11
Laparoskopi dalam kegawatan perforasi ulcus pepticum: sebuah pengalaman di rumah sakit pusat study di Arab Saudi Hamed Al Wadaani Abstrak Latar belakang / tujuan: Perforasi ulcus pepticum (PPU) merupakan penyakit yang sering terjadi pada abad 21 meskipun telah banyak pengobatan antiulcer dan pemberantasan Helicobacter. Studi saat ini bertujuan untuk mengevaluasi hipotesis bahwa hasilnya bisa diperbaiki dengan menggunakan laparoskopi. Menganalisa hasil dari pengobatan dalam hal komplikasi, mortalitas dan waktu perawatan di rumah sakit yang lebih relevan dengan laparoskopi. Pasien dan metode: Penelitian ini adalah deskriptif prospektif yang dilakukan pada periode 3 tahun dari Juli 2009 sampai Juli 2012. Variable pada penelitian ini adalah semua pasien dengan nyeri perut akut yang secara klinis didiagnosis sebagai perforasi ulkus pepticum. Batasan variable dari penelitian ini adalah pasien dengan perdarahan bersamaan dari ulkus, terdapat obstruksi saluran lambung, perforasi lebih dari 10 mm dan pasien dengan gejala lebih dari 36 jam dengan syok septik. Hasil: 47 pasien dipelajari dari total 53 pasien PPU; mereka 41 pria dan 6 wanita. Usia mereka berkisar 19-55 tahun dengan usia rata-rata 40. Empat puluh lima pasien berhasil diobati dengan laparoskopi sementara 2 kasus lainnya didapatkan tanda-tanda syok hypovolemik diubah menjadi laparotomi karena perdarahan hebat. Rerata pasien opname selama 12 sampai 75 jam. Komplikasi post operasi 1

terjemahan jurnal laparoskopi perforasi ulkus peptikum

Embed Size (px)

DESCRIPTION

translate

Citation preview

Page 1: terjemahan jurnal laparoskopi perforasi ulkus peptikum

Laparoskopi dalam kegawatan perforasi ulcus pepticum: sebuah pengalaman di rumah sakit pusat studydi Arab Saudi Hamed Al Wadaani

Abstrak

Latar belakang / tujuan: Perforasi ulcus pepticum (PPU) merupakan penyakit yang sering terjadi pada abad 21 meskipun telah banyak pengobatan antiulcer dan pemberantasan Helicobacter. Studi saat ini bertujuan untuk mengevaluasi hipotesis bahwa hasilnya bisa diperbaiki dengan menggunakan laparoskopi. Menganalisa hasil dari pengobatan dalam hal komplikasi, mortalitas dan waktu perawatan di rumah sakit yang lebih relevan dengan laparoskopi.

Pasien dan metode: Penelitian ini adalah deskriptif prospektif yang dilakukan pada periode 3 tahun dari Juli 2009 sampai Juli 2012. Variable pada penelitian ini adalah semua pasien dengan nyeri perut akut yang secara klinis didiagnosis sebagai perforasi ulkus pepticum. Batasan variable dari penelitian ini adalah pasien dengan perdarahan bersamaan dari ulkus, terdapat obstruksi saluran lambung, perforasi lebih dari 10 mm dan pasien dengan gejala lebih dari 36 jam dengan syok septik.

Hasil: 47 pasien dipelajari dari total 53 pasien PPU; mereka 41 pria dan 6 wanita. Usia mereka berkisar 19-55 tahun dengan usia rata-rata 40. Empat puluh lima pasien berhasil diobati dengan laparoskopi sementara 2 kasus lainnya didapatkan tanda-tanda syok hypovolemik diubah menjadi laparotomi karena perdarahan hebat. Rerata pasien opname selama 12 sampai 75 jam. Komplikasi post operasi satu pasien meninggal di unit perawatan intensif (ICU) ditambah observasi febris pada 2 pasien yang menjalani laparotomi dan itu dapat diterapi.

Kesimpulan: Laparoskopi pada perforasi ulkus peptikum adalah terapi yang tepat dan layak di tangan dokter bedah, ketika sebuah kasus terdiagnosa secara dini dan benar.

