of 129 /129
FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT YANG IDEAL (Analisis Terhadap Urgensi Ketinggian Tempat Dan Penggunaan Waktu Ihtiyat Untuk Mengatasi Urgensi Ketinggian Tempat Dalam Formulasi Penentuan Awal Waktu Shalat) S K R I P S I Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 (S.1) Dalam Ilmu Syari’ah Oleh : YUYUN HUDHOIFAH NIM : 0 7 2 1 1 1 0 8 3 KONSENTRASI ILMU FALAK JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSIYAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO S E M A R A N G 2011

FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/132/jtptiain-gdl... · Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

Embed Size (px)

Text of FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT...

  • FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT

    YANG IDEAL

    (Analisis Terhadap Urgensi Ketinggian Tempat Dan Penggunaan Waktu Ihtiyat Untuk Mengatasi Urgensi Ketinggian Tempat

    Dalam Formulasi Penentuan Awal Waktu Shalat)

    S K R I P S I

    Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat

    Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 (S.1)

    Dalam Ilmu Syariah

    Oleh :

    YUYUN HUDHOIFAH

    NIM : 0 7 2 1 1 1 0 8 3

    KONSENTRASI ILMU FALAK

    JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSIYAH

    FAKULTAS SYARIAH

    INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO

    S E M A R A N G

    2011

  • ii

    Drs. Sahidin, M.Si

    Jl. Merdeka Utara I/B.9

    Ngaliyan Semarang

    Drs. Slamet Hambali, M.Ag.

    Jl. Candi Permata II / 180 Semarang

    PERSETUJUAN PEMBIMBING

    Lamp. : 4 (empat) eks.

    Hal : Naskah Skripsi

    An. Sdr. Yuyun Hudhoifah

    Assalamualaikum Wr. Wb.

    Setelah saya mengoreksi dan mengadakan perbaikan seperlunya,

    bersama ini saya kirim naskah skripsi Saudara :

    Nama : Yuyun Hudhoifah

    N I M : 072111083

    Judul : Analisis Terhadap Urgensi Ketinggian Tempat dalam

    Formulasi Penentuan Awal Waktu Shalat

    Dengan ini saya mohon kiranya skripsi Saudara tersebut dapat segera

    dimunaqasyahkan.

    Demikian harap menjadi maklum.

    Wassalamualaikum Wr. Wb.

    Semarang, 10 Mei 2011

    Pembimbing I

    Pembimbing II

  • iii

    PENGESAHAN

  • iv

    MOTTO

    t

    Artinya: Maka apabila kamu Telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di

    waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah salat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat

    itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An Nisa: 103)1

    1 Departemen Agama RI, Al-Quran Dan Terjemahnya, Bandung : Jumanatul Ali Art (J-

    Art), 2005, hlm. 176

  • v

    PERSEMBAHAN

    Skripsi ini

    Saya persembahkan untuk :

    Bapak dan Ibu Tercinta

    Ahmad Qamaruddin Madchan (alm) dan Siti Masriah

    Keluarga tersayang,

    Mbak Luk - Mas Ghufron, Mas Iib - Mb Khuzma , Mas Yoyok - Mbak Yani,

    Mas Aank, Mbak Nunus

    Keluarga Semarang,

    Nyak, Mpok, Abang (were still together still going strong)

    Mb Q3, Ayuk, Ciput

    Kenyong

    Keluarga Besar Darut Taqwa,

    Dan dipersembahkan juga untuk,

    Kaum Muslimin dimana pun berada di berbagai belahan dunia

  • vi

    DEKLARASI

    Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab penulis

    menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah

    pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga

    skripsi ini tidak berisi satu pun pikiran-pikiran orang lain

    kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan

    bahan rujukan dalam penelitian ini.

    Semarang, 10 Mei 2011

    Deklarator

    Yuyun Hudhoifah NIM: 072111083

  • vii

    ABSTRAK

    Dari beberapa point yang mempengaruhi waktu shalat daerah satu dengan

    daerah lain, yang jarang diperhatikan adalah ketinggian tempat suatu daerah.

    Jadwal awal waktu shalat dalam software Athan, di dalamnya tidak menggunakan

    ketinggian tempat. Sementara program Prayer Times dan Shollu memberikan

    ruang untuk menginput data ketinggian tempat. Sedangkan jadwal awal waktu

    shalat dalam kalender Ponpes Lirboyo, menggunakan data rata-rata ketinggian

    tempat 100m dengan formulasi 0.0293 h. Slamet Hambali menggunakan

    formulasi0 1.76 h, Muhyiddin Khazin cukup dengan ketentuan posisi tinggi

    matahari sebagai berikut: ho mahgrib: -1, ho Isya : -18, ho Subuh: -20 dan ho terbit: -1, dan Abdur Rachim menyatakan formulasi 3,2 h. Textbook on Sperical

    Astronomy menggunakan rumus 0.98h, sementara dalam buku Almanak Hisab

    Rukyah Departemen Agama dan Rinto Anugraha menggunakan formulasi 1.93h. Dari perbedaan-perbedaan tersebut, membuat penulis tertarik untuk mengkaji

    urgensi ketinggian tempat dalam waktu shalat karena shalat merupakan ibadah

    wajib yang waktunya telah ditentukan sehingga tidak dapat dilakukan sembarang

    waktu.. Dari beberapa perbedaan formulasi tersebut juga, penulis ingin menelusuri

    formulasi dan penyajian jadwal waktu shalat yang ideal beserta toleransi waktu

    seperti penggunaan waktu ihtiyat yang diberikan apakah telah dapat mengatasi

    perbedaan waktu akibat pengaruh ketinggian tempat suatu wilayah.

    Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan metode

    pengumpulan datanya bersifat Library research (penelitian kepustakaan) dan

    wawancara pihak terkait. Sebagai sumber data primernya yaitu seluruh data yang

    diperoleh langsung dari buku-buku dan software-software karya para hali falak

    dan wawancara langsung dengan ahli falak, yaitu Reza Zakariya dan Yazid

    (Lirboyo), Slamet Hambali, serta Rinto Anugraha. Sedangkan data sekundernya

    adalah seluruh dokumen berupa buku, tulisan, makalah-makalah yang berkaitan

    dengan obyek penelitian. Data-data tersebut dinalisis dengan menggunakan

    analisis kritis, dengan menggunakan metode induktif komparatif.

    Dari hasil penelitian diketahui bahwa ketinggian tempat dinilai sangat

    urgensi dalam formulasi penentuan awal waktu shalat demi tingkat keakurasian

    waktu shalat. Sedangkan formulasi waktu shalat yang paling ideal adalah

    formulasi yang di dalamnya terdapat koreksi kerendahan ufuk dengan penggunaan

    data ketinggian tempat dan rumus ku sebagai berikut: - (ku + ref + sd) dengan

    dip/ku: 1,76 (meter) atau 0.98 (feet). Penggunaan waktu ihtiyat untuk mengatasi pengaruh ketinggian tempat dalam penyajian jadwal waktu shalat yang

    ideal adalah cukup dengan menggunakan toleransi waktu yaitu pengambilan data

    rata-rata tinggi tempat dalam suatu wilayah, penggunaan daerah yang tinggi

    sebagai acuan untuk waktu yang berhubungan dengan terbenam matahari, dan

    menggunakan data daerah yang rendah sebagai acuan untuk waktu yang

    berhubungan dengan terbit matahari, serta penggunaan waktu ikhtiyat 2 menit

    dengan pembulatan detik. Konversi tempat karena perbedaan ketinggian tempat

    bisa diberlakukan secara lokal sekali di wilayah puncak bukit dengan ufuk yang

    lebih rendah dari kondisi normal dengan nilai ekstrim.

    Key word: waktu shalat, ketinggian tempat, kerendahan ufuk

  • viii

    KATA PENGANTAR

    Segala puji bagi Allah yang telah memberi kesempatan dan segala hal

    untuk memahami sedikit ilmu-Nya agar lebih dapat mengenal-Nya. Hanya dengan

    ijin dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul:

    Pengaruh Ketinggian Tempat dalam Formulasi Penentuan Awal Waktu Shalat

    dengan lancar lewat segala proses yang memberi banyak arti. Shalawat dan salam

    semoga selalu tercurah kepada Nabi agung Muhammad Saw sebagai Rasul Allah

    yang telah memberi penerang atas gelap dan dahaga bagi para pencari-Nya.

    Demikian juga shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada keluarga Nabi,

    para sahabat Nabi saw, para alim ulama, yang warna-warni pemikiran mereka

    menjadi bahan dan bekal referensi bagi para musafir ilmu.

    Sehubungan dengan ini penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam tahap

    pengerjaan hingga penyelesaian skripsi ini penulis tidak sendiri. Banyak pihak

    yang memberi uluran tangan, pemikiran, dukungan, dan doa selama proses

    kegiatan ini sehingga skripsi dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu

    melalui kata pengantar ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-

    dalamnya kepada:

    1. Kementerian Agama Republik Indonesia khususnya Pedepontren yang telah

    memberi kesempatan mendapat Beasiswa Santri berprestrasi.

  • ix

    2. DR. Imam Yahya, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syariah IAIN Walisongo

    Semarang dan Muhyiddin, M.Ag (Dekan sebelumnya).

    3. Dr. H. Moh. Arja Imroni, M.Ag selaku kepala Prodi Konsentrasi Ilmu Falak,

    Drs. H. Eman Sulaeman, MH (kepala Prodi sebelumnya) beserta staf-staf-nya,

    Maksun, M.Ag, H. Ahmad Izzuddin, M.Ag, serta Ahmad Syifaul Anam, SHI.

    MH, Bapak Suwanto, yang telah bersusah payah memberikan arahan dan

    bimbingan sepenuhnya kepada penulis dan teman-teman KIF lainnya selama

    belajar di Semarang.

    4. Drs. Slamet Hambali, M.Si dan Drs. Sahidin, M.Si selaku pembimbing dalam

    penulisan skripsi ini, yang telah mau bersabar meskipun penulis kurang

    disiplin waktu, memberikan arahan, masukan, bimbingan serta memberikan

    acc sehingga dapat menyelesaikan tulisan ini.

    5. Bapak Sabri (Undip), Bapak Reza Zakariya dan Bapak Yazid (Lirboyo) yang

    telah mau memberikan arahan, bimbingan dan data falak; Bapak Rinto

    Anugraha, Bapak Thomas Djamaluddin, Bapak Dr. Ing. Khafid yang mau

    menjawab pertanyaan-pertanyaan penulis via email

    6. Kedua orang tua penulis, ibu dan bapak (alm), yang telah mengajarkan arti

    sebuah nafas kehidupan dan atas perjuangan serta doanya yang tiada terkira.

    7. Keluarga penulis tercinta (Mbak Luk, Mas Ghufron; Mas Ib, Mb Khuzma;

    Mas Yok, Mbak Yani; Mas Ank; Mb Nus) yang selalu memberi cinta kasih

    dan semangat lahiriyah maupun bathiniyah. Juga Lek Mad, Lek Tun, Lek

    Zayik, Om Arip, Bu Tin sekeluarga, Bulek Sum, Tsania Muna, dan unyil-

    unyil.

  • x

    8. Keluarga besar Pondok Pesantren Darut Taqwa Purwodadi Grobogan yang

    telah mengajarkan cara mengenal-Nya dan cara berjalan di jalan-Nya.

    9. Keluarga Besar Pondok Pesantren Daarun Najaah Jerakah Tugu Semarang,

    khususnya kepada KH. Sirojd Chudlori beserta keluarga selaku pengasuh yang

    juga menjadi motivator dan inspirator penulis dan yang telah memberikan

    ilmu-ilmunya serta atas bimbingan dan arahannya.

