17
PATOFISIOLOGI PERTUSIS Disusun Oleh : Michael Alexander Dhira Damanik 1061050011 Pembimbing : dr. Mas Wishnuwardhana, SpA DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BEKASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA JAKARTA 1

Pertusis

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Pediatric

Citation preview

PATOFISIOLOGIPERTUSIS

Disusun Oleh :Michael Alexander Dhira Damanik1061050011

Pembimbing :dr. Mas Wishnuwardhana, SpA

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAKRUMAH SAKIT UMUM DAERAH BEKASIFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS KRISTEN INDONESIAJAKARTA PERIODE 01 MARET - 09 MEI 2015

A. DefinisiPertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent cough, dan di Cina disebut batuk seratus hari. Sydenham yang pertama kali menggunakan istilah pertussis (batuk kuat) pada tahun 1670. Istilah ini lebih disukai dari batuk rejan (whooping cough) karena kebanyakan individu yang terinfeksi tidak berteriak (whoop artinya berteriak). Pertusis yang berarti batuk yang sangat berat atau batuk yang intensif, merupakan penyakit infeksi saluran nafas akut yang dapat menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang belum diimunisasi atau orang dewasa dengan kekebalan yang menurun1,2,3. Pertusis masih merupakan penyebab terbesar kesakitan dan kematian pada anak, terutama di negara berkembang. WHO memperkirakan lebih kurang 600.000 kematian disebabkan pertussis setiap tahunnya terutama pada bayi yang tidak diimunisasi. Dengan kemajuan perkembangan antibiotik dan program imunisasi maka mortalitas dan morbiditas penyakit ini mulai menurun4.B. Etiologi Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis atau Haemoephilus pertusis, adenovirus tipe 1, 2, 3, dan 5 dapat ditemukan dalam traktus respiratorius, traktus gastrointestinalis dan traktus urinarius. Bordotella pertusis ini mengakibatkan suatu bronchitis akut, khususnya pada bayi dan anakanak kecil yang ditandai dengan batuk paroksismal berulang dan stridor inspiratori memanjang batuk rejan.1,3Bordetella pertusis suatu cocobasilus gram negatif aerob minotil kecil dan tidak membentuk spora dengan pertumbuhan yang sangat rumit dan tidak bergerak. Bisa didapatkan dengan swab pada daerah nasofaring penderita pertusis dan kemudian ditanam pada agar media Bordet Gengou1. Ada enam spesies dari Bordetella yaitu B. parapertussis, B. bronchiseptica, B. avium, B. hinzii, B. holmesii, dan B. trematum. B. pertusis dan B. parapertussis adalah dua patogen yang paling umum ditemukan pada manusia 8.Spesies Bordetella memiliki kesamaan tingkat homologi DNA yang tinggi pada gen virulen, dan ada kontroversi apakah cukup ada perbedaan untuk menjamin klasifikasi sebagai spesies yang berbeda. Hanya Bordetella Pertusis yang mengeluarkan toksin pertusis (TP), protein virulen yang utama. Penggolongan serologis tergantung pada aglutinogen klabil panas. Dari 14 aglutinogen, 6 adalah spesifik untuk B.pertusis serotip bervariasi secara geografis dan sesuai waktu1.B.pertussis menghasilkan beberapa bahan aktif secara biologis, banyak sarinya dimaksudkan untuk memainkan peran dalam penyakit dan imunitas. Pasca penambahan aerosol, agglutinin filamentosa (HAF), beberapa aglutinogen (terutama FIM2 dan FIM3), dan protein permukaan nonfimbria 69-kd yang disebut pertaktin (PRN) penting untuk perlekatan terhadap sel sel epitel bersilia saluran pernapasan1.Sitotoksin trachea, adenilat siklase, dan TP tampak menghambat pembersihan organisme. Sitotoksin trakea, faktor dermonekrotik, dan adenilat siklase diterima secara dominan menyebabkan cedera epitel lokal yang menghasilkan gejala pernafasan dan mempermudah penyerapan TP1.TP terbukti mempunyai banyak aktifitas biologis (misal, sensitivitas histamine, sekresi insulin, disfungsi leukosit), beberapa darinya merupakan manifestasi sistemik penyakit. TP menyebabkan limfositosis segera pada binatang percobaan dangan pengembalian limfosit agar tetap dalam sirkulasi darah. TP tanpa memainkan peran sentral tetapi bukan peran tunggal dalam pathogenesis1.

C. PatogenenisBordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme patogenesis infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan lokal dan akhirnya timbul penyakit sistemik1,9.Filamentous Hemaglutinin (FHA), Lymphosithosis Promoting Factor (LPF)/ Pertusis Toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan pada perlekatan Bordetella pertusis pada silia. Setelah terjadi perlekatan, Bordetella pertussis kemudian bermultiplikasi dan menyebar ke seluruh permukaan epitel saluran napas. Proses ini tidak invasif oleh karena pada pertusis tidak terjadi bakteremia. Selama pertumbuhan Bordetella pertusis, maka akan menghasilkan toksin yang akan menyebabkan penyakit yang dikenal dengan whooping cough1,9.Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan karena pertusis toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub unit B selanjutnya berikatan dengan reseptor sel target kemudian menghasilkan subunit A yang aktif pada daerah aktivasi enzim membrane sel. Efek LPF menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke daerah infeksi1,9.Toxin mediated adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur sintesis protein dalam membrane sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi fisiologis dari sel target termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan pengeluaran histamine dan serotonin, efek memblokir beta adrenergic dan meningkatkan aktifitas insulin, sehingga akan menurunkan konsentrasi gula darah1,9.Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan limfoid peribronkial dan meningkatkan jumlah lendir pada permukaan silia, maka fungsi silia sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder (tersering oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae dan Staphylococcus aureus). Penumpukan lendir akan menimbulkan plak yang dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru1,9.Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan perukaran oksigenasi pada saat ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat perbedaan pendapat mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat pengaruh langsung toksin ataukah sekunder sebagai akibat anoksia1.Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak apabila sel mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotik terhadap proses penyakit. Namun terkadang Bordetella pertusis hanya menyebabkan infeksi yang ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertusis1.