Kata kunci: Perforasi ulkus peptikum, Laparoskopi

Pendahuluan

Meskipun penyakit perforasi ulkus peptikum adalah kedarurat bedah umum dan merupakan penyebab utama kematian pada lansia karena kurangnya management peralatan. Pemberantasan Helicobacter pylori (HP) telah menurunkan prevalensi ulkus peptikum secara signifikan. Namun, jumlah pasien yang memerlukan tindakan pembedahan relatif tidak berubah. Pengobatan non operatif perforasi ulkus peptikum terbukti efektif. Namun demikian, ketidak pastian dalam mendiagnosis, potensi

1

Page 2: terjemahan jurnal laparoskopi perforasi ulkus peptikum

penundaan untuk pengobatan, dan pasien yang tidak operatif mempersulit untuk menegakkan diagnosa secara dini dan benar.

Berbagai teknik pembedahan telah digunakan untuk pengobatan perforasi ulkus peptikum (PPU). Termasuk stapled omental patch, gastroskopi aided insertion of the ligamentum teres, atau omental plug. Namun, teknik ini baik digunakan hanya pada kasus yang sederhana atau cenderung harus dilakukan operasi ulang. Penutupan jahitan Laparoskopi, awalnya dilaporkan pada tahun 1990, dianggap aman sebagai pendekatan terbuka. Hal ini didapatkan beberapa manfaat termasuk waktu perawatan di rumah sakit yang sebentar, kurangnya rasa sakit pasca operasi, dan pencegahan infeksi pulmonal dengan lebih cepat beraktivitas normal. Saat ini, dua jenis laparoskopi yang paling umum digunakan untuk PPU adalah penutupan sederhana dengan atau tanpa Patch omentum, untuk menutupi ulkus dengan asumsi bahwa lebih aman dan dapat menurunkan kemungkinan kebocoran. Penelitian ini ditunjuk untuk meninjau hasil perbaikan laparoskopi PPU di sebuah pusat di Arab Saudi.

Pasien dan metode

Penelitian ini adalah deskriptif yang dilakukan dalam jangka waktu 3 tahun dari Juli 2009 sampai Juli 2012. Semua pasien dengan nyeri perut akut yang didiagnosis sebagai perforasi ulkus peptikum yang terdaftar di rumah sakit pusat study. Penelitian ini mendapatkan persetujuan tertulis dari lembaga komite etika kami. batasan dari penelitian ini adalah pasien dengan perdarahan bersamaan dari ulkus, terdapat obstruksi saluran lambung dan pasien dengan risiko Boey score 3 atau lebih karena mereka akan menjalani laparotomi. Faktor Boey score, diusulkan oleh Boey et al. pada tahun 1987, terkenal karena stratifikasi pasien risiko tinggi di PPU. Batasan juga pada pasien dengan riwayat operasi obdoment berulang, dengan syok yang berat, usia ekstrim, cenderung mengalami perdarahan, atau ulkus yang diduga ganas. Data demografi yang dikumpulkan adalah usia, gender, American Society of Association anestesi Score (ASA), syok, WBC (leukosit), Boey faktor risiko dan komorbiditas pasien.

Keparahan penyakit utama, shock pra operasi, saat operasi seperti lokasi dan ukuran perforasi, kontaminasi dengan rongga perut. Merupakan pertimbangan dokter bedah untuk memutuskan apakah diperlukan stapled omental patch atau tidak setelah perforasi ulkus ditutup.

Pasien diberikan pertolongan pertama tanpa menggunakan terapi peroral, menggunakan NGT untuk dekompresi lambung. Cairan intravena awalnya menggunakan kristaloid (Saline atau larutan ringer laktat). Antibiotik intravena diberikan dalam bentuk generasi ketiga cephalosporin seperti metronidazole.

2

Page 3: terjemahan jurnal laparoskopi perforasi ulkus peptikum

Tes laboratorium rutin dilakukan termasuk darah lengkap dengan hitung jenis leukosit; amilase serum dan lipase dilakukan untuk menyangkal pancreatitis akut. Selain itu, semua pasien dilakukan x-ray BOF untuk membantu mendiagnosa peritonitis. Jika x-ray kurang bisa untuk mendiagnosa bisa dilakukan CT-scan. Laparoskopi