    10. Keluarga besar Genk STAR (Kenyong (Rabiatul Aslamiyah) tukang jamu, mb

    Q3(Kitri Sulastri) tukang ngibul, Yoyo (Ayuk Khairunnisa)tukang senam,

    Nyak (Anifatul Kiftiyah) tukang ngupil, Mpok (Arrikah Imeldawati) tukang

    ngomel, bang Mannan (M. Mannan Manawi) tukang tidur, bang Ari

    (Mukhsin Ari Wibowo) tukang nari, mz Rifa (M. Rifa Jamaluddin N) tukang

    dzikir, Usro (Sri Hidayati) tukang gazebo tapi telah mau ngalor-ngidul, muter

    seser bareng, Ciput (Wahyu Fitria) tukang nangis, mb Mahyo (Mahya Laila)

    tukang pusing, mb Adah (Musyayadah) tukang mringis, mz Syamsul (M.

    Syamsul Maarif) tukang ruwet, mz Djay (Ahmad Jailani) tukang comment,

    mb Faroh (Siti Mufarrohah) tukang ngaji, Hassan (Hasanuddin) tukang

    nggosip, Ncep (Encep Abdul Rozak) tukang theodolit, om Faqih (Faqih

    Baidhawi) tukang pidato, kakek Remon (Miftahurrahman H) tukang sate, Oki

    siyakul (Oki Yosi) tukang ngilang, Maryani (Maryani AM) tukang dinas, teh

    Entong (Eni Nuraini Maryam) tukang nyanyi, bulek Hasdul (Hasna Tuddar

    Putri) tukang makan, mb Opil (Siti Muslifah) tukang nabrak, mb Ipeh

    (Latifah) tukang qiro, mbah Ansor (Ansorullah) tukang malak, pakde Tahrir

    (Tahrir Fauzi) tukang foto, teh Anis (Annisa Budiwati) tukang ngguyu, mbah

  • xi

    uti (Siti Tatmainul Qulub) tukang lebai) yang telah melalui lebih dari 1000

    hari bersama. Lewat mereka penulis memahami arti warna, perjuangan dan

    asa, serta arti kebersamaan karna adanya perbedaan.

    11. Huda cah purwodadi (angkatan 08), Yadi (angkatan 08), Inayah (angkatan 09),

    Qoink (angkatan 08), Nisa; dan semua pihak yang membantu dalam

    pengumpulan dan pengolahan data yang penulis butuhkan,

    12. Pondok Putri Utara (Banyu Biru), khususnya kamar empat Al Badriyah,

    Kepompong, Aina, Kakang yang selalu ada di saat pertama membuka mata

    dan menutup mata. Juga Nila, Gepeng, Lilik, bang jack sebagai teman melek.

    13. Temen-temen CSS MoRA IAIN Walisongo Semarang

    14. Temen-temen KKN ke-56, khususnya posko 18 Desa Bulu Kecamatan

    Banyuputih Kabupaten Batang.

    15. Semua pihak yang telah membantu dan memberikan dorongan kepada penulis

    selama penulis studi di Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang.

    Tidak ada yang dapat penulis berikan atas arti keberadaan mereka, kecuali

    sepenggal harapan semoga pihak-pihak yang telah penulis kemukakan di atas

    selalu mendapat rahmat dan anugerah dari Allah Swt.

    Demikian skripsi yang penulis susun ini sekalipun masih belum sempurna

    namun harapan penulis semoga akan tetap bermanfaat dan menjadi sumbangan

    yang berharga bagi khazanah kajian ilmu falak.

    Semarang, 10 Mei 2011

    Penulis

    Yuyun Hudhoifah NIM. 072111083

  • xii

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i

    HALAMAN NOTA PEMBIMBING .............................................................. ii

    HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... iii

    HALAMAN MOTTO ..................................................................................... iv

    HALAMAN PERSEMBAHAN ..................................................................... v

    HALAMAN DEKLARASI ............................................................................. vi

    HALAMAN ABSTRAK ................................................................................. vii

    HALAMAN KATA PENGANTAR ............................................................... viii

    HALAMAN DAFTAR ISI ............................................................................. xi

    BAB I PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1

    B. Rumusan Masalah ................................................................. 11

    C. Tujuan Penelitian .................................................................. 12

    D. Manfaat Penelitian ................................................................ 12

    E. Telaah Pustaka ...................................................................... 13

    F. Metode Penulisan ................................................................. 18

    G. Sistematika Penulisan ........................................................... 20

    BAB II FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT

    KONVERGENSI SYARI DAN SAINS SERTA FAKTOR

    YANG MEMPENGARUHINYA

    A. Dasar Hukum Waktu Shalat .................................................. 23

    1. Dalil Waktu Shalat .......................................................... 23

    2. Kajian Tafsir dan Pendapat Ulama ................................. 26

  • xiii

    B. Formulasi Waktu Shalat Perspektif SyarI dan Sains ........... 32

    1. Shalat Dzuhur ................................................................. 33

    2. Shalat Ashar .................................................................... 36

    3. Shalat Maghrib ................................................................ 39

    4. Shalat Isya ...................................................................... 41

    5. Shalat Subuh ................................................................... 43

    C. Formulasi Penentuan Awal Waktu Shalat ............................ 45

    1. Meridian Pass .................................................................. 45

    2. Sudut Waktu Matahari Awal Waktu Shalat .................... 46

    3. Koreksi Waktu Daerah ................................................... 47

    4. Ihtiyat ............................................................................. 48

    D. Faktor yang Mempengaruhi Penentuan Awal Waktu Shalat 50

    1. Faktor yang Mempengaruhi Penentuan Awal Waktu

    Shalat ............................................................................... 50

    2. Faktor yang Mempengaruhi Penentuan Awal Waktu

    Shalat Daerah satu dengan Daerah lain........................... 51

    BAB III PENGGUNAAN DATA KETINGGIAN TEMPAT DALAM

    FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT

    A. Ketinggian Tempat ................................................................ 55

    B. Penggunaan Ketinggian Tempat dalam Formulasi Penentuan

    Awal Waktu Shalat .............................................................. 59

    1. Kitab Klasik .................................................................... 59

    2. KH. Slamet Hambali ....................................................... 60

  • xiv

    3. Lirboyo ........................................................................... 61

    4. Saaduddin Djambek ........................................................ 63

    5. Muhyiddin Khazin .......................................................... 65

    6. Shollu .............................................................................. 65

    7. Athan ............................................................................... 66

    8. Accurate Times ............................................................... 66

    9. Mawaaqit ......................................................................... 67

    C. Formulasi Koreksi Ketinggian Tempat dalam Kerendahan

    Ufuk/Dip .............................................................................. 68

    1. Dip/ ku: 1.76 h (meter) ................................................. 69

    2. Dip/ ku: 0.0293 h (meter) ........................................... 69

    3. Dip/ku: 0,97 h feet atau 1,757h meter ........................ 69

    4. Dip/ ku: 3,2 h ................................................................ 69

    5. Dip/ku: 0,032 ........................................................... 71

    6. Dip/ ku: 1,93 h .............................................................. 72

    7. Dip/ ku: 0,98 h .............................................................. 73

    D. Data Jadwal Waktu Shalat Beberapa Formulasi Penentuan

    Awal Waktu Shalat ............................................................... 75

    BAB IV ANALISIS TERHADAP URGENSI KETINGGIAN TEMPAT

    DALAM FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU

    SHALAT

    A. Analisis Urgensi Ketinggian Tempat dalam Formulasi

    Penentuan Awal Waktu Shalat .............................................. 80

  • xv

    B. Analisis Formulasi Penentuan Awal Waktu Shalat Ideal

    Terkait Formulasi Kerendahan Ufuk yang Berbeda-Beda .... 89

    C. Analisis Toleransi yang Diberikan untuk Memback Up

    Urgensi Ketinggian Tempat dalam Penyajian Jadwal

    Waktu Shalat yang Ideal ....................................................... 97

    BAB V PENUTUP

    A. Kesimpulan .......................................................................... 104

    B. Saran ...................................................................................... 106

    C. Penutup ................................................................................. 107

    DAFTAR PUSTAKA

    LAMPIRAN

    RIWAYAT PENDIDIKAN

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Persoalan shalat merupakan persoalan fundamental dan signifikan dalam

    Islam. Dalam penetapan waktu shalat ditemukan bahwa teks-teks yang dijadikan

    landasan bersifat interpretatif. Sebagai implikasinya muncul perbedaan dalam

    menetapkan awal waktu shalat. Kelompok pertama berpandangan bahwa awal

    waktu shalat ada tiga. Sementara itu, kelompok kedua menyebutkan bahwa awal

    waktu shalat ada lima.1

    Pendapat pertama banyak diterima oleh golongan Syiah. Sedangkan

    mayoritas muslim di Indonesia, lebih memegangi pendapat yang kedua,

    berdasarkan pemahaman terhadap ayat-ayat sebagai berikut:

    Artinya:

    Maka sabarlah kamu atas apa yang mereka katakan, dan bertasbihlah dengan

    memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya dan

    bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari dan pada waktu-waktu di

    siang hari, supaya kamu merasa senang, (QS. Thaha: 130)2

    1 Menurut Muhammad Jawad Muqniyyah, dalam kitab At-Tafsir al-Kasif, 15:74

    sebagaimana yang dikutip oleh Susiknan Azhari, Awal Waktu Salat Perspektif SyarI dan Sains,

    bisa diakses di www.ilmufalak.or.id 2 Departemen Agama Republik Indonesia, Al Quran dan Terjemahannya, Yayasan

    Penyelenggara dan Penterjemah Tafsir Al Quran, Jakarta: Bulan Bintang, 1997, hlm. 492

  • 2

    Artinya:

    Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan

    (dirikanlah pula shalat) Subuh. Sesungguhnya shalat Subuh itu disaksikan

    (oleh malaikat). (QS. Al-Isra: 78)3

    Artinya:

    Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan

    pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-

    perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang

    buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat. (QS. Al Hud: 114)4

    Artinya:

    Maka bertasbihlah kepada Allah diwaktu kamu berada dipetang hari dan

    waktu kamu berada diwaktu Subuh. Dan bagi-Nyalah segala puji di langit dan

    bumi dan diwaktu kamu berada pada petang hari dan diwaktu kamu berada

    diwaktu Dzuhur. (QS. Ar Rum: 17-18)5

    Didukung oleh hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah r.a

    3 Ibid, hlm. 436

    4 Ibid, hlm. 344-345

    5 Ibid, hlm. 643

  • 3

    ( )

    Artinya :

    Dari Jabir bin Abdullah r.a berkata telah datang kepada Nabi SAW. Jibril a.s

    lalu berkata kepadanya bangunlah, lalu bersembahyanglah kemudian Nabi

    salat Dzuhur dikala matahari tergelincir. Kemudian ia datang lagi kepadanya

    di waktu Ashar lalu berkata, bangunlah lalu sembahyanglah, kemudian Nabi

    salat Ashar di kala bayang-bayang sesuatu sama dengannya. Kemudian ia

    datang lagi kepadanya di waktu Maghrib lalu berkata bangunlah , kemudian

    Nabi shalat Maghrib dikala matahari terbenam. Kemudian datang lagi

    kepadanya di waktu Isya lalu berkata : bangunlah dan salatlah kemudian

    Nabi salat Isya dikala mega merah telah terbenam. Kemudian ia datang lagi

    kepadanya di waktu fajar lalu berkata : bangun dan salatlah, kemudian Nabi

    shalat fajar di kala fajar menyingsing, atau ia berkata: di waktu fajar besinar.

    Kemudian ia datang pula esok harinya pada waktu Dzuhur kemudian ia

    berkata padanya bangunlah lalu shalatlah kemudian Nabi salat Dzuhur dikala

    bayang-bayang suatu sama dengannya. Kemudian datang lagi kepadanya di

    waktu Ashar dan ia berkata : bangunlah dan shalatlah kemudian Nabi shalat

    Ashar dikala bayang-bayang matahari dua kali sesuatu itu. Kemudian ia

    datang lagi kepadanya di waktu Maghrib dalam waktu yang sama, tidak

    bergeser dari waktu yang sudah. Kemudian ia datang lagi di waktu Isya di

    kala telah lalu separo malam, atau ia berkata telah hilang sepertiga malam,

    kemudian Nabi shalat Isya. Kemudian ia datang lagi kepadanya di kala telah

    bercahaya benar dan ia berkata bangunlah lalu shalatlah, kemudian Nabi

    shalat fajar, kemudian Jibril berkata saat dua waktu itu adalah waktu shalat.