PATOFISIOLOGI

D. Gejala KlinisMasa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan penyakit ini berlangsung antara 6 8 minggu atau lebih. Gejala timbul dalam waktu 7-10 hari setelah terinfeksi. Bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan, trakea dan saluran udara sehingga pembentukan lendir semakin banyak1.Pada awalnya lendir encer, tetapi kemudian menjadi kental dan lengket. Infeksi berlangsung selama 6 minggu, dan berkembangan melalui 3 tahapan1,10:1. Tahap Kataral Mulai terjadi secara bertahap dalam waktu 7-10 hari setelah terinfeksi, ciri-cirinya menyerupai flu ringan : Bersin-bersin Mata berair Nafsu makan berkurang Lesu Batuk (pada awalnya hanya timbul di malam hari kemudian terjadi sepanjang hari)2. Tahap Paroksismal Mulai timbul dalam waktu 10-14 hari (setelah timbulnya gejala awal) 5-15 kali batuk diikuti dengan menghirup nafas dalam dengan pada tinggi. Batuk bisa disertai pengeluaran sejumlah besar lendir vang biasanya ditelan oleh bayi/anak-anak atau tampak sebagai gelembung udara di hidungnya).Batuk atau lendir yang kental sering merangsang terjadinya muntah. Serangan batuk bisa diakhiri oleh penurunan kesadaran yang bersifat sementara. Pada bayi, apnea (henti nafas) dan tersedak lebih sering terjadi dibandingkan dengan tarikan nafas yang bernada tinggi.3. Tahap KonvalesenMulai terjadi dalam waktu 4-6 minggu setelah gejala awal. Batuk semakin berkurang, muntah juga berkurang, anak tampak merasa lebih baik. Kadang batuk terjadi selama berbulan-bulan, biasanya akibat iritasi saluran pernafasan.E. Diagnosis1. Anamnesis Dalam anamnesis ditanyakan identitas, keluhan utama serta gejala klinis pertusis lainnya, faktor resiko, riwayat keluarga, riwayat penyakit dahulu, dan riwayat imunisasi.2. Pemeriksaan fisikGejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisik tergantung dari stadium saat pasien diperiksa.3. Pemeriksaan laboratorium Pada pemeriksaan labratorium didapatkan leukositosis 20,000-50,000 / UI dengan limfositosis absolute khas pada akhir stadium kataral dan selama stadium paroksismal. Pada bayi jumlah leukosit tidak menolong untuk diagnosis oleh karena respon limfositosis juga terjadi pada infeksi lain1,3,10.Isolasi B.pertussis dari secret nasofaring dipakai untuk membuat diagnosis pertussis. Biakan positif pada stadium kataral 95-100%, stadium paroksismal 94% pada minggu ke-3 dan menurun sampai 20% untuk waktu berikutnya1,3,10.Tes serologi berguna pada stadium lanjut penyakit dan untuk menetukan adanya infeksi pada individu dengan biakan. Cara ELISA dapat dipakai untuk menentukan serum IgM, IgG, dan IgA terhadap FHA PT. Nilai serum IgM FHA dan PT menggambarkan respon imun primer baik disebabkan penyakit atau vaksinasi. IgG toksin pertusis merupakan tes yang paling sensitif dan spesifik untuk mengetahui infeksi dan tidak tampak setelah pertussis10,12. 4. Pemeriksaan penunjangPada pemeriksaan foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat perihiler, atelektasis atau emfisema.Diagnosis banding pertusis pada bayi perlu dipikirkan bronkiolitis, pneumonia bakterial, sistik fibrosis, tuberkulosis dan penyakit lain yang menyebabkan limfadenopati dengan penekanan diluar trakea dan bronkus.Pada umumnya pertusis dapat dibedakan dari gejala klinis dan laboratorium. Benda asing juga dapat menyebabkan batuk paroksismal, tetapi biasanya gejalanya mendadak dan dapat dibedakan dengan pemeriksaan radiologi dan endoskopi. Infeksi B. parapertussis, B. bronkiseptika, dan adenovirus dapat menyerupai sindrom klinis B.pertussis, dapat dibedakan dengan isolasi kuman penyebab1.

F. Penatalaksanaan Tujuan terapi adalah membatasi jumlah paroksismal, untuk mengamati keparahan batuk, memberi bantuan bila perlu, dan memaksimalkan nutrisi, istirahat, dan penyembuhan tanpa sekuele. Tujuan rawat inap spesifik, terbatas adalah untuk menilai kemajuan penyakit dan kemungkinan kejadian yang mengancam jiwa pada puncak penyakit, mencegah atau mengobati komplikasi, dan mendidik orang tua pada riwayat alamiah penyakit dan pada perawatan yang akan diberikan di rumah. Untuk kebanyakan bayi yang tanpa komplikasi, keadaan ini disempurnakan dalam 48-72 jam1,11. Frekuensi jantung, frekuensi pernafasan, dan oksimetri nadi dimonitor terus, pada keadaan yang membahayakan, sehingga setiap paroksismal disaksikan oleh personel perawat kesehatan. Rekaman batuk yang rinci dan pencatatan pemberian makan, muntah, dan perubahan berat memberikan data untuk penilaian keparahan. Paroksismal khas yang tidak membahayakan mempunyai tanda sebagai berikut lamanya kurang dari 45 detik, perubahan warna merah tetapi tidak biru, bradikardi, atau desaturasi oksigen yang secara spontan selesai pada akhir paroksismal, berteriak atau kekuatan untuk menyelamatkan diri pada akhir paroksismal, mengeluarkan sumbatan lendir sendiri, kelelahan pasca batuk tetapi bukan tidak berespons1,11. Pengobatan suportif yang bisa dilakukan diantaranya menghindarkan faktor-faktor yang menimbulkan serangan batuk, mengatur hidrasi dan nutrisi, oksigen dapat diberikan pada distres pernapasan akut/kronik, dan penghisapan lendir terutama pada bayi dengan pneumonia dan distres pernapasan. Beberapa agen terapeutik atau medikamentonsa yang digunakan pada pasien pertussis adalah sebagai berikut1,11,12 :1. Agen AntimikrobaAgen antimikroba selalu diberikan bila pertussis dicurigai atau diperkuat karena kemungkinan manfaat klinis dan membatasi penyebaran infeksi. Eritromisin, 40-50 mg/kg/24 jam, secara oral dalam dosis terbagi empat (maksimum 2 g/24 jam) selama 14 hari merupakan pengobatan baku. Beberapa pakar lebih menyukai preparat estolat tetapi etilsuksinat dan stearat juga manjur. Penelitian kecil eritromicin etilsuksinat yang diberikan dengan dosis 50 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis, dengan dosis 60 mg/kg/24 jam dibagi menjadi tiga dosis, dan eritromicin estolat diberikan dengan dosis 40 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis menunjukkan pelenyapan organisme pada 98% anak. Azitromisin, Claritomisin, Ampisillin, Rifampin, Trimethoprim-Sulfametoksasol cukup aktif tetapi sefalosporin generasi pertama dan ke-2 tidak. Pada penelitian klinis, eritromicin lebih unggul daripada amoksisilin untuk pelenyapan B. pertussis dan merupakan satu-satunya agen dengan kemanjuran yang terbukti.2. SalbutamolSejumlah kecil trial klinis dan laporan memberi kesan cukup pengurangan gejala-gejala dari stimulan 2-adrenergik salbutamol (albuterol). Tidak ada trial klinis tepat yang telah menunjukkan pengaruh manfaat, satu penelitian kecil tidak menunjukkan pengaruh. Pengobatan dengan aerosol memicu paroksismal.3. KortikosteroidTidak ada trial klinis buta acak cukup besar yang telah dilakukan untukan mengevaluasi penggunaan kortikosteroid dalam manajemen pertussis. Penelitian pada binatang menunjukkan pengaruh yang bermanfaat pada manifestasi penyakit yang tidak mempunyai kesimpulan pada infeksi pernafasan pada manusia. Pengguanaan klinisnya tidak dibenarkan.

