth Juz 1-2, Beirut Libanon : Darul
Kitab Al-Ilmiyah, hlm 143. Dalam kitab ini disebutkan bahwa,
70
Menurut Imam Syafii dalam kitabnya Al-Umm, waktu Ashar dalam musim panas yaitu ketika bayangan benda sama dengan bendanya atau satu kali bayangan benda sampai ketika
habisnya waktu Dzuhur Awal waktu Ashar adalah bila bayang-bayang tongkat panjangnya sama
dengan panjang bayangan waktu tengah hari ditambah satu kali panjang tongkat sebenarnya. Lihat
pada Imam Abi Abdillah Muhammad Bin Idris Asy-Syafii, Al-Umm, Beirut-Libanon : Dar Al-
Kitab, Juz I, tt, hlm 153. 71
Al Faqih Abul Wahid Muhammad Bin Ahmad Bin Muhammad Ibnu Rusyd, op cit, hlm.
205.
38
mengatasi masalah panjang bayangan pada musim dingin.72
Untuk masyarakat
Indonesia sendiri, digunakan pendapat yang pertama, yait