    (HR. Imam Ahmad, Nasai dan Thirmidzi) 7

    Berdasarkan pemahaman terhadap ayat-ayat Al-quran maupun Hadis

    tersebut, ketentuan waktu-waktu shalat dapat dirincikan sebagai berikut: (1)

    Dzuhur, Waktu Dzuhur dimulai sejak matahari tergelincir, yaitu sesaat setelah

    matahari mencapai titik kulminasi dalam peredaran hariannya, sampai tiba waktu

    6 Muhammad Bin Ali Bin Muhammad Asy-Syaukani , Nailul Authar, Beirut-Libanon :

    Dal al-Kitab, jilid I,, hlm 435 7 Program Hadis Kutubus Sittah, , kitab abwab as-shalat, no 001

  • 4

    Ashar, (2) Ashar, waktu Ashar dimulai saat panjang bayang-bayang suatu benda

    sama dengan bendanya ditambah dengan panjang bayang-bayang saat matahari

    berkulminasi sampai tibanya waktu Maghrib, (3) Maghrib, waktu Maghrib

    dimulai sejak matahari terbenam sampai tiba waktu Isya, (4) Isya, waktu Isya

    dimulai sejak hilang mega merah sampai separuh malam (ada juga yang

    menyatakan akhir salat Isya adalah terbit fajar), dan (5) Subuh, waktu Subuh

    dimulai sejak terbit fajar sampai terbit matahari.

    Secara syari, dalam menunaikan kelima waktu shalat tersebut, kaum

    muslimin terikat pada waktu-waktu yang sudah ditentukan sebagaimana Firman

    Allah dalam surat An Nisa (4): 103, yaitu:

    t

    Artinya:

    Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu

    berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu

    telah merasa aman, Maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa).

    Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas

    orang-orang yang beriman. (QS. An Nisa: 103)8

    Dari ayat ini, Az Zamakhsyariy berkomentar bahwa seseorang tidak boleh

    mengakhirkan waktu dan mendahulukan waktu shalat seenaknya baik dalam

    keadaan aman atau takut.9 Penggunaan lafaz Kaanat menujukkan ke-

    Mudawamah-an (continuitas) suatu perkara, maksudnya ketetapan waktu shalat

    8 Ibid, hlm. 176

    9 Lihat Az Zamakhsyariy, Tafsir Al Khasyaf, Beirut: Daar Al Fikr, 1997, juz I, hlm. 240

  • 5

    tak akan berubah sebagaimana dikatakan oleh Al Husain bin Abu Al Izz Al

    Hamadaniy.10

    Dalam Tafsir Ibnu Katsir11

    dijelaskan bahwa, Firman Allah Taala

    Sesungguhnya shalat itu merupakan kewajiban yang ditentukan waktunya bagi

    kaum mukmin yakni difardhukan dan ditentukan waktunya seperti ibadah haji.

    Maksudnya, jika waktu shalat pertama habis maka shalat yang kedua tidak lagi

    sebagai waktu shalat pertama, namun ia milik waktu shalat berikutnya. Oleh

    karena itu, orang yang kehabisan waktu suatu shalat, kemudian melaksanakannya

    diwaktu lain, maka sesungguhnya dia telah melakukan dosa besar. Pendapat lain

    mengatakan silih berganti jika yang satu tenggelam, maka yang lain muncul

    artinya jika suatu waktu berlalu, maka muncul waktu yang lain.

    Sedangkan dalam Tafsir Manaar 12

    mengungkap, sesungguhnya shalat itu

    telah diatur waktunya oleh Allah SWT. berarti wajib mua'kkad yang telah

    ditetapkan waktunya dilauhil mahfudz. berarti sudah ditentukan batasan-

    batasan waktunya.

    Dari beberapa tafsiran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa konsekuensi

    logis dari ayat tersebut adalah shalat tidak bisa dilakukan dalam sembarang waktu,

    melainkan harus mengikuti atau berdasarkan dalil-dalil baik dari Al-Quran

    maupun Al-Hadis.

    Dari sana dipahami bahwa betapa pentingnya penentuan awal waktu

    shalat. Penentuan awal waktu shalat ini dapat diperoleh dengan menggunakan cara

    10

    Al Husain bin Abu Al Izz Al Hamadaniy, Al gharib fi Irab Al Qurani, Qatar: Daar

    Ats Tsaqafah, juz I, hlm. 788 11

    Muhammad Nasib Ar-Rifai. Tafsir Ibnu Katsir. Gema Insani:Jakarta, jilid 3, hlm. 292. 12

    Rasyid Ridha, Tafsir Manaar, Dar Al Marifah: Beirut, juz 5, hlm. 383

  • 6

    melihat langsung pada tanda-tanda alam sebagaimana secara tekstual dalam hadis-

    hadis Nabi, seperti menggunakan alat bantu rubu13

    , tongkat istiwa atau miqyas

    yang dalam astronomis lebih dikenal dengan sundial14

    . Selain itu, waktu shalat

    dapat diketahui melalui jadwal shalat abadi atau jadwal shalat sepanjang masa,

    serta jadwal-jadwal shalat dari hasil hisab penentuan awal waktu shalat yang ada

    dan berkembang dalam masyarakat sekarang ini. Hisab ini menghitung dan

    memperkirakan kapan matahari akan menempati posisi-posisi seperti tersebut

    dalam nash-nash waktu shalat.

    13

    Rubu berarti seperempat. Dalam istilah astronomi disebut kuadran (quadrant), yaitu

    suatu alat untuk menghitung fungsi goniometris yang sangat berguna untuk memproyeksikan

    peredaran benda langit pada lingkaran vertical. Lihat Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat,

    Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. 1, 2005, hlm. 129. Rubu al-Mujayyab atau Kuadran sinus

    merupakan alat perangkat hitung astronomis untuk memecahkan permasalahan astronomi bola.

    Tokoh-tokoh yang berperan dalam pengembangan rubu ini adalah al-Khwarizmi (770-840) dan

    Ibn-Sathir (abad 11). Rubu al-Mujayyab yang berkembang di Indonesia ialah rubu hasil

    pengembangan dari rubu IbnSathir. (Lihat Hendro Setyanto, Kajian Kitab-Forum Kajian Ilmu

    Falak Zenith, Rubu, Bandung: Pundak Scintific, 2001, hlm. 3) dalam kitab-kitab falak klasik

    biasanya menggunakan metode penentuan awal waktu shalat dengan menggunakan rubu. 14

    Lihat Sundial; History, Theory, & Practice by Rene R.J.Rohr; translated by Gabriel

    Godin, Toronto: University of Toronto Press, 1970. Dalam buku ini, ada beberapa istilah yang

    dapat diartikan sebagai jam matahari atau sundial, yaitu hemisphere dan gnomons. Sundial (jam

    matahari) adalah seperangkat alat yang digunakan sebagai petunjuk waktu semu lokal (local

    apparent time) dengan memanfaatkan matahari yang menghasilkan bayang-bayang sebuah

    gnomon yaitu, batang atau lempengan yang bayang-bayangnya digunakan sebagai petunjuk waktu

    (gnomon merupakan salah satu bentuk dari sundial sederhana, oleh karena itu dianggap sebagai

    nama lain dari sundial), chapter three, Classical Sundials, hlm. 46. Pada dasarnya, sebuah sundial

    terdiri dari satu objek yang membentuk satu bayangan dari sebuah permukaan yang bergaris, yang

    disebut dengan garis jam. Permukaan tersebut dinamakan table jam. (Basically, a sundial consists

    of a surface on wich lines (the so-called hour-lines) have been traced; the surface is called the

    table of the dial). Jika kita meruntut sejarah, menurut data literatur papyrus pada tahun 1450 SM,

    sundial pernah dipakai di Mesir dalam bentuk obelisk yang saat itu digunakan untuk menentukan

    waktu dan menseting kalender. Groping through history with this Ariadnes thread, we learn from

    the papyri that by about 1450 BC gnomons in the form of obelisks were used in Egypt for the

    measurement of time and the setting up of calendar. Sekitar tahun 1000, bangsa Arab telah

    menjadi ahli waris dari gnamon Yunani sebagaimana ilmu klasik lainnya. 15 buku mereka tentang

    gnomonic ditulis dari abad 11-14. By around the year 1000, the Arabs had become the inheritors

    of Greek Gnomonics, as well as of all the ather ancient sciences. Fifteen of their books on

    gnomoniccs written during the period from the elevent to the fourteenth century ave survived,

    Chapter one, History of The Sundial hlm. 5. Kemungkinan pada masa ni, kemudian umat Islam

    memanfaatkan sundial untuk menentukan awal waktu shalat. Dalam bahasa Arab disebut juga as-

    Saah asy-Syamsiah atau mizwala. Lihat juga pada Susikanan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat,

    hlm. 144.

  • 7

    Atas dasar kebutuhan pada masa modern ini, hisab penentuan awal waktu

    shalat melangkah ke arah kemajuan dengan lahirnya software-software penentuan

    waktu shalat yang memudahkan masyarakat dalam mengetahui awal dan akhir

    waktu shalat. Jadwal shalat sekarang ini juga mudah didapatkan dalam kalender-

    kalender yang beredar dalam masyarakat oleh perhitungan hisab para ahli falak.

    Hampir di setiap kalender telah dicantumkan jadwal awal waktu shalat. Jadwal

    awal waktu shalat yang ada dalam kalender-kalender tersebut dapat disesuaikan

    dengan daerah masing-masing. Ada beberapa point yang menyebabkan perbedaan

    awal waktu shalat antara satu daerah dengan daerah lain, yaitu antara lain:

    1. Koordinat lintang tempat tersebut ()15. Daerah yang terletak di sebelah utara

    garis khatulistiwa (ekuator) memiliki lintang positif, dan untuk daerah yang

    terletak di sebelah selatan garis khatulistiwa memiliki lintang negatif.

    2. Koordinat bujur tempat tersebut ()16. Daerah yang terletak di sebelah timur

    Greenwich memiliki bujur positif dan untuk daerah yang terletak di sebelah

    barat Greenwich memiliki bujur negatif.

    3. Zona waktu tempat tersebut (z)17. Daerah yang terletak di sebelah timur

    Greenwich memiliki z positif. Misalnya zona waktu Jakarta adalah UT +7

    15

    Lintang astronomi suatu tempat ialah sudut antara arah gaya berat (vertical) tempat

    tersebut dengan bidang yang tegak lurus sumbu putar bumi. Baca K.J. Vilianueva, Pengantar ke

    dalam Astronomi Geodesi, Bandung: Departemen Geodesi Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan

    Institut Teknologi Bandung, 1978, hlm. 4. 16

    Bujur astronomi suatu tempat adalah sudut antara bidang di meridian tempat dan

    bidang meridian dari Greenwich. Lihat ibid, hlm. 114. Dalam buku tersebut juga disebutkan bahwa

    bujur sama dengan selisih waktu local tempat bersangkutan dengan waktu Greenwich. 17

    Pada dasarnya bumi dibagi dalam 24 wilayah waktu (zona waktu) yang dibatasi oleh

    meridian-meridian dengan selisih bujur 15 derajat (1 jam). Dalam tiap wilayah ini berlaku satu

    macam waktu wilayah dengan meridian tengahnya sebagai referensi. Wilayah 0 meridian

    referensinya adalah meridian Greenwich. Ke timur dari Greenwich tiap wilayah diberi tanda +1,

    +2, dst dan untuk wilayah arah barat diberi tanda -1,-2, dst. Untuk wilayah ke-12 dibagi dua oleh

    date line dan untuk bagian barat diambil z = -12 sedangkan untuk bagian yang timur diambil

  • 8

    (Universal Time) atau seringkali disebut GMT +7 (Greenwich Mean Solar

    Time), maka z = 7. Sedangkan di sebelah barat Greenwich memiliki z negatif.

    Misalnya, Los Angeles memiliki z = -8.