DAFTAR PUSTAKA1. S. Long, Sarah. (2000). Pertusis. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol II. Jakarta : EGC. 181: 960-965.2. Garna, Harry. Pertusis. Azhali M.S, dkk. (1993). Ilmu Kesehatan Anak Penyakit Infeksi Tropik. Bandung, Indonesia : FK Unpad : 80-86.3. Law Barbara J. (1998). Pertussis. Kendigs : Disorders of Respiratory Tract in Children. WB Saunders. 6th edition. Philadelphia, USA. Chapter 62. h :1018-1023.4. Heininger, U. (2010). Update on pertussis in children. Expert review of anti-infective therapy 8 (2): 16373.5. Black S. (1997). Epidemiology of pertussis. Pediatr Infect Dis J. Diakses 23 Desember 2011 dari, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9109162.6. Cherry JD. (2005). The epidemiology of pertussis: a comparison of the epidemiology of the disease pertussis with the epidemiology of Bordetella pertussis infection. Pediatrics : 115:1422-1427. Diakses 30 Desember 2011 dari, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15867059. 7. Farizo KM. (1992). Epidemiological features of pertussis in the United States, 1980-1989. Clin Infect Dis ; 14(3):708-19. Diakses 23 Desember 2011 dari, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1562663.8. Hewlett EL. (2005). Bordetella species. In: Principles and Practice of Infectious Diseases, 6th ed, Mandell GL, Bennett JE, Dolin R (Eds), Churchill Livingstone, Philadelphia. p.2701. Diakses dari, http://www.uptodate.com/contents/microbiology-pathogenesis-and-epidemiology-of-bordetella-pertussis-infection#H3. 9. Todar, Kenneth. (2011). Bordetella pertussis and Whooping Cough. Diakses dari http://textbookofbacteriology.net/pertussis_2.html. 10. Shehab, Ziad M. Pertussis. Taussig-Landau : Pediatric Respiratory Medicine. Missouri, USA. Mosby Inc. 1999. Chapter 42. h: 693-699.11. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. (2005). Pertusis. Staf pengajar I.K.Anak FKUI : Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta, Indonesia. FKUI, 1997. Jilid 2. h: 564-566.

2