Semua prosedur dilakukan oleh konsultan bedah. Singkatnya, pasien ditempatkan diposisikan Trendelenburg. Operator bedah berdiri di sisi kiri pasien. Region periumbilical adalah akses awal yang biasa digunakan; Namun, pada pasien dengan riwayat operasi abdomen bisa membuat akses baru. Karbon dioksida pneumoniae peritoneum dengan insufflations tekanan 14-15 mmHg diterapkan dalam banyak kasus; Namun, kami menggunakan tekanan yang lebih rendah (8-12 mmHg) karena kekhawatiran hemodynamic compromise dengan tekanan yang lebih tinggi pada pasien dengan onset symptom yang tertunda. Sebuah angle scope A 10 mm 30_ laparoskop (Karl Storz, Tuttlingen Jerman) diperkenalkan melalui pusar 11 mm trocar (Versaport, Covidien surgery devices, North Haven, CT, USA) untuk pemeriksaan organ intraabdominal, termasuk permukaan hati, kandung empedu, lambung, usus, organ panggul, dan permukaan retroperitoneal terlihat bersama dengan pemeriksaan cairan intraperitoneal, diikuti oleh penyisipan dari 11 mm trocar kedua di sebelah kiri perut bagian atas dan lain trocar 5 mm di bagian kanan atas perut untuk mengoptimalkan paparan atau memberikan terapi intervensi. Menutup ulkus perforasi dilakukan dengan menggunakan 3/0 polygalactin (Vicryl Ethicon, Johnson & Johnson, Cincinnati, OH, USA) jahitan dalam mode terganggu dengan mengikat Intrakorporeal. Patch omentum dilakukan dengan memobilisasi omentum lebih besar dari ulkus yang diperbaiki dan untuk memperkuat ditahan oleh ikatan ujung jahitan sebelumnya.

Tindak lanjut pada rawat jalan dari pasien berkisar 4-24 bulan setelah keluar dari rumah sakit.

Data yang dikumpulkan diberi kode, masuk dan statistik analysis menggunakan SPSS versi 17 Variabel masing-masing kelompok dilaporkan sebagai median dan interkuartil rentang (IQR). Dua tes terakhir signifikansi yang digunakan dengan tingkat kepercayaan 95%. Variabel diskrit dinyatakan sebagai jumlah dan persentase. Untuk variabel continous, kami menggunakan mean dan slendered deviations untuk melaporkan nilai P data. dari ≤ 0,05 dianggap signifikan.

Serial tes Chi-square atau uji Fisher digunakan untuk membandingkan variabel kategori mana pun yang sesuai. Menggunakan uji Wilcoxon rank Sum.

3

Page 4: terjemahan jurnal laparoskopi perforasi ulkus peptikum

Hasil

47 pasien dari 53 pasien yang di teliti dalam penelitian ini dengan nyeri abdomen yang terdiagnosa perforasi ulkus peptikum selama periode 3 tahun dari juli 2009 sampai juli 2012 dan enam pasien dari 53 pasien yang tidak di teliti yaitu, 3 pasien karena memiliki scar bekas operasi pada epigastrium, 1 pasien terbukti terdapat obstruksi lambung, dan 2 sisanya terdapat perdarahan pada ulkus.

47 pasien yang menjalani laparoskopi adalah 41 pria dan 6 wanita dengan rasio laki-laki dan perempuan 7 : 1. Usia mereka berkisar 19-55 tahun dengan usia rata-rata 39 tahun. Sebagian besar pasien (31 pasien; 66%) adalah perokok. Namun, tidak satupun dari mereka memiliki riwayat penggunaan secara kronis obat-obatan seperti steroid. Sementara 23 pasien (48,9%) memiliki riawayat pemakaian obat NSAID. Tidak ada pasien yang memiliki riwayat mengkonsumsi obat anti ulkuc pepticum.

Durasi rata-rata gejala adalah 4 sampai 12 jam. Empat puluh lima pasien berhasil diobati dengan laparoskopi sementara hanya 2 kasus yang diubah menjadi laparotomi karena terdapat perdaraan saat operasi. Perawat di rumah sakit rata-rata adalah 12 sampai 75 jam. Komplikasi post operasi yaitu demam terjadi pada 2 pasien dan bisa terobati dengan tuntas. Satu pasien post operasi meninggal dalam di ICU. Pasien ini termasuk kelompok ASA III yang meninggal karena kegagalan multi-organ; ia menderita diabetes, hipertensi, fibrilasi atrium, nefropati, irotoksikosis, dan kecelakaan serebrovaskular baru-baru ini.