    4. Ketinggian tempat dari permukaan laut (h)18. Ketinggian lokasi dari

    permukaan laut (h) menentukan waktu kapan terbit dan terbenamnya

    matahari. Tempat yang berada tinggi di atas permukaan laut akan lebih awal

    menyaksikan matahari terbit serta lebih akhir melihat matahari terbenam,

    dibandingkan dengan tempat yang lebih rendah. Satuan h adalah meter atau

    feet (kaki).

    Dari keempat point di atas, yang jarang diperhatikan adalah ketinggian

    tempat dari suatu daerah. Dari penelusuran penulis, kebanyakan jadwal waktu

    shalat yang ada dalam kalender-kalender hanya memakai data rata-rata ketinggian

    tempat. Bahkan tidak jarang, jadwal shalat tidak memakai data ketinggian tempat.

    Begitu juga dengan software-software waktu shalat yang berkembang, banyak

    yang menyisihkan data ketinggian tempat.

    Jadwal awal waktu shalat yang tercantum dalam kalender keluaran Ponpes

    Lirboyo, yang dipakai oleh hampir seluruh alumni tersebut, dalam hisab awal

    waktu shalatnya menggunakan data ketinggian tempat 100m.19

    Sedangkan jadwal

    z = +12. Bila seseorang melewati date line maka ia harus menyesuaikan hari kalendernya

    dengan menambah atau mengurangi dengan satuan hari (24j). selisih waktu untuk wilayah yang

    berdampingan adalah satu jam. Untuk keseragaman di suatu negara maka wilayah waktu itu

    disesuaikan dengan batas-batas negara. Lihat Ibid, hlm. 70-71. Untuk Indonesia sendiri dibagi

    dalam 3 zona waktu, yaitu WIB, WITA, WIT. 18

    h dalam astronomi digunakan sebagai simbol untuk tinggi, posisi tinggi matahari

    biasaya menggunakan ho dan posisi tinggi bulan biasanya menggunakan h(. 19

    Dalam penentuan awal waktu shalat, Ponpes Lirboyo menggunakan gabungan

    ephimeris - kitab Tashil Auqat, dengan data ketinggian tempat yang dipakai 100m. (Hasil

    wawancara dengan Bapak Yazid via telepon dan Bapak Reza melalui jaringan sosial Facebook,

    mereka adalah penyusun kalender Ponpes Lirboyo yang selama ini beredar).

  • 9

    awal waktu shalat dalam software Athan20

    , di dalamnya tidak menggunakan data

    ketinggian tempat. Sementara program Prayer Times21

    dan Shollu22

    memberikan

    ruang untuk menginput data ketinggian tempat untuk daerah yang dicari awal

    waktu shalatnya.

    Selain itu, yang lebih menarik dalam hal ini adalah dari beberapa ahli falak

    mempunyai formulasi penentuan awal waktu shalat yang berbeda-beda dalam

    penggunaan data ketinggian tempat terkait dengan kerendahan ufuk suatu tempat,

    yaitu pada waktu Maghrib, Subuh dan Isya.

    Pada umumnya, para ahli falak maupun astronomi menggunakan rumus

    ho= - (ku + ref + sd) dalam mencari tinggi matahari, dengan ketentuan sebagai

    berikut:

    ku (kerendahan ufuk) = 0 1.76 h (ketinggian tempat)

    ref (refraksi tertinggi saat ghurub) = 0 34

    sd (semidiameter matahari rata-rata) = 0 16

    Formulasi ini digunakan oleh para ahli falak pada umumnya dalam menentukan

    awal waktu shalat Maghrib, salah satunya adalah Slamet Hambali.23

    Sedangkan

    20

    Softwere program waktu shalat dalam computer yang secara otomatis akan

    membunyikan suara adzan ketika mulai waktu shalat, yaitu 5 kali dalam sehari. Dapat didownload

    di http://www.islamicfinder.rg/athanContact.php 21

    Bisa di download di www.rukyatulhilal.com 22

    Shollu, copyrights 2004-2008 program waktu shalat versi 3.00, oleh Ebta Setiawan.

    Program ini bertujuan memberi peringatan kepada pengguna komputer bahwa waktu sholat telah

    tiba atau sebentar lagi tiba. Sehingga pengguna bisa bersegera untuk mempersiapkan diri untuk

    menunaikan sholat. Berbeda dengan versi 2.15 ke bawah, mulai shollu menggunakan koordinat

    wilayah ( garis lintang dan garis bujur), ketinggian dan beberapa kriteria lainnya. Pengguna hanya

    perlu setting sekali dan jadwal otomatis akan selalu update. Shollu dilengkapi dengan wilayah-

    wilayah di Indonesia dan kota-kota besar di dunia. Untuk wilayah lainnya bisa download file

    tambahan, bisa dilihat dalam help file. 23

    Slamet Hambali, Hisab Awal Bulan Sistem Ephemeris, materi ini disampaikan dalam

    pelatihan ketrampilan khusus bidang hisab-rukyah oleh Direktorat Pendidikan Diniyah dan

    Pondok Pesantren Ditjen Pendidikan Islam Departemen Agama RI, 2007

  • 10

    dalam penentuan waktu Isya dan Subuh, rumus tersebut dijumlahkan dengan

    masing-masing ho -17 dan ho -19. Namun, ada beberapa ahli falak yang sedikit

    berbeda. Muhyiddin Khazin, dalam buku Ilmu Falak; Teori dan Praktek24

    agaknya mempunyai toleransi terhadap pengaruh ketinggian tempat dengan

    menjelaskan bahwa rumus tersebut terkait kerendahan ufuk hanya dianjurkan

    dalam perhitungan awal bulan. Sedangkan untuk perhitungan awal waktu shalat

    sehari-hari hanya cukup dengan ketentuan sebagai berikut: ho mahgrib: -1, ho

    Isya : -18, ho Subuh: -20 dan ho terbit: -1.

    Sedangkan Uzal Syahruna seperti dalam materinya Perhitungan Awal

    Waktu Shalat, dalam mencari ku lebih memilih menggunakan bentuk decimal dari

    0 1.76 h, yakni ku: 0.0293 h. Berbeda dengan Abdur Rachim, beliau

    mempunyai sedikit perbedaan ketentuan dalam mencari ku. Abdur Rachim

    mempunyai rumus sendiri yaitu dalam bukunya Ilmu Falak,25

    dijelaskan bahwa

    ku mari dapat diketahui dengan rumus 3,2 h. Pada salah satu literatur astronomi,

    Textbook on Sperical Astronomy26

    disebutkan bahwa dalam mencari ku

    menggunakan rumus 0.98h .

    Dari beberapa perbedaan tersebut, dapat dilihat bahwa beraneka macam

    respon ahli falak tehadap ketinggian tempat dalam penentuan waktu shalat. Maka

    dari itu, penulis tertarik untuk mengkaji urgensi data ketinggian tempat dalam

    formulasi penentuan awal waktu shalat. Sebenarnya seberapa pengaruh data

    ketinggian tempat dalam formulasi penentuan awal waktu shalat. Selain itu,

    24

    Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak; dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Buana pustaka, hlm. 56

    25 Abd. Rachim, Ilmu Falak, Yogyakarta: Liberti, 1983, hlm. 33

    26 W.M. Smart, Textbook on Sperical Astronomy, London: Cambridge University Press,

    1950, hlm. 318

  • 11

    penulis juga tertarik untuk mengkaji bagaimana formulasi penentuan awal waktu

    shalat yang ideal untuk digunakan diantara yang dipakai oleh beberapa ahli falak

    tersebut.

    Dan meskipun dalam beberapa jadwal waktu shalat telah menggunakan

    data ketinggian tempat, namun dalam pemetaan wilayah dalam waktu shalat juga

    masih kurang memperhatikan data ketinggian tempat. Jadwal waktu shalat yang

    ada hanya menghitung salah satu titik yang mewakili satu wilayah kabupaten.

    Padahal, dalam satu kabupaten mempunyai dataran yang tingginya berbeda-beda.

    Oleh karena itu, penulis juga tertarik untuk mengkaji bagaimana toleransi waktu

    seperti penggunaan waktu ihtiyat yang diberikan oleh beberapa ahli falak tersebut

    di atas, untuk mengatasi pengaruh ketinggian tempat terkait keurgensiannya

    dalam penyajian jadwal waktu shalat yang ideal.

    B. Rumusan Masalah

    Bertolak dari permasalahan yang telah dipaparkan, dan untuk membatasi

    agar skripsi lebih spesifik dan tidak terlalu melebar, maka dapat dikemukakan

    pokok permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini sebagai berikut:

    1. Bagaimana urgensi ketinggian tempat dalam formulasi penentuan waktu

    shalat?

    2. Bagaimana formulasi penentuan waktu shalat yang ideal terkait formulasi

    kerendahan ufuk yang berbeda-beda?

    3. Bagaimana penggunaan waktu ihtiyat untuk mengatasi pengaruh ketinggian

    tempat dalam penyajian jadwal waktu shalat yang ideal?

  • 12

    C. Tujuan Penelitian

    Adapun tujuan yang hendak di capai dalam penulisan skripsi ini adalah

    sebagai berikut:

    1. Untuk mengetahui urgensi ketinggian tempat dalam formulasi penentuan

    awal waktu shalat, meliputi shalat apa saja yang dalam penentuan awal

    waktunya dipengaruhi oleh ketinggian tempat dan seberapa besar

    pengaruhnya terhadap formulasi penentuan awal waktu shalat.

    2. Untuk mendapatkan formulasi penentuan awal waktu shalat yang paling ideal

    dan akurat yang dapat digunakan oleh masyarakat.

    3. Untuk mengetahui bagaimana toleransi atas urgensi tersebut dalam formulasi

    penentuan awal waktu shalat meliputi tinggi atau rendahnya suatu daerah

    mana yang dijadikan markaz perhitungan awal waktu shalat yang ideal dan

    bagaimana penyajian jadwal awal waktu shalat yang ideal.

    D. Manfaat Penelitian

    Dengan mengetahui seberapa besar urgensi data ketinggian tempat dalam

    formulasi penentuan awal waktu shalat dan seberapa besar toleransi urgensi

    ketinggian tempat dalam formulasi penentuan waktu shalat, maka diharapkan

    dapat merumuskan formulasi penentuan awal waktu shalat yang lebih akurat dan

    ideal untuk digunakan meliputi daerah mana yang dijadikan patokan perhitungan

    awal waktu shalat dan batas-batas penggunaan nama daerah dalam jadwal waktu

    shalat. Oleh karena itu, dapat meminimalisir kesalahan perhitungan penentuan

    awal waktu shalat sehingga lebih memantapkan hati kita dalam beribadah.

  • 13

    Dari sisi akademis kegunaan penelitian di samping berguna bagi

    pengembangan ilmu penulis juga dapat bermanfaat bagi peneliti-peneliti yang

    akan datang. Pentingnya hasil penelitian ini bagi peneliti-peneliti yang akan

    datang terutama terletak pada sisi ketersediaan data awal, karakteristik termasuk

    masalah-masalah yang belum mendapatkan analisis yang fokus.

    E. Telaah Pustaka

    Sejauh penelusuran yang penulis lakukan, belum ditemukan tulisan dan

    penelitian yang secara khusus dan mendetail membahas pengaruh data ketinggian

    shalat dalam formulasi penentuan awal waktu shalat dan toleransinya. Selama ini,

    banyak penelitian mengenai shalat, waktu shalat, namun ditinjau dari berbagai

    segi.

    Penelitian-penelitian yang ada sebagian besar mengenai shalat dan

    impactnya terhadap kehidupan sehari-hari. Sebagaimana skripsi yang ditulis oleh

    Marfungah, Pengaruh Intensitas Shalat 5 Waktu Terhadap Motivasi Beragama

    Anak di Panti Asuhan Yatim Piatu Darul Hadlonah Semarang27

    dan skripsi oleh

    M. Khoirul Abshor yang berjudul Pengaruh Pendidikan Shalat Pada Masa

    Kanak-Kanak dalam Keluarga Terhadap Kedisiplinan Shalat Lima Waktu Siswa

    Kelas VIII Di Mts Negeri Kendal28

    . Kedua penelitian tersebut lebih menekankan

    27

    Marfungah, Pengaruh Intensitas Shalat 5 Waktu Terhadap Motivasi Beragama Anak di Panti Asuhan Yatim Piatu Darul Hadlonah Semarang, Skripsi Fakultas Dakwah IAIN Walisongo

    Semarang, 2005 28

    M. Khoirul Abshor yang berjudul Pengaruh Pendidikan Shalat Pada Masa Kanak-Kanak dalam Keluarga Terhadap Kedisiplinan Shalat Lima Waktu Siswa Kelas VIII Di Mts

    Negeri Kendal, Skripsi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2008

  • 14

    pada aspek sosial yang ditimbulkan dari pelaksanaan shalat 5 waktu dan praktek

    riil pelaksanaan shalat pada waktunya.

    Sedangkan skripsi yang ditulis oleh Mukhamad Hasanudin, Studi Analisis

    Pendapat Hasbi Ash Shiddiqie Tentang Bolehnya Mengerjakan Dua Shalat

    Fardlu Dengan Satu Kali Tayamum29

    merupakan penelitian tentang shalat namun,

    diambil dari segi fiqh dan lebih menekankan pada persoalan tayamum. Hampir

    serupa, penelitian Waktu Salat Wajib dalam Pandangan Syi'ah (Kajian Atas

    Hadis-Hadis Tentang Waktu Salat Dalam Kitab Al-Kafi) oleh Nur Aeni

    meskipun membahas tentang waktu shalat, namun lebih menekankan pada segi

    fiqhnya, yaitu membahas Hadis yang berkaitan dengan waktu shalat yang menjadi

    dasar hukum kaum Syiah dalam menentukan waktu shalatnya.30

    Penelitian tentang waktu shalat dengan penekanan pada bidang falak

    tergolong sedikit, penulis hanya menemukan beberapa saja, yaitu penelitian

    Korelasi Beda Bujur dalam Penemuan Selisih Waktu Shalat Antar Daerah (Studi

    Jadwal Waktu Shalat Yang Beredar Di Jawa Timur) oleh Abd. Salam yang

    mengungkapkan seberapa besar akurasi penentuan waktu-waktu shalat untuk

    kota-kota markaz pada jadwal waktu shalat yang beredar di Jawa Timur, serta

    akurasi konversi waktu shalat dari satu kota ke kota lainnya yang ditinjau dari

    beda bujurnya.31

    Selain itu, penulis hanya menemukan dua karya ilmiah yang

    29

    Mukhamad Hasanudin, Studi Analisis Pendapat Hasbi Ash Shiddiqie Tentang Bolehnya Mengerjakan Dua Shalat Fardlu Dengan Satu Kali Tayamum, Skripsi Fakultas Syariah IAIN

    Walisongo Semarang, 2004 30

    Nur Aeni, Waktu Salat Wajib dalam Pandangan Syi'ah (Kajian Atas Hadis-Hadis Tentang Waktu Salat Dalam Kitab Al-Kafi), Skripsi Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga,

    2009 31

    Abd. Salam, Korelasi Beda Bujur Dalam Penemuan Selisih Waktu Shalat Antar Daerah (Studi Jadwal Waktu Shalat Yang Beredar Di Jawa Timur), Sunan Ampel, 2005

  • 15

    meneliti awal waktu shalat, yaitu skripsi Muhammad Hartaji, yang berjudul

    Analisis Terhadap Perbedaan Lintang Terhadap Awal Waktu Shalat, yang hanya

    menganalisa terhadap perbedaan lintang dalam waktu shalat.32

    Skripsi lain ditulis

    oleh Muntoha yang berjudul Analisis Terhadap Toleransi Pengaruh Perbedaan

    Lintang dan Bujur dalam Kesamaan Penentuan Awal Waktu Shalat, yang

    menjelaskan pengaruh lintang dan bujur tempat dalam penentuan awal waktu

    shalat beserta toleransinya yang menurut skripsi ini yaitu dengan waktu ikhtiyat.33

    Namun, hampir dari setiap buku falak secara umum yang ada, di dalamnya

    terdapat salah satu bab yang menjelaskan penentuan waktu shalat. Begitu pula

    dengan kitab-kitab klasik falak yang ada. Mesipun antara buku falak dan kitab

    falak klasik mempunyai konsep yang berbeda dalam formulasi penentuan awal

    waktu shalat, namun keduanya mempunyai benang merah yang sama.

    Diantara buku-buku falak tersebut ada buku Ilmu Falak Praktis; Metode

    Hisab-Rukyah Praktis dan Solusi Permasalahannya oleh Ahmad Izzuddin,

    M.Ag34

    dan Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik oleh Muhyiddin Khazin35

    .

    Keduanya membahas ilmu falak secara umum, mulai dari arah kiblat, penentuan

    awal waktu shalat, penentuan awal bulan qamariyah, hingga gerhana matahari

    maupun gerhana bulan. Ilmu Falak oleh Abdur Rachim juga menjelaskan sekilas

    32

    Muhammad Hartaji, yang berjudul Analisis Terhadap Perbedaan Lintang Terhadap

    Awal Waktu Shalat, Semarang : FAI Unissula, 2003. 33

    Muntoha, Analisis Terhadap Toleransi Pengaruh Perbedaan Lintang dan Bujur dalam

    Kesamaan Penentuan Awal Waktu Shalat, Skripsi Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang,

    2004 34

    Ahmad Izzuddin, Ilmu Falak Praktis; Metode Hisab-Rukyah Praktis dan Solusi

    Permasalahannya, Semarang: Komala Grafika dengan IAIN Walisongo Semarang, 2006 35

    Muhyiddin Khazin, loc. cit.

  • 16

    tentang awal waktu shalat, namun pembahasan di dalamnya lebih ditekankan pada

    sisi astronominya.

    Selain itu, ada beberapa tulisan mengenai waktu shalat, seperti Rinto

    Anugraha dalam tulisannya Waktu-Waktu Shalat, telah menjelaskan beberapa hal

    terkait dengan waktu shalat lima waktu. Sedangkan tulisannya yang berjudul Cara

    Menghitung Waktu Shalat, menyajikan cara perhitungan waktu shalat dengan

    menggunakan sejumlah rumus matematika.36

    Awal Waktu Salat Perspektif Syari dan Sains oleh Susiknan Azhari

    memadukan dalil-dalil waktu shalat dengan penggambaran dari segi astronomi

    mengenai posisi-posisi matahari dalam waktu shalat.37

    Dalam karya Mukhtar Salimi, Ilmu Falak; Penentapan Awal Waktu Shalat

    dan Arah Kiblat berisikan landasan syari dan landasan astronomi waktu shalat,

    serta praktek pembuatan jadwal waktu shalat. Sedangkan buku Pedoman

    Penentuan Jadwal Waktu Shalat Sepanjang Masa yang diterbitkan oleh

    Departemen Agama RI, berisikan cara menghitung awal waktu shalat dengan

    dilampiri tabel-tabel jadwal awal waktu shalat sepanjang masa di beerapa wilayah

    di Indonesia.38

    Almanak Hisab Rukyat39

    memaparkan tentang perjalanan semu matahari

    yang relatif tetap maka dengan mudah memperhitungkan terbit, tergelincir dan

    terbenamnya matahari, demikian pula kapan matahari itu akan membuat bayang-

    36

    http://www.eramuslim.com/, yang diakses pada tanggal 22 April 2010 37

    http://www.ilmufalak.or.id/ yang diakses pada tanggal 22 April 2010 38

    Departemen Agama RI, Pedoman Penentuan Jadwal Awal Waktu Shalat Sepanjang

    Masa, Jakarta, 1994 39

    Badan Hisab Rukyat Departemen Agama, Almanak Hisab Rukyah, Jakarta: Proyek

    Pembinaan Badan Peradilan Agama, 1981

    http://www.eramuslim.com/http://www.ilmufalak.or.id/

  • 17

    bayang suatu benda sama panjang dengan bendanya juga dapat diperhitungkan

    untuk tiap hari-hari sepanjang tahun dan tentunya orang akan mudah melakukan

    shalat hanya dengan melihat jadwal atau mendengar azan berdAsharkan

    perhitungan ahli hisab. Jadi jelas bahwa Almanak Hisab Rukyat ini hanya sekedar

    menggambarkan perjalanan matahari yang mana perjalanan matahari tersebut

    mempengaruhi masuknya awal waktu shalat.

    Almanak Djamilijah40

    oleh Saaduddin Djambek, pada bagian kedua buku

    ini memuat jadwal-jadwal lima waktu shalat dalam masa satu tahun, tetapi hanya

    pada tanggal 1, 5, 9, 13, 17, 21, 25, dan 29 pada tiap-tiap masehi. Dan dalam buku

    ini dilengkapi daftar koreksi, agar jadwal tersebut dapat digunakan di berbagai

    daerah.

    Kitab Ilmu Falak dan Hisab41

    oleh KRM. Wardan, memuat teori

    berdasarkan ilmu yang berhubungan dengan tata surya, dan bola langit serta

    istilah-istilah lingkaran untuk menentukan posisi benda langit. Dan juga memuat

    praktik hisab untuk menentukan awal waktu shalat, arah kiblat, dan penggunaan

    rubu.

    Untuk kitabnya, ada kitab Khulashotul Wafiyah oleh KH. Zubair Umar Al

    Jailani, Sulamun Nayyirain, dan kitab-kitab lainnya. Thibyanul Miqat yang di

    dalamnya terdapat metode penentuan awal waktu shalat dengan menggunakan

    rubu.

    Untuk mengetahui istilah-istilah yang menggunakan bahasa asing yang

    terkait dengan persoalan hisab rukyah, maka penulis menelusurinya dalam Kamus

    40

    Saaduddin Djambek, Almanak Djamilijah, Jakarta: Tintamas, 1953 41

    KRM. Wardan, Kitab Ilmu Falak dan Hisab, Yogyakarta: cet I, 1957

  • 18

    Ilmu Falak karya Muhyiddin Khazin42

    , serta karya Susiknan Azhari yang berjudul

    Ensiklipedi Hisab Rukyah43

    .

    Selain karya-karya tersebut, penulis juga menelaah kumpulan materi

    pelatihan waktu shalat baik yang penulis ikuti sendiri maupun dari sumber-sumber

    yang terkait. Dari telaah pustaka tersebut, menurut penulis belum ada tulisan yang

    membahas secara spesifik tentang pengaruh data ketinggian tempat dalam

    formulasi penentuan awal waktu shalat.

    F. Metode Penelitian

    Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma

    kualitatif,44

    1. Sumber data

    Karena penelitian ini merupakan studi analisis terhadap urgensi

    ketinggian tempat yang penulis telusuri lewat pemikiran para ahli falak dan

    pendapat-pendapatnya, maka data-data yang dipergunakan lebih merupakan

    data pustaka. Ada dua macam data yang dipergunakan, yakni data primer dan

    data sekunder.

    a. Data primer yang dimaksud merupakan data yang diperoleh langsung

    dari subjek penelitian. Data ini berupa dokumentasi yaitu berbentuk

    42

    Muhyiddin Khazin, Kamus Ilmu Falak, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2005. 43

    Susiknan Azhari, Ensiklipedi Hisab Rukyah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. 44 Adalah penelitian yang bersifat atau memiliki karakteristik, bahwa datanya dinyatakan

    dalam keadaan sewajarnya, atau sebagaimana aslinya (natural setting), dengan tidak dirubah dalam

    bentuk simbol-simbol atau bilangan. Penelitian kualitatif ini tidak bekerja menggunakan data

    dalam bentuk atau diolah dengan rumusan dan tidak ditafsirkan / diinterpretasikan sesuai

    ketentuan statistik/matematik. Hadawi dan Mimi Martin, Penelitian Terapan, Yogyakarta:

    Gajahmada University Press, 1996, hlm. 174.