Karakteristik demografi pasien seperti rentang usia, distribusi jenis kelamin, dan status klasifikasi American Society of Anestesiologi (ASA). ukuran perforasi ulkus juga dicatat. Juga karakter pra operasi seperti durasi nyeri lebih dari 24 jam, riwayat penyakit perforasi ulkus sebelumnya, dan konsumsi obat NSAID. Tidak ada pasien yang memiliki riwayat konsumsi kokain. Boey score juga dicatat melaporkan kondisi penyakit utama, shock pra operasi, dan lamanya perforasi (Lebih dari 24 jam) dianggap faktor prognosis yang buruk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hipotensi tidak berpengaruh terhadap hasil, dan semua pasien yang masuk dengan hipotensi selamat.

Satu pasien penelitian ini memiliki kebocoran setelah perbaikan dan diperlukan drainase terbuka. Komplikasi luka terjadi pada dua pasien dikonversi di kelompok laparoskopi; salah satu memiliki infeksi luka dan yang lain memiliki dehiscence luka. Salah satu dari pasien memiliki kebocoran dari Situs diperbaiki dan operasi ulang diperlukan, dan juga ada yang dipasang drainase perkutan. Tiga pasien kembali dioperasi karena kebocoran, obstruksi lambung, dan luka dehiscence.

4

Page 5: terjemahan jurnal laparoskopi perforasi ulkus peptikum

Tabel 1 Pasien yang Termasuk dan ditidak termasuk dalam penelitian Jumlah total pasien Jumlah pasien yang di

telitiJumlah pasien yang tidak di

teliti53 47 6

Terdapat scar bekas operasi pada epigastrium = 3

Terdapat obstruksi gaster =1Terdapat perdarahan ulcus = 2

Diskusi

Kemajuan dalam pengobatan medis penyakit ulkus peptikum dan pemberantasan Helicobacter pylori (HP) telah menyebabkan penurunan yang signifikan dalam prevalensi ulkus peptikum dan penurunan drastis jumlah operasi elektif pada ulkus peptikum. Meskipun demikian, jumlah pasien yang memerlukan tindakan pembedahan untuk komplikasi seperti perforasi masih relatif tidak berubah.

Operasi minimal invasive (laparoskopi) telah berkembang dan sangat berperan dalam operasi gastrointestinal sejak diperkenalkannya laparoskopi pada cholescystectomy. Dalam beberapa tahun terakhir, peran operasi laparoskopi dalam pengelolaan perforasi ulkus peptikum telah mendapatkan perhatian lebih di antara prosedur laparoskopi pada cholescystectomy. Ulasan mendatang menunjukkan beberapa percobaan secara acak menyoroti kelayakan laparoskopi pada perforasi ulkus peptikum.

Dalam penelitian kami dari 47 pasien PPU jelaskan bahwa tidak ada pasien yang memiliki diagnosis selain PPU. Penemuan ini menyimpulkan manfaat dari laparoskopi sebagai prosedur diagnostik. Hasil ini dapat dibandingkan dengan data-data sebelumnya. Tingkat konversi dari laparoskopi untuk laparotomi adalah 4,3% dapat dibandingkan data sebelumnya dari tingkat konversi 8%. Selain itu, juga jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang dilaporkan dalam literatur, di mana ditemukan tingkat konversi setinggi 60%. Ini mungkin berhubungan dengan pengalaman dan pelatihan laparoskopi ahli bedah yang ikut serta dalam operasi tersebut, mengkonfirmasikan bahwa prosedur ini hanya boleh dilakukan oleh ahli bedah yang berpengalaman. Dalam studi saat ini, berarti waktu operasional adalah 17 sampai 42 menit. Hal ini dapat disimpulkan scara signifikan lebih cepat dibandingkan laporan lain yang dipublikasikan dalam beberapa literature (75menit).