  • 19

    artikel, makalah seminar, atau buku karya para ahli falak, maupun

    wawancara dari beberapa ahli falak yang penulis angkat pemikirannya

    mengenai pengaruh ketinggian tempat dalam formulsai penentuan awal

    waktu shalat.

    b. Data Sekunder adalah data yang tidak langsung diperoleh oleh peneliti

    dari subjek penelitiannya atau bukan data yang datang langsung dari para

    ahli falak yang diangkat pemikirannya atau data-data yang terkait dengan

    penelitian ini, baik yang berbentuk artikel, makalah seminar, buku

    maupun wawancara.

    2. Metode pengumpulan data

    Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

    a. Library Research (studi kepustakaan) yakni melakukan penelusuran

    untuk memperoleh data-data yang ada relevansinya dengan

    permasalahan. Seperti dokumen ataupun hasil penelitian mengenai awal

    waktu shalat, yaitu buku-buku awal waktu shalat maupun buku-buku

    falak secara umum, buku-buku astronomi dan juga buku-buku geodesi,

    serta karya-karya tulis terkait mengenai masalah penelitian dalam bentuk

    lainnya.

    b. Wawancara dengan para pihak yang berkaitan atau yang menguasai

    materi objek penelitian waktu shalat maupun ketinggian tempat, yaitu

    dengan ahli falak, yaitu Reza Zakariya dan Yazid (Lirboyo) terkait

    dengan kalender Lirboyo, Slamet Hambali terkait dengan kalender untuk

    daerah Semarang, Rinto Anugraha terkait dengan formulasi kerendahan

  • 20

    ufuk, Dr. Ing. Khafid terkait dengan ketinggian tempat serta beberapa

    pihak yang berkaitan dengan data ketinggian tempat.

    3. Metode Analisis Data

    Dengan sifat penelitian deskriptif analisis kritis. Deskripsi (analisis

    dokumen/analisis isi/content analisis) diperlukan untuk menjelaskan

    kebenaran dan kesalahan dari suatu analisis yang dikembangkan secara

    berimbang dengan melihat kelebihan dan kekurangan obyek yang diteliti.

    Dalam konteks penelitian ini, penulis akan berusaha mendeskripsikan

    beberapa pemikiran tokoh falak, diantaranya Slamet Hambali, Abdur Rachim,

    M. Uzal Syahruna, dan Muhyiddin Khazin. Sehingga dengan menggunakan

    metode induktif komparatif akan mendapatkan akurasi dalam analisisnya.

    Metode induktif ini digunakan dalam rangka membuat konklusi yang dimuat

    dari hal-hal yang bersifat khusus menuju pembahasan yang bersifat umum.

    Metode komparatif penulis gunakan untuk mengkomparasikan

    pendapat antara ahli falak satu dengan yang lain yang berhubungan dengan

    skripsi ini.

  • 21

    G. Sistematika Penelitian

    Bab I : Pendahuluan

    Bab ini meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah,

    tujuan dan manfaat penelitian, telaah pustaka, metode penelitian, dan

    sistematika penulisan

    Bab II : Formulasi Penentuan Awal Waktu Shalat Konvergensi Syari dan

    Sains serta Faktor yang Mempengaruhinya

    Bab ini meliputi landasan teori yang memuat dasar hukum

    waktu shalat yaitu dalil-dalil waktu shalat, penafsiran dan pendapat para

    ulama tentang waktu shalat serta pembacaan awal waktu shalat secara

    astronomi yang kemudian dituangkan dalam formulasi rumus-rumus

    waktu shalat yang selama ini dipakai dalam perhitungan awal waktu

    shalat. Serta memaparkan faktor-faktor yang mempengaruhi penentuan

    awal waktu shalat, salah satunya ketinggian tempat.

    Bab III : Penggunaan Data Ketinggian Tempat dalam Formulasi Penentuan

    Awal Waktu Shalat

    Bab ini meliputi sekilas tentang ketinggian tempat, pendapat

    beberapa ahli falak mengenai penggunaan ketinggian tempat dalam

    formulasi penentuan awal waktu shalat. Disini penulis mencoba

    menelusurinya dengan melihat beberapa formulasi penentuan awal

    waktu shalat yang dipakai oleh beberapa ahli falak baik yang metode

    klasik maupun metode yang dipakai masyarakat sekarang ini. Pada bab

    ini juga akan dipaparkan jadwal awal waktu shalat sebagai hasil

  • 22

    perhitungan beberapa ahli falak berdasarkan penggunaan data

    ketinggian tempat dalam formulasi penentuan awal waktu shalat

    tersebut.

    Bab IV : Analisis Terhadap Urgensi Ketinggian Tempat Dalam Formulasi

    Penentuan Awal Waktu Shalat

    Analisis urgensi ketinggian tempat dalam formulasi penentuan waktu

    shalat.

    Analisis formulasi penentuan awal waktu shalat yang ideal terkait

    formulasi kerendahan ufuk yang berbeda-beda

    Analisis penggunaan waktu ihtiyat untuk mengatasi pengaruh

    ketinggian tempat dalam penyajian jadwal waktu shalat yang ideal.

    Bab VI : Penutup

    Bab ini berisi jawaban dan kesimpulan atas rumusan masalah, saran,

    kritik dan kata penutup.

  • 23

    BAB II

    FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT KONVERGENSI

    SYARI DAN SAINS SERTA FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

    A. Dasar Hukum Waktu Shalat

    1. Dalil Waktu Shalat

    a. QS. An Nisa ayat 103

    Artinya:

    Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di

    waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian

    apabila kamu telah merasa aman, Maka dirikanlah shalat itu

    (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang

    ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An Nisa:

    103)37

    b. QS. Thaha ayat 130

    Artinya:

    Maka sabarlah kamu atas apa yang mereka katakan, dan bertasbihlah

    dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan sebelum

    terbenamnya dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari

    dan pada waktu-waktu di siang hari, supaya kamu merasa senang. (QS.

    Thaha: 130)38

    37

    Departemen Agama Republik Indonesia, loc cit, hlm. 138 38

    Ibid, hlm. 492

  • 24

    c. QS. Al Isra ayat 78

    Artinya:

    Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam

    dan (dirikanlah pula shalat) Subuh. Sesungguhnya shalat Subuh itu

    disaksikan (oleh malaikat). (QS. Al-Isra: 78)39

    d. QS. Al Hud ayat 114

    Artinya:

    Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang)

    dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya

    perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-

    perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.

    (QS. Al Hud: 114)40

    e. QS. Ar Rum ayat 17-18

    Artinya:

    Maka bertasbihlah kepada Allah diwaktu kamu berada dipetang hari

    dan waktu kamu berada diwaktu Subuh. Dan bagi-Nyalah segala puji di

    langit dan bumi dan diwaktu kamu berada pada petang hari dan diwaktu

    kamu berada diwaktu Dzuhur. (QS. Ar Rum: 17-18)41

    39

    Ibid, hlm. 436 40

    Ibid, hlm. 344-345 41

    Ibid, hlm. 643

  • 25

    f. Didukung oleh hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah r.a

    ( )

    Artinya :

    Dari Jabir bin Abdullah r.a berkata telah datang kepada Nabi SAW.

    Jibril a.s lalu berkata kepadanya bangunlah, lalu bersembahyanglah

    kemudian Nabi shalat Dzuhur dikala matahari tergelincir. Kemudian ia

    datang lagi kepadanya di waktu Ashar lalu berkata. Bangunlah lalu

    sembahyanglah kemudian Nabi shalat Ashar di kala bayang-bayang

    sesuatu sama dengannya. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu

    Maghrib lalu berkata bangunlah , kemudian Nabi shalat Maghrib dikala

    matahari terbenam. Kemudian datang lagi kepadanya di waktu Isya

    lalu berkata : bangunlah dan shalatlah kemudian Nabi shalat Isya

    dikala mega merah telah terbenam. Kemudian ia datang lagi kepadanya

    di waktu fajar lalu berkata : bangun dan shalatlah, kemudian Nabi shalat

    fajar di kala fajar menyingsing, atau ia berkata: di waktu fajar besinar.

    Kemudian ia datang pula esok harinya pada waktu Dzuhur kemudian ia

    berkata padanya bangunlah lalu shalatlah kemudian Nabi shalat Dzuhur

    dikala bayang-bayang suatu sama dengannya. Kemudian datang lagi

    kepadanya di waktu Ashar dan ia berkata : bangunlah dan shalatlah

    kemudian Nabi shalat Ashar dikala bayang-bayang matahari dua kali

  • 26

    sesuatu itu. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu Maghrib

    dalam waktu yang sama, tidak bergeser dari waktu yang sudah.

    Kemudian ia datang lagi di waktu Isya di kala telah lalu separo malam,

    atau ia berkata telah hilang sepertiga malam, kemudian Nabi shalat

    Isya. Kemudian ia datang lagi kepadanya di kala telah bercahaya benar

    dan ia berkata bangunlah lalu shalatlah, kemudian Nabi shalat fajar,

    kemudian Jibril berkata saat dua waktu itu adalah waktu shalat. (H.R

    Imam Ahmad, Nasai dan Thirmidzi) 42

    g. Hadits Nabi Yang Diriwayatkan Abdullah Bin Amar R.A

    ( )

    Artinya :

    Dari Abdullah bin Amar RA berkata: rsulullah bersabda: waktu Dzuhur

    apabila tergelincir matahari sampai bayang-bayang seseorang sama

    dengan tingginya yaitu selama belum datang waktu Ashar dan waktu

    Ashar selama matahari belum menguning, dan waktu Magrib selama

    syafaq belum terbenam dan waktu Isya sampai pertengahan malam dan

    waktu Subuh mulai fajar menyingsiang sampai matahari belum

    terbit.(HR Muslim).

    2. Kajian Tafsir dan Pendapat Ulama

    a. Surat An-Nisa Ayat 103

    Dalam Tafsir al Misbah,44

    kitaban mauqutan dalam ( )

    surat An Nisa 103 diartikan sebagai shalat merupakan kewajiban yang tidak

    42

    Program Hadis Kutubus Sittah, , kitab abwab as-shalat, no 001 43

    Imam Muslim, Shohih Muslim, Beirut Libanon: Dar al-Kutub Ilmiah, jilid 2, 1994, hlm.

    547 44

    M.Quraisy Syihab, Tafsir Al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, vol. 2, 2005, hlm. 570

  • 27

    berubah, selalu harus dilaksanakan, dan tidak pernah gugur oleh sebab

    apapun. Hal ini dipertegas oleh Tafsir Manaar45

    bahwa sesungguhnya shalat

    itu telah diatur waktunya oleh Allah SWT. berarti wajib mua'kkad yang

    telah ditetapkan waktunya dilauhil mahfudz. disini menunjukkan arti

    sudah ditentukan batasan-batasan waktunya.

    Dilanjutkan dengan keterangan Tafsir Ibnu Katsir,46

    bahwa firman

    Allah Taala Sesungguhnya shalat itu merupakan kewajiban yang

    ditentukan waktunya bagi kaum mukmin yakni difardhukan dan ditentukan

    waktunya seperti ibadah haji (maksudnya, jika waktu shalat pertama habis

    maka shalat yang kedua tidak lagi sebagai waktu shalat pertama, namun ia

    milik waktu shalat berikutnya. Oleh karena itu, orang yang kehabisan waktu

    suatu shalat, kemudian melaksanakannya diwaktu lain, maka sesungguhnya

    dia telah melakukan dosa besar. Pendapat lain mengatakan silih berganti

    jika yang satu tenggelam, maka yang lain muncul artinya jika suatu waktu

    berlalu, maka muncul waktu yang lain.

    Sedangkan, Az Zamakhsyariy mengatakan bahwa seseorang tidak

    boleh mengakhirkan waktu dan mendahulukan waktu shalat seenaknya baik

    dalam keadaan aman atau takut.47

    Penggunaan lafaz Kaanat menujukkan

    ke-Mudawamah-an (continuitas) suatu perkara, maksudnya ketetapan waktu

    45

    Rasyid Ridho, Tafsir Manaar, Dar Al Marifah: Beirut, hlm. 383 46

    Muhammad nasib Ar-Rifai, Tafsir Ibnu Katsir, jilid 3. Gema Insani:Jakarta, hlm.292. 47

    Lihat Az Zamakhsyariy, Tafsir Al Khasyaf, Beirut: Daar Al Fikr, 1997, juz I, hlm. 240

  • 28

    shalat tak akan berubah sebagaimana dikatakan oleh Al Husain bin Abu Al

    Izz Al Hamadaniy.48

    Maka konsekuensi logis dari ayat ini adalah shalat tidak bisa

    dilakukan dalam sembarang waktu, tetapi harus mengikuti atau berdasarkan

    dalil-dalil baik dari Al-Quran maupun Al-Hadis.

    b. Surat Thoha Ayat 130

    Quraisy Shihab dalam tafsirnya menyatakan bahwa Qabla Thului

    asy-Syamsyi sebelum matahari terbit mengisyaratkan shalat Subuh. Wa

    Qabla Ghurub dan sebelum terbenamnya adalah shalat Ashar.49

    Firman

    Allah wa min anaail al-lail pada waktu-waktu malam menunjukkan shalat

    Maghrib dan Isya, namun sebagian ulama menfsirkannya sebagai shalat

    tahajud pada saat malam.50

    Sedang wa min athrafa an-nahar pada

    penghujung-penghujung siang adalah shalat Dzuhur.

    c. Surat Al-Isra Ayat 78

    Dalam Tafsir Al Ahkam51

    dijelaskan bahwa semua mufasir telah

    sepakat bahwa ayat ini menerangkan shalat yang lima dalam menafsirkan

    kata dengan dua pendapat, yaitu:

    48

    Al Husain bin Abu Al Izz Al Hamadaniy, Al gharib fi Irab Al Qurani, Qatar: Daar

    Ats Tsaqafah, juz I, hlm. 788 49

    M. Quraish Shihab, op cit, vol. 8, hlm. 399-400 50

    Muhammad Nasib Ar Rifai, op cit, jilid 3, hlm. 1987. Surat Thaha ayat 130 ini

    dilatarbelakangi ketika Nabi Saw sedang duduk-duduk bersama para sahabat, beliau mengadahkan

    wajah ke langit melihat cahaya bulan, lalu berkata: Kalian melihat Tuhan seperti aku melihat

    bulan ini, jika kalian sanggup mengerjakan shalat sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam

    maka lakukanlah. Lalu beliau membaca, Wa sabbih bi hamdi Rabbika qabla thului asy syamsi

    wa qabla ghurubiha. Selengkapnya baca Al Wahidy, Asbabun Nuzul, Beirut: Dar Al Kutub Al

    Arabiyah, tt, hlm. 221 51

    Syekh H. Abdul Halim Hasan Binjai. Tafsir Al-Ahkam, Kencana: Jakarta, 2006, cet I,

    hlm. 512

  • 29

    1. Tergelincir atau condongnya matahari dari tengah langit. Demikian

    diterangkan Umar bin Khatab dan putranya.

    2. Terbenam matahari. Demikian diterangkan Ali bin Masud, Ubay bin

    Kaab, Abu Ubaid, dan yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Abbas.

    Ini dikuatkan lagi dengan redaksi ayat di atas yang meninggalkan

    perintah melaksanakan shalat sampai yakni kegelapan malam.

    Demikian tentang al-Biqai ulama syiah kenamaan, Thobathai berpendapat,

    bahwa kalimat mengandung empat kewajiban

    shalat, yakni ketiga yang disebut Al-Biqai dan shalat isya yang ditunjuk

    oleh ghasaki lail. Kata pada mulanya berarti penuh. Malam

    dinamai karena angkasa dipenuhi oleh kegelapannya.52

    Sedangkan kata diartikan sebagai shalat Subuh.

    Demikian disepakati juga oleh Auzair dan Abu Hanifah, Malik dan Syafii,

    Ibnu Umar, Ibnu Masud, Al Hasan, Adh Dhahak dll.

    Atas dasar ini, maka saat shalat yang disebutkan dalam ayat di atas

    termasuk dalam shalat lima waktu. Adapun firman Allah mulai tergelincir

    matahari hingga gelap malam, mencakup shalat Dzuhur, Ashar, Maghrib

    dan isya.53

    d. Surat Hud Ayat 114

    Ayat ini mengajarkan dan laksanakanlah shalat dengan teratur dan

    benar sesuai dengan ketentuan rukun, syarat dan sunnah. Pada kedua tepi

    52

    M. Quraish Shihab, op cit, vol: 7, hlm. 523 53

    Muhammad Nasib Ar Rifai, op cit, .hlm. 85

  • 30

    siang, yakni pagi dan petang, atau Subuh, zhuhur, dan Ashar dan pada

    bagian permulaan dari malam yaitu Maghrib dan Isya dan juga bisa witir

    atau tahajud.54

    Pada siang awal dan akhirnya, serta pada beberapa jam siang yang

    masuk ke dalam pembatasan waktu ini melengkapi semua waktu shalat,

    yaitu:

    Petang : waktu antara Dzuhur dan Maghrib, yaitu shalat Ashar,

    shalat Maghrib adalah Isya yang pertama, dan atamah adalah Isya

    yang kedua yaitu ketika mega merah telah menghilang.

    Yang dimaksud dengan matahari tergelincir adalah mulai

    tergelincirnya matahari sampai ke permukaan malam masuk ke

    dalamnya, selain Shalat dzuhur adalah shalat Ashar, Maghrib, dan

    Isya.55

    e. Surat Ar Rum ayat 17-18

    Adh-Dhahak dan Said bin Jubair berkata, yang dimaksud dengan

    tasbih dalam ayat ini adalah shalat 5 waktu.56

    hiina tumsuuna berarti

    waktu shalat Ashar; hiina tushbihuun adalah shalat Subuh; wa asyiyaa

    54

    M. Quraish Shihab, op cit, vol. 6, hlm. 355-356. Dalam suatu riwayat dari Ibnu

    Masud r.a. dikemukakan bahwa seorang laki-laki setelah mencium seorang wanita secara tidak

    sah lalu datang menghadap Rasul dan menberitahukan peristiwa tersebut kapada Rasul. Maka

    wahyu Allah pun turun, (Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang)

    dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik

    itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang

    yang ingat). Laki-laki itu bertanya, Apakah perintah itu khusus untukku? Nabi Saw

    menjawab,Perintah itu untuk semua umatku (yang menghadapi masalah serupa). Lihat

    selengkapnya pada Hadis riwayat Bukhari no 327, dalam Irsadul al Sara Asy Syarah Shahih Al

    Bukhari, Beirut: Dar Al Fikr, tt, juz 1, hlm. 477 55

    Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir al Quranul Majid An-Nur.

    Semarang: Pustaka Rizki Putera, juz 12, 2000, hlm. 184-186 56

    Muhammad nasib Ar-Rifai, op cit, hlm. 759

  • 31

    diartikan sebagai bahagian malam, yaitu shalat waktu Maghrib dan Isya;

    hiina tudzhiruun diartikan sebagai shalat Dzuhur. 57

    Dari beberapa penafsiran ayat-ayat tentang awal waktu shalat tersebut,

    maka para ulama sepakat bahwa waktu shalat terdiri dari 5 waktu shalat, yaitu

    Dzuhur, Ashar, Maghrib, Isya dan Subuh. Meskipun sepakat bahwa waktu

    shalat terdiri dari 5 waktu shalat, namun sistem waktu shalat Syiah agak

    berbeda, yaitu Syiah dikenal dengan sistem tiga waktunya walaupun jumlah

    shalat yang dikerjakan sama pada umumnya yaitu lima shalat.58

    Argumentasi yang dikemukakan oleh Syiah Itsna Asyariyah berkaitan

    dengan waktu-waktu tersebut adalah ayat-ayat Al-Quran yang

    mengemukakan tentang waktu shalat yang hanya menyebut tiga waktu. Yang

    dimaksud dengan atau kedua tepi siang pada ayat tersebut adalah

    shalat Shubuh untuk tepi siang yang pertama. Sedangkan untuk tepi yang

    kedua adalah shalat Dzuhur dan Ashar. Sedangkan yang dimaksud dengan

    adalah shalat Maghrib dan Isya serta ayat-ayat lain yang dalam

    penafsirannya hampir serupa, yakni penggabungan 2 shalat dalam satu waktu.

    Jadi, berdasarkan penafsiran tersebut mereka memperbolehkan shalat dalam

    tiga waktu.59

    57

    Abdul Malik Abdul Karim Amrullah, Tafsir Al Azhar, Singapura: Pustaka Nasional

    PTE LTD, jilid 7, hlm. 5496 58

    Lihat pada Muhammad Jawad Maghniyah, Fiqh al-Imam Jafar ash-Shadiq, Juz 1,

    Qum: Muassasah Anshariyan li ath-Thibaah wa an-Nasr, Cet. VII, 2007, hal. 142-145. 59

    Dalam pandangan Syiah, setiap waktu shalat mempunyai dua waktu sebagaimana yang

    terdapat dalam kitab-kitab rujukan mereka (Ushul al-Kafi, karya Syaikh Abu Ja'far Muhammad

    bin Ya'qub al-Kulaini ar-Razi; Man La Yahduruhu al-Faqih, karya ash-Shadiq Ibnu Babawaih al-

    Qummi; Al-Istibshar dan Tahdzib al-Ahkam karya Syaikh Abu Ja'far Muhammad Ibnu al-Hasan

    ath-Thusy). Dua waktu bagi setiap shalat adalah sebuah sistem waktu shalat yang memberikan dua

    waktu pilihan bagi setiap shalat, yaitu waktu tersendiri dan waktu bersama. Lihat pada M. Quraish

  • 32

    Meskipun demikian, sebagian besar ulama dan umat muslim (di

    Indonesia khususnya) lebih memilih sistem 5 waktu shalat. Dalam hal ini,

    waktu-waktu shalat tersebut yang akan dijelaskan lebih rinci dalam

    keterangan hadis-hadis dengan penjelasan para ulama pada sub bab

    selanjutnya.

    B. Formulasi Waktu Shalat Perspektif Syari dan Sains

    Pada dasarnya, banyak hadis yang memperjelas waktu shalat yang telah

    disebutkan dalam Al-quran, namun penulis di sini hanya memngambil dua hadis

    yang menurut penulis jelas penggambarannya mengenai waktu shalat.

    Sebagaimana hadis riwayat Jabir bin Abdulla r.a. telah memberi gambaran kelima

    waktu shalat secara lebih jelas dengan posisi-posisi matahari yang menjadi

    patokan waktu. Matahari tidak hanya berfungsi menghangatkan biosfer bumi

    dengan cahayanya, namun dengan bayang-bayang benda atau tongkat istiwa

    matahari dapat berperan untuk mengatur ritme kewajiban dzikir manusia kepada

    Tuhannya. Dari kelima waktu shalat menggunakan matahari sebagai patokan

    dalam perhitungannya. Dalam penentuan waktu shalat, posisi matahari dalam

    koordinat horizon sangat diperlukan, terutama ketinggian atau jarak zenith.

    Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkan?, Jakarta: Lentera Hati, 2007, hlm.

    245. Jadi, setiap shalat boleh dikerjakan pada waktu tersendiri boleh juga dikerjakan pada waktu

    bersama. Waktu pilihan tersebut hanya berlaku untuk empat waktu shalat saja (tidak berlaku

    untuk waktu shalat Shubuh atau Fajar) yaitu Dzuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya. Oleh karena itu,

    dalam sistem waktu shalat mereka dikenal tiga waktu, yaitu waktu Dzuhrain untuk shalat Dzuhur

    dan Ashar, waktu Isyaain untuk waktu Maghrib dan Isya serta waktu fajar untuk shalat Shubuh.

    Pendapat tersebut mereka nyatakan dalam sebuah khabar yang berasal dari Imam Jafar ash-

    Shadiq. Lihat pada Abu Jafar Muhammad bin Hasan ath-Thusy, Al-Kutub al-Arbaah al-Ibtishar

    (1-4), Qum: Muassasah Anshariyan li ath-Thibaah wa an-Nasr, Cet. I, 2005, hal. 102.

  • 33

    1. Shalat Dzuhur

    . .

    (kemudian Nabi shalat Dzuhur ketika matahari tergelincir)

    .... .

    (kemudian Nabi shalat Dzuhur dikala bayang-bayang suatu benda

    sama dengan aslinya).

    (waktu Dzuhur apabila tergelincir matahari sampai bayang-bayang

    seseorang sama dengan tingginya yaitu selama belum datang waktu

    Ashar)

    Para ahli fiqh memulai dengan shalat Dzuhur, karena ia merupakan

    shalat pertama yang diperintahkan (difardhukan). Kemudian setelah itu

    difardhukan shalat Ashar, kemudian Maghrib, lalu Isya, kemudian shalat

    Subuh secara tartib. Kelima shalat tersebut diwajibkannya di Makkah pada

    malam isra setelah 9 tahun dari di utusnya Rasulullah. Hal demikian

    berdasarkan firman Allah surat Al-Isra ayat 78.60

    60

    Muhammad Jawa Mughniyyah, Fiqih Lima Madzhab, Diterjemahkan oleh Masykur

    dkk dari Al-Fiqh ala Al-Madzahib Al-Khamsah, Jakarta : Lentera, cet VI, 2007, hlm 74. Peristiwa

    isra miraj disebutkan dalam surat Al-Isra ayat 1 dan terdapat penjelasan mengenai bertemunya

    Rasulullah dengan Jibril dalam bentuk aslinya dan kebesaran-kebesaran Allah yang disebutkan

    dalam surat An-Najm ayat 5-18. Sedangkan turunnya perintah shalat 5 waktu didapatkan dari

    Hadis riwayat Bukhari yang diriwayatkan dari Anas bin Malik. Dari hadis tersebut dikabarkan

    bahwa Rssul saat miraj bertemu dengan dengan para nabi terdahulu dan turun perintah shalat 50

    waktu dalam sehari-semalam. Dalam perjalanan kembali, Rasul bertemu dengan Nabi Musa yang

    selanjutnya memberi nasehat untuk meminta keringanan atas perintah shalat yang diterima Rasul,

    karena umat Rasul dinilai tidak akan sanggup mengerjakannya sebagaimana Nabi Musa

    mencobakannya pada umat dari Bani Israil terdahulu. Oleh karena itu diceritakan bahwa Rasul

    meminta keringanan beberapa kali kepada Allah sehingga perintah shalat menjadi 5 waktu dalam

    sehari-semalam. Sebenarnya Nabi Musa masih menyarankan agar Rasul meminta keringan lagi,

    namun Rasul menolak dan berkata,Aku telah meminta terlalu banyak dari Tuhanku dan itu

    membuatku malu. Tapi aku rasa sekarang aku gembira dan berserah diri kepada perintah Allah.

    Dan ketika Rasul pergi, beliau mendengar suara berkata Aku telah memberikan perintahKu dan

    telah mengurangi beban para hambaKu. Selengkapnya lihat pada Hadis riwayat Bukhari no. 349

    dalam Al Jami Shahih Al Bukhari, Beirut: Dar Al Fikr, tt, hlm. 382. Hadis ini dinalai shahih

    dengan sanad Yahya bin Abu Bukair, Lais bin Sudan, Yunus, dan Muslim bin Abdullah bin

  • 34

    Pada hadis pertama yang diriwayatkan oleh Jabir, disebutkan bahwa

    Jibril datang menyuruh Nabi shalat dzuhur pada hari pertama setelah tergelincir

    matahari, dan datang lagi diwaktu Ashar saat bayangan benda sama dengan

    benda tersebut. Pada hari kedua, Jibril datang menyuruh shalat Dzuhur pada

    waktu bayangan benda sama dengan benda itu sendiri, tepat pada waktu

    melakukan shalat Ashar pada hari pertama.61

    Sedangkan pada hadis kedua dijelaskan bahwa waktu Dzuhur ialah bila

    matahari sudah tergelincir; atau oleh ulama lain diartikan condong ke Barat;

    hingga bayang-bayang seseorang sama dengan tingginya atau saat bayang-

    bayang suatu benda sama panjangnya dengan benda tersebut. Kata ka-na

    diathafkan terhadap kata za-lat, yang maksudnya waktu Dzuhur itu tetap

    berlangsung hingga terjadi bayangan orang sama dengan tinggi badannya,

    selama belum masuk waktu Ashar. Inilah batasan bagi permulaan dan akhir

    waktu Dzuhur.62

    Dalam hal ini, para ulama sependapat bahwa penentuan awal waktu

    Dzuhur, adalah pada saat tergelincirnya matahari. Sementara dalam

    menentukan akhir waktu Dzuhur, ada beberapa pendapat yaitu sampai panjang

    bayang-bayang sebuah benda sama dengan panjang bendanya (menurut Imam

    Syihab yang dianggap muttasil dan dikenal sebagai perawi-perawi yang dapat dipercaya. Lihat

    pada Syekh Syihabuddin Abi al Fadhal Ahmad bin Ali bin Hajar Al Asqalani, Tahdzib al Tahdzib,

    Beirut: Dar Al Kitab Al Islami, 852 H, hlm. 178-445. Dan juga lihat pada Syekh Islam Abi

    Muhammad Abd Rahman bin Abi Hatim Muhammad, Al Jarah wa Tadil, Beirut: Dar Al Kutub,

    1373 H, hlm. 247, serta lihat pula Imam Hafiz Syamsuddin Muhammad bin Ahmad adz Dzahbi,

    Mizan Al Itidal, Beirut: Dar Al Kutub Al Islamiyah, tt, hlm. 515. 61

    Abu Bakar Muhammad, Subulus Salam, Surabaya: Al-Ikhlas, hlm. 306 62

    Ibid, hlm. 305

  • 35

    Malik, SyafiI, Abu Tsaur dan Daud). Sedangkan pendapat Imam Abu Hanifah

    ketika bayang-bayang benda sama dengan dua kali bendanya.63

    Secara astronomis, tergelincirnya matahari diwaktu Dzuhur dapat

    dikatakan bahwa matahari sedang berkulminasi atas, yaitu ketika matahari

    meninggalkan meridian. Secara ilmu pasti ialah pada saat titik pusat matahari

    bergerak dari meridian, atau saat bayang-bayang benda condong ke arah Timur

    dan sudut yang dihasilkan dengan garis itidal (garis timur-barat) bukan lagi

    90. 64

    Tinggi kulminasi matahari setiap hari berubah, karena adanya deklinasi.

    Untuk mengetahui besarnya tinggi kulminasi, harus diketahui lebih dahulu zm

    matahari, yaitu jarak titik pusat matahari saat kulminasi dari zenith yang dapat

    diperoleh dengan rumus, = [ ]. Dengan kata lain, jarak zenith titik

    pusat matahari saat kulminasi besarnya sama dengan harga mutlak lintang

    tempat dikurangi deklinasi. Oleh karena itu, dalam penentuan awal waktu

    shalat, maka dapat dirumuskan bahwa jarak zenit (budu as-sumti), =

    90 .65 Atau biasanya diambil dua menit setelah tengah hari.66 Dan

    beberapa hisab praktis, hanya menghitung waktu tengah antara terbit dan

    tenggelam matahari. waktu pertengahan saat matahari berada di meridian

    63

    Al Faqih Abul Wahid Muhammad Bin Ahmad Bin Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul

    Mujatahid Analisa Fiqih Para Mujtahid, di terjemahkan oleh Imam Ghazali dkk, dari Bidayatul

    Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid, Jakarta : Pustaka Amani, 2007, hlm. 66 64

    Abd. Rachim, Op cit, hlm. 23 65

    Ibid, hlm. 14-15 66

    Moedji Raharto Tarmi, op cit, yang dikutip dari Mohammad Ilyas, A Modern Guide to

    Islamic Calendar, Times & Qibla, 1984, hlm. 55

  • 36

    (Meridian Pass) yang dirumuskan dengan = 12 .67 Waktu inilah yang

    menjadi patokan hitungan untuk waktu-waktu shalat lainnya.

    2. Shalat Ashar

    . .

    (kemudian Nabi shalat Ashar ketika bayag-bayang suatu benda sama

    dengan aslinya)

    . .

    (kemudian Nabi shalat Ashar ketika bayang-bayang suatu benda dua kali dari

    aslinya)

    . .

    (dan waktu Ashar selama matahari belum menguning)

    Meskipun secara garis besar dapat dikatakan bahwa awal waktu Ashar

    adalah sejak bayangan sama dengan tinggi benda sebenarnya, tapi hal ini masih

    menimbulkan beberapa penafsiran. Dalam hadis riwayat Jabir bin Abdullah r.a

    Nabi Saw diajak shalat Ashar oleh malaikat Jibril ketika panjang bayangan

    sama dengan tinggi benda sebenarnya dan pada keesokan harinya Nabi diajak

    pada saat panjang bayangan dua kali tinggi benda sebenarnya.68

    Menurut Imam Malik akhir waktu Dzuhur adalah waktu musyatarok

    (waktu untuk dua shalat), Imam Syafii, Abu Tsaur dan Daud berpendapat

    akhir waktu Dzuhur adalah masuk waktu Ashar; yaitu ketika panjang bayang-

    bayang suatu benda melebihi panjang benda sebenarnya. Sedangkan Abu

    67

    Muhyiddin Khazin, op cit, hlm. 88 68

    Muhammad Jawa Mughniyyah, op cit, hlm. 74

  • 37

    Hanifah berpendapat bahwa awal waktu Ashar ketika bayang-bayang sesuatu

    sama dengan dua kali bendanya.69

    Dan dalam penetapan akhir waktu shalat Ashar juga ada perbedaan

    antara hadits Imamatu Jibril dengan hadits Abdillah, yaitu yang pertama dalam

    hadits Imamatu Jibril sesungguhnya akhir waktu Ashar itu adalah ketika benda

    itu sama dengan dua kali bayang-bayangnya (pendapat Imam Syafii)70

    , dalam

    hadits Abdillah sebelum menguningnya matahari (pendapat Imam Ahmad bin

    Hambal), dan dalam hadist Abu Hurairah akhir waktu Ashar sebelum

    terbenamnya matahari kira-kira satu rakaat (pendapat Ahli Dhahir).71

    Kedua waktu masuknya waktu Ashar ini dimungkinkan karena

    fenomena seperti itu tidak dapat digeneralisasi akibat bergantung pada musim

    atau posisi tahunan matahari. Pada musim dingin hal itu bisa dicapai pada

    waktu Dzuhur, bahkan mungkin tidak pernah terjadi karena bayangan selalu

    lebih panjang dari pada tongkatnya.

    Sementara pendapat yang memperhitungkan panjang bayangan pada

    waktu Dzuhur atau mengambil dasar tambahannya dua kali panjang tongkat (di

    beberapa negara Eropa) dianalisir sebagai solusi yang dimaksudkan untuk

    69

    Lihat pada Syamsudin Sarakhsi, Kitab Al-Mabsuth Juz 1-2, Beirut Libanon : Darul

    Kitab Al-Ilmiyah, hlm 143. Dalam kitab ini disebutkan bahwa,

    70

    Menurut Imam Syafii dalam kitabnya Al-Umm, waktu Ashar dalam musim panas yaitu ketika bayangan benda sama dengan bendanya atau satu kali bayangan benda sampai ketika

    habisnya waktu Dzuhur Awal waktu Ashar adalah bila bayang-bayang tongkat panjangnya sama

    dengan panjang bayangan waktu tengah hari ditambah satu kali panjang tongkat sebenarnya. Lihat

    pada Imam Abi Abdillah Muhammad Bin Idris Asy-Syafii, Al-Umm, Beirut-Libanon : Dar Al-

    Kitab, Juz I, tt, hlm 153. 71

    Al Faqih Abul Wahid Muhammad Bin Ahmad Bin Muhammad Ibnu Rusyd, op cit, hlm.

    205.

  • 38

    mengatasi masalah panjang bayangan pada musim dingin.72

    Untuk masyarakat

    Indonesia sendiri, digunakan pendapat yang pertama, yait