Penjelasan yang mungkin bisa diberikan untuk waktu operasi yang lebih pendek adalah bahwa penjahitan laparoskopi lebih mudah terutama jika perforasi tidak infiltrat dan non friable. Jahitan akan susah dilakukan karena tepi ulkus yang mudah robek. Dalam penelitian kami, penggunaan metode single-stitch, fibrin glue, atau patch membantu dalam mengurangi waktu prosedur operasi laparoskopi. Alasan lain adalah bahwa kita tidak melakukan irigasi di sebagian besar kasus. Hal ini

5

Page 6: terjemahan jurnal laparoskopi perforasi ulkus peptikum

tercatat bahwa irigasi melalui 5-mm atau bahkan 10-mm trocar memakan waktu, suction cairan untuk menurunkan gas dan mengurangi pneumoperitoneum. Tidak ada bukti bahwa irigasi menurunkan resiko sepsis. Oleh karena itu kami melakukan irigasi hanya pada kasus tertentu, ketika diperlukan saat dimana ada sisa makanan di perut.

Pasien kami sedikit yang memakain parenteral analgesik, bahkan lebih dari setengah dari mereka tidak meminta injeksi petidin. Mereka mendapatkan nyeri pasca operasi yang lebih rendah dan berkurang pada hari 1 dan 3, ini dapat dijelaskan oleh bukti yang sudah ada bahwa koreksi laparoskopi PPU kurang menyebabkan nyeri pasca operasi. Beberapa analisis yang dipublikasikan oleh Lau melaporkan bahwa delapan dari sepuluh studi menunjukkan signifikan bahwa pengurangan dalam dosis analgesik diperlukan dalam laparoskopi. Juga, tiga penelitian yang telah termasuk VAS skor nyeri menunjukkan konsisten nyerinya lebih rendah, seperti yang diamati dalam penelitian kami juga. Apakah ini akan menyebabkan kualitas hidup yang lebih baik bagi pasien, masih perlu dianalisis terutama selama minggu pertama setelah operasi. Pasien dalam penelitian kami yang menjalani laparoskopi memiliki rasa sakit pasca operasi yang sedikit dan juga perlu perawatan di rumah sakit sekitar 12 sampai 75 jam. Tampaknya bahwa usia pasien PPU juga mempengaruhi waktu perawatan di rumah sakit; itu 9 sampai 40 tahun. Dalam sebagian besar penelitian disebutkan meningkannya usia tidak hanya meningkatkan rata-rata waktu perawatan di rumah sakit tetapi merupakan masalah yang signifikan kedepannya. Salah satu manfaat dari prosedur laparoskopi yang tidak sering disebutkan dalam literatur adalah hasil kosmetik. Saat ini pasien menyadari manfaat ini, dan terkadang ini adalah alasan mengapa mereka menuntut operasi laparoskopi.

Kesimpulannya, hasil uji coba saat ini mengkonfirmasi hasil uji coba lain yang mengoreksi laparoskopi PPU adalah aman, layak untuk dokter bedah yang berpengalan laparoskopik, dan nyeri pasca operasi yang kurang. Waktu Operasi yang lebih cepat dari laporan sebelumnya dan minimnya komplikasi. Bagaimanapun hasil ini masih perlu evaluasi lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar dengan usia lanjut pada penelitian selanjutnya.

6

Page 7: terjemahan jurnal laparoskopi perforasi ulkus peptikum

Tabel 2 Demografi pasien yang diteliti dengan perforasi ulkus peptikum Jumlah (n = 47) Usia (tahun) 9-40 n = semuaLaki-laki (%) 87.2% n = 41Perempuan (%) 12,8% n = 6Riwayat penggunaan NSAID (%) 48,9% n = 23 1,109Perokok (%) 66% n = 31Sejarah ulkus (%) 29,8% n = 14ASA I (%) 10,6% n = 5ASA II (%) 76.6% n = 36ASA III (%) 10,6% n = 5ASA IV (%) 2,1% n = 1Boey 0 (%) 14,8% n = 7Boey 1 (%) 65,9% n = 31Boey 2 (%) 17,2% n = 8Boey 3 (%) 2,1% n = 1Syok saat masuk (%) 4,3% n = 2Durasi gejala (jam) 4-12 n = semuaUdara bebas pada X-ray (%) 85% n = 40Gejala> 24 jam (%) 8,5% n = 4Ukuran perforasi (mm) 5,5 ± 3,6 n = semuaRawat inap di RS (jam) 12-75 n = semuaWBE (mean ± SD) 12,3 ± 5.6 n = semuaLokalisasi ulkus Duodenum (%) 74,5% n = 35Juxtapyloric (%) 6,4% n = 3Lambung (%) 19,1% n = 